• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Catch (C), Effort (E), CPUE dan standarisasi alat tangkap di

Gugus Pulau Kaledupa ... 216 2. Hasil regresi kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau

Kaledupa ... 218 3. Jumlah unit, luas lahan dan produksi rumput laut di wilayah Gugus

Pulau Kaledupa ... 219 4. Biaya produksi budi daya rumput laut per musim tanam di wilayah

Gugus Pulau Kaledupa ... 221 5. Penerimaan dan pendapatan pembudidaya rumput laut di wilayah

Gugus Pulau Kaledupa ... 223 6. Peta sasiun pengamatan pada lokasi budi daya rumput laut di

wilayah Gugus Pulau Kaledupa ... 225 7. Analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah Gugus Pulau

Kaledupa ... 226 8. Hasil analisis keberlanjutan wisata bahari di wilayah Gugus Pulau

Kaledupa ... 227 9. Distribusi partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Perikanan

Tangkap di Wilayah Gugus Pulau Kaledupa ... 228 10. Distribusi Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Budidaya Rumput

Laut di Wilayah Gugus Pulau Kaledupa ... 230 11. Distribusi Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Pariwisata di

Wilayah Gugus Pulau Kaledupa ... 232 12. Hasil Analisis MCDM untuk Keberlanjutan Pengelolaan

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang dilakukan banyak negara berkembang sering harus dibayar dengan biaya mahal dalam bentuk berbagai kerusakan alam maupun lingkungan sosial. Karena itu, muncul konsep pembangunan ekonomi baru yang memasukkan lebih banyak dimensi untuk mengukur keberhasilan pembangunan dalam perspektif waktu panjang dengan mempertimbangkan kepentingan antar generasi yang dikenal dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan mulai menggema sejak tahun 1992, sebagai respon atas makin memburuknya lingkungan ekonomi dan sosial dunia yang disebabkan kurangnya perhatian banyak negara dalam membangun negaranya. Akibatnya, kerusakan lingkungan alam dan sosial membawa konsekuensi serius bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri (Deklarasi Rio 1992).

Pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akhirnya dapat menjadi bumerang jika biayanya harus dibayar mahal oleh generasi mendatang, karena rusaknya lingkungan hidup dan sosial. Generasi mendatang, juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti generasi sekarang. Mereka juga memiliki hak untuk meningkatkan kesejahteraannya disemua aspek, mendapatkan lingkungan alam dan sosial yang sehat, yang dapat mendukung usaha mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Oleh karena itu, dalam membangun ekonomi suatu bangsa tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek saja, namun harus melihatnya dalam perspektif jangka panjang. Dengan demikian dalam pembangunan, konsep pembangunan berkelanjutan mutlak dilakukan.

Negara Indonesia, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.480 pulau (Adrianto 2005; DKP 2009). Lebih dari 10.000 buah dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang hanya sebagian kecil saja memiliki penduduk. Tetapi walaupun pulau-pulau itu terpencil dan tidak berpenghuni, kegiatan eksploitasi tetap saja berlangsung. Padahal sesungguhnya pulau-pulau ini memiliki nilai penting karena memiliki sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan maupun non

pangan. Sebagai sumber pangan, perairan sekitar pulau-pulau kecil (PPK) memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar dan sangat potensial untuk media budi daya ikan di laut, atau untuk pemanfaatan budi daya rumput laut. Sebagai sumber non pangan, memiliki kekayaan ekosistem yang kaya seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. Selanjutnya PPK juga dapat dikelola untuk media komunikasi, kawasan rekreasi atau pariwisata, kawasan konservasi dan pertahanan keamanan.

Pengembangan kawasan PPK akan mendatangkan manfaat antara lain: (1) Secara ekonomi, potensi sumberdaya hayati dan non hayati begitu besar sehingga jika PPK berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, maka akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru, (2) Secara sosial, pengembangan kawasan PPK akan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di kawasan PPK serta dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah, (3) Secara geopolitik, pengembangan PPK terutama di kawasan perbatasan akan menjamin keamanan dan ketahanan wilayah Indonesia. Dengan berkembangnya wilayah perbatasan, akan mudah mendeteksi ancaman yang datangnya dari negara lain, dan (4) Secara ekologis, pengembangan PPK akan semakin meningkatkan pengawasan terhadap ancaman kerusakan ekosistem akibat faktor alam atau manusia (Dahuri 2008).

Selain itu, pengembangan PPK merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuannya adalah untuk pendayagunaan sumberdaya PPK secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sumberdaya PPK harus diatur agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan hasil-hasilnya, dan kelestarian lingkungan. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat tercapai.

Pengelolaan PPK di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebijakan yang umumnya berorientasi daratan (mainland). Sehingga kawasan PPK kurang mendapat perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Contoh kasus yang terjadi yaitu lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI, dan degradasi lingkungan yang terjadi di Pulau Nipah akibat penambangan pasir. Namun sejak tahun 1999 saat didirikan DKP, pengelolaan dan pemanfaatan PPK dilakukan di bawah pengawasan DKP, dan dibentuk

suatu bidang yang khusus menangani sumberdaya pesisir dan PPK (Ditjen P3K). Perhatian pemerintah akan keberadaan PPK dibuktikan pula dengan lahirnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK.

Salah satu wilayah PPK di Indonesia adalah Kabupaten Wakatobi, yang keseluruhan wilayahnya terdiri dari gugusan PPK dan sangat kecil. Kabupaten ini secara geografi terletak di bagian timur Pulau Buton dan merupakan wilayah terluar sebelah timur Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di sekitarnya memiliki luas 1.390.000 ha. Posisi Wakatobi sangat strategis yakni terletak pada Pusat Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle Center), memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia yakni 750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia, 900 jenis ikan, dengan 46 dive sites teridentifikasi (salah satunya Marimabok). Wakatobi memiliki 90.000 ha terumbu karang dan Atol Kaledupa (48 km) atol tunggal terpanjang di dunia (Operation Wallacea 2006). Keadaan inilah yang menjadi potensi pembangunan di wilayah Kepulauan Wakatobi kedepan, sehingga strategi pembangunan perlu diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya, khususnya sumberdaya laut dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat Kepulauan Wakatobi.

Kondisi di atas menjadikan Kepulauan Wakatobi sebagai suatu gugusan pulau sangat kecil yang terus tumbuh dan berkembang. Bahkan peningkatan pemanfaatannya terus mengalami kenaikan sejak tahun 2003. Sejak perubahan status menjadi kabupaten baru yakni Kabupaten Wakatobi, seiring dengan perubahan politik nasional yang menekankan otonomi dan desentralisasi kewenangan, maka Wakatobi dimekarkan sebagai daerah otonom baru dan memisahkan diri dari Kabupaten Buton melalui UU No. 29 tahun 2003 (tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara).

Sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten Wakatobi didominasi oleh sumberdaya laut, dan merupakan potensi yang menentukan masa depan Kabupaten Wakatobi. Potensi sumberdaya laut (SDL) merupakan aset yang penting dan menjadi andalan bagi pembangunan Kabupaten Wakatobi kedepan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Kekayaan SDL

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan fungsi ekologi penting untuk keseimbangan lingkungan. Dari aspek ekonomi, SDL termasuk ekosistem terumbu karang merupakan sumber penghasilan masyarakat dan devisa daerah. Dari aspek ekologi, terumbu karang merupakan ‘rumah’ ikan, tempat tumbuh dan berkembang-biaknya ikan-ikan karang dan biota lainnya.Terumbu karang juga berfungsi melindungi pantai dan PPK dari hantaman badai. Akan tetapi, bilamana pemerintah dan masyarakat Wakatobi tidak berhasil mengembangkannya sesuai prinsip-prinsip pengelolaan yang berwawasan lingkungan, maka akan terjadi kondisi yang dapat mengganggu pencapaian tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan pengelolaan spesifik yang merupakan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.

Pengelolaan PPK yang spesifik tersebut, agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan, maka mulai dari perencanaan pembangunan, pelaksanaan sampai evaluasi dan pengawasan, dibutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif. Masyarakat dapat berperan aktif jika ada rasa memiliki dan tanggung jawab penuh yang disebabkan aspirasi mereka telah tercakup di dalam proses pembangunan (pengelolaan berbasis partisipasi masyarakat). Pengelolaan berbasis partisipasi masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai pengelola sumberdaya alam dan jasa lingkungannya yang didukung oleh pemerintah dan dunia usaha.