• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gugus Pulau Kaledupa

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pembangunan Berkelanjutan Pulau-Pulau Kecil

Pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil tidak dapat dilakukan dengan pendekatan yang sama dengan yang umum dilakukan pada wilayah daratan induk (mainland). Karena pulau-pulau kecil memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan mainland. Pembangunan pulau-pulau kecil harus didasarkan pada karakteristik dan potensi lokal yang secara ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan bagi kesejahteraan masyarakat.

Pulau-pulau kecil dikenal sebagai wilayah yang memiliki karakteristik khas seperti luas daratannya yang kecil, relatif jauh dari daratan induk (mainland), relatif peka dalam konteks ekonomi maupun lingkungan (Srinivas 1998 diacu dalam Adrianto 2006). Dalam konteks faktor lingkungan, Hall (1999) membagi persoalan lingkungan PPK menjadi dua, yaitu: (a) persoalan

lingkungan secara umum, dan (b) persoalan lingkungan lokal. Sehingga pengaturan penggunaan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya merupakan prasyarat utama bagi pengelolaan lahan PPK secara berkelanjutan.

Dilihat dari karakteristik pulau kecil, maka diperlukan strategi khusus dalam mengembangkan potensi sumberdaya alam PPK, yang diarahkan mampu menghasilkan nilai ekonomi yang signifikan, namun tetap menjaga kelestarian lingkungan, dan sebagai modal utama yang dimiliki oleh PPK tersebut.

Di tingkat nasional, pengembangan PPK dilakukan berdasarkan isu nasional yang berkembang, sedangkan di tingkat daerah, pengembangan PPK lebih bersifat ekstraktif yang mendatangkan keuntungan ekonomi dengan mengesampingkan perlindungan terhadap ekosistem lingkungan dan proses- proses ekologi di dalamnya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip pembangunan secara berkelanjutan (DKP 2007).

Namun perlu dipahami bahwa kondisi ideal sulit dicapai dimana pembangunan dapat menghasilkan nilai ekonomi tinggi, sekaligus tanpa mengganggu kondisi lingkungan alam sekitarnya. Sehingga yang penting diperhatikan adalah seberapa jauh pembangunan ataupun aktivitas kegiatan dapat menimbulkan perubahan lingkungan hingga taraf yang dapat diterima, dalam arti lingkungan tetap mempunyai kesempatan untuk kembali ke kondisi awalnya. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan terhadap besaran kegiatan di pulau-pulau kecil, atau yang kita istilahkan sebagai daya dukung PPK.

Pembangunan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya mendapat perhatian yang memadai mengingat paradigma pembangunan yang masih berorientasi ke daratan (land based oriented). Retraubun (2006) menyatakan beberapa alasan rendahnya sentuhan pembangunan pada pulau-pulau kecil yaitu: (a) kebanyakan PPK tidak berpenghuni karena ukurannya yang relatif sangat kecil, (b) kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama, dan (c) kawasan ini cenderung terisolasi dan jauh dari ibukota provinsi sehingga diperlukan investasi yang besar untuk mengembangkannya.

Potensi PPK cukup besar untuk diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dapat menjadi modal dasar dalam roda perekonomian bangsa, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan PPK. Sumberdaya alam yang dimaksud adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources). Sumberdaya dapat pulih seperti sumberdaya perikanan, mangrove, padang lamun, rumput laut dan terumbu karang, sedangkan sumberdaya tidak dapat pulih seperti sumberdaya mineral dan energi. Jasa lingkungan (environmental services) seperti pariwisata, transportasi, pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan dan konservasi alam.

Selain berbagai potensi tersebut, ekosistem PPK juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan PPK sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri 1998). Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya PPK harus dibarengi dengan konservasi lingkungan dalam bentuk pengelolaan sumberdaya PPK yang berkelanjutan.

Daly (1990) diacu dalam Adrianto (2006), memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu: (a) untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), laju pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield); (b) laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal); dan (c) untuk sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable resource), laju deplesi sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Ketiga kriteria ini perlu pula diperhatikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan di wilayah PPK

Suatu kawasan pembangunan termasuk PPK yang wilayahnya sebagian besar atau keseluruhan berupa pesisir dan laut, menurut Dahuri (2003) dianggap berkelanjutan jika:

(a) Secara ekonomis, apabila di dalam kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan

(b) Secara ekologis, apabila sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi secara berlebih terhadap sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran (c) Secara sosial, apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik

(d) Secara hukum dan kelembagaan, apabila setiap stakeholders dapat mengendalikan diri untuk tidak merusak lingkungan dan penegakan hukum yang berwibawa serta konsisten.

Lebih lanjut dijabarkan bahwa pembangunan berkelanjutan suatu wilayah pesisir dan lautan secara ekologis terdapat lima persyaratan, yaitu: (a) Perlu adanya keharmonisan ruang antara ruang untuk kehidupan manusia

dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk kepentingan pelestarian lingkungan yang dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah pesisir dan lautan hendaknya tidak semua dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan, tetapi harus ada sebagian wilayah yang dialokasikan untuk zona preservasi dan zona konservasi

(b) Laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih tidak boleh melebihi kemampuan pulih dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (c) Pada saat mengeksploitasi sumberdaya tak dapat pulih harus

melaksanakan cara-cara yang tidak merusak lingkungan, sehingga tidak mematikan kelayakan usaha sektor lainnya

(d) Limbah yang dibuang ke wilayah pesisir dan lautan bukan yang bersifat Bahan Berbahaya Beracun (B3) seperti logam berat dan pestisida, tetapi jenis limbah organik dan unsur hara. Akan tetapi laju pembuangan limbah yang dapat terurai tersebut tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pesisir dan lautan

(e) Dalam memodifikasi bentang alam pesisir dan lautan untuk membangun pelabuhan, pemecah gelombang, home stay dan bangunan lainnya harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir dan lautan seperti pola arus, pasang surut, sifat geologi dan geomorfologi serta sifat biologis dan kimiawi sehingga tidak mengganggu tatanan dan fungsi ekosistem yang mendukungnya.

Pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologis tersebut pada dasarnya memperhatikan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir dan lautan dalam menyediakan alam dan jasa lingkungan bagi kehidupan manusia beserta segenap kiprahnya dalam pembangunan.

Secara ekonomis dan sosial, pembangunan berkelanjutan mempresentasikan permintaan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan di suatu wilayah. Permintaan tersebut tidak hanya berasal dari penduduk yang bermukim di wilayah atau pulau tersebut saja, tetapi dapat pula berasal dari penduduk luar.

Sebagai salah satu konsep dalam penyempurnaan konsep ekonomi konvensional, pembangunan berkelanjutan juga diartikan sebagai keadilan antar generasi yang menjamin bahwa generasi mendatang memiliki warisan barang modal buatan, sumberdaya alam, human capital, dan social capital, yang kondisinya lebih baik atau paling tidak sama dengan yang dimiliki oleh generasi sekarang.

Pembangunan berkelanjutan secara sosial tercermin dari:

(a) Investasi yang signifikan pada bidang pendidikan, kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia

(b) Mendorong terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan masyarakat (c) Adanya kebijakan dan program yang menciptakan kesetaraan gender (d) Berkembangnya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas publik.

Wujud pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah, secara sosial dicirikan oleh terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha seluruh anggota masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan, serta dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Sumberdaya alam PPK, merupakan suatu potensi alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam suatu kawasan, pemanfaatan sumberdaya alam ini sangat beragam tergantung jenis dan kepentingan yang memanfaatkan potensi tersebut. Diantara berbagai kepentingan yang memanfaatkan suatu kawasan, seringkali terjadi konflik baik antara sumberdaya alam dengan manusia, maupun diantara manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Kondisi ini sering mengakibatkan pengelolaan yang tidak terkendali sehingga pada akhirnya

dapat mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam dimaksud (Dahuri et al. 2008).

Pengelolaan sumberdaya alam PPK secara berkelanjutan harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik PPK itu sendiri baik karakteristik ekosistem maupun sosial ekonomi yang berbeda dengan wilayah- wilayah lain. Pengelolaan sumberdaya PPK memerlukan pendekatan yang terpadu mengingat seluruh komponen dalam sistem PPK tidak dapat terpisahkan satu sama lain (inextricably linked). Dengan pendekatan yang holistik dan adaptif maka keberlanjutan PPK dapat dicapai (Adrianto 2004).

Namun perlu diperhatikan bahwa permasalahan spesifik pulau kecil dalam pembangunan adalah mencapai pembangunan yang lestari (sustainable development), karena ukuran yang kecil tersebut merupakan suatu kelemahan. Dalam pembangunan selalu dibutuhkan energi dan sumberdaya serta perubahan dalam pulau sendiri, oleh karenanya dalam pembangunan pulau-pulau kecil perlu dipertimbangkan beberapa hal penting, seperti: (a) konservasi lingkungan, (b) keuntungan ekonomi, dan (c) keseimbangan antara keduanya (ekonomi dan lingkungan).

Keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan merupakan fokus yang sangat penting dan integral dalam konsep pembangunan pulau kecil yang lestari karena kemampuan untuk mencapai pembangunan yang lestari menurut Budiyatno (2002) tergantung pada partisipasi masyarakat dalam memelihara kondisi sebagai berikut:

(a) Energi, air dan sumberdaya lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan aktivitas pulau kecil

(b) Sistem alam yang mampu melayani jasa yang mendukung kehidupan seperti air dan udara bersih

(c) Teknologi tepat guna yang mampu mendukung semua sistem pendukung (d) Penghuni pulau kecil mampu dan fleksibel untuk mengatasi lingkungan

baru sebagai efek samping pembangunan

(e) Pemerintah dan masyarakat dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan di darat, laut maupun pesisir atau pantai di pulau kecil.

Wilayah PPK didominasi oleh laut, sehingga ketergantungan masyarakat pada sumberdaya laut sangat tinggi. Mata pencaharian masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan PPK sebagian besar adalah

nelayan. Potensi sumberdaya laut yang terdapat di wilayah PPK dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain untuk kegiatan perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budi daya, kegiatan budi daya rumput laut maupun untuk kegiatan wisata pantai dan wisata bahari.