• Tidak ada hasil yang ditemukan

a = nilai daya tarik lokasi alternatif

VI. KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

6.1 Keberlanjutan Kegiatan Perikanan Tangkap

Di wilayah Gugus Pulau Kaledupa pada tahun 2007 terdapat sekitar 1.288 nelayan tradisional yang menangkap ikan di sepanjang 135 km2 tubir terumbu karang datar. Sebagian besar pemenuhan protein oleh masyarakat

yaitu 20.000 gram pada tahun 2005, diperoleh dari hasil perikanan laut dangkal di daerah pesisir, serta beberapa jenis invetebrata lainnya, dan hanya dalam jumlah kecil yang berasal dari perikanan laut dalam. Jumlah tangkapan yang diperoleh, sebagian besar untuk konsumsi masyarakat lokal, dan hanya sebagian kecil yang dijual keluar daerah.

Teknik penangkapan ikan di wilayah ini cukup kompleks, dan areal menangkap ikan sangat tergantung pada musim. Terdapat sekitar 15 jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan setempat. Penggunaan alat tangkap ini selain tergantung musim, tergantung pula pada keadaan pasang surut air laut. Jenis-jenis alat tangkap yang digunakan di wilayah GPK antara lain: bubu (lokal=polo), sero (lokal=bala), gill net atau jaring insang (lokal=rambisi), seine net (lokal=jare lamba), gleaning (lokal=henga-hengaro

atau surabi), pancing tangan (line fishing), panah ikan (spear gun), pancing tonda (lokal=hekatonda) dan beberapa bentuk penangkapan ikan komersil yang masih dilakukan secara tradisional seperti: mancing gurita, ikan kerapu, lobster, teripang dan beberapa jenis invetebrata lainnya (lokal=meti-meti).

Perhitungan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pada kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa dimulai dari analisis bioekonomi

Gordon Schaefer. Dalam analisis ini diperhitungkan parameter biologi dan parameter ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap, berdasarkan data produksi (catch) dan upaya (effort) selama enam tahun, dimulai pada tahun 2003 sampai 2008.

Perhitungan parameter biologi dimulai dengan standarisasi alat tangkap, dengan maksud agar terjadi penyeragaman kekuatan alat tangkap, karena masing-masing alat tangkap memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan. Dengan melakukan standarisasi alat tangkap maka dapat diketahui jumlah total input dari usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan. Jika standarisasi tidak dilakukan, maka jumlah total unit upaya agregat (total effort) dari perikanan tidak dapat dianalisis.

Alat tangkap yang distandarisasi adalah sero (SR), jaring (JR), pancing (PG), panah (PN) dan bubu (BB). Pemilihan kelima jenis alat tangkap ini didasarkan pada jenis-jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa. Standarisasi effort dilakukan dengan cara membandingkan jumlah effort tertinggi terhadap effort terendah dari alat tangkap yang digunakan.

Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) diperoleh dengan cara membagi total produksi (catch) dengan total upaya (effort) yang beroperasi. Jumlah CPUE rata-rata sebesar 0,10 ton per unit, nilai CPUE tertinggi pada tahun 2008 sebesar 0,118 ton per unit dengan effort sebesar 5.284 unit, dan produksi sebesar 624,99 ton. Sementara nilai CPUE terendah pada tahun 2003 sebesar 0,084 ton per unit dengan effort sebesar 5.715 unit dan produksi sebesar 480,39 ton. Untuk hasil selengkapnya dari jumlah produksi (catch),

effort dan nilai CPUE pada kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Standarisasi alat tangkap, total produksi, total effort dan total CPUE di Gugus Pulau Kaledupa Tahun 2003 – 2008

Tahun Standarisasi Effort

Total Produksi (ton) Total Effort (trip) Total CPUE PG SR JG PN BB 2003 2112 3094 65 262 183 480,39 5715 0,084 2004 2496 2082 66 251 167 491,59 5062 0,097 2005 2496 2728 131 245 168 538,65 5768 0,093 2006 2496 2431 175 277 213 557,30 5592 0,100 2007 2496 2519 158 281 204 578,73 5658 0,102 2008 2496 2098 217 253 220 624,99 5284 0,118 Jumlah 14592 14951 811 1570 1155 3271,65 33079 0,5948 Rata-rata 2432 2492 135 262 192 545,27 5513 0,10

Sumber: Data hasil penelitian dan data DKP Kab. Wakatobi (berbagai tahun)

Setelah melakukan standarisasi alat tangkap, kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi sederhana dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square), yaitu dengan meregresikan antara Ln CPUEt+1

(sebagai variabel Y) dan Ln CPUEt (sebagai variabel X1) serta Et + Et+1

(sebagai variabel X2) sehingga diperoleh koefisien regresi dengan nilai intersep

(a = -0,362143274), koefisien untuk variabel x1 (b = 0,690478303) dan koefisien untuk variabel x2 (c = -0,000027). Setelah diperoleh nilai koefisien regresi maka nilai parameter biologi seperti tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q), dan daya dukung lingkungan perairan (K) dapat diduga. Gordon (1954) mengintroduksi parameter ekonomi yang digunakan adalah biaya input (c), harga ikan per ton (p) dan nilai discount faktor ( ). Parameter ekonomi tersebut adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Pendugaan-pendugaan parameter tersebut

menggunakan model produksi surplus. Nilai-nilai parameter biologi dan ekonomi dijabarkan pada Tabel 14 berikut ini.

Tabel 14 Parameter biologi dan ekonomi perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa

No. Keterangan Simbol Nilai

1. Tingkat pertumbuhan intrinstik r 0,3662

2. Koefisien kemampuan tangkap q 6,38811 x 105

3. Daya dukung lingkungan perairan (ton) K 4.858,461034

4. Harga ikan (Rp/ton) p 20.133.333

5. Biaya upaya penangkapan (Rp/trip) c 31.318

6. Discountfactor 4,879016417

Sumber: Diolah dari data primer, 2009

Dari nilai parameter biologi dan ekonomi, maka dapat dihitung nilai biomassa (x), jumlah tangkapan tangkapan (h), dan upaya tangkap (E). Dari

perhitungan, diperoleh nilai rata-rata harga ikan per ton sebesar Rp 20.133.333,-. Untuk melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya

sebesar Rp 31.318,- per trip.

Dari data parameter biologi dan ekonomi diatas, maka dapat dihitung nilai keberlanjutan perikanan tangkap berdasarkan metode Overlaping Generation Model (OLG), untuk mengetahui nilai biomassa generasi kini (xt), nilai fungsi pertumbuhan sumberdaya ikan (F(xt)), dan nilai panen sumberdaya ikan generasi kini (ht).

Berdasarkan nilai biomassa generasi kini (xt) dan nilai panen sumberdaya ikan generasi kini (ht), maka dapat dihitung nilai biomassa generasi selanjutnya (xt+1) dan nilai panen sumberdaya ikan generasi selanjutnya (ht+1).

Penilaian keberlanjutan sumberdaya antar generasi dalam hal ini pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dikatakan berkelanjutan jika nilai biomassa generasi kini (xt), nilai panen sumberdaya ikan generasi kini (ht), nilai biomassa generasi selanjutnya (xt+1) dan nilai panen sumberdaya ikan generasi selanjutnya (ht+1) seluruhnya harus bernilai positif.

Berdasarkan perhitungan keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap dengan menggunakan metode Overlaping Generation Model (OLG), menggunakan data parameter bioekonomi Gordon Schaefer, maka diperoleh hasil seperti disajikan pada Gambar 12.

-1,1E+22 -9E+21 -7E+21 -5E+21 -3E+21 -1E+21 1E+21 3E+21 5E+21 Generasi S u m b e rd a y a I k a n -3E+33 -3E+33 -2E+33 -2E+33 -1E+33 -5E+32 0 5E+32 S u m b e rd a y a I k a n

Biomass (Ton) 2429,230517 -9,03624E+21

Panen (Ton) 9,03624E+21 -2,84888E+33

t t + 1

Gambar 12 Nilai biomass dan panen sumberdaya ikan pada generasi kini (t) dan generasi selanjutnya (t+1) menggunakan metode OLG. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai biomassa generasi kini (xt) positif dan nilai panen sumberdaya ikan generasi kini (ht) juga positif. Akan tetapi nilai biomassa generasi selanjutnya (xt+1) bernilai negatif dan nilai panen sumberdaya ikan generasi selanjutnya (ht+1) juga negatif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa dengan model pengelolaan seperti sekarang ini, tidak berkelanjutan.

Kawasan Wakatobi telah menjadi wilayah tangkap nelayan setempat dan nelayan yang datang dari luar daerah. Masyarakat telah melakukan aktivitas sosial ekonomi sejak lama, bahkan sebelum penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional Laut. Karena itu tidak mudah untuk merubah kebiasaan masyarakat tersebut. Keadaan ini mempengaruhi pengelolaan sumberdaya di Gugus Pulau Kaledupa khususnya kegiatan perikanan tangkap. Banyak hal yang menjadi penyebab ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya untuk kegiatan perikanan tangkap. Dari hasil observasi dan penelitian di lapangan, dapat dijelaskan sebagai berikut: penyebab pertama adalah adanya penggunaan alat yang tidak efisien: dimana jumlah alat tangkap yang digunakan banyak, akan tetapi ikan hasil tangkapan nelayan jumlahnya sedikit dan berukuran kecil. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, maka akan menurunkan jumlah populasi ikan (stok) yang ada di Gugus

Pulau Kaledupa karena ikan tersebut tidak berkembang sampai masa reproduksinya.

Kedua, adanya cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan sianida serta merusak karang. Hal ini turut memberi andil bagi kerusakan sumberdaya laut di Gugus Pulau Kaledupa. Namun setelah mendapat penyuluhan tentang kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan yang tidak ramah lingkungan, kegiatan ini mulai ditingggalkan oleh masyarakat setempat.

Penyebab ketiga adalah keterbatasan sarana penangkapan yang digunakan oleh nelayan. Sebagian besar nelayan di Gugus Pulau Kaledupa adalah nelayan tradisional, yang menggunakan sarana penangkapan yang memiliki kemampuan terbatas, sehingga mereka lebih banyak terfokus untuk menangkap ikan di wilayah pesisir dan laut dangkal. Sementara masih ada potensi perikanan di laut dalam yang sulit diakses oleh nelayan tradisional. Hal ini akan menurunkan populasi ikan, khususnya di wilayah pesisir dan laut dangkal.

Keempat, faktor yang ikut memberi kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya laut untuk kegiatan perikanan tangkap di Gugus Pulau Kaledupa adalah peningkatan jumlah nelayan yang semakin banyak, terutama nelayan dari luar wilayah Gugus Pulau Kaledupa yang ikut menangkap ikan di wilayah ini. Keberadaan nelayan dari Mola, Lia, Kapota (Wanci), dari Sinjai (Sulawesi Selatan), Menui dan dari Kendari, turut memberi kontribusi terhadap pengurangan stok ikan di wilayah ini.

Dari beberapa penyebab menurunnya sumberdaya perikanan di Gugus Pulau Kaledupa, perlu dicarikan solusi terbaik untuk mengatasi masalah pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ini dapat terus memperoleh pendapatan, dan sumberdaya laut khususnya perikanan dapat tetap diwariskan pada generasi mendatang.

Beberapa alternatif penyelesaian yang dapat dilakukan agar kegiatan perikanan tangkap dapat berkelanjutan adalah dengan menggunakan alat tangkap yang efisien. Alat tangkap yang digunakan dapat mengurangi biaya produksi seminimal mungkin, namun dapat memperoleh hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilakukan dengan pemilihan alat tangkap yang tepat, penyeleksian alat tangkap dengan menggunakan alat tangkap yang dapat

menangkap ikan yang telah layak dikonsumsi atau dipasarkan tanpa turut menangkap ikan yang masih akan berkembang (bereproduksi).

Hal lain yang dapat dilakukan adalah meninggalkan kebiasaan pemanfaatan sumberdaya dengan cara merusak lingkungan, dan pemberian sanksi bagi pelaku yang merusak sumberdaya tersebut. Sehingga diperlukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya, tidak hanya dalam tahap pelaksanaan, namun bersama penegak hukum ikut berperan dalam tahap pengawasan.

Wilayah pesisir yang selama ini telah mengalami eksploitasi berlebih, sebaiknya dikembangkan perikanan budi daya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat setempat memperoleh pendapatan alternatif, pada lokasi yang mudah dijangkau dan akan mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya di wilayah pesisir tersebut.