• Tidak ada hasil yang ditemukan

a = nilai daya tarik lokasi alternatif

VI. KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

6.2 Keberlanjutan Kegiatan Budi Daya Rumput Laut

Kegiatan budi daya rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa mulai dilakukan oleh masyarakat setempat sejak tahun 1991. Akan tetapi kegiatan ini belum dikembangkan secara komersil, masyarakat masih membudidayakan rumput laut dari jenis lokal (garangga kansee). Kemudian pada tahun 1993, mulai diperkenalkan rumput laut jenis komersil yaitu Euchema cottonii, sehingga jumlah pembudidaya meningkat.

Pada periode selanjutnya, perkembangan areal budi daya dan jumlah pembudidaya bersifat fluktuatif, bahkan pada periode tahun 1997–1998, perkembangan kegiatan budi daya lambat dan cenderung konstan. Selama kurun waktu tersebut jumlah pembudidaya tidak mengalami pertambahan yang berarti, bahkan dapat dikatakan jumlahnya tetap. Kegiatan budi daya rumput laut kembali mulai mengalami perkembangan sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Perkembangan budi daya rumput laut terindikasi dari pertambahan areal budi daya, yang semula hanya 45 Ha pada tahun 1993 menjadi 3.139 Ha pada tahun 2008. Jumlah pembudidaya rumput laut mengalami peningkatan, dari 37 pembudidaya pada tahun 1993, meningkat menjadi 1.409 pembudidaya pada tahun 2008. Jumlah produksi rumput laut juga mengalami peningkatan dari 35,59 ton pada tahun 1993, meningkat menjadi 628,33 ton pada tahun 2008 (Mansyur 2009).

Jenis rumput laut yang dibudidayakan di daerah ini didominasi jenis

Euchema cottonii dan sedikit jenis Gracilaria spp. Dalam membudidayakan rumput laut, pembudidaya rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa pada umumnya menggunakan metode long line dan metode lepas dasar pada musim teduh.

Jenis rumput laut Euchema cottonii mempunyai ciri khusus yaitu memiliki duri-duri (benjolan-benjolan) pada thallus yang runcing, memanjang dan agak jarang. Warna rumput laut ada yang berwarna merah, coklat kemerahan, hijau kuning, hijau terang, hijau olive, dan bercabang tidak teratur, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus (Kadi dan Atmaja 1988; Anggadiredja et al. 2008).

Rumput laut jenis ini terutama dimanfaatkan dalam bentuk kappa- carrageenan. Keraginan merupakan getah rumput laut yang terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang terbesar dari berat kering rumput laut dibandingkan komponen lain, dapat diekstraksi menggunakan air panas (Hellebust dan Cragie 1978; Glicksman 1983 diacu dalam Wilkinson dan Moore 1982). Dalam industri pangan keraginan dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, bir, sosis, salad, es krim, susu kental manis, coklat, jeli, dll. Pada industri farmasi digunakan dalam pembuatan obat berupa sirup, tablet, dsb. Sedangkan dalam industri kosmetik digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dll.

Mengingat potensi manfaat rumput laut yang besar dan jumlah pembudidaya yang terus meningkat, maka dalam perencanaan budi daya khususnya di wilayah GPK, harus didasarkan pada potensi lahan yang disesuaikan dengan kapasitas lingkungan (carrying capacity), dan kesesuaian pengaturan pemanfaatan ruang berdasarkan karakteristiknya, agar pengelolaan kawasan budi daya rumput laut dapat berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metode Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) yang dimodifikasi dari Campbell (1999) dan Adrianto (2005). Berdasarkan analisis tersebut, diharapkan dapat direkomendasikan rencana pengelolaan kawasan budi daya rumput laut yang berkelanjutan. Dalam CLSA dimulai dengan identifikasi keadaan pembudidaya, mencakup kerentanan dan kekuatan yang ada dimasyarakat dan bagaimana cara membangun kekuatan

tersebut yang kemudian dapat digunakan sebagai modal atau aset, yang diproses untuk menghasilkan strategi Lovelihood, sehingga dapat direkomendasikan rencana pengelolaan kegiatan budidaya rumput laut.

Namun sebelum dilakukan kajian lebih mendalam menggunakan metode CLSA tersebut, maka perlu dikaji terlebih dahulu kondisi riil pembudidaya rumput laut berdasarkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan budi daya rumput laut, yang merupakan mata pencaharian utama responden yang diteliti. Pendapatan tersebut diproyeksikan terhadap upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Provinsi Sulawesi Tenggara dan luas lahan yang dimiliki oleh masing-masing pembudidaya (Gambar 13). Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan pendapatan dari pembudidaya rumput laut dengan pendapatan masyarakat lain secara umum (berdasarkan UMR). Asumsi yang digunakan yaitu bila pendapatan pembudidaya rumput laut lebih besar dari UMR, maka ada keberlanjutan mata pencaharian pembudidaya di masa mendatang.

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20

Luas Lahan Budidaya (ha)

P e n d a p a ta n ( R p /b u la n ) Pendapatan (Rp/bln) UMR (Rp/bln) Power ( Pendapatan (Rp/bln))

Gambar 13 Sebaran pendapatan pembudidaya rumput laut di wilayah GPK terhadap luas lahan dan UMR Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dari grafik di atas menunjukkan adanya tren pendapatan responden yang mempunyai pendapatan di atas UMR yang berlaku di Provinsi Sulawesi Tenggara, tergantung pada luas lahan budi daya yang dimiliki oleh pembudidaya. Upah minimum regional yang ditetapkan berdasarkan PERDA Provinsi Sulawesi Tenggara No. 730 Tahun 2008 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Sektoral Provinsi Sulawesi Tenggara,

ditetapkan sebesar Rp 700.000,- per bulan. UMR yang ditetapkan tersebut telah mengacu pada standar pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Bila dikaitkan dengan grafik di atas, maka dapat dikatakan tidak ada keberlanjutan matapencaharian pembudidaya di wilayah GPK, bila luas lahan yang dimiliki di bawah 0,5 ha. Sehingga bila dibandingkan dengan UMR, agar pembudidaya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak dari kegiatan budi daya rumput laut yang diusahakannya, maka pembudidaya harus memiliki luas lahan budi daya di atas 0,5 ha per pembudidaya.

Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa pada beberapa pembudidaya, pendapatan yang diperoleh pembudidaya rumput laut masih kurang. Kurangnya pendapatan pembudidaya rumput laut akan mengancam keberlanjutan matapencaharian mereka yang bersumber dari kegiatan budi daya rumput laut. Masalah ini perlu mendapat perhatian guna menjamin kegiatan usaha pembudidaya dimasa mendatang. Bila dilihat dari sebaran lokasi budi daya, siklus tanam, maka dapat ditemukan beberapa penyebab kurangnya pendapatan pembudidaya rumput laut. Sebab yang utama adalah kegiatan budi daya yang dilakukan pada lokasi-lokasi yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk dapat berproduksi pada setiap musim (pada lokasi yang sesuai untuk budi daya). Sebagai contoh, pembudidaya yang melakukan kegiatan pada wilayah bagian timur Pulau Kaledupa (penduduk Desa Darawa), hanya dapat berproduksi dan menghasilkan rumput laut pada musim timur dan musim pancaroba saja, sedangkan pada musim barat tidak berproduksi. Pembudidaya rumput laut tidak dapat melakukan kegiatan budi daya dan menghasilkan produksi rumput laut pada semua musim, dari hasil penelitian Mansyur (2009) menunjukkan bahwa kegiatan budi daya rumput laut akan memberikan hasil maksimal, berupa produksi yang tinggi dan dapat berproduksi sepanjang tahun (pada tiga musim), jika lokasi budi daya berada pada kawasan sangat sesuai untuk budi daya.

Adanya indikasi ketidakberlanjutan matapencaharian yang dialami pembudidaya rumput laut perlu dicarikan solusinya. Dimana salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menambah luas lahan yang dimiliki oleh pembudidaya, sehingga biaya produksi yang harus dikeluarkan dapat tertutupi oleh penerimaan yang diperolehnya. Hal ini memungkinkan sebab dari segi potensi dan peluang pasar masih sangat menjanjikan untuk dikembangkan.

-5000000 0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000 30000000 0 10 20 30 40 50

Pembudidaya Rumput Laut

P e n d a p a ta n / B ia y a ( R p )

Pendapatan Total (Rp) Biaya Total (Rp)

Poly. (Pendapatan Total (Rp)) Poly. (Biaya Total (Rp))

Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan, harus ada jaminan kesejahteraan ekonomi bagi semua pihak, terutama pelaku pembangunan (pembudidaya rumput laut).

Selain itu, hal menarik yang perlu dikaji dan mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK untuk kegiatan budi daya rumput laut adalah mengenai pola pengeluaran pembudidaya rumput laut untuk kegiatan usahanya (Gambar 14). Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan budi daya rumput laut lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan budi daya. Pola pendapatan dan pengeluaran serta perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran dapat diidentifikasi. Asumsi yang digunakan yaitu jika pendapatan pembudidaya lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budi daya, maka kegiatan budi daya rumput laut layak dikembangkan, sebab secara ekonomi kegiatan ini dapat memberi keuntungan bagi pembudidaya.

Gambar 14 Sebaran pendapatan pembudidaya rumput laut terhadap pengeluaran usaha budi daya rumput laut di wilayah GPK.

Dari grafik di atas, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pembudidaya berada di atas biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan budi daya. Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian ini mencakup biaya tetap dan biaya variabel, yaitu biaya sarana produksi seperti bibit, tali, biaya tenaga kerja dan biaya operasional. Dari hasil tersebut mengindikasikan bahwa

kegiatan budi daya rumput laut secara ekonomi layak dikembangkan, sebab masih memberikan keuntungan pada pembudidaya rumput laut. Namun bila dikaitkan dengan Gambar 12, ternyata pendapatan yang diperoleh pembudidaya masih lebih rendah dari UMR yang berlaku di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya dimasa mendatang. Peningkatan pendapatan

pembudidaya dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: (a) pembudidaya melakukan kegiatan budi daya hanya pada lokasi-lokasi

sangat sesuai untuk kegiatan budi daya, agar produksi rumput laut dapat dihasilkan pada semua musim (musim barat, musim timur dan musim pancaroba); (b) luas lahan yang diusahakan oleh pembudidaya, agar mencapai skala ekonomi dan menguntungkan pembudidaya, maka setiap pembudidaya harus memiliki lahan minimal seluas 0,5 hektar; (c) untuk mengurangi biaya produksi, khususnya biaya untuk pembelian bibit, maka pembudidaya sebaiknya bekerjasama dengan pembudidaya di lokasi lain untuk melakukan barter bibit. Mekanisme yang dilakukan adalah pada musim timur, lokasi budi daya yang berada di wilayah barat menjadi penyedia bibit bagi pembudidaya di wilayah timur, sebaliknya pada musim barat, lokasi budi daya yang berada pada wilayah timur menjadi penyedia bibit bagi pembudidaya di wilayah barat. Kegiatan barter yang dilakukan tersebut dapat mengurangi biaya yang dialokasikan untuk pembelian bibit. Mekanisme ini dapat dilaksanakan sebab pada musim barat, lokasi budidaya yang terletak di wilayah timur, rumput laut yang dibudidayaakan tidak dapat bertahan sampai tahap produksi (hanya dapat digunakan sebagai bibit), demikian pula sebaliknya pada musim timur, lokasi budidaya yang terletak di wilayah barat hanya dapat menghasilkan bibit, sebab bila dipertahankan sampai masa produksi, rumput laut yang dibudidayakan terserang penyakit, dan banyak yang mati.

Berdasarkan kondisi riil pembudidaya yang ada di wilayah GPK, dapat disusun rencana kegiatan pengelolaan budi daya rumput laut yang akan dilakukan di wilayah GPK. Penyusunan rencana kegiatan dilakukan dengan menggunakan metode Coastal Livelihood System Analysis (CLSA). Penggunaan CLSA dimulai dengan mengidentifikasi kerentanan yang ada di wilayah GPK. Kemudian mengidentifikasi aset livelihood yang dapat digunakan

oleh pembudidaya untuk memperoleh dan meningkatkan pendapatannya. Selanjutnya, dari kondisi kerentanan yang menjadi faktor pembatas (kendala) dan aset livelihood yang menjadi modal, diproses dan disusun strategi

livelihood, sehingga diperoleh hasil livelihood berupa rencana pengelolaan kegiatan budi daya rumput laut yang dapat dikembangkan di wilayah GPK.

Tahapan pertama dalam metode CLSA adalah melakukan identifikasi kondisi rentan yang terdapat di lingkungan masyarakat beserta faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kerentanan. Hal ini penting karena akan berdampak pada kelangsungan matapencaharian dan kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasi, maka dapat diuraikan kondisi rentan yang ada di wilayah GPK beserta faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kerentanan tersebut (Tabel 15). Kondisi rentan yang mempengaruhi kegiatan budi daya rumput laut berasal dari luar, dapat berupa tekanan dan goncangan dan musim yang menjadi faktor pembatas bagi pembudidaya dalam mengembangkan usahanya.

Tabel 15 Faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada kondisi kerentanan di wilayah GPK

Tekanan Goncangan Musim

- Meningkatnya jumlah penduduk yang menimbulkan tekanan pada sumberdaya PPK - Berkurangnya stok sumberdaya laut - Meningkatnya angka kemiskinan - Menurunnya permintaan pasar - Meningkatnya degradasi lingkungan (hilangnya ekosistem mangrove, terumbu karang, hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat) - Adanya konflik pemanfaatan sumberdaya - Pemanfaatan sumberdaya laut menggunakan cara-cara destruktif

- Dampak dari krisis global - Adanya bencana alam

berupa angin topan yang menyebabkan kerusakan pada rumput laut yang dibudidayakan - Adanya perubahan musim yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya laut sehingga pembudidaya tidak dapat berproduksi sepanjang tahun - Adanya musim

penyakit yang

menyerang komoditas rumput laut yang dibudidayakan - Adanya musim

permintaan jenis rumput laut tertentu - Adanya musim dimana

banyak tenaga kerja upahan

Sumber: Modifikasi dari Campbell, 1999

Sumberdaya pesisir dan PPK yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap sumberdaya pesisir dan PPK yang menjadi sumber penghidupannya.

Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi pada meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir dan PPK. Selain itu masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir dan PPK sering kali memarginalkan penduduk setempat, sehingga menyebabkan kemiskinan menjadi semakin akut. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, sehingga tekanan terhadap sumberdaya laut dapat diminimalisir.

Wilayah pesisir dan PPK yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan kawasan konservasi dan sempadan pantai.

Dari faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan di lingkungan masyarakat, pemerintah dapat mengontrol melalui kebijakan yang dapat dijadikan aturan (pedoman) dalam pengelolaan sumberdaya laut, sehingga akan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kondisi kerentanan tersebut. Selain itu, pelibatan masyarakat dan swasta secara positif adalah mutlak dilakukan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di wilayah GPK.

Setelah mengidentifikasi kerentanan, maka CLSA harus pula memahami apa yang menjadi kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat setempat, serta bagaimana cara membangun dan meningkatkan kekuatan tersebut. Kemudian CLSA merujuk pada kekuatan itu untuk digunakan sebagai modal (aset) dalam pengelolaan sumberdaya alam. Terdapat lima tipe modal yang menjadi aset dalam pengelolaan sumberdaya laut yaitu: modal manusia, sosial budaya, sumberdaya, fisik dan finansial. Adapun konsep CLSA yang dimodifikasi dari Campbell (1999) dan Adrianto (2005) dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini.

Tabel 16 Metode Coastal Livelihood System Analysis (CLSA)

Aset Livelihood Livelihood Strategi

Modal Sumberdaya:

- Kualitas perairan (fisik, kimia dan biologi)

- Sumberdaya perikanan dan kelautan

- Ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun)

- Potensi sumberdaya alam lainnya seperti lahan pertanian, kebun dan hutan

Sumberdaya:

- Mempertahankan dan meningkatkan kualitas perairan

- Mengoptimalkan hasil budi daya

- Menjaga kelestarian dan rehabilitasi ekosistem pesisir

- Sebagai sumber mata pencaharian alternatif dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup

Modal Sosial Budaya:

- Kelompok masyarakat

- Hubungan antar masyarakat dan kelompok

- Kekeluargaan

Sosial Budaya:

- Menjaga hubungan yang baik antar kelompok masyarakat

- Memperluas jaringan perdagangan

- Menciptakan hubungan yang didasarkan pada kekeluargaan

Modal Fisik:

- Pelabuhan dan transportasi

- Pasar

- Energi

- Pengolahan (penanganan pasca panen)

- Teknologi budi daya (sistem dan manajemen budi daya)

Fisik:

- Peningkatan fasilitas dan infrastruktur penunjang sektor perikanan dan kelautan

- Investasi dibidang pengolahan sumberdaya perikanan dan kelautan

- Akses terhadap pasar dan informasi teknologi budi daya

Modal Manusia:

- Keahlian dan keterampilan

- Pendidikan dan kesehatan

Manusia:

- Peningkatan keahlian dan keterampilan melalui pelatihan dalam hal kemampuan teknik budi daya, pengolahan dan manajemen kredit

- Pemerintah memberi kebijakan untuk peningkatan pendidikan dan kesehatan Modal Finansial:

- Ketersediaan kredit

- Tabungan dan asuransi

Finansial:

- Penguatan modal usaha oleh pemerintah dan dunia perbankan

Sumber: Modifikasi dari Campbell (1999) dan Adrianto (2005)

Berdasarkan konsep CLSA, kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada di wilayah GPK, sehingga dapat dijabarkan suatu formula pengelolaan sumberdaya alam untuk kegiatan budi daya rumput laut bagi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Gugus Pulau Kaledupa, seperti diuraikan dalam Tabel 17.

Kegiatan budi daya rumput laut yang ada di Gugus Pulau Kaledupa, pengelolaanya harus memperhitungkan seluruh aspek yang terkait sehingga keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem yang melingkupinya dapat tetap terjaga. Aspek tersebut antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan sumberdaya manusia.

Tabel 17 Rencana pengelolaan kawasan budi daya rumput laut di wilayah GPK

Aset Rencana Pengelolaan Pelaksana

Modal Sumberdaya Penataan kawasan budi daya laut

Menjaga keberlanjutan sumberdaya pesisir

Peningkatan kualitas rumput laut

Pemerintah, swasta dan masyarakat Modal Sosial Memperkuat kelembagaan sosial dan

ekonomi seperti koperasi pembudidaya dan kelompok pembudidaya

Membuat aturan yang dapat ditaati bersama

Pemerintah, swasta dan masyarakat

Modal Fisik Pembangunan infrastruktur Akses pasar

Pemerintah dan swasta Modal Finansial Penguatan modal usaha melalui

pemberian kredit

Membentuk lembaga keuangan mikro dan lembaga penjamin kredit

Pemerintah, swasta dan masyarakat Sumber: Diolah dari data primer, 2009

Dari matriks rencana pengelolaan kawasan budidaya rumput laut yang telah dikemukakan di atas berdasarkan pada aset yang dimiliki oleh masyarakat, maka dapat diuraikan bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di Gugus Pulau Kaledupa, yaitu:

(1) Penataan Kawasan Budi Daya Laut

Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir digunakan untuk berbagai aktivitas seperti perikanan tangkap, perikanan budi daya, daerah perlindungan, pemukiman, pariwisata, pelabuhan dan industri. Setiap aktivitas tersebut membutuhkan ruang, sehingga diperlukan kebijakan penataan ruang agar tidak terjadi konflik dalam pemanfaatan ruang untuk berbagai aktivitas tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan penentuan zona dari masing-masing kegiatan.

Wilayah pesisir di Gugus Pulau Kaledupa memiliki garis pantai sepanjang 109,6 km, dan terdapat berbagai aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan kawasan ini. Berbagai aktivitas seperti perikanan tangkap, budi daya rumput laut, pariwisata, pemukiman penduduk, lalu lintas pelayaran dan pelabuhan. Berbagai kegiatan tersebut perlu menjadi perhatian terutama dalam hal penataan ruangnya.

Untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang yang dapat diterapkan maka diperlukan pelibatan masyarakat dan stakeholders dalam penyusunannya. Hal ini dilakukan agar dalam pelaksanaannya tidak ada ada

pihak yang merasa dirugikan, sehingga setiap kegiatan dapat berjalan dengan baik, dan konflik pemanfaatan dapat dihindari.

Kegiatan budi daya laut merupakan salah satu kegiatan yang memanfaatkan kawasan pesisir khususnya perairan pantai. Tidak semua perairan pantai yang ada di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya laut. Untuk budi daya rumput laut perlu diperhatikan beberapa persyaratan berikut: (a) tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir, karang dan potongan atau pecahan karang, yang menunjukkan bahwa perairan dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut, sedangkan yang berpengaruh terhadap penyebarannya adalah sifat fisika substrat, yaitu tingkat kekerasan dan kehalusannya, (b) gerakan air (ombak dan arus), merupakan salah satu kebutuhan untuk penyebaran stadia reproduksi dari persporaan rumput laut, pelekatan dan pertumbuhannya, (c) salinitas atau kadar garam air laut sangat menentukan penyebaran dan keberadaan rumput laut (Soerjodinoto 1969 diacu dalam Sulistijo 1996), (d) temperatur atau suhu air merupakan faktor sekunder bagi kehidupan rumput laut dan fluktuasi yang tinggi dapat terhindar karena adanya water mixing, (e) cahaya, baik mutu maupun kuantitasnya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Pembentukan spora dan pembelahan sel dirangsang oleh cahaya merah berintensitas tinggi, dan pada perairan yang jernih, rumput laut dapat tumbuh hingga kedalaman 10–30 meter, (f) bintang laut tertentu seperti moluska (limpet dan Litorina) dan ikan dapat memakan spora dan menghambat pertumbuhan rumput laut muda (Soerjodinoto 1969; Mubarak 1981 diacu dalam Sulistijo 1996). Selain persyaratan khusus di atas, diperlukan persyaratan umum lahan yang akan diusahakan untuk kegiatan budi daya laut seperti lokasi harus terlindung dari hempasan ombak dan angin yang kuat, mudah dijangkau, dan jauh dari pengaruh pencemaran perairan.

Kebutuhan ruang untuk budi daya laut mengacu pada Aji dan Murdjani (1986); Indriani dan Sumiarsih (1999); dan Anggadiredja dan Zathika (2006), bahwa luasan satu unit budidaya rumput laut dengan metode dekat dasar sebesar 100 m2, metode rakit sebesar 12,5 m2, dan metode long line sebesar 150 m2.

Berdasarkan data analisis spasial hasil penelitian Manafi (2009) dengan menggunakan pemetaan citra landsat diperoleh luas perairan di Gugus Pulau Kaledupa sebesar 12.153,27 ha atau 121.532.750 m2. Dari hasil pengolahan data dan hasil analisis kesesuaian diperoleh luas wilayah yang sesuai untuk budi daya laut sebesar 7.686,75 ha atau 63,25% atau 76.867.540 m2, sesuai bersyarat seluas 3.355,21 ha atau 27,61%, dan tidak sesuai seluas 1.111,31 ha atau 9,14%.

Selain luasan areal budi daya yang diperhitungkan berdasarkan kesesuaian dan daya dukung lingkungan, beberapa hal penting lainnya yang perlu pula menjadi perhatian dalam penataan kawasan budi daya laut, adalah:

a. Pengaturan jalur pelayaran nelayan tangkap tradisional

Lokasi budi daya rumput laut membutuhkan kondisi lingkungan perairan yang sesuai dan aksesibilitasnya mudah terjangkau. Namun lokasi tersebut dapat pula merupakan daerah lalulintas pelayaran nelayan tangkap, khususnya nelayan tangkap tradisional yang banyak terdapat di Gugus Pulau Kaledupa.

Pengaturan dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan antara pembudidaya rumput laut dengan nelayan tangkap khususnya nelayan tangkap tradisional yang beroperasi di Gugus Pulau Kaledupa. Beberapa kasus yang terjadi seperti: (a) kerusakan rumput laut yang dibudidayakan atau kerusakan tali-tali pengikat rumput laut sebagai akibat wilayah budidayanya dilewati oleh kapal-kapal nelayan tangkap, dan (b) pencemaran akibat limbah bahan bakar yang digunakan oleh kapal nelayan. Dengan adanya pengaturan jalur pelayaran, kasus seperti di atas tidak akan terjadi lagi.

Mengingat hal tersebut, selain penentuan lokasi budi daya yang sesuai, diperlukan pula pengaturan jalur pelayaran bagi nelayan tangkap agar kedua