• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gugus Pulau Kaledupa

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Konsep dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK)

Sebuah pulau adalah bidang tanah yang lebih kecil dari benua dan lebih besar dari karang, yang dikelilingi air. Gugusan pulau dinamakan kepulauan (archipelago). Definisi "pulau" sesuai dengan konvensi PBB tentang Hukum Laut International tahun 1982 (UNCLOS ’82), pasal 121 menyatakan pulau adalah: daratan yang dibentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas muka air tinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang.

Hess (1990); Dahuri (1998), dan Bengen (2001) mendefinisikan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil, yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular. Daratan yang pada saat pasang tertinggi permukaannya ditutupi air tidak termasuk kategori pulau kecil. Selain itu terdapat pula batasan yang menyebutkan pulau kecil adalah pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang (Bell et al. 1990 diacu dalam Dahuri 1998; Hess 1990). Batasan lain adalah yang dikemukakan oleh Falkland (1995) dan

Ongkosongo (1998), yang menyatakan pulau kecil mempunyai luas 5.000 km2

atau dengan luas 2.000 km2.

Mengacu pada UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 20 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Pulau- Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya mendefinisikan batasan Pulau Kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Ukuran pulau sangat kecil mempunyai luas maksimum 1000 km2 dengan lebar kurang dari 3 km (Hehanusa 1995; Falkland 1995). Unesco (1991) diacu dalam Bengen dan Retraubun (2006) menyatakan pulau sangat kecil luasnya tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km.

Terdapat tiga kriteria dalam membuat batasan pulau kecil, diantaranya batasan fisik (luas pulau), batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan keunikan budaya, serta dapat pula ditambahkan kemandirian penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk setempat memiliki ketergantungan yang tinggi pada pulau induknya dalam memenuhi kebutuhan pokok, dan memiliki tiga kriteria lainnya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil (Dahuri 1998).

Dari uraian di atas untuk membuat batasan pengertian pulau kecil, digunakan tiga kriteria yaitu: (a) batasan fisik pulau menyangkut ukuran luas

pulau, (b) batasan penduduk pulau menyangkut jumlah penduduk, dan (c) batasan ekologis menyangkut keterisolasian wilayah dengan spesies

endemiknya. Dalam penelitian ini digunakan batasan pengertian yaitu pulau kecil merupakan pulau dengan luas maksimum 2.000 km2 dengan tanpa batasan jumlah penduduk. Sedangkan pulau sangat kecil merupakan pulau dengan luas maksimum 100 km2 dengan lebar tidak lebih besar dari 3 km.

2.4 Karakteristik dan Permasalahan Pulau-Pulau Kecil

Setelah mendefinisikan pulau-pulau kecil, maka dalam pengelolaan sumberdaya PPK, perlu memperhatikan karakteristik PPK. Karakteristik PPK yang dikemukakan DKP (2007) terbagi atas karakteristik PPK secara fisik, secara ekologis serta secara sosial budaya dan ekonomi. Karakteristik PPK secara fisik terdiri atas: (a) terpisah dari pulau besar, (b) dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri, (c) lebih banyak dipengaruhi oleh hidro-

klimat laut, (d) rentan terhadap perubahan alam atau karena ulah manusia, (e) substrat pulau kecil bergantung pada kondisi dan proses geologi dan

morfologi pulau itu sendiri. Sementara substrat pada wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh jenis biota yang ada disekitar pulau (terumbu karang, moluska, ekinodermata, dll), (f) kedalaman laut rata-rata antar pulau sangat ditentukan oleh kondisi geografis dan letak pulau, dan (g) dinamika oseanografi (arus, pasang-surut) yang unik pada setiap pulau. Karakteristik PPK secara ekologis yaitu: (a) memiliki spesies flora dan fauna yang spesifik, (b) memiliki resiko perubahan lingkungan yang tinggi, (c) memiliki daya dukung yang spesifik, dan (d) biasanya memiliki biodiversitas ekosistem laut cukup melimpah. Sedangkan karakteristik PPK secara sosial budaya dan ekonomi adalah: (a) ada pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni, (b) memiliki budaya, adat dan kebiasaan yang unik, (c) memiliki kondisi sosial ekonomi yang khas, (d) biasanya memiliki kepadatan penduduk terbatas (rendah), (e) ketergantungan ekonomi pada perkembangan ekonomi luar pulau (pulau induk atau kontinen), (f) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia, dan (g) aksesibilitas rendah.

Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural disasters) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio 1995; Adrianto dan Matsuda 2002). Dampak bencana alam terhadap ekonomi PPK tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pula (Adrianto dan Matsuda 2002).

Dahuri (1998); Sugandhy (1999); Yudhohusodo (1998); Sriwidjoko (1998); DKP (2007); Solomon dan Forbes (1999) mengemukakan beberapa masalah yang menonjol pada PPK di Indonesia sebagai akibat kondisi biogeofisik pulau-pulau tersebut yaitu:

Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah besar spesies endemik dan keanekaragaman hayati tipikal yang bernilai tinggi. Apabila terjadi perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies tadi

Secara ekologis, PPK amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan, arus, hujan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti dapat merubah garis pantai pulau kecil. Degradasi garis pantai selain akibat dari proses alami, juga disebabkan oleh aktivitas manusia. Kegiatan manusia yang mengakibatkan

degradasi garis pantai, antara lain: pembukaan hutan pesisir untuk pemukiman, tambak, infrastruktur dan lainnya yang mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Akibatnya terjadi penurunan jumlah makhluk hidup, baik hewan, tumbuhan maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut

Pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat kesulitan transportasi dan sumberdaya manusia. Pulau ini akan tetap dapat dikembangkan tetapi memerlukan biaya yang lebih besar Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air (catchment area) yang

sangat terbatas, sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan, seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air, sulit dikembangkan karena dibatasi oleh ketersediaan air tawar

Sampai saat ini belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap PPK, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif dan efisien

Pengelolaan PPK belum terintegrasi dengan baik dengan pengelolaan daerah pesisir dan daratan. Hal lain yang sering menjadi masalah adalah keterbatasan pemerintah daerah dan minimnya alokasi dana untuk pengembangan PPK

Lemahnya pengawasan dan pengamanan di pulau-pulau kecil terhadap berbagai kegiatan

Sedimentasi dan pencemaran, sebagai akibat kegiatan manusia di lahan atas (up land), seperti: penebangan hutan, penambangan di daerah aliran sungai (DAS), pembukaan lahan untuk pertanian atau pemukiman, pembuangan sampah dan limbah rumah tangga serta industri

Degradasi terumbu karang, biasanya diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti: sebagai sumber pangan (penangkapan melalui peledakan, peracunan, tangkap lebih), sebagai sumber bahan bangunan (penggalian karang, pertambangan), komoditas perdagangan (eksploitasi ikan hias melebihi potensi lestari), dan kegiatan wisata yang intensif (perilaku wisatawan)

Degradasi dan konversi hutan mangrove, sebagai akibat pertumbuhan wilayah dan kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, pertambakan, bahan baku kertas, kayu bakar, dan lainnya

Menurunnya keanekaragaman hayati, sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur dan merubah struktur ekologi komunitas biota laut yang mengakibatkan menurunnya keanekaragaman hayati.

Selain itu pembangunan pulau kecil juga menghadapi kendala ekologis berupa kerentanan ekologis akibat gangguan pembangunan (Hein 1990). Menurut Fauzi (2002) terdapat empat kendala khas pulau-pulau kecil yang harus dipertimbangkan didalam penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil, yaitu ukuran luasnya yang kecil (smallness), isolasi, ketergantungan (dependence), dan kerentanannya (vulnerability).

Lemahnya kebijakan pemerintah mempengaruhi perilaku dunia usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Kinerja yang rendah ini diindikasikan dalam bentuk eksploitasi berlebihan atas sumberdaya alam, bermasalahnya upaya konservasi, terampasnya sumber genetika, terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya, berlangsungnya marjinalisasi masyarakat lokal di sekitar pulau-pulau kecil tersebut. Permasalahan ini dipertajam dengan lemahnya posisi negara terhadap tekanan pihak asing dan adanya determinasi global.

Permasalahan spesifik pulau kecil dalam pembangunan adalah mencapai pembangunan yang lestari (sustainable development), karena ukuran yang kecil tersebut merupakan suatu kelemahan. Dalam pembangunan selalu dibutuhkan energi dan sumberdaya serta perubahan dalam pulau sendiri, oleh karenanya dalam pembangunan pulau-pulau kecil perlu dipertimbangkan beberapa hal penting, seperti: (a) konservasi lingkungan, (b) keuntungan ekonomi, dan (c) keseimbangan antara keduanya (ekonomi dan lingkungan).

Keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan merupakan fokus yang sangat penting dan integral dalam konsep pembangunan pulau kecil yang lestari, karena kemampuan untuk mencapai pembangunan yang lestari tergantung pada partisipasi masyarakat dalam memelihara kondisi sebagai berikut: (a) energi, air dan sumberdaya lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan aktivitas pulau kecil, (b) sistem alam yang mampu melayani jasa yang mendukung kehidupan seperti air dan udara bersih, (c) teknologi tepat

guna yang mampu mendukung semua sistem pendukung, (d) penghuni pulau kecil mampu dan fleksibel untuk mengatasi lingkungan baru sebagai efek samping pembangunan, dan (e) pemerintah dan masyarakat dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan di darat, laut maupun pesisir atau pantai di pulau kecil (Budiyatno 2002).

Beberapa kendala yang dihadapi dalam penyelesaian masalah pulau- pulau kecil menurut Simatupang (1999) adalah:

(a) Ukuran kecil dan lokasinya yang terpencil atau terisolir, menyebabkan penyediaan sarana menjadi sangat mahal dan tidak efisien. Sehingga interaksi atau komunikasi dengan dunia luar menjadi terbatas

(b) Akibat kendala tersebut, PPK banyak yang belum berpenduduk , kalaupun ada relatif terbelakang, rendah pendidikan serta sulit mendapatkan tenaga kerja yang memadai keahlian dan keterampilannya

(c) Ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomis yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi, turut menghambat pembangunan. Sehingga secara ekonomi kurang memiliki akses ke pasar serta sistem transportasi menjadi sangat lemah (d) Adanya keterbatasan material yang tidak dimiliki PPK, sehingga

memerlukan pasokan dari luar, bahkan air tawar pun seringkali harus didatangkan dari luar pulau

(e) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.