• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gugus Pulau Kaledupa

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pembangunan dan Partisipasi Masyarakat

Pembangunan (development) menurut Todaro (2004) secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional—

yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama—untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau Gross National Product (GNP).

Secara filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan suatu

keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pengertian dari alternatif yang sah dalam definisi pembangunan di atas diartikan bahwasanya upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat diterima (Rustiadi 2007).

Pembangunan dan khususnya pembangunan manusia didefinisikan oleh UNDP sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dengan demikian, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian suatu sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok sosial untuk bergerak maju ke kehidupan yang serba lebih baik.

Apapun komponen spesifik atas ‘kehidupan yang serba lebih baik’ bertolak dari tiga tujuan inti dari pembangunan, yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self- esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih (Todaro 2004).

Pembangunan sebagai cerminan perubahan masyarakat, mengindikasikan bahwa masyarakat bukan sekedar sebagai objek pembangunan, tetapi juga merupakan pelaku pembangunan. Untuk itulah partisipasi masyarakat dalam pembangunan guna mencapai tujuan pembangunan mutlak diperlukan.

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris ”participation” yang berarti ambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Berdasarkan kamus Webster (1976) diacu dalam Hikmah (2002), partisipasi mengandung arti: (1) partisipasi adalah kegiatan atau pernyataan untuk ikut mengambil bagian dalam suatu kegiatan, (2) partisipasi adalah kerjasama dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam

dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan (Moeliono 2004).

Ada bermacam-macam faktor yang mendorong kerelaan untuk terlibat, bisa karena kepentingan, bisa karena solidaritas, bisa karena memang mempunyai tujuan yang sama, bisa juga karena ingin melakukan langkah bersama walaupun tujuannya berbeda (Hetifah 2009). Apa pun faktor yang mendorong partisipasi, akhirnya harus membuahkan kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai dan tindakan yang akan dilakukan bersama. Artinya, apa yang semula bersifat individual harus secara sukarela diubah dan diolah menjadi tujuan dan kepentingan kolektif.

Beberapa uraian tentang partisipasi di atas, sejalan dengan pendapat Pretty et al. (1995) diacu dalam Daniel et al. (2008) yang mengemukakan pengertian partisipasi sebagai proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Dengan demikian, pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian (pengikutsertaan) atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai pada pengawasan (monitoring) dan evaluasi (controlling).

Jika kita melihat partisipasi berdasarkan tahapannya, maka partisipasi masyarakat dapat dibagi dalam beberapa tahapan. Cohen dan Uphoff (1977) diacu dalam Yuanike (2003) membedakan partisipasi berdasarkan empat tahapan, yaitu: (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi yang memberikan arahan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi

kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil, (2) partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dengan mengikutsertakan

masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama, (3) partisipasi dalam manfaat, partisipasi masyarakat dalam menggunakan dan menikmati hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat, (4) partisipasi dalam evaluasi, partisipasi mayarakat dalam keikutsertaannya menilai serta mengawasi kebiasaan pembangunan dan memelihara hasil pembangunan yang dicapai.

Dari beberapa uraian tentang partisipasi masyarakat yang telah dikemukakan, jelas bahwa peran serta masyarakat menjadi demikian penting dalam setiap bentuk kegiatan pembangunan, sebab dengan dukungan masyarakat yang saling berinteraksi dengan baik akan memberikan harapan kearah berhasilnya suatu kegiatan pembangunan.

Adapun pengertian masyarakat dijelaskan oleh Korten (1986) diacu dalam Muluk (2007) yang secara populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Namun kemudian, Korten lebih memilih pengertian yang berasal dari dunia ekologi dengan menerjemahkan masyarakat sebagai “an interacting population of organisms (individuals) living in a common location”. Pengertian yang dikemukakan oleh Korten tersebut telah menyentuh aspek spasial dalam kehidupan sekelompok orang.

Pendapat lain yang lebih sederhana untuk menjelaskan pengertian masyarakat sebagai mana dikutip dari Devas (1997) diacu dalam Muluk (2007), bahwa masyarakat dapat berupa masyarakat berbasis geografi (geographical cummunities) dan masyarakat berbasis kepentingan (interest cummunities). Jenis pertama dapat berupa rukun warga, desa, kabupaten, dan sebagainya. Jenis kedua dapat meliputi kelompok wali murid, pengguna air minum, dan sebagainya.

Partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses pembelajaran dan sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain:

(a) Inisiatif (spontan), yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi bersama. Ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh suatu keadaan yang tiba- tiba, seperti bencana atau krisis

(b) Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat disengaja, yang dirancang dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah bersama

(c) Induksi, yaitu masyarakat dibujuk berpartisipasi melalui propaganda atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotisme

(d) Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi agar berpartisipasi untuk keuntungan- keuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan bagi mereka

(e) Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau sanksi- sanksi yang diberikan penguasa.

Dari beberapa bentuk partisipasi di atas, bentuk partisipasi yang diharapkan adalah inisiatif (spontanitas), namun sering tidak terjadi, sehingga diperlukan upaya dari luar. Memilih proses (c), (d) dan (e) hasilnya akan relatif bersifat sementara, dan partisipasi tidak akan banyak bermanfaat bagi masyarakat. Partisipasi yang paling baik adalah melalui fasilitasi. Fasilitasi, masyarakat diposisikan sebagai dirinya, sehingga dia termotivasi untuk berpartisipasi dan berbuat sebaiknya untuk keuntungan dirinya (Daniel et al. 2008).

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan sekitarnya dan tidak terlepas dari aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Sedangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya akan merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap masa depan sumberdaya tersebut. Artinya, mereka tidak hanya akan berhenti pada upaya merencanakan dan melaksanakan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari seiring dengan nilai-nilai tradisional yang mereka miliki, tetapi tanggung jawab itu juga akan muncul dalam bentuk pengawasan dan pengendalian.

Partisipasi penting dalam pengelolaan sumberdaya alam, hal ini disebabkan oleh: (a) keputusan optimal dari suatu pihak ditentukan oleh kekuatan dan kepentingan oleh pihak lain, sehingga penting untuk selalu mempertimbangkan kehadiran pihak lain dalam pengelolaan sumberdaya alam, (b) perbedaan-perbedaan kepentingan (interest) yang dipegang oleh masing-masing pihak bila tidak diberikan solusi ”jalan tengah”, maka akan terjadi konflik sumberdaya alam yang terus berlanjut, dan (c) sejak dini menghindari potensi konflik masa depan, sehingga biaya sosial dan korbanan ekonomi yang dikeluarkan akan lebih kecil.

Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan menikmati secara bersama-sama pula setiap manfaat (benefit) yang diterima dari keberhasilan program, dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk proses pengawasan (Cohen dan Uphoff (1999) diacu dalam Putri 2009).

Sementara itu OECD diacu dalam Putri (2009), memberikan penjelasan tentang pembangunan yang partisipatif sebagai sebuah proses kemitraan, dengan memberikan batasan bahwa: kemitraan (patnership) yang dibangun

atas dasar dialog diantara beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set project agenda, dimana masyarakat berperan sebagai aktor penentu dan bukan sekedar penerima sebuah program.

Keragaan sebuah skema pembangunan lingkungan yang partisipatif (participatory environmental development), dapat dilihat dari: (a) derajat kedalaman keterlibatan individu dalam pengelolaan suatu program pembangunan, (b) derajat keberagaman latar belakang sosio-ekonomi-politik- budaya dari pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan program, (c) proses dialog atau proses komunikasi dalam pengelolaan program, yang ditandai oleh bentuk pertukaran gagasan (informasi) yang saling menguntungkan semua pihak atau menguntungkan sebelah pihak, (d) intensitas kerjasama institusional yang merupakan kolaborasi antar pihak di ruang-ruang kekuasaan yang berbeda dalam pengelolaan suatu program, dan (e) kepercayaan (trust) sebagai basis keterlibatan partisipasi setiap pihak yang ditandai oleh pengembangan dan pemeliharaan sikap saling percaya diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan suatu program.

Adapun tipe-tipe partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, berdasarkan derajat kedalamannya adalah sebagai berikut:

(1) Partisipasi manipulatif, dimana stakeholders diindoktrinasi lalu diklaim telah ikut menentukan suatu keputusan. Bentuk partisipasi ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah, dan cenderung membentuk pola otoriter atau non partisipasi

(2) Partisipasi informatif, merupakan bentuk awal partisipasi aktif. Dalam partisipasi ini, stakeholders didengarkan hak dan kewajibannya, diperhitungkan suaranya dalam menentukan pilihan-pilihan dalam pengelolaan sumberdaya alam

(3) Partisipasi konsultatif, dalam partisipasi tipe ini stakeholders mulai mengembangkan komunikasi dua arah (two-way communication), dimana saran dan gagasan saling dibuka dan dipertukarkan kemungkinannya untuk dipertimbangkan

(4) Consensus building participation, dimana setiap stakeholders membangun saling pengertian dalam negotiated positions untuk menentukan suatu keputusan

(5) Decision making participation, merupakan sebuah langkah aksi dan operasional yang diambil setelah konsensus diterima oleh semua pihak yang terlibat

(6) Risk sharing participation, dimana semua stakeholders sadar akan resiko yang timbul akibat keputusan yang diambil mereka dan ikut bertanggung jawab atas akibat dan hasil yang ada

(7) Patnership participation, merupakan kemitraan yang memberikan ruang tanggung jawab yang seimbang dan adil antar stakeholders

(8) Self management participation, merupakan partisipasi yang menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya alam secara mandiri dan bertanggung jawab.

Dalam pembangunan lingkungan yang partisipatif, selayaknya mencari titik temu dari beragam pihak (kelompok) yang berbeda pandangan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kelompok tersebut terdiri atas: (a) kelompok immaterialist (moralist), merupakan kelompok yang menyatakan bahwa pertumbuhan (growth) dalam pembangunan ekonomi merupakan hal yang tidak diinginkan (bukan tujuan utama) karena hanya akan membuat kerusakan alam makin parah, (b) kelompok pessimist, meyakini bahwa pertumbuhan (growth) dalam pembangunan ekonomi tidak mungkin dapat berlangsung dalam jangka panjang, karena pembangunan akan menyebabkan destruksi dari lingkungan alam dan kerusakan yang ditimbulkannya sukar diperbaharui kembali, (c) kelompok teknokrat, meyakini bahwa pertumbuhan dan kualitas lingkungan merupakan ‘pasangan’, dan tidak ada kaitannya antara ekspansi produksi atau konsumsi dengan daya dukung lingkungan, (d) kelompok opportunist, menyatakan bahwa pertumbuhan dan degradasi lingkungan adalah merupakan hal yang tidak dapat dihindari, pernyataan kelompok ini adalah: “sekiranya pun perkembangan teknologi bisa menjembatani konflik antara pertumbuhan dan kerusakan lingkungan, apakah pembangunan berkelanjutan akan tetap bisa dicapai di dunia ini?” sebab menurut mereka, doomsday scenario sebagai sebuah ketetapan pasti akan tetap terjadi, dan kelompok terakhir adalah kelompok optimist, yang menyatakan bahwa pertumbuhan itu penting untuk kegiatan konservasi

lingkungan, karena pertumbuhan ekonomi justru diperlukan bagi masyarakat agar mereka dapat mendanai kegiatan preservasi lingkungan.

Salah satu permasalahan yang cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut termasuk sumberdaya perikanan adalah keterbatasan hak atas sumberdaya (property right). Hal ini tidak terlepas dari karakter sumberdaya ikan yang bersifat common properties

dan open access. Karakter sumberdaya yang seperti ini juga diperburuk oleh adanya ketidakpastian (uncertainties) yang tinggi baik sumberdaya ikan, lingkungan, pasar, maupun kebijakan pemerintah, yang kemudian mendorong sumberdaya laut ke dalam berbagai bentuk kompetisi yang tidak sehat dan konflik (Widodo dan Suadi 2006).

Sehingga untuk menghindari konflik dalam pemanfaatan sumberdaya, diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah maupun kelompok pengguna sumberdaya (user groups). Dimana setiap pengguna diberi tugas dan tanggung jawab yang sama. Salah satu pendekatan pengelolaan yang memberikan ruang bagi adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya disebut ko-manajemen. Pengelolaan ini juga dapat didefinisikan sebagai pendesentralisasian pembuat keputusan yang melibatkan kelompok pengguna (pemangku kepentingan) dan pemerintah (Hanna 1998 diacu dalam Widodo dan Suadi 2006). Kelompok pengguna dalam hal ini meliputi nelayan, pembudidaya, pengolah, pedagang, perantara (middleman), industri alat tangkap, pemasok alat tangkap, konsumen, peneliti, pegawai pemerintah, penegak hukum, pemerhati lingkungan dan konservasi, LSM, dll. Dalam konteks perikanan (fisheries co- management) itu sendiri didefinisikan sebagai pola pengelolaan dimana pemerintah dan pelaku pemanfaatan sumberdaya (user groups) berbagi tanggung jawab (sharing the responsibility) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tujuan mewujudkan keseimbangan tujuan ekonomi dan sosial dalam kerangka kelestarian ekosistem dan sumberdaya perikanan (Nielsen 1996 diacu dalam Adrianto 2007).

Ko-manajemen diperlukan atas dasar kesadaran bahwa di bawah pendekatan pengelolaan yang lain, proses yang efektif untuk menjamin hubungan antara sektor publik, swasta dan masyarakat selalu gagal untuk dikembangkan. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) baik dalam

Artikel 6 maupun 7 juga menyarankan pentingnya partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya laut secara efektif. Bagi kegiatan perikanan skala kecil, ko-manajemen sangat penting sekurangnya karena beberapa alasan berikut: (1) kondisi lokal dan sejarah usaha kenelayanan memiliki arti penting sebagai pra kondisi pengembangan ko-manajemen, (2) kedekatan dengan pantai (yang bersifat fragile) menuntut manajemen yang efektif, (3) alat dan proses pengelolaan yang secara tradisional berkembang terbukti tidak cukup mampu menanggulangi laju peningkatan entry, capitalization, dan exploitation, (4) masyarakat memiliki tanggung jawab bagi pemberdayaan berbagai aturan dan resolusi konflik, dan (5) perikanan skala kecil memiliki kepentingan lokal dan regional yang sering tidak proporsional dengan ukuran sumberdaya ikan. Dengan demikian upaya ko-manajemen dengan menghubungkan secara efektif antara berbagai pemangku kepentingan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah proses pengelolaan sumberdaya (Widodo dan Suadi 2006).

Pembagian distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan pelaku perikanan sangat bervariasi mulai dari tipe instruktif hingga tipe informatif. Menurut Pomeroy dan Rivera-Guleb (2006) diacu dalam Adrianto (2007), terdapat lima tipe besar ko-manajemen menurut peran dari pemerintah dan pelaku perikanan, seperti disajikan pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2 Variasi ko-manajemen perikanan menurut peran pemerintah dan pelaku perikanan (Adrianto 2007).

p e ra n m a sy a ra ka t maksimum minimum

Pengelolaan oleh masyarakat

Kebijakan sepenuhnya disusun oleh masyarakat; legislasi peran masyarakat

Informatif

Masyarakat diberi hak penuh untuk turut merencanakan dan mengambil keputusan

Advisory

Keterlibatan masyarakat dalam hal-hal tertentu dalam proses kebijakan; pengambilan keputusan bersama dimulai

Kooperatif

Pertukaran informasi awal, pandangan masyarakat mulai masuk dalam agenda dan isu

Konsultatif

Pandangan lokal mulai dipertimbangkan sebelum membuat keputusan

Instruktif

Keputusan dibuat oleh pemerintah dan dinistruksikan kepada masyarakat sebelum dilaksanakan P e ra n p e m e ri n ta h minimum maksimum

Berdasarkan Gambar 2, dapat dijabarkan tipe-tipe dalam ko- manajemen yaitu: (1) instruktif, tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks

instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah, (2) konsultatif, terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku

perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan oleh pemerintah, (3) kooperatif, dalam level ini pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam mengambil keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner), (4) advisori, dalam kerangka ini pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut, dan (5) informatif, pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan untuk kemudian diinformasikan kembali kepada pemerintah.

Karena banyaknya kepentingan yang terlibat, pendekatan pengelolaan perikanan dengan ko-manajemen memerlukan energi, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga, ko-manajemen tidak dapat dipandang sebagai strategi satu-satunya untuk memecahkan masalah pengelolaan perikanan. Pomeroy dan William (1994) diacu dalam Widodo dan Suadi (2006), menjelaskan bahwa ko-manajemen haruslah dipandang sebagai salah satu strategi alternatif pengelolaan yang mungkin sesuai dengan wilayah dan lokasi tertentu.

Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, apabila berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan setiap masyarakat menjalankannya secara objektif, dan tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya.

Partisipasi lokal digambarkan telah memberi banyak peluang kepada orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan pada orang untuk memobilisasi kemampuan mereka sendiri, menjadi pemeran sosial dan bukan subjek pasif, mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupannya. Pendekatan partisipatif melibatkan orang didalam proses pengembangan dirinya. Proses partisipatif

membantu orang untuk memiliki pengawasan cukup terhadap kehidupan mereka sendiri (Budiyatno 2002).

Dengan mengacu pada berbagai referensi yang dikemukakan oleh Anon (2000); Blumenthal (2000); Dovers (2000); Kapoor (2001); UNDP (2000); dan Thomsen (2003) diacu dalam Anonim (2009), yang memaparkan keuntungan dan kerugian dari partisipasi masyarakat. Keuntungan partisipasi yaitu:

(a) Partisipasi memperluas basis pengetahuan dan representasi. Dengan mengajak masyarakat dengan spektrum yang lebih luas dalam proses pembuatan keputusan, maka partisipasi dapat: (i) meningkatkan representasi dari kelompok-kelompok komunitas, khususnya kelompok yang selama ini termarjinalisasikan, (ii) membangun perspektif beragam yang berasal dari beragam stakeholders, (iii) mengakomodir pengetahuan lokal, pengalaman, dan kreatifitas, sehingga memperluas kisaran ketersediaan pilihan alternatif

(b) Partisipasi membantu terbangunnya transparansi komunikasi dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara para stakeholders. Dengan melibatkan stakeholders dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang akan menerima atau berpotensi menerima akibat dari suatu kegiatan (proyek), hal itu dapat menghindari ketidakpastian dan kesalahan interpretasi tentang suatu isu (masalah)

(c) Partisipasi dapat meningkatkan pendekatan interaktif dan siklikal dan menjamin bahwa solusi didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan lokal. Dengan membuka kesempatan dalam proses pengambilan keputusan, maka para pembuat keputusan dapat memperluas pengalaman masyarakat dan akan memperoleh umpan balik dari kalangan yang lebih luas. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan akan lebih relevan dengan kepentingan masyarakat lokal dan akan lebih efektif (d) Partisipasi akan mendorong kepemilikan lokal, komitmen dan akuntabilitas.

Pelibatan masyarakat lokal dapat membantu terciptanya hasil (outcomes) yang berkelanjutan dengan memfasilitasi kepemilikan masyarakat terhadap proyek dan menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang mengarah pada keberlanjutan akan terus berlangsung. Hasil yang diperoleh dari usaha-usaha kolaboratif lebih mungkin untuk diterima oleh seluruh

(e) Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial. Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap

stakeholders tentang kegiatan (aksi) yang dilakukan oleh stakeholders

lain. Pengetahuan ini dan ditambah dengan peningkatan interaksi antar sesama stakeholders akan meningkatkan kepercayaan diantara para

stakeholders dan memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan modal sosial.

Sedangkan kerugian yang mungkin muncul dari pendekatan partisipatif adalah:

(a) Proses partisipasi dapat digunakan untuk memanipulasi sejumlah besar warga masyarakat. Partisipasi secara sadar atau tidak sadar dapat merugikan mereka yang terlibat jika: (i) para ahli yang melakukan proses ini memanipulasi partisipasi publik untuk kepentingannya dan (ii) jika tidak direncanakan secara hati-hati, partisipasi dapat menambah biaya dan waktu dari sebuah proyek tanpa ada jaminan bahwa partisipasi itu akan memberikan hasil yang nyata

(b) Partisipasi dapat menyebabkan konflik. Proses partisipasi seringkali menyebabkan ketidakstabilan hubungan sosial politik yang ada dan menyebabkan konflik yang dapat mengancam terlaksananya proyek (c) Partisipasi dapat menjadi mahal dalam pengertian bahwa waktu dan biaya

yang dikeluarkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mahal bagi masyarakat lokal. Pada wilayah-wilayah dimana di dalamnya terdapat ketidakadilan sosial, proses partisipasi akan dilihat sebagai sesuatu yang mewah dan pengeluaran-pengeluaran untuk proses itu tidak dapat dibenarkan ketika berhadapan dengan kemiskinan yang akut

(d) Partisipasi dapat memperlemah (disempower) masyarakat. Jika proses partisipasi dimanipulasi, tidak dikembangkan dalam kerangka kerja institusional yang mendukung atau terjadi kekurangan sumberdaya untuk penyelesaian atau keberlanjutan suatu proyek, maka partisipan dapat meninggalkan proses tersebut, kecewa karena hanya sedikit hasil yang diraih, padahal usaha yang dilakukan oleh masyarakat telah cukup besar.

Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Secara sederhana partisipasi

mengandung makna peran serta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu secara sadar dan diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut.

Partisipasi, komitmen, spirit, dan tingkah laku masyarakat sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, adanya pengelolaan yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat dipertahankan (Bengen dan Rizal 2002). Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat (Sumardjo dan Saharuddin 2003).

Model pengawasan yang melibatkan masyarakat, hasilnya akan lebih efektif dan efisien. Adanya model pengelolaan sumberdaya yang berbasis