• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Wakatobi merupakan gugusan PPK bahkan dapat dikatakan gugusan pulau sangat kecil, berjumlah 48 buah. Luas daratan 457 km2, luas perairan 13.533 km2 dan keliling 327 km. Potensi sumberdaya laut Kabupaten Wakatobi memiliki peluang investasi yang cukup signifikan, hal ini mengingat 97% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Wakatobi adalah perairan laut. Hasil produksi perikanan di Kabupaten Wakatobi, terdiri dari beberapa jenis khususnya untuk komoditi ekspor seperti ikan Demersal, Pelagis, ikan Sunu, Kerapu, Kakap, Baronang, Lobster, Cumi-cumi, Kepiting, Rumput laut, dan Kerang-kerangan.

Hasil survey yang dilakukan oleh Tim Teknis Balai Taman Nasional Wakatobi dan TNC-WWF tahun 2006, menunjukkan bahwa terdapat 11 sumberdaya penting yang perlu dikelola secara arif dan bijaksana berdasarkan

prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup, yakni terumbu karang cincin

(atoll reef), terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang

(barrier reef), gosong karang (patch reef), hutan mangrove, daerah pemijahan ikan (spawning grounds), padang lamun (seagrass), daerah upwelling, tempat bertelur burung pantai, daerah terlihatnya paus dan lumba-lumba (cetacean)

dan pantai peneluran penyu.

Sebagai daerah kepulauan yang didominasi wilayah laut, Kabupaten Wakatobi mempunyai potensi terbesar berupa hasil perikanan dan kelautan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budi daya. Hal ini menyebabkan 67% penduduk Wakatobi menggantungkan hidupnya pada SDL. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan sebesar 31%, budi daya rumput laut 22%, pariwisata bahari 14%, pertanian 23% dan lain-lain 10%. Meskipun demikian ada beberapa produk pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan (Hugua 2008).

Struktur penyusun PDRB Kabupaten Wakatobi pada tahun 2007, dominan diperoleh dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 37,39% (termasuk di dalamnya adalah sektor perikanan tangkap dan budi daya rumput laut), sektor jasa-jasa menempati urutan kedua sebesar 21,45%, serta yang berkaitan dengan pariwisata yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati urutan ketiga sebesar 14,59% (BPS 2008).

Berdasarkan data-data diatas, mengindikasikan SDL Kabupaten Wakatobi memiliki peran besar dalam kegiatan perekonomian masyarakat, baik sebagai sumber mata pencaharian penduduk maupun sebagai sumber devisa daerah. Peranan SDL tersebut agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, serta tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang ekosistem global, diperlukan pengelolaan yang bijaksana. Pengelolaan SDL dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan swasta.

Walaupun perairan Wakatobi kaya akan potensi SDL khususnya terumbu karang, yang menjadi rumah bagi berbagai jenis binatang dan tumbuhan laut, kenyataannya mulai terdapat kerusakan. Kerusakan yang terjadi sebagai akibat penggunaan bom atau racun sianida. Menurut Sugiyanta (1996) diacu dalam Anonim (1997) ledakan bom di dalam air terjadi 2–4 kali dalam sehari, yang menyebabkan perairan menjadi keruh, banyak ikan mati, dan merusak terumbu karang sampai radius 3–4 meter.

Kekayaaan dan keunikan terumbu karang di Wakatobi telah mengalami kerusakan. Hal ini terindikasi dari hasil survei REA yang dilakukan di Kabupaten Wakatobi pada 33 stasiun pada tahun 2003 kondisi karang termasuk kategori baik. Namun pada tahun 2006, berdasarkan hasil studi CRITC LIPI pada 52 stasiun, kondisi karang mengalami penurunan menjadi kategori sedang (tutupan karang hanya mencapai 31%). Padahal sebagai kawasan taman nasional, kondisi karang di kawasan ini idealnya dalam kategori baik dan sangat baik (Hidayati 2007).

Penurunan kualitas sumberdaya laut khususnya terumbu karang di kawasan Wakatobi mendapat tekanan yang cukup besar akibat pemanfaatan SDL yang dilakukan secara intensif dalam kurun waktu yang cukup lama, baik oleh masyarakat setempat maupun nelayan dari luar daerah (Hidayati et al. 2007). Penurunan kualitas SDL utamanya berasal dari eksploitasi terumbu karang yang dilakukan oleh nelayan menggunakan bahan dan alat yang merusak (penggunaan linggis dan cungkil batu), penambangan batu karang dan pasir, penangkapan hasil laut yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bom dan racun sianida, penebangan hutan mangrove dan pemanfaatan padang lamun untuk lokasi pemukiman (La Ola 2004; Duncan 2005; Hidayati et al. 2007).

Pada wilayah Kepulauan Wakatobi terdapat gugusan pulau yang memiliki jumlah pulau terbanyak (24 pulau), yaitu Gugus Pulau Kaledupa (GPK). Pengelolaan SDL pada wilayah GPK menghadapi tantangan pembangunan yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan sumberdaya dan merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resources). Pada sumberdaya milik bersama, sulit untuk membatasi pemanfaatannya atau biaya pembatasan begitu tinggi. Dengan demikian, setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas yang memanfaatkan SDL tanpa bersedia berkontribusi terhadap pelestariannya. Selain itu, pengambilan suatu unit SDL akan mengurangi ketersediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya, atau disebut sebagai karakter substractibility atau rivalry. Akibat karakter ini maka sumberdaya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih (overeksploitation) atau kerusakan sumberdaya. Inilah yang dikatakan sebagai tragedi milik bersama (tragedy of the commons). Sesungguhnya tragedi bisa terjadi jika tidak ada pembatasan dan aturan terhadap pemanfaatan sumberdaya, atau sumberdaya bersifat akses terbuka

(open access). Kenyataan seperti ini pun telah terjadi di wilayah Gugus Pulau Kaledupa.

Aktivitas masyarakat yang merusak sumberdaya laut yang terjadi di wilayah GPK disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, tekanan penduduk dan sulitnya memperoleh bahan bangunan akibat letak GPK jauh dari lokasi penyedia bahan bangunan. Tingkat kesejahteraan penduduk diukur dari besarnya pendapatan per kapita. Dari data BPS (2008) diketahui bahwa pendapatan per kapita penduduk di Wakatobi pada tahun 2007 mencapai Rp 385.325,00 per bulan. Besarnya pendapatan per kapita ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan garis kemiskinan 1$ US per hari, tetapi lebih kecil bila dibandingkan dengan garis kemiskinan 2$ US per hari. Batasan garis kemiskinan yang saat ini digunakan oleh Bank Dunia adalah 2$ US per hari, sehingga pendapatan per kapita penduduk Wakatobi lebih rendah dibanding garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di Kabupaten Wakatobi masih hidup di bawah garis kemiskinan. Selain kemiskinan, faktor lain penyebab kerusakan sumberdaya adalah akibat tekanan penduduk. Jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Wakatobi, maka wilayah terpadat berada di Kecamatan Kaledupa yaitu 234 jiwa/km2 dan Kecamatan Kaledupa Selatan menempati urutan ketiga yaitu sebanyak 133 jiwa/km2 (BPS 2008), dimana kedua kecamatan tersebut terletak di wilayah Gugus Pulau Kaledupa. Akibat kemiskinan dan tekanan jumlah penduduk, menyebabkan terjadi peningkatan pemanfanfaatan sumberdaya laut guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tekanan dan pengrusakan terhadap sumberdaya yang terjadi di wilayah GPK diperparah dengan kurang berfungsinya institusi (lembaga) yang mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah ini. Sehingga para pelaku destruktif dalam pemanfaatan sumberdaya tidak mendapat sanksi dari kegiatan yang dilakukannya, dengan demikian aktivitas pengrusakan terus saja berlangsung.

Selain aktivitas masyarakat yang memberikan tekanan terhadap keberadaan SDL di wilayah GPK, persoalan lain yang terjadi yaitu ada dualisme kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK. Adanya pertentangan kewenangan antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi (TNLKW) yang ditunjuk

sebagai taman nasional pada tanggal 30 Juli 1996, dan keberadaan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi melalui UU No. 29 Tahun 2003, menyebabkan terjadi tumpang tindih wewenang dalam pengelolaan sumberdaya. Orientasi yang berbeda dari dua institusi yang berwenang di wilayah ini menjadi polemik. Disatu sisi sebagai Taman Nasional Laut, wilayah Wakatobi melalui Balai TNLKW berorientasi pada konservasi lingkungan dan menjaga kelestarian sumberdaya laut. Sementara sebagai kabupaten, melalui pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Belum lagi posisi TNLKW sampai saat ini masih berada di bawah Departemen Kehutanan, sementara idealnya sebagai taman nasional laut semestinya berada di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan.

Berbagai persoalan yang terjadi di wilayah GPK dalam pemanfaatan SDL yang merupakan Common Pool Resources telah menghadirkan konflik antar kepentingan, baik ekonomi maupun politik dan cenderung merugikan kepentingan umum. Kerugian yang terjadi akibat kegagalan pengelolaan sumberdaya dapat berupa kerusakan lingkungan maupun hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Dari berbagai persoalan yang terjadi dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK, seperti kurang efektifnya peran pemerintah, kurangnya peran kelembagaan, membuat peran serta masyarakat mutlak diperlukan. Sebab masyarakat sebagai pemanfaat sumberdaya, merupakan komunitas yang berada dekat dengan sumberdaya dan secara langsung akan menerima manfaat sumberdaya serta akibat dari kerusakan sumberdaya, sehingga diperlukan peran serta mereka dalam mengelola sumberdaya. Peran masyarakat diharapkan berupa partisipasi positif dalam mengelola sumberdaya sehingga dapat memaksimumkan keuntungan dan meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas pemanfaatan. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat meningkat dan kelestarian lingkungan tetap terjaga, atau dengan kata lain kualitas dan kuantitas sumberdaya dapat dipertahankan sehingga tetap dapat menopang kehidupan masyarakat secara berkesinambungan.

Dalam upaya menangani permasalahan di wilayah ini perlu dikembangkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaturan pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumberdaya yang ada di dalamnya agar berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan sejak dari sumbernya. Pengelolaan SDL di wilayah GPK dimaksudkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip keterpaduan, pendekatan bottom-up, kerjasama antar daerah, penegakan hukum, dan konsistensi dalam memanfaatkan sumberdaya.

Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat sebagai subyek utama dalam pengelolaan sumberdaya GPK masih belum menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost, dan cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya setempat (local unique).

Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan penelitian yang diformulasikan sebagai berikut:

1) Bagaimana pengelolaan sumberdaya PPK yang selama ini dilakukan di wilayah GPK, apakah sudah mendukung pembangunan berkelanjutan? 2) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PPK di

wilayah GPK?

3) Bagaimanakah bentuk pengelolaan sumberdaya laut GPK yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1) Menganalisis kondisi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya PPK yang selama ini dilakukan di wilayah GPK.

2) Menganalisis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PPK di wilayah GPK.

3) Memformulasikan bentuk pengelolaan sumberdaya laut GPK yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

1) Penentu kebijakan, sebagai informasi mengenai status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di daerahnya, sehingga dapat dijadikan dasar dalam menyusun kebijakan selanjutnya dalam pengelolaan PPK. 2) Masyarakat dalam mengelola sumberdaya PPK yang berkelanjutan

sehingga dapat berpartisipasi secara positif dalam pengelolaan PPK. 3) Peneliti selanjutnya, sebagai bahan informasi mengenai masalah yang

berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya PPK dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah GPK pada 4 (empat) pulau terbesar yaitu pada Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Pulau Lentea dan Pulau Darawa. Pada masing-masing pulau, akan diteliti aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pada kegiatan perikanan tangkap, kegiatan budi daya rumput laut, dan kegiatan wisata bahari.

Aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya PPK tersebut, masing-masing diukur status keberlanjutannya. Pada penelitian ini juga diteliti partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya GPK, sehubungan dengan aktivitasnya sebagai nelayan tangkap, pembudidaya rumput laut dan pengelola wisata. Partisipasi diukur mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, perolehan manfaat sampai pada evaluasi dan pengawasan. Partisipasi yang diukur berdasarkan bentuk dan tingkat partisipasinya.

Kemudian dianalisis hubungan antara status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pada GPK yang diwakili oleh 4 (empat) pulau dengan partisipasi masyarakat pada 4 (empat) pulau tersebut. Dari hasil analisis, akan diketahui bentuk pemanfaatan mana yang pengelolaannya

berkelanjutan, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut.

Selanjutnya akan dianalisis alternatif (skenario) berdasarkan 3 (tiga) kriteria yaitu kriteria ekonomi (sumbangan PAD dan pendapatan masyarakat), kriteria sosial budaya (penyerapan tenaga kerja dan partisipasi), serta kriteria kelembagaan (lembaga lokal dan aturan). Dari hasil analisis, akan ditemukan skenario (alternatif) terbaik yang akan direkomendasikan sebagai bentuk pengelolaan GPK yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi masyarakat. Selengkapnya ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

S

u

st

ai

n

abi

li

ty

f

ee

dbac

k