• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak dan Tekanan Kemiskinan

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 179-194)

Analisi Kemanfaatan Program

2. Dampak dan Tekanan Kemiskinan

Hidup pas-pasan atau serba kekurangan, bagi keluarga miskin sesungguhnya tidak terlalu menjadi masalah ketika roda kehidupan berjalan datar, dan tidak ada gejolak perubahan kondisi perekonomian atau tekanan kebutuhan yang memaksa mereka harus mengeluarkan biaya ekstra di luar skenario yang selama ini dihadapi, Sebagai keluarga miskin yang terbiasa hidup seclerhana, menjalani kehidupan rutin yang tidak mengenakkan adalah hal yang biasa dilakukan. Dengan penghasilan yang minimal dan bahkan tidak memiliki penyangga ekonomi yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sifatnya mendadak di luar rutinitas yang selama ini dijalani, maka yang dialami keluarga miskin adalah kerentanan.

Di kalangan keluarga miskin, kerentanan umumnya identik dengan kondisi ekonomi

keluarga 'yang rapuh atau mudah patah akibat tidak dimilikinya penyangga ekonomi yang memadai. Berbeda dengan keluarga kelas menengah yang secara ekonomi relatif mapan karena memiliki "bantalan ekonomi", tabungan atau simpanan uang yang cukup, keluarga miskin yang tinggal di berbagai kantong kemiskinan di berbagai daerah di Provinsi Jawa Timur seringkali menggantungkan hidup dari penghasilan yang tidak nenentu atau pas-pasan, dan bahkan serba kekurangan, sehingga alih-alih dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung, dalam kenyataan sebagian besar keluarga miskin umumnya malah terlibat dalam perangkap utang yang

kronis. Bagi keluarga miskin, mengembangkan mekanisme "gali lubang, tutup lubang" adalah salah satu cara yang terpaksa dan biasa dilakukan untuk menyiasati kebutuhan hidup sehari-hari.

Tidak sedikit keluarga miskin yang diteliti menyatakan mereka seringkali menghadapi masalah yang memaksa mereka harus melakukan berbagai upaya penghematan, dan utang ke sana-sini untuk menambal kebutuhan sehari-hari yang tidak mungkin lagi ditunda. Pada saat kehidupan_ berjalan normal, walau sebenarnya tidak cukup atau masih jauh dari layak, namun bagi keluarga miskin mereka umumnya akan mampu melewati hari-hari yang berat itu dengan penghasilan yang pas-pasan. Tetapi, lain soal ketika keluarga miskin itu tiba-tiba harus menghadpi masalah atau musibah yang memaksa mereka harus mengeluarkan uang ekstra di luar skenario rutin yang selama ini mereka jalani. Seorang buruh tani yang penghasilannya kecil dan tidak menentu, misalnya, apa yang bisa dilakukan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, jika suatu hari ia sakit, sementara tidak ada sedikit pun tabungan yang dimiliki?

Sejumlah keluarga miskin yang diwawancarai secara mendalam menuturkan bahwa selama ini, mereka masih mampu bertahan hidup meski didera dengan berbagai tekanan kemiskinan, karena selain memperoleh dukungan dari kerabat dan berusaha hidup seirit mungkin, juga sedikit-banyak karena mereka terkadang memperoleh bantuan dari pemerintah, baik dalam bentuk pemberian beras miskin (raskin) atau bantuan lain, seperti dari program BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau terlibat dalam program padat karya. Bagi keluarga miskin, apapun bantuan yang mereka peroleh dari pemerintah, baik dalam bentuk raskin, BLT atau yang lain, bagaimana pun itu semua memang terbukti akan sedikit memperpanjang daya tahan kelansgungan hidup mereka. Cuma, yang menjadi masalah ketika kebutuhan hidup dari hari ke hari makin berat, dan para keluarga miskin itu juga harus menanggung beban yang tidak ringan karena berbagai hal, maka bisa dipahami jika taraf kehidupan keluarga-keluarga miskin di berbagai daerah di Provinsi Jawa Timur belakangan ini menjadi makin rentan dan sengsara.

Memang, bagi keluarga miskin yang merniliki sanak-kerabat yang bisa dimintai bantuan, untuk beberapa kasus mereka mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara bersandar pada pertolongan kerabatnya. Di kalangan masyarakat miskin, sudah lazim terjadi bahwa keberadaan kerabat akan berfungsi semacam jaring pengaman atau asuransi sosial yang dapat dijadikari tempat meminta bantuan tatkala keluarga miskin membutuhkannya. Tetapi, lain soal ketika di antara sesama kerabat keluarga miskin itu sama-sama menderita dijejas kemiskinan atau karena tidak lagi meminta patron yang bisa dimintai bantuan. Utang atau meminjam uang, baik tanpa bunga maupun dengan kewajiban membayar beban bunga yang tinggi sekalipun adalah pilihan terakhir yang terpaksa harus ditempuh keluarga miskin untuk menyambung kelangsungan hidupnya. Tidak sekali-dua kali terjadi, keluarga miskin

yang diteliti mengaku terpaksa harus utang ke rentenir dengan beban bunga yang mencekik leher, sekitar 20-50% per bulan.

Untuk kebutuhan yang sifatnya kecil-kecilan, mungkin hanya sekitar 5-10 ribu,

biasanya antar tetangga atau kerabat sudah biasa jika mereka saling meminjam uang. Tetapi, untuk kebutuhan yang tergolong besar, hingga puluhan atau ratusan ribu rupiah, tak pelak satu-satunya harapan adalah rentenir atau pelepas uang komersial yang seringkali beroperasi di berbagai permukiman penduduk miskin, Kendati di satu sisi cara kerja rentenir sangat fleksibel, dan sesuai dengan karakteristik sosial penduduk miskin yang lebih menyukai cara-cara dan hubungan sosial yang sifatnya informal, tetapi lantaran bunga yang dibebankan sangat tinggi, maka sekali keluarga miskin berutang pada rentenir, maka dimulailah awal kemungkinan mereka terjerat dalam perangkap utang yang tak berkesudahan.

Sejumlah informan yang diwawancarai menyatakan bahwa yang namanya utang, bagi mereka adalah hal yang sangat biasa. "tidak ada orang miskin yang tak memiliki utang', demikian kata sejumlah informan. Dalam hitungan matematis seclerhana, keluarga miskin yang diteliti sebetulnya sangat saclar bahwa sekali mereka utang pada rentenir, maka kemungkinan untuk keluar dari perangkap utang akan jauh lebih sulit. Tetapi, ketika pilihan lain tidak bersedia dan utang menjadi satu-satunya jalan keluar instant untuk mengatasi kebutuhan hidup yang tidak lagi bisa ditunda, maka berapa pun beban bunga yang harus ditanggung itu adalah soal lain yang mereka pikiran kemudian. Menghadapi sikap rentenir yang marah-marah gara-gara keluarga miskin telat membayar atau bahkan ngemp!ang utang (tidak membayar utang,pen), menurut para informan adalah hal yang biasa.

Bagi keluarga miskin yang tergolong agak beruntung, selama ini salah satu penyangga penghasilan yang cukup signifikan sebetulnya adalah bantuan pemerintah yang dulu disalurkan dalam bentuk program BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar 100 ribu rupiah per bulan. Meski jumlahnya ini tidak tergolong besar, namun bagi keluarga miskin uang ini cukup bermanfaat untuk menyambung hidup. Hanya saja, sayangnya tidak semu keluarga miskin yang ada di Provinsi Jawa Timur memperoleh bantuan tunai ini karena ada berbagai prasyarat baru yang ditetapkan pemerintah. Sejumlah infoman yang diwawancarai mengaku sama sekali tidak pernah memperoleh uang tunai dari pemerintah walaupun sebenarnya kondisi ekonomi mereka sangat miskin. Bagi keluarga miskin yang tidak terdata sebagai keluarga miskin, memiliki identitas kewarganegaraan yang jelas, dan tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, memang mereka akhimya menjadi tersisih dan tidak bisa mengakses layanan sosial yang sebetulnya menjadi hak mereka.

Di berbagai wilayah kantong kemiskinan di Provinsi Jawa Timur, keluarga miskin ibaratnya -meminjam, istilah R.H. Tawney (1966: 77) yang menggambarkan kondisi China tahun 1931-adalah seperti orang yang berdiri di air sebatas leher, sehingga riak sekecil apa pun sepertinya akan mematikan nafas dan daya tahan mereka. Artinya, jika untuk hidup sehari- hari saja, berbagai keluarga miskin sudah pas-pasan

atau bahkan kesulitan, maka apa yang terjadi jika penghasilan yang sudah kecil itu terus berkurang, sementara harga barang kebutuhan sehari-hari justru naik. Di sisi lain, apa yang dapat diharapkan dari usaha yang mereka tekuni, jika biaya produksi ikut terkatrol naik karena imbas kenaikan harga BBM, sementara daya beli masyarakat justru turun? Seorang pemilik warung kecil-kecilan yang sehari- hari mengandalkan dari usahanya ini, tentu sulit dapat terus melangsungkan usahanya jika harga barang kulakannya sudah naik sekian kali lipat di pasaran. Demikian pula seorang petani, bagaimana mungkin ia dapat bercocok tanam yang menguntungkan jika harga pupuk dan biaya saprodi lain terus naik, sementara nilai tukar atas produk yang mereka hasilkan makin tidak sebanding dengan harga barang kebutuhan lain di pasaran?

Seperti diakui sebagian besar keluarga miskin yang diteliti, bahwa dibandingkan tahun lalu, kondisi sosial-ekonomi mereka saat ini umumnya lebih buruk (26%), dan bahkan sebanyak 18% menyatakan kondisi ekonominya saat ini jauh lebih buruk. Sebanyak 30% responden yang menyatakan kondisi sosial-ekonominya sekarang sama saja, dan sebanyak 18% responden yang men:yatakan kondisinya sekarang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Hanya 8% responen yang mengaku kondisinya sekarang lebih baik dibanding tahun lalu. Ketika besar penghasilan tidak bertambah, atau bahkan malah makin berkurang karena usaha yang ditekuni makin lesu, maka apa yang bisa diharapkan keluarga-keluarga miskin di Provinsi Jawa Timur untuk melangsungkan kehidupannya, kecuali sekadar dapat terus bertahan hidup dengan standar yang lebih rendah daripada sebelumnya?

Sejumlah keluarga miskin yang diwawancarai secara mendalam menyatakan bahwa tahun 2010 ini, bagi mereka adalah masa yang benar- benar mencemaskan. Betapa tidak, ketika jumlah pengeluaran keluarga terus bertambah, sementara sumber pemasukan yang diperoleh justru makin menurun, atau paling-tidak tetap. Tidak sedikit keluarga miskin mengaku bahwa yang mereka kembangkan saat ini untuk bertahan hidup, pada akhimya adalah mekanisme "gali lubang, tutup lubang" alias utang ke sana ke mari untuk menutupi kebutuhan hidup yang makin tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh. Keluarga Pak Subhan (44 tahun) asal Kabupaten Sampang, misalnya, dengan nada memelas menyatakan bahwa kehidupan keluarganya sekarang benar-benar sudah di ujung tanduk. Sebagai nelayan kecil yang hidupnya serba pas- pasan, belakangan ini penghasilan dari hasil melaut makin tidak menentu karena kondisi cuaca yang sulit ditebak. Anaknya yang nomor dua terpaksa harus putus sekolah, tidak lagi melanjutkan ke jenjang SMA karena mereka tidak memiliki biaya untuk pendidikan anaknya. Bahkan, anaknya yang nomor tiga, yang kini masih sekolah di kelas 6 SD, bukan tidak mungkin ikut-ikutan kakaknya putus sekolah, karena hams ikut bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah. Gara-gara istrinya yang menclerita penyakit tumor kecil, yang memaksanya hams dioperasi di Rumah Sakit, kini seluruh sisa-sisa tabungan dan simpanan barang berharga yang dimiliki Pak Subhan sama sekali tidak berbekas. Bahkan, menurut pengakuan Pak Subhan, ia sekarang terpaksa masih harus menanggung utang 1 juta lebih untuk membeli obat dan membayar

biaya perawatan istrinya. Bagi keluarga miskin seperti Pak Siubhan, serangan penyakit yang menimpa anggota keluarganya,dan keharusan mengeluarkan biaya untuk berobat ibaratnya adalah roda penggerak yang dengan cepat menyeret .rnereka pada penderitaan baru yang makin menjejas. Bagi orang-orang seperti Pak Subhan,.mereka umumnya adalah korban pertama yang paling menderita tatkala harga kebutuhan pokok sehari-hari naik melebihi kemampuan ekonomi mereka.

Tabel 5.30

Tekanan dan Dampak Kemiskinan yang Dialami Total pendapatan responden cukup

atau tidak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

Sangat kurang Kurang Pas-pasan Cukup Lebih dari cukup

10,0 % 22,0 % 38,0 % 24,0 % 6,0 % Kondisi ekonomi responden saat ini

jika dibandingkan dengan tahun lalu

Jauh lebih buruk Lebih buruk Relatif sama Lebih baik Jauh lebih baik

18,0 % 26.0 % 30,0 % 18,0 % 8,0 % Cara keluarga responden memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari selama 3 bulan terakhir

Dari penghasilan rutin Dari tabungan Utang

Bantuan kerabat/orang lain

54,0 % 8,0 % 26,0 % 12,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian

Dari basil wawancara terhadap 500 keluarga miskin, sebanyak 22% responden menyatakan bahwa total pendapatan yang diperoleh sebetulnya kurang untuk memenuhi kebutuhari hidup yang terus merangkak naik, dan bahkan 10% responden menyatakan kondisi ekonomi keluarganya saat ini sangat kekurangan. Sebagian besar keluaga miskin yang diteliti (38%) menyatakan taraf kehidupannya saat ini termasuk pas-pas an. Jadi, alih-alih kebijakan penanganan kemiskinan yang digulirkan pemerintah mampu membuat jumlah penduduk miskin berkurang, yang terjadi di lapangan khususnya di tingkat mikro adalah beban baru yang mesti ditanggung penduduk miskin menjadi makin berat. Efek domino kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, dan ancaman krisis pangan yang mulai melanda masyarakat miskin, cepat atau .lambat menyebabkan daya tahan mereka makin tergerus kebutuhan dan tekanan kemiskinan.

Dalam kenyataan tidak jarang terjadi penduduk yang semula miskin menjadi makin miskin dan berkekurangan karena mereka makin tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup yang makin berat. Imbas dan dampak tekanan kebutuhan hidup yang menjejas, dalam banyak kasus sering menyebabkan keluarga miskin masuk ke dalam spiral kemiskinan: sebuah pusaran lingkaran setan kemiskinan yang menyebabkan keluarga miskin makin kehilangan peluang untuk keluar dari tekanan krisis yang dialaminya. Studi ini menemukan sebuah keluaga miskin yang karena sesuatu hal terpaksa harus berutang dan menjual sebagian asset produksinya, maka dengan cepat ia

akan larut dalam pusaran spiral kemiskinan karena penyangga ekonomi yang dimiliki makin rapuh.

Untuk saat ini, sebanyak 54% keluarga miskin yang diteliti memang mengaku masih

bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup minimal mereka dari penghasilan

rutin yang diperolehnya. Namun demikian, tanda-tanda bahwa penghasilan yang rutin itu mulai tidak mencukupi lagi bukannya tidak kelihatan. Ketika harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara penghasilan yang diperoleh tetap atau malah berkurang, maka tidak bisa tidak yang terjadi kemudian adalah mulai bergesernya keseimbangan: masyarakat miskin yang ditemui di lapangan tidak lagi mengaku hidupnya pas-pasan, tetapi mulai berkekurangan.

Sepanjang hidup berlangsung normal atau wajar-wajar saja, memang tidak terlalu banyak masalah yang timbul dan dialami keluarga rniskin. Tetapi, lain soal ketika keluarga rniskin itu mulai mengalami tekanan kebutuhan yang sifatnya mendadak, seperti pada saat anak jatuh sakit atau mereka harus mengeluarkan uang di luar kebutuhan rutin untuk makan? Pada saat kebutuhan hidup bertambah, maka jangan heran jika keluarga-keluarga rniskin yang ditemui terpaksa menggantungkan pada belas-kasihan orang lain, entah utang ke orang lain (26%), atau meminta bantuan orang lain (12%).

Walau mungkin tidak separah seperti masa ketika situasi krisis multi dimensional

menyergap dan merambah ke berbagai pelosok sekitar tahun 1997, bukan berarti apa yang dialarni keluarga miskin di Provinsi Jawa Timur satu-dua tahun belakangan ini tidak membebani. Studi ini menemukan ada sejumlah akibat yang diderita dan terpaksa ditanggung keluarga miskin ketika tekanan kerniskinan mulai menjejas. Yang paling menyolok, bentuk tekanan kemiskinan yang dialarni, menurut responden adalah pada kemampuan keluarga mis kin untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Dari 500 responden yang diteliti, sebanyak 80% menyatakan bahwa dalam setahun terakhir mereka cenderung kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi keluarga rniskin yang sehari-hari sudah akrab dengan penderitaan dan suasana serba kekurangan, salah satu cara yang biasanya dikembangkan untuk bertahan hidup adalah utang. Seperti diakui responden penelitian ini, bahwa dalam setahun terakhir,

sebanyak 80% responden menyatakan utang mereka meningkat. Utang, bagi masyarakat

miskin sekali pun sebenarnya tidak ingin dilakukan. Tetapi, dalam kenyataan berkat mekanisme utang inilah keluarga rniskin seringkali dapat bertahan hidup dengan segala kekurangannya.

Tabel 5.31

Akibat-akibat yang Menimpa Keluarga Responden Akibat Tekanan Kemiskinan yang Dialami Setahun Terakhir

Akibat-akibat yang Pernah Menimoa Keterangan Tidak Ya 1. Ada anak yang terpaksa putus sekolah di jenjang

pendidikan dasar

2. Kehilangan pekerjaan/terkena PHK 3. Usaha yang clitekuni mengalami kemunduran 4. Kesulitan memenuhi kcburuhan makan sehari-hari 5. Terganggunya status gizi keluarga

6. Utang meningkat

7. Anggota keluarga terpaksa migrasi mencari kerja 8. Kehilangan sebagian aset produksi

9. Keharmonisan keluarga tcrganggu

10. Terjadi peningkatan tindak kekerasan terhadap anak 40.0 % 72.0 % 80.0 % 80.0 % 52.0 % 90.0 % 44.0 % 38.0 % 48.0 % 46.0 % 60.0 % 28.0 % 20.0 % 20.0 % 48.0 % 10.0 % 56.0 % 62.0 % 52.0 % 54.0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Sejumlah penduduk miskin yang menjadi korban PHK, ketika diwawancarai menyatakan bahwa untuk menyambung hidup terpaksa langkah yang dilakukan adalah utang ke sanak-keluarga dan tetangganya. Kendati ia sadar betul bahwa meminjam uang ke kerabat sebetulnya agak risih atau sungkan. Tetapi, karena tidak ada jalan lain, maka iapun dengan terpaksa menebalkan muka agar dapat memperoleh pinjaman uang untuk menyambung hidup. Studi ini menemukan, hampir semua keluarga rniskin yang diteliti (90%) menyatakan utang mereka meningkat dalam setahun terakhir.

Dampak sosial lain yang terasa ironis dan dialarni keluarga rniskin di Provinsi Jawa Timur adalah ketika tekanan kemiskinan yang mereka alarni itu kemudian menimpa anak-anak. Dari 500 keluarga rniskin yang diteliti, hampir separuh responden (40%) mengaku anak-anak mereka terpaksa putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena tak kuat menanggung beban hidup yang makin berat. Meski pemerintah sebetulnya sudah mengalokasikan dana beasiswa dan bantuan subsidi biaya minimal kepada anak-anak sekolah. Tetapi, karena yang dihadapi keluarga miskin tidak sekedar kebutuhan dana untuk membiayai sekolah anak-anak mereka, maka cepat atau lambat anak-anak dari keluarga rniskin ini pun terpaksa putus sekolah di tengah jalan.

Tabel 5.32

Bentuk Penghematan yang Dilakukan Keluarga Responden Setahun Terakhir Bentuk Penghematan

Keterangan

Sering Ya, Tetapi Jarang Tidak Pernah 1. Mengurangi Frekuensi makan 20,0 % 30,0 % 50,0 % 2. Mengurangi kualitas menu makanan 40,0 % 34,0 % 26,0 % 3. Mengurangi Uang jajan anak 62,0 % 20,0 % 18,0 % 4. Mengurangi uang jajan ayah 50,0 % 28,0 % 22,0 % 5. Mengurangi uang jajan ibu 60,0 % 26,0 % 14,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian

Di bidang ekonomi, dampak tekanan kemiskinan dialami keluarga responden berkaitan dengan kelangsungan usaha yang mereka tekuni, di mana tidak sedikit keluarga miskin mengeluhkan imbas kenaikan biaya produksi dan lesunya pasar yang dialami usaha mereka. Menurut sebagian besar responden (72%), dalam setahun terakhir terasa bahwa usaha yang mereka tekuni kemudian mengalami kemunduran. Meski dampak yang terjadi tidak bersifat langsung, tetapi ketika harga bahan-bahan produksi naik, dan pasar juga pelan-pelan mengendur karena daya bell masyarakat yang menurun, maka sedikit demi sedikit dirasakan usaha yang ditekuni keluarga miskin di Provinsi Jawa Timur mulai kehilangan gairah: jumlah pembeli berkurang, jam kerja berkurang, dan omzet pun menurun. Bahkan, ada sebagian responden yang mengaku usahanya benar-benar bangkrut, dan sebagian yang lain juga ada yang mengaku terpaksa di-PHK majikannya karena usahanya collapse.

Untuk mengatasi agar tekanan kebutuhan hidup dan dampak kemiskinan yang dialami tidak menimbulkan efek yang mematikan, selama ini satu langkah paling realistis yang banyak dilakukan keluarga miskin adalah melakukan berbagai bentuk penghematan. Meski upaya ini tidak sepenuhnya efektif, tetapi bagi keluarga miskin melakukan langkah penghematan, mengurangi beban pengeluaran yang tidak terlalu penting, bagaimanapun akan bermanfaat untuk memperpanjang daya tahan mereka menjalani hidup.

Selain mengurangi uang jajan anak (62%), uang jajan ibu (60%) dan uang jajan ayah (50%), upaya lain yang seringkali dilakukan keluarga miskin untuk menghemat pengeluaran adalah dengan cara mengurangi kualitas menu makanan (40%), dan bahkan jika perlu mengurangi frekuensi makan (20%). Melakukan berbagai langkah penghematan ini, menurut pengakuan sejumlah keluarga miskin yang diwawancarai secara mendalam acapkali efektif dan mengurangi beban yang harus ditanggung selama situasi perekonomian masih tidak menentu. Namun demikian, diakui pula upaya-upaya penghematan seperti ini tidaklah selalu bisa diandalkan, terutama ketika ada kebutuhan lain yang sifatnya mendadak dan mendesak. Mengencangkan ikat pinggang adalah hal

yang biasa dilakukan keluarga miskin untuk mengurangi beban pengeluaran. Cuma yang

menjadi masalah seberapa lama keluarga miskin dapat terus melakukan langkah-langkah penghematan jika beban kebutuhan yang harus dialami terus naik, di luar kemampuan dan kondisi ekonomi mereka? Pertanyaan inilah yang sekarang ini tengah menghantui keluarga miskin di berbagai daerah di ProvinsiJawa Timur.

3. Kesehatan Keluarga Miskin

Bagi keluarga miskin, kesakitan atau serangan penyakit seringkali menjadi roda

penggerak yang menyebabkan keluarga miskin masuk dalam pusaran spiral dan proses pendalaman kemiskinan yang makin kronis (Chambers, 1987). Berbeda dengan keluarga

dari kelas sosial-ekonorni yang mapan, di mana kebutuhan perawatan kesehatan acapkali

kesehatan, di kalangan keluarga miskin bila ada salah satu atau lebih anggota keluarga yang sakit, maka bukan tidak mungkin hal itu akan menyeret mereka pada berbagai problema dan tekanan kemiskinan yang menyengsarakan. Dengan dukungan penghasilan yang pas- pasan, dan tidak dimilikinya penyangga ekonomi yang memadai, maka sudah lazim terjadi bila ada anggota keluarga miskin yang terserang penyakit dan memaksa

harus dirawat di Rumah Sakit, ujung-ujungnya akan menyebabkan bukan hanya

terkurasnya sumber daya tenaga mereka untuk menjaga si sakit, tetapi juga terkurasnya

sumber daya ekonomi, baik itu tabungan dan bahkan bis a saja asset produksi mereka

terpaksa hilang untuk menambal biaya berobat.

Di kalangan keluarga miskin, sudah lazim terjadi bahwa pengeluaran yang dinilai

tidak perlu, termasuk biaya berobat dan merawat kesehatan secara layak, terpaksa dihindari untuk mencegah agar tidak membebani kondisi ekonomi keluarga. Meski ada anggota keluarga yang sakit, tetapi sepanjang memungkinkan untuk diobati sendiri, yang

namanya keluarga miskin biasanya akan 'berusaha mengobatinya sendiri atau

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 179-194)