Analisi Kemanfaatan Program
6. Kondisi Usaha dan Mekanisme Survival
Meski di tingkat nasional berkali-kali telah diklaim terjadi perbaikan dan peningkatan performance ekonomi, tetapi di kalangan masyarakat mis kin, kondisi usaha dan aktivitas perekonomian di sektor ekonomi kerakyatan umumnya tidak banyak
mengalami perubahan. Bahkan, acla indikasi usaha-usaha mikro dan UKM yang selarna
ini dikenal kenyal, tahan banting, temyata pelan-pelan mulai digerogoti situasi pasar dan kenaikan biaya produksi yang tidak sebanding dengan jumlah keuntungan yang diperoleh. Di sisi lain, sektor pertanian yang selama ini fungsional dan memungkinkan keluarga miskin mengembangkan mekanisme subsistensi, ternyata juga harus menghaclapi situasi
anomali cuaca yang tidak menentu.
Secara umum, studi ini menemukan bahwa kondisi usaha yang ditekuni masyarakat
miskin di Provinsi Jawa Tengah dalam setahun terakhir tidak terlalu menggembirakan.
Berbeda dengan usaha di sektor perekonomian firma yang lebih berpeluang untuk keluar dari tekanan situasi krisis, usaha-usaha berskala mikro, UKM, dan usaha di sektor ekonomi kerakyatan yang lain umumnya harus berhadapan dengan situasi yang dilematis, karena biaya produksi yang harus dikeluarkan ternyata makin tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh..
Tabel 5.22
Kondisi Usaha yang Ditekuni Keluarga Miskin di Provinsi jawa Tengah Selama Setahun Terakhir
Kondisi Usaha
Keterangan Sangat
meningkat Meningkat Tetap Menurun
Samgat menurun 1. Biaya produksi 13,0 % 30,0 % 31,0 % 20,0 % 6,0 % 2. Pangsa pasar/pemasaran 14, 0% 24,0 % 30,0 % 19,0 % 13,0 % 3. Jumlah Saingan 11,0 % 24,0 % 32,0 % 22,0 % 11,0 % 4. Keuntungan 8,0 % 17,0 % 26,0 % 35,0 % 14,0 % 5. Permodalan 7,0 % 23,0 % 38,0 % 20,0 % 12,0 %
Sumber : Data dan Analisa penelitian
Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, sebanyak 30% responden menyatakan bahwa dalam setahun terakhir biaya produksi yang mereka keluarkan umumnya meningkat, dan
bahkan 13% sangat meningkat. Sementara itu, sebanyak 35% responden mengaku dalam
setahun teraklhir keuntungan yang diperoleh justru menurun, dan bahkan 14% responden
mengaku keuntungannya sangat menurun.
Ketika kondisi pasar masih cenderung lesu dan sebaliknya jumlah pesaing makin banyak, maka harus diakui tidak banyak pilihan yang tersedia bagi masyarakat miskin. Seorang pelaku usaha mikro yang berkeinginan menaikkan harga hasil produksinya
karena harga bahan baku dan biaya produksi memang naik, bukan tidak mungkin
harus berhadapan dengan kelesuan daya beli masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin hasil produksinya akan tidak laku di pasaran, karena ada pelaku usaha lain yang berani menawarkan hasil produksi serupa dengan harga yang lebih murah. Di sisi yang lain, jika
si pelaku usaha mikro itu tidak menaikkan harga hasil produksinya, maka konsekuensi
yang tidak terhindarkan adalah terjadinya penurunan keuntungan yang cepat atau lambat tentu akan menyebabkan terjadinya proses pengikisan modal usaha keluarga miskin.
Seperti diakui sebanyak 20% responden bahwa dalam setahun terakhir telah terjadi penurunan modal usaha yang dimiliki, dan bahkan sebanyak 12% responden mengaku mengalami penurunan modal usaha yang sangat drastis.
Tabel 5.23
Kemampuan Keluarga Miskin di Provinsi Jawa Tengah melangsungkan Kehidupannya
Kepemilikan koneksi Tidak
Ada, sedikit Ada, banyak
63,0 % 29,0 % 8,0 % Kemampuan keluarga responden bertahan hidup
dengan asset yang dimiliki
Jelas tidak mampu Kemungkinan tidak mampu Ragu-ragu Kemungkinan mampu Jelas mampu 24,0 % 33,0 % 26,0 % 11,0 % 6,0 % Prospek responden menekuni pekerjaan lain di luar
pekerjaan pokok yang ditekuni saat ini
Kecil sekali Kecil Cukup Besar Besar sekali 29,0 % 32,0 % 18,0 % 13,0 % 8,0 %
Kemungkinan responden memperoleh pinjaman uang yang sifatnya lunak (misalnya: tanpa dikenai beban bunga) di lingkungan responden
Sama sekali tidak mungkin Tidak mungkin Tidak tahu Mungkin Sangat mungkin 15,0 % 24,0 % 36,0 % 17,0 % 8,0 % Prospek usaha atau pekerjaan yang ditekuni
responden di masa mendatang
Sangat bagus Bagus Biasa Suram Sangat Suram 14,0 % 16,0 % 27,0 % 24,0 % 19,0 Sumber : Data dan Analisa penelitian
Ketika ditanya bagaimana prospek usaha atau peketjaan yang ditekuni keluarga
miskin di masa mendatang, studi ini menemukan sebagian besar responden cenderung
pesimis. Dari 500 kduarga miskin yang diteliti, hanya 16% yang optimis dan 14% yang
sangat optimis bahwa usaha dan peketjaan yang mereka tekuni akan dapat berkembang. Sementara itu, sebanyak 24% responden menyatakan bahwa mereka sebetulnya pesimis dengan prospek usaha atau peketjaan yang tengah ditekuni saat ini, dan bahkan sebanyak 19% responden menyatakan prospek usaha atau peketjaan yang ditekuni sangat suram.
Di tengah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, harus diakui
memang tidak banyak pilihan yang tersedia bagi masyarakat miskin untuk segera dapat keluar dari tekanan kemiskinan yang mereka alami. Sebagai bagian dari masyarakat miskin yang bertahun-tahun hidup dalam kondisi serba kekurangan, tidak sedikit keluarga miskin yang sebetulnya memiliki semangat untuk bisa segera keluar dari tekanan
kemiskinan yang mereka alami. Tetapi, karena mereka umumnya menyadari tidak
memiliki modal yang cukup dan tidak pula didukung ketrampilan yang memadai, maka bis a dipahami jika yang dilakukan pada akhimya hanya bersikap pasrah.
Kalau berbicara idealnya, keluarga-keluarga miskin yang diteliti sebetulnya bukan tidak mengetahui jika usaha yang ditekuni tidak lagi menguntungkan, maka mereka harus segera mencari dan mengembangkan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Tetapi, sekali lagi karena berbagai keterbatasan yang menghambat, sebagian besar keluarga miskin yang diteliti umumnya menyadari bahwa apa yang tampak ideal itu tidak selalu bisa diwujudkan semudah membalik telapak tangan. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, tidak lebih dari 20% responden yang optimis dan merasa berpeluang besar mengembangkan us aha lain di luar us aha yang ditekuninya saat ini. Sebanyak 32% responden mengaku dan menyadari bahwa peluang mereka mengembangkan usaha alternatif kecil, dan bahkan 29% responden menyatakan sangat kecil.
Tabel 5.24
Aset produksi Yang Dimiliki Keluarga Responden
Aset produksi Keterangan
1. Lahan garapan 75,0% 25,0%
2. Warung/toko 79,0% 21,0%
3. Mesin/alat kerja tertentu 72,0% 28,0%
4. Modal (di atas Rp.1.000.000) 77,0% 23,0%
5. Sepeda motor 74,0% 26,0%
6. Ternak 48,0% 52,0%
Sumber : Data dan Analisa penelitian
Studi ini menemukan, paling-tidak ada tiga faktor yang menyebabkan kenapa
keluarga miskin cenderung pesimis ketika harus mengembangkan usaha alternatif. Pertama, karena mereka tidak memiliki koneksi yang memadai, yang bisa dijadikan patron untuk mendukung mereka mencari dan mengembangkan usaha alternatif. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, sebagian besar (63%) menyatakan tidak memiliki koneksi yang dapat dimintai bantuan ketika mereka membutuhkan, terrnasuk ketika mereka ingin mencari pekerjaan atau mengembangkan usaha lain.
Kedua, karena sebagian besar keluarga miskin umumnya tidak memiliki asset dan modal yang cukup, yang bisa dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan dan mengembangkan usaha alternatif. Sebagian besar responden (33%) menyatakan kemungkinan tidak rnampu bertahan hidup dengan asset yang sekarang dirniliki, dan bahkan sebanyak 24% responden menyatakan jelas tidak mampu. Dari 500 keluarga
miskin yang diteliti, hanya 30% yang mangaku memiliki modal di atas 1 juta, sementara
itu 70% responden mengaku tidak memiliki modal di atas 1 juta.
Ketiga, karena keluarga-keluarga miskin itu umumnya tidak memiliki akses yang memadai pada sumber-sumber permodalan murah. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, sebanyak 24% menyatakan tidak mungkin memperoleh pinjaman uang yang sifatnya lunak yang bisa mereka manfaatkan untuk mengembangkan usaha, dan bahkan 15% responden menyatakan sama sekali tidak mungkin. Artinya, bisa dibayangkan bagaimana mungkin keluarga-keluarga miskin itu mampu mengembangkan usaha dan mampu mengakses pinjaman lunak yang sifatnya lunak jika peluang ke arah sana sangat kecil.
Tabel 5.25
Hal-Hal Yang Dilakukan Keluarga Miskin Di Provinsi – Jawa Tengah Untuk Mengatasi Kebutuhan Hidup Selama Masa Kekurangan
Aset produksi Sering Keterangan Jarang Tidak Pernah 1. Menggadaikan barang
2. Menjual barang 3. Utang dengan bunga 4. Utang tanpa bunga 5. Meminta bantuan kerabat
6. Melakukan pekerjaan tertentu, meski terpaksa 25,0% 24,0% 32,0% 51,0% 25,0% 45,0% 33,0% 32,0% 46,0% 36,0% 35,0% 35,0% 42,0 % 44,0 % 22,0 % 13,0 % 40,0 % 20,0 %
Selama ini, menurut pengakuan responden, hal paling populer yang biasanya mereka lakukan untuk mengatasi kebutuhan di masa kekurangan adalah dengan mengandalkan pada utang dan bersedia melakukan pekerjaan apapun, asalkan menghasilkan uang. Sebanyak 51% responden menyatakan mereka seringkali terpaksa harus utang pada kerabat atau teman jika ada kebutuhan yangn benar-benar mendesak (tanpa bunga). Sementara itu, sebanyak 45% responden menyatakan seringkali melakukan pekerjaan tertentu walaupun terpaksa asalkan mereka memperoleh penghasilan yang dapat dimanfaatkan untuk menyambung hidup.
Di luar utang dan bekerja, jika keadaan benar-benar memaksa, hal lain yang seringkali dilakukan sebagian responden (25%) adalah menggadaikan barang, dan bahkan jika perlu menjual sebagian barang atau asset produksinya (24%) jika memang keadaan sudah benar-benar genting. Sebuah keluarga miskin yang tertimpa musibah, anaknya jatuh sakit, sementara penghasilan tidak mencukupi, maka jangan heran jika mereka
terpaksa menjual sebagian barang miliknya untuk menambal kebutuhan hidup yang
memang tidak bisa ditunda.
Di kalangan keluarga miskin, cara-cara apapun niscaya tidak akan tabu mereka
lakukan, asalkan mereka dapat menyambung dan memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari, Sepanjang mereka masih dapat hidup dengan cara berhemat-seperti mengurangi frekuensi makan dan intensitas jajan- maka mereka niscaya akan melakukan itu semua agar tidak makin digerus tekanan kemiskinan. Tetapi, ketika langkah-langkah penghematan sudah tidak lagi efektif dilakukan, .rnaka tidak ada pilihan lain kecuali utang, bekerja apapun yang menghasilkan uang atau menggaclaikan dan bahkan jika perlu menjual sebagian barang berharga yang masih tersisa (*).
B. Provinsi Jawa Timur
Di Provinsi Jawa Timur, komitmen dan janji politik kebijakan pembangunan yang
pro poor sebagaimana dicanangkan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih diupayakan
terwujud melalui Program Jalin Kesra. Program Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Galin Kesra) ini pada dasamya adalah program pembangunan bidang sosial yang menjadi prioritas selama lirna tahun kepemimpinan Pakde Karwo dan Gus Ipul ke depan, yang bertujuan untuk mempercepat upaya penanganan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat miskin di Provinsi Jawa Timur.
Program Jalin Kesra ini ditargetkan Pemerintah ProvinsiJawa Timur akan dapat diselesaikan pada tahun 2013 mendatang, dalam arti di tahun itu jumlah rumah tangga sangat miskin benar-benar tidak lagi tersisa. Menurut data BPS, jumlah keluarga miskin di Jawa Timur saat ini mencapai 3,07 juta rumah tangga yang terdiri atas 1,33 juta rumah tangga hampir miskin atau 43%, 1,25 juta rumah tangga miskin atau 41% dan 493.004 rumah tangga sangat miskin atau 16%.
Program Jalin Kesra di era kepemimpinan Gubernur Jatim Soekarwo ini ditetapkan sebagai instrumen untuk mengentaskan rumah tangga sangat miskin (RTSM)
menjadi rumah tangga miskin (RTM). Bagi Provinsi Jawa Timur, Program Jalin Kesra adalah formula untuk mengentaskan 493.004 RTSM menjadi RTM. Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menganggarkan Rp 225 miliar yang digunakan untuk membantu 116.643 RTSM. Jika per tahun diasumsikan bisa menyelesaikan lebih dari 100 ribu RTSM, maka dalam empat tahun ke depan ProgramJalin Kesra akan dapat menyelesaikan dan memberdayakan rumah tangga sangat miskin menjadi lebih baik dan sejahtera. Untuk 2011 Pemerintah Provinsi Jawa Timur pun telah menyiapkan dana yang lebih besar dari 2010, yakni sebesar Rp 300 miliar. Dana itu telah disetujui oleh Gubernur Jawa Timur, Dr H Soekarwo dan akan dikelola Badan Pemberdayan Masyarakat (Bapermas) Jawa Timur untuk dimanfaatkan ke dalam berbagai program yang benar- benar pro poor.
Dalam Program Jalin Kesra, bantuan yang diberikan kepada keluarga miskin dibagi
ke dalam dua jenis, yakni bagi RTSM usia produktif usaha akan diberikan bantuan sekitar Rp 2,5 juta, sedangkan bagi RTSM usia lanjut di atas 65 tahun diberikan bantuan beras miskin kualitas premium seberat 20 kg dan uang sebesar Rp 150 ribu - per bulan selama setahun. Sengaja jenis bantuan yang disalurkan kepada keluarga miskin dibedakan,
karena disadari bahwa yang namanya keluarga miskin tidaklah semua sama, karena masing-masing memiliki kebutuhan dan karakteristik yang khas dan kontekstual.
Untuk bantuan yang diberikan kepada RTSM usia produktif, bentuk bantuan yang disalurkan bisa berupa barang atau bahan dasar usaha sesuai kebutuhan masyarakat. Misalnya, bagi masyarakat miskin yang terbiasa temak tawon madu, maka akan diberikan madu glondongan untuk diternak atau juga berupa hewan temak, seperti kambing, lele, dan ayam. Bagi RTSM di wilayah pesisir bisa diberikan bantuan jala atau ikan untuk diternakkan menggunakan karamba, dan lain sebagainya tergantung pada kebutuhan masing-masing RTSM.
Terlepas dari berbagai masalah yang timbul dalam proses pelaksanaan Program
Jalin Kesra di lapangan, dalam satu tahun terakhir harus diakui hasil yang dicapai cukup menggembirakan. Menurut data, jika pada tahun 2009, jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 6.022.590 jiwa (16,7 persen), maka pada tahun 2010 dilaporkan telah menurun menjadi 5.529.300 jiwa (15,3 persen). Ini berarti telah terjadi penurunan penduduk miskin sebesar 493.290 jiwa atau 1,42 persen. Secara umum, penurunan penduduk miskin di seluruh Indonesia periode 2009-2010 sejumlah 1.506.580 jiwa. Dalam hal ini, Provinsi Jawa Timur boleh berbangga karena menempati ranking pertama atau tertinggi se-Indonesia dengan kontribusi penurunan kemiskinan 32,7 persen.
Sebagai sebuah kebijakan dan program yang pro poor, Program ]a/in Kesra
memang menawarkan berbagai alternatif dan mencoba memahami secara lebih empatif persoalan dan kebutuhan keluarga miskin. Dalam pelaksanaan Program J alin Kesra, kemiskinan dipahami tidak sebatas sebagai ketidakmampuan ekonomi memenuhi kebutuhan fisik, tapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar, dan perbedaan
perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Secara rinci, hak-hak dasar keluarga miskin yang harus dan berusaha terpenuhi dalam Program Jalin Kesra adalah kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan berusaha, perumahan dan sanitasi, air bersih, perta:nahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari ancaman kekerasan serta hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Pertanyaannya sekarang, apakah pelaksanaan Program Jalin Kesra di berbagai daerah di Provinsi Jawa Timur benar-benar terbukti efektif di lapangan? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu bukan hal yang mudah. Meski secara statistik jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur terbukti turun. Namun demikian, untuk menyimpulkan apakah pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan di Jawa Timur benar-benar efektif dan bermanfaat bagi keluarga miskin tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Bab ini, secara rinci dan mendalam akan mencoba memaparkan hasil studi yang telah dilakukan di 5 kabupaten di Provinsi J awa Timur, yang bertujuan untuk melihat efektivitas pelaksanaan program pembangunan bidang sosial yangpropoor, khususnya di bidang kesehatan, pendidikan dan perlindungan anak.
1. Karakteristik Sosial Keluarga Miskin
Secara umum, yang disebut penduduk dan keluarga miskin sesungguhnya tidak hanya dilihat dari penampilan fisik dan kesederhanaan tempat tinggal mereka, tetapi juga dari ciri-ciri sosio-kultural yang menandainya. Secara umum, studi ini menemukan profil sosial yang merupakan karakteristik penduduk dan keluarga miskin di kantong-kantong kemiskinandi berbagai daerah di Provinsi Jawa Timur adalah kebanyakan mereka kurang berpendidikan, bekerja di sektor pertanian, perikanan dan sektor industri kecil dengan penghasilan dan upah yang rendah, tak berkeahlian dan sulit menerobos dan melakukan mobilitas vertikal secara signifikan karena sebab-sebab yang sifatnya struktural.
Di tengah kondisi perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih, tekanan kebutuhan hidup yang makin mahal, iklim persaingan usaha yang makin ketat, sernentara lapangan kerja makin sulit didapat, maka bisa dipahami jika tidak sedikit keluarga miskin di Provinsi Jawa Timur yang kehidupannya makin terpuruk, mengalami proses pendalaman kemiskinan dan masuk dalam spiral kemiskinan yang membelenggu. Disebut spiral kemiskinan di sini, karena begitu keluarga miskin masuk dalam pusaran spiral kemiskinan, maka kehidupannya akan cenderung makin susah, peluang untuk bangkit makin kecil, dan roda kehidupan pun terus berputar ke bawah layaknya seseorang yang tersedot dalam pusaran arus besar yang mematikan. Sebuah keluarga miskin yang sumber penghasilannya makin kecil, sementara biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terus naik dan tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh, tentu akibatnya bisa dengan mudah diprediksi: mereka makin rentan dan papa, karena tiang penyangga ekonomi keluarga tidak lagi ada yang bisa diandalkan.
Berbeda dengan karakteristik keluarga yang mapan atau keluarga kelas menengah ke atas di perkotaan yang umumnya berpendidikan tinggi atau sarjana, dan berkeahlian,
penduduk miskin di pedesaan umumnya hanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar
(33,8%), dan bahkan sebanyak 29,4% sama sekali tidak pemah mengenal bangku sekolah. Dari 500 penduduk miskin yang diwawancarai di berbagai kantong kemiskinan yang tersebar di 5 kabupaten di Provinsi Jawa Timur (Bondowoso, Probolinggo, Bangkalan, Sampang, dan Sumenep), hanya 24% yang berpendidikan setara SMP dan 12,8% yang berpendidikan setara SMA. Tidak ada satupun keluarga miskin yang diteliti berlatar belakang pendidikan Perguruan Tinggi atau Akademi. Bagi keluarga miskin, untuk dapat bersekolah hingga lulus Sarjana, tampaknya merupakan kemewahan tersendiri yang sulit mereka bayangkan dapat dicapai dalam kondisi kehidupan sehari-hari yang relative pas-pasan, atau bahkan kekurangan.
Tabel 5.26
Identitas Responden di Provinsi Jawa Timur Laki-laki Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan 52,0 % 48,0 % Umur 28 – 32 33 – 37 38 – 42 43 – 47 48 – 52 15,8 % 23,6 % 17,4 % 27,6 % 15,6 % Status Pernikahan Menikah
Janda/Duda
96,0 % 4,0 % Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah
SD SLTP SLTA 29,4 % 33,8 % 24,0 % 12,8 % Pekerjaan pokok Petani
Industri Kecil Sektor Informal Nelayan Wiraswasta/pedagang 44,4 % 10,8 % 6,0 % 28,6 % 10,2 % Pekerjaan Sampingan Ya, memiliki pekerjaan sampingan tetap
Ya, memiliki tetapi tidak tetap Tidak memiliki
10,0 % 32,0 % 58,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian
Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar penduduk miskin ini bukan hanya disebabkan karena rendahnya kesadaran ornag tua terhadap arti penting pendidikan. Tetapi tampaknya juga disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas untuk membiayai pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, apalagi hingga perguruan tinggi. Di kalangan penduduk miskin, sudah bukan rahasia lagi jika sebagian diantara mereka bahkan mengalami krisis kepercayaan terhadap arti penting pendidikan atau sekolah. Alih-alih menyadari pendidikan sebagai hak dasar anak, dalam kenyataan yang acapkali tetjadi pendidikan justru dipersepsi penduduk miskin sebagai beban karena untuk menyekolahkan anak jelas dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kendati pemerintah telah membantu kelangsungan pendidikan anak lewat program kompensasi
BBM bidang pendidikan dalam bentuk pembebasan SPP dan penyaluran BOS (Bantuan Operasional Sekolah) atau BOSDA (Bantuan Operasional Pendidikan Daerah), tetapi karena anak memiliki fungsi yang strategis sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga, maka bagi keluarga miskin yang terpenting bukan apakah anaknya dapat terus melanjutkan sekolah atau tidak, tetapi yang penting adalah anak-anak mereka dapat terus beketja untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarga.
Dari segi usia, penduduk miskin yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar termasuk usia produktif. Sebagian besar responden berusia di bawah 50 tahun. Sebanyak 27,6% responden berusia 43-47 tahun, dan sebanyak 23,6% berusia antara 33-37 tahun. Dalam rentang usia antara 28-47 tahun atau bahkan hingga 50 tahun lebih sekalipun, penduduk miskin yang diteliti sebetulnya masih sedang kuat-kuatnya beketja untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Tetapi, sejak pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM, di berbagai daerah lapapgan ketja yang tersedia umumnya makin sulit didapat, sehingga sebagian di antaranya terpaksa harus mau menekuni usahanya yang saat ini mungkin kembang-kempis, tidak jarang pula sebagian terpaksa sempat menganggur beberapa kali, atau bahkan usahanya bangkrut, dan tidak sedikit pula yang menjadi korban PHK.
Di berbagai daerah yang menjadi lokasi penelitian, studi ini menemukan pada akhimya yang dilakukan penduduk miskin untuk bertahan hidup adalah berusaha mencari setiap kesempatan atau celah untuk beketja, dan bahkan peketjaan apa pun biasanya akan tetap dilakukan penduduk miskin itu untuk menyambung kehidupannya. Menjadi peketja sambatan, ketja serabutan, atau peketjaan kasar lain yang melelahkan sekali pun terpaksa dilakukan agar mereka dapat terus survive. Di Kabupaten Bondowoso, misalnya, studi ini menemukan ada sebagian perempuan yang berasal dari keluarga miskin yang terpaksa rela beketja tukang kasaran, mengangkut batu-batuan dan melakukan peketjaan layaknya laki-laki karena didesak kebutuhan hidup yang terus menjejas.
Di berbagai daerah miskin di Provinsi Jawa Timur, jenis pekerjaan yang banyak
ditekuni dan menjadi katup penyelamat penduduk miskin umumnya adalahsektor pertanian (44,4%) dan sektor perikanan (28,6%). Sebagian yang lain mengembangkan usaha di sektor industri kecil (10,8%) dan wiraswasta atau berdagang kecil-kecilan (10,2%), yang terpenting dapat menambal penghasilan keluarga. Walau pun penghasilan yang diperoleh dari berbagai pekerjaan yang selama ini ditekuni tidak terlampau besar,
bahkan mungkin pas-pasan. Tetapi bagi keluarga miskin yang terpenting mereka
memiliki tempat bergantung hidup, dalam arti. ada penghasilan rutin yang dapat
diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi responden yang saat ini menekuni pekerjaan di sektor pertanian, menjadi petani penggarap atau buruh tani, mereka sebetulnya bukan tidak memaharni resiko atas kelangsungan dan keamanan pekerjaan yang mereka tekuni. Di tengah kondisi di mana sering terjadi anomali cuaca, dan harga hasil produk pertanian yang fluktuatif, disadari bahwa bekerja sebagai petani adalah sangat riskan dan acapkali tidak
sebanding antara biaya produksi yang telah dikeluarkan dengan margin keuntungan yang diperoleh. Perasaan was-was karena sewaktu-waktu bias saja cuaca menjadi sangat tidak bersahabat dan merusak tanaman mereka, adalah momok yang paling menakutkan responden yang mengaku bekerja di sektor pertanian. Tetapi, sekali lagi, karena pilihan yang tersisa bagi penduduk rniskin yang tak berpendidikan dan tak berkeahlian memang tidaklah banyak, maka pekerjaan yang penuh resiko inipun terpaksa mereka jalani apa