• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelangsungan Pendidikan Anak

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 155-161)

Analisi Kemanfaatan Program

4. Kelangsungan Pendidikan Anak

Melangsungkan pendidikan, minimal hingga jenj ang pendidikan dasar sesungguhnya adalah salah satu hak anak yang harus dipenuhi, tidak hanya oleh orang tuanya, tetapi juga pemerintah. Di Indonesia, selama ini program yang dikembangkan pemerintah untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak, terutama anak-anak miskin adalah pemberian beasiswa dan subsidi pendidikan, seperti program BOS/BOSDA yang intinya bertujuan untuk mencegah anak-anak putus sekolah di tengah jalan karena alasan ekonomi. Dengan digulirkannya program BOS/BOSDA, pemerintah berharap anak-anak keluarga miskin tetap dapat melangsungkan pendidikannya minimal hingga tidak sedikit daerah yang mengalokasikan subsidi biaya pendidikan hingga jenjang SMA/SMK.

Di atas kertas, kehadiran program BOS/BOSDA tentu bermanfaat bagi keluarga miskin, paling-tidak akan mengurangi beban yang mesti ditanggung orang tua dan keluarga miskin selama anak-anak mereka bersekolah. Seperti ditemukan dalam studi ini, dari 500 keluarga miskin yang diwawancarai, sebagian besar (30%) mengakui bahwa mereka merasa terbantu dengan adanya program BOS/BOSDA, dan bahkan sebanyak 31% responden menyatakan sangat terbantu. Hanya 7% responden yang menyatakan tidak terbantu meski dengan adanya program BOS/BOSDA, dan sebanyak 10% responden menyatakan sedikit terbantu.

Berbeda dengan keluarga yang secara ekonomi mapan dan telah memiliki penyangga dana yang cukup untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi sekalipun, di kalangan keluarga miskin kebutuhan biaya pendidikan memang seringkali menjadi masalah tersendiri, dan bukan tidak mungkin membebani karena kondisi ekonomi keluarga yang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah pas-pasan. Dengan memperoleh bantuan dari pemerintah melalui program BOS/BOSDA, paling-tidak keluarga-keluarga miskin yang menginginkan anaknya tetap melanjutkan pendidikan akan sedikit terbantu dan diringankan. Cuma, masalahnya: apakah dengan membebaskan siswa miskin dari kewajiban membayar SPP, lantas bisa dijamin anak-anak mereka akan dapat melanjutkan sekolah, minimal hingga jenjang pendidikan dasar?

Bagi anak-anak dari keluarga miskin, sekolah seringkali menjadi persoalan yang serba dilematis. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa sekolah merupakan kebutuhan dasar anak yang seyogianya dipenuhi, tetapi di sisi yang lain "memaksa" terus bersekolah di tengah kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, bukan tidak mungkin malah akan melahirkan berbagai problema baru yang makin membebani kondisi ekonomi keluarga. Seperti dituturkan sejumlah responden yang diwawancarai secara mendalam, bahwa yang dimaksud biaya pendidikan sebetulnya bukan hanya biaya SPP yang mesti dibayar bulanan oleh para orang tua, tetapi juga biaya-biaya lain yang jika diakumulasikan jumlahnya niscaya menjadi sangat besar. Artinya, meski pemerintah telah mengalokasian dana bantuan melalui program BOS/ BOSDA untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak-anak miskin, namun harus diakui hal itu bukan jaminan hal itu akan memberikan manfaat yang benar-benar efektif dan signifikan.

Tabel 5.14

Kondisi Kelangsungan Pendidikan Anak Keluarga Miskin di Provinsi Jawa Tengah

Apakah ada anak responden yang pustu sekolah di tengah jalan sebelum lulus SD

Ya, ada Tidak ada

44,0 % 56,0 % Apakah ada anak responden yang putus

sekolah di tengah jalan sebelum lulus SMP

Ya, ada Tidak ada

41,0 % 59,0 % Faktor utama yang menjadi penyebab anak

responden terpaksa putus sekolah

Lokasi sekolah jauh

Anak terpengaruh teman hingga memilih putus sekolah Anak terpaksa harus bekerja membantu orang tua Tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan anak

13,0 % 22,0 % 29,0 % 36,0 % Ada tidaknya anak responden yang

melanjutkan ke SMK dan pernah memperoleh Bantuan Khusu Murid (BKM) atau beasiswa dari pemerintah

Ya, ada

Tidak pernah (meski memilik anak yang melanjutkan ke SMK) Tidak pernah (karena tidak memiliki anak yang melanjutkan ke SMK)

20,0 % 33,0 % 47,0 %

Pengetahuan responden bahwa biaya operasional sekolah anaknya didanai pemerintah melalui Program BOS/BOSDA

Tahu Tidak tahu

70,0 % 30,0 % Pernah tidaknya responden memperoleh

penjelasan/informasi dari sekolah tentang Program BOS/BOSDA

Tidak pernah Pernah

51,0 % 49,0 % Apakah rsponden merasa terbantu dengan

adanya Program BOS/BOSDA

Sangat terbantu Terbantu Cukup terbantu Sedikit terbantu Tidak terbantu 31,0 % 30,0 % 22,0 % 10,0 % 7,0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Dari studi yang dilakukan di 5 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah ini ditemukan

fakta yang tidak terlalu menggembirakan. Walaupun anak-anak miskin telah dibebaskan

dari kewajiban membayar biaya operasional sekolah atau SPP, tetapi tampaknya hal itu

tidak menjadi jaminan bahwa anak-anak dari keluarga miskin akan tetap melanjutkan

sekolah, minimal hingga jenjang pendidikan dasar. Dari 500 keluarga miskin yang

diteliti, sebanyak 41 % menyatakan ada anak mereka yang tidak melanjutkan dan

terpaksa putus sekolah di jenjang pendidikan SMP, dan bahkan hampir separuh (44%)

mengaku bahwa ada minimal salah satu anak mereka yang terpaksa putus sekolah sebelum lulus SD.

Faktor yang menjadi penyebab anak-anak keluarga miskin itu putus sekolah sudah

barang tentu bermacam-macam. Tetapi, muara dari berbagai alasan dan faktor penyebab

anak-anak dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah adalah faktor ekonomi. Sebanyak

36% responden menyatakan alasan anak mereka putus sekolah karena tidak memiliki

membantu orang tua di usia dini. Kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan, dan bahkan serba kekurangan memang menjadi penyebab anak-anak dari keluarga miskin acapkali tidak bisa melanjutkan pendidikan. Selain itu, lokasi sekolah yang jauh (13%) dan pengaruh teman sebaya yang kebanyakan juga putus sekolah adalah faktor lain yang menyebabkan anak-anak dari keluarga miskin harus kehilangan haknya untuk menyiapkan modal bagi masa depan mereka. Di Kabupaten Brebes, studi ini menemukan ada sebuah keluarga miskin yang terpaksa menyuruh dua orang anaknya yang masih dalam usia sekolah dasar bekerja sebagai pengemis karena tekanan kemiskinan dan kebutuhan memperbaiki rumahnya yang hendak roboh.

Pemerintah sendiri selama ini sebetulnya sudah menawarkan berbagai program

untuk membantu memfasilitasi dan mencegah siswa miskin putus sekolah. Bahkan, selain menyalurkan program BOS/BOSDA, pemerintah juga telah menawarkan bantuan beasiswa bagi siswa miskin yang berminat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan SMK. Disadari bahwa bagi anak- anak miskin, pilihan meneruskan studi ke SMK secara teoritis lebih fungsional daripada mereka melanjutkan ke sekolah umum. Dengan memilih melanjutkan ke SMK, siswa diharapkan akan dapat mempelajari ketrampilan untuk hidup (life skills), yang akan bermanfaat bagi mereka segera mencari pekerjaan karena sifatnya yang terapan. Apakah tawaran ini telah banyak dimanfaatkan siswa miskin?

Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, studi ini menemukan bahwa sebagian besar responden (47%) umumnya tidak pemah memanfaatkan tawaran program beasiswa untuk SMK karena mereka memang tidak memiliki anak yang melanjutkan ke SMK. Sementara itu, sebanyak 33% responden mengaku meski anaknya melanjutkan ke SMK, tetapi tidak pemah memperoleh bantuan program bea siswa dari pemerintah. Hanya 20% responden yang mengaku ada salah satu anaknya yang memperoleh bantuan program beasiswa untuk siswa SMK miskin.

Di kalangan masyarakat miskin, ternyata tidak semua keluarga mengetahui tentang program BOS/BOSDA. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, cukup banyak responden (30%) yang mengaku tidak mengetahui kalau sekolah anaknya selama ini didanai pemerintah melalui program BOS/ BOSDA. Sebagai wali murid, para orang tua siswa miskin tidak banyak yang memahami program BOSD/BOSDA, karena menurut pengakuan mereka memang selama ini tidak atau belum pernah memperoleh penjelasan dari sekolah tentang program BOS/BOSDA. Hanya 49% responden yang menyatakan pernah memperoleh penjelasan dari sekolah tentang program BOS/BOSDA, sementara itu separuh lebih responden mengaku tidak atau belum pernah memperoleh penjelasan dari pihak sekolah..

Tabel 5.15.

Biaya Lain yang Tetap Harus Dibayar Keluarga Miskin Di Provinsi Jawa Tengah

Untuk Keperluan Pendidikan Anaknya Selama Sekolah

Biaya yang tetap harus dibayar

Keterangan Sering Kadang- kadang

Tidak Pernah

1. Uang seragam sekolah 37,0 % 36,0 % 27,0 %

2. Uang seragam olahraga 30,0 % 45,0 % 25,0 %

3. Buku bacaan penunjang 20,0 % 33,0 % 47,0 %

4. Uang praktikum 24,0 % 36,0 % 40,0 %

5. Biaya les tambahan 21,0 % 33,0 % 46,0 %

6. Biaya Esktra kurikuler

7. Sumbangan uang gedung

8. Biaya daftar ulang

31,0 % 20,0 % 20,0 % 30,0 % 32,0 % 35,0 % 39,0 % 48,0 % 45,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian

Kalau biaya yang harus dikeluarkan orang tua miskin selama menyekolahkan

anaknya hanya uang SPP, dan itu sudah ditanggung program BOS/BOSDA, barangkali tidak akan menjadi masalah berapa pun anak- anak mereka yang melanjutkan studi.

Tetapi, karena biaya ikutan atau biaya lain-lain yang harus dikeluarkan orang tua untuk

keperluan sekolah anaknya tidak semua ditanggung program BOS/BOSDA, maka bisa dipahami jika tidak semua keluarga miskin siap menanggung beban itu. Seperti sudah dikemukakan di atas, bahwa cukup banyak keluarga miskin ternyata tetap membiarkan

anak-anaknya putus sekolah di jenjang SD maupun S:MP, karena tidak mampu

memenuhi kebutuhan dana pendidikan bagi anaknya.

Menurut pengakuan sejumlah keluarga miskin yang diwawancarai, berbagai biaya

yang tetap mereka harus tanggung berkaitan kebutuhan pendidikan anak ternyata masih banyak. Walaupun mereka disebut-sebut telah dibebaskan dari kewajiban memenuhi biaya operasional sekolah/SPP, tetapi ternyata dalam kenyataan masih ada banyak biaya yang harus ditanggung siswa miskin. Dari berbagai biaya yang masih harus ditanggung orang tua siswa miskin, biaya yang seringkali tidak bisa dihindari adalah uang seragam sekolah (37%), uang seragam olahraga (30%) dan biaya ekstra kurikuler (31 %). Di luar itu, sejumlah biaya lain yang tetap menjadi tanggungan orang tua siswa adalah biaya untuk pembelian buku penunjang (20%), uang pratikum (24%), biaya les tambahan

(21%), sumbangan uang gedung (20%) dan biaya daftar ulang (20%).

Walaupun dalam berbagai kesempatan, pemerintah melalui Kepala Dinas

Pendidikan di masing-masing wilayah telah menegaskan agar sekolah tidak membebani siswa dengan biaya-biaya yang tidak perlu dan memberatkan. Dalam kenyataan, menurut sejumlah keluarga miskin yang diteliti hal itu tetap tidak terhindarkan. Dengan alasan sudah disetujui Komite Sekolah dan sifatnya suka rela, sering tetjadi siswa miskin pun tetap harus mengeluarkan biaya tertentu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.

Dari hasil penelusuran mendalam diketahui, para orang tua siswa umu.mnya tidak berani

biaya lain-lain itu, karena khawatir akan berdampak kontraproduktif terhadap anak- anak mereka. Menurut sejumlah responden, selama ini yang namanya sekolah gratis adalah hal yang mustahil, karena selalu saja setiap sekolah akan berusaha menyiasati dengan nama dan bentuk kegiatan yang sulit untuktidak diikuti atau ditolak siswa. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin siswa berani tidak ikut les tambahan yang ditawarkan sekolah, meski hal itu di awal telah ditegaskan bersifat suka rela atau tidak memaksa?

Tabel 5.16

Biaya yang Dirasa Masih Memberatkan Keluarga Miskin di Provinsi Jawa Tengah Ketika Harus Membiayai Anak Sekolah

Biaya sekolah Keterangan Sangat memberat- kan Memberat- kan Cukup memberat- kan Tidak memberat- kan

1. Uang saku/jajan anak di sekolah 21,0 % 40,0 % 26,0 % 13,0 %

2. Transportasi ke sekolah 13,0 % 25,0 % 27,0 % 35,0 %

3. Uang seragam 18,0 % 35,0 % 31,0 % 16,0 %

4. Uang untuk membeli peralatan 12,0 % 25,0 % 33,0 % 30,0 %

sekolah

5. Uang praktikum 11,0 % 22,0 % 31,0 % 36,0 %

6. Biaya ekstra kurikuler 17,0 % 25,0 % 30,0 % 28,0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Dari berbagai biaya tambahan yang harus ditanggung orang tua siswa miskin, di luar biaya operasional sekolah yang ditanggung BOS/BOSDA, menurut pemyataan responden, biaya yang dinilai memberatkan terutama adalah uang jajan anak dan uang seragam sekolah. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, 40% menyatakan uang jajan anak dinilai memberatkan, dan bahkan 21% responden menyatakan sangat memberatkan. Sementara itu, sebanyak 35% responden menyatakan biaya uang seragam juga memberatkan, dan.18% menyatakan sangat mernberatkan, Berbagai biaya tambahan yang lain, seperti uang pratikum, biaya ekstrakurikuler, biaya peralatan sekolah dan biaya transport anak, menurut sekitar25% responden juga dinilai memberatkan, dan bahkan sekitar 10% lebih responden menilai sangat memberatkan.

Bagi keluarga miskin, sebetulnya mereka telah menyadari bahwa pendidikan atau

sekolah adalah bagian dari kebutuhan anak yang harus dipenuhi orang tua. Namun demikian, di tengah keterbatasan kondisi ekonomi keluarga tentu tidak banyak pilihan yang bisa mereka ambil. Dengan kondisi keuangan yang untuk makan saja acapkali

kurang, maka kebijakan pemerintah yang hanya membebaskan biaya operasional sekolah,

tetapi tidak untuk biaya yang lain-lain, bagi keluarga miskin tampaknya rnasih dinilai kurang. Persoalannya di sini bukanlah mereka mau atau tidak mau menerima program BOS/BOSDA, tetapi yang tengah dihadapi keluarga- keluarga miskin di dunia nyata

adalah beban biaya pendidikan yang seringkali tidak sepadan dengan kemampuan

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 155-161)