• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelangsungan Pendidikan Anak Miskin

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 194-200)

Analisi Kemanfaatan Program

4. Kelangsungan Pendidikan Anak Miskin

Setiap anak sesungguhnya memiliki hak untuk bersekolah dan melangsungkan pendidikannya hingga setinggi mungkin. Tetapi, akibat kondisi dan tekanan kemiskinan yang dialami, acap terjadi keluarga-keluarga miskin yang ada terpaksa mengorbankan kelangsungan pendidikan anak- anaknya dan lebih memilih mengeluarkan atau tidak meneruskan sekolah anaknya, baik untuk sementara waktu maupun seterusnya. Meski pemerintah sebetulnya telah berusaha mencegah siswa putus sekolah dengan cara menggulirkan berbagai program bantuan, seperti BOS atau BOSDA, tetapi karena kebutuhan biaya untuk kepentingan sekolah tidak bisa sepenuhnya ditanggung pemerintah, maka yang terjadi kemudian adalah pilihan-pilihan dilematis yang tak jarang memaksa keluarga miskin harus mengambil keputusan yang tidak pro kepentingan anak.

Secara garis besar, menurut Suyanto (2010) beberapa hal yang biasanya terjadi

akibat meluasnya tekanan kemiskinan berkaitan dengan pendidikan anak adalah: Pertama, akses atau kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk memperoleh pelayanan publik di bidang pendidikan jelas akan makin berkurang, dan bahkan tidak mustahil sama sekali pupus karena mereka terpaksa masuk dalam situasi yang teramat sulit dan dilematis antara meneruskan sekolah ataukah membantu orang tua untuk menutupi kebutuhan hidup yang makin mencekik akibat situasi krisis.

Kedua, bersamaan dengan terjadinya gelombatig anak putus sekolah dan tingginya angka siswa yang tidak meneruskan ke jenjang SMP atau SMA, tidak mustahil akan menyebabkan anak-anak dari keluarga miskin potensial terpuruk dalam kondisi hubungan kerja yang merugikan, eksploitatif, dan bahkan tidak menutup kemungkinan mereka terpaksa terperangkap pada kegiatan produktif atau sektor-sektor yang sesungguhnya sangat tidak dapat ditoleransi (most intolerablefarms of child laboui).

Ketiga, terjadinya krisis ekonomi di Indonesia bukan tidak mungkin menyebabkan batas toleransi terhadap kasus-kasus eksploitasi dan pelibatan anak dalam kegiatan produktif menjadi makin longgar, sebab situasi dan kondisi yang ada dinilai sebagai faktor pendorong yang tak terelakkan. Bahkan, bisa jadi pula terjadinya situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan kemudian berubah menjadi "kambing hitam" untuk menutup-nutupi kurangnya perhatian dan ketidakmampuan kit.a untuk memberikan pelayanan pendidikan -yang notabene merupakan salah satu hak dasar anak-anak.

Tabel 5.40

Kondisi dan Kelangsungan Pendidikan Anak Responden Apakah ada anak responden yang

putus sekolah di tengah jalan sebelum lulus SD

Ya, ada Tidak ada

40,0 % 60,0 % Apakah ada anak responden yang

putus sekolah di tengah jalan sebelum lulus SMP

Ya, ada Tidak ada

68,0 % 32,0 % Faktor utama yang menjadi penyebab

anak responden terpaksa putus sekolah

Lokasi sekolah jauh

Anak terpengaruh teman hingga memilih putus sekolah

Anak terpaksa harus bekerja membantu orang tua

Tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan anak

Anak kawin muda

12,0 % 14,0 % 32,0 % 26,0 % 16,0 % Ada tidaknya anak responden yang

melanjutkan ke SMK dan pernah memperoleh Bantuan Khusus Murid (BKM) atau beasiswa dan pemerintah

Ya, ada

Tidak pernah (meski memiliki anak yang melanjutkan ke SMK) Tidak pernah (karena tidak memiliki anak yang melanjutkan ke SMK)

16,0 % 26,0 % 58,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian

Berbeda dengan anak-anak dari keluarga mapan yang seringkali menempatkan kelangsungan pendidikan anak sebagai salah satu prioritas, di kalangan keluarga miskin acap terjadi anak-anak mereka terpaksa menanggung beban tidak dapat dipenuhi haknya untuk bersekolah karena berbagai alasan. Bahkan, untuk bisa menamatkan pendidikan di jenjang pendidikan dasar 6 tahun pun, tidak jarang tetjadi anak-anak dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah di tengah jalan. Alih-alih bisa melanjutkan sekolah hingga SMA atau Perguruan Tinggi, studi ini menemukan dari 500 keluarga miskin yang diteliti, sebanyak 40% mengaku bahwa anak mereka terpaksa putus sekolah di tengah jalan sebelum lulus SD. Sementara itu, sebanyak 68% responden mengaku ada anak mereka yang tidak sampai lulus hingga SMP.

Tentang faktor penyebab anak-anak dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah, sudah barang tentu bermacam-macam. Namun demikian, faktor yang paling sering menjadi penyebab anak putus sekolah anak berkaitan dengan fungsi dan peran anak sebagai salah satu sumber pendapatan strategis bagi keluarga. Sebanyak 32% responden menyatakan bahwa anak mereka terpaksa putus sekolah karena harus membantu orang.tua beketja. Selain itu, faktor penyebab lain anak terpaksa putus sekolah adalah karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah (26%), akibat kawin muda (16%) dan karena pengaruh teman sebaya yang sama-sama putus sekolah (14%).

Di kalangan masyarakat miskin, kesadaran akan arti penting pendidikan dalam

banyak hal memang masih belum berkembang. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang anak yang setiap hari bergaul dan bermain dengan teman-teman mereka yang tidak lagi bersekolah atau hanya lulusan SD dapat bertahan untuk terns bersekolah melawan arus umum lingkungan sosial mereka? Di kalangan anak-anak seusia 7-13 tahun, secara teoritis pengaruhpeer-group adalah sangat kuat, sehingga bis a dipahami

putus sekolah hanya sampai di jenjang SD saja atau bahkan berhenti di tengah jalan karena teman-temannya pun mengalami hal yang sama.

Di sejumlah daerah di Provinsi Jawa Timur, khususnya di daerah tapal kuda, salah satu faktor yang perlu digarisbawahi adalah masih adanya kebiasaan masyarakat untuk menikahkan anak-anak mereka dalam usia yang relatif muda, bahkan masih kanak-kanak. Seperti sudah diuraikan di atas bahwa salah satu penyebab anak putus sekolah adalah karena mereka menikah di usia muda.

Pemerintah sendiri sebetulnya bukan lepas tangan dan tidak berusaha mencegah agar tidak terjadi pernikahan di usia dini. Untuk mengeliminasi kecenderungan pernikahan dini, khususnya pada anak perempuan sebetulnya sudah ada banyak cara telah dilakukan oleh pemerintah maupun mayarakat. Namun, harus diakui untuk menerapkan secara ketat peraturan batasan usia pernikahan bagi anak perempuan bukanlah hal yang mudah. Kendati dalam UU Perkawinan dengan tegas disebutkan bahwa batas usia minimal perempuan diperbolehkan menikah adalah 16 tahun -yang semestinya 18 tahun jika pemerintah konsisten mengacu pada KHA- temyata di lapangan tetap saja terjadi berbagai pelanggaran.

Di berbagai daerah, pihak KUA sendiri, sering tidak bisa berbuat apa-apa ketika ada

warga masyarakat yang meminta untuk dinikahkan anak perempuannya, meski nyata-nyata diketahui usianya belum 16 tahun. Studi yang dilakukan menemukan ada istilah dari pemong setempat untuk pernikahan dini anak perempuan, yakni "kawin pemutihan". Artinya, mereka sering tidak bisa menolak, karena para orang tua anak yang menikah itu datang ke KUA biasanya anaknya sudah menikah dulu secara Siri, sehingga daripada membiarkan status anak yang dilahirkan tidak jelas, maka KUA akhimya terpaksa menyetujui atau "memutihkan" saja.

Di sisi lain, pihak kelurahan atau kantor desa setempat acapkali juga tidak bisa berbuat banyak dan bahkan terpaksa ikut membantu proses "kawin pemutihan" itu dengan cara memberikan surat keterangan umur anak perempuan 16 tahun, walaupun mungkin anak itu baru 13 atau 14 tahun. Pihak kelurahan atau Kepala Desa mengaku tidak bisa berbuat apa- apa karena sebagian besar anak perempuan di pedesaan umumnya memang tidak memiliki akte kelahiran. Seperti diketahui di Indonesia, diperkirakan sekitar 40-60% anak tidak memiliki akte kelahiran, sehingga berbagai kasus manipulasi usia untuk mencari ketja di pabrik atau untuk ijin menikah menjadi sangat terbuka.

Di samping faktor sosial -lingkungan sosial yang tidak kondusif atau kebiasaan untuk menikahkan anak di usia dini- kecenderungan anak-anak dari keluarga miskin tidak sampai lulus SD atau SMP juga dipengaruhi faktor teknis-ekonomis. Di berbagai daerah di Provinsi Jawa Timur, sering terjadi seorang anak yang sudah lulus SD dan kemudian berminat untuk melanjutkan ke jenjang SLTP, mereka biasanya akan berpikir clua-tiga kali sebelum benar-benar memutuskan mendaftarkan diri. Dari hasil wawancara yang dilakukan terungkap bahwa jarak desa dengan geclung SMP atau geclung SMA tak jarang berkilo-kilo meter, sehingga butuh uang transport yang tidak

sedikit. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, dan juga kondisi usaha yang masih kembang-kempis bisa dipahami jika sebagian orang tua akan keberatan bila setiap hari harus menyiapkan uang 1.000-3.000 rupiah untuk sekadar ongkos transport dan uang jajan bagi anaknya.

Bagi anak-anak miskin yang bersikukuh ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, khususnya SMK, pemerintah belakangan ini sebetulnya telah menyediakan tawaran beasiswa melalui program BKM (Bantuan Khusus Murid), Tetapi, di kalangan keluarga miskin, jumlah mereka yang memanfaatkan dan mengakses program ini boleh dikata sangat sedikit. Dari 500 responden, hanya 16% yang mengaku salah satu anak mereka melanjutkan ke SMK dengan dukungan program BKM ini. Sementara itu, 26% responden, meski memiliki anak yang melanjutkan pendidikan ke SMK, ternyata tidak pernah memperoleh bantuan dari program BKM. Sebanyak 58% responden tidak memperoleh bantuan program BKM karena tidak memiliki anak yang melanjutkan ke SMK.

Terlepas apapun alasannya, fakta yang memperlihatkan bahwa anak- anak miskin di Provinsi Jawa Timur hingga saat ini masih banyak yang enggan atau tidak bisa melanjutkan hingga jenjang pendidikan clasar (SD-SMP), tentu sangat memprihatinkan, Untuk jenjang sekolah SD dan SMP, kita tahu pemerintah sebetulnya telah menanggung biaya operasional pendidikan agar para orang tua tidak lagi dibebani biaya pendidikan melalui program BOS dan BOSDA. Tetapi, karena problema yang dihadapi masyarakat miskin seringkali sangat kompleks, dan anak acapkali memiliki fungsi ekonomi yang strategis, maka efek program BOS dan BOSDA pun pada akhirnya tidak terlalu signifikan.

Tabel 5. 41

Pengetahuan dan Manfaat Program BOSDA

Pengetahuan responden bahwa biaya operasional sekolah anaknya didanai pemerintah melalui Program BOS/BOSDA

Tahu Tidak tahu

74,0 % 26,0 %

Pernah tidaknya responden

memperoleh penjelasan/informasi dari sekolah tentang Program

BOS/BOSDA

Tidak pernah Pernah

26,0 % 74,0 %

Apakah rsponden merasa terbantu dengan adanya Program BOS/BOSDA Sangat terbantu Terbantu Cukup terbantu Sedikit terbantu Tidak terbantu 22,0 % 34,0 % 20,0 % 14,0 % 10,0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Di kalangan masyarakat miskin, tidak semua penduduk miskin paham tentang

program BOS atau BOSDA. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, sebanyak 26% mengaku tidak paham program BOS dan BOSDA dan tidak pernah memperoleh

penjelasan resmi dari sekolah tentang program ini, meski mereka merniliki anak yang sekolahnya dibiayai program BOS atau BOSDA.

Sebagai bagian dari masyarakat miskin, sebagian besar responden yang diteliti mengakui bahwa kehadiran program BOS atau BOSDA sangatlah bermanfaat. Sebanyak 34% menyatakan terbantu berkat adanya program BOS atau BOSDA, dan bahkan 22% responden menyatakan sangat terbantu. Sementara itu, sebanyak 20% responden menyatakan cukup terbantu. Hanya 10% responden yang menyatakan tidak terbantu dan 14% responden menyatakan hanya sedikit terbantu meski sudah ada program BOS atau BOSDA.

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, di mana orang tua siswa dibebani

kewajiban membayar uang SPP, sejak kehadiran program BOS atau BOSDA, sekarang ini yang namanya keluarga miskin memang sudah tidak lagi dibebani kewajiban untuk membayar uang sekolah secara rutin bulanan. Dari segi ini, bagaimana pun diakui

responden bahwa kehadiran program BOS atau BOSDA cukup membantu dan

meringankan. Tetapi, bukan berarti tidak ada lagi biaya yang harus ditanggung keluarga mi skin berkaitan dengan kepentingan pendidikan anak-anaknya. Walaupun untuk biaya operasional katanya telah ditanggung program BOS atau BOSDA, tetapi untuk biaya operasional sekolah yang lain, seperti uang seragam sekolah, seragam olahraga, buku bacaan penunjang, uang pratikum, biaya les tambahan, biaya ekstra kurikuler, sumbangan uang gedung dan biaya daftar ulang, seringkali masih harus dibayar para orang tua siswa.

Tabel 5.42

Biaya Lain Yang Tetap Hams Dibayar Keluarga Responden Untuk Keperluan Pendidikan Anaknya Selarna Sekolah

Biaya yang tetap harus dibayar

Keterangan

Sering Kadang- kadang Pernah Tidak

1. Uang seragam sekolah 44,0 %

58,0 % 52,0 % 58,0 % 40,0 % 36,0 % 54,0 % 52,0 % 36,0 % 20,0 %

2. Uang seragam olahraga 30,0 % 12,0 %

3. Buku bacaan penunjang 34,0 % 14,0 %

4. Uang praktikum 30,0 % 12,0 %

5. Biaya les tambahan 52,0 % 8,0 %

6. Biaya Esktra kurikuler 40,0 % 24,0 %

7. Sumbangan uang gedung 36,0 % 10,0 %

8. Biaya daftar ulang 40,0 % 8,0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Untuk keperluan biaya operasional minimal sekolah, mungkin benar para orang tua siswa kini tidak lagi dibebani kewajiban untuk membayar SPP. Tetapi, dalam praktik sehari-hari, ketika guru atau sekolah meminta siswa membayar uang pratikum, biaya les, biaya ekstra kurikuler dan lain sebagainya, maka mau tidak lagi para orang tua siswa harus menyisihkan uang untuk memenuhinya. Besaran dana BOS dan BOSDA, di berbagai sekolah umumnya dinilai massih belum sebanding dengan kebutuhan rill

hal tertentu atas demi peningkatan kualitas pembelajaran, maka para orang tua siswa pun tidak bisa menolaknya. Sejurnlah responden yang diwawancarai menyatakan bahwa program BOS atau BOSDA sesungguhnya hanya menyelesaikan separuh atau sebagian dari persoalan biaya pendidikan siswa miskin, tetapi di luar itu masih ada biaya-biaya lain yang tetap menjadi tanggungan dan beban keluarga miskin.

Bagi keluarga miskin yang hidupnya pas-pasan atau bahkan serba kekurangan, problema mereka bukanlah apakah anak-anak mereka dibebaskan dari kewajiban membayar uang SPP atau tidak. Melainkan, yang yang lebih substansial adalah implikasi atau rentetan efek ekonomi yang mesti mereka tanggung tatkala mereka bersikukuh menyekolahkan anak-anaknya. Kewajiban untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak, seperti seragam sekolah, yang pratikum, biaya ekstra kurikuler, termasuk pula biaya transport, uang saku atau uang jajan anak, jika itu semua diakumulasikan, maka ujung-ujungnya akan terasa membebani. Terlebih, ketika anak tetap bersikukuh sekolah, itu berarti tidak ada pemasukan alternative yang bisa disumbangkan anak untuk memperkuat penyangga ekonomi keluarga.

Tabel 5.43

Hal-hal yang Dirasa Masih Memberatkan Ketika Harus Membiayai Anak Sekolah

Biaya sekolah Keterangan Sangat memberat- kan Memberat- kan Cukup memberat- kan Tidak memberat- kan

1. Uang saku/jajan anak di sekolah 14,0 % 34,0 % 30,0 % 22,0 %

2. Transportasi ke sekolah 22,0 % 34,0 % 32,0 % 12,0 %

3. Uang seragam 28,0 % 38,0 % 20,0 % 14,0 %

4. Uang untuk membeli peralatan 26,0 % 42,0 % 22,0 % 10,0 %

sekolah

5. Uang praktikum 20,0 % 36,0 % 26,0 % 18,0 %

6. Biaya ekstra kurikuler 24,0 % 38,0 % 20,0 % 18,0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Studi ini menemukan sebanyak 28% responden menyatakan bahwa kewajiban untuk membiayai kebutuhan seragam sekolah anak sangatlah memberatkan. Sementara itu, sebanyak 26% responden mengeluhkan biaya peralatan sekolah yang dinilai juga sangat berat. Sebanyak 24% responden menyatakan biaya ekstra kurikuler yang harus mereka bayar sangat berat, dan sebanyak 20% menyatakan biaya pratikum sangat berat. Di luar itu, sebanyak 22% responden mengeluhkan biaya transportasi ke sekolah juga sangat berat.

Di mata masyarakat miskin, ketika dalam dunia nyata mereka tidak melihat adanya perbedaan yang signifikan antara masa depan anak-anak yang hanya lulus SD atau SMP dengan anak yang bersekolah hingga tamat SMA atau lulus Perguruan Tinggi sekalipun, sesungguhnya bisa dipahami jika yang menjadi pilihan pada akhirnya adalah mencari cara lain untuk memastikan masa depan anak tanpa mengandalkan pada bekal pendidikan anak yang cukup. Ketika biaya pendidikan dirasa masih sangat berat meski sebagian telah dicover program BOS atau BOSDA, maka bagi · sebagian masyarakat

miskin pilihan yang terpaksa ditempuh pada akhimya adalah menghentikan sekolah anaknya di tengah jalan, dan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang arti penting bekerja di usia dini agar,tetap mampu survive di tengah kondisi kemiskinan yang menjejasnya.

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 194-200)