• Tidak ada hasil yang ditemukan

Networking dan Kolaborasi dalam Implementasi Kebijakan Sosial

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 40-43)

Kerangka Pikir Dan Metode Kajian

5. Networking dan Kolaborasi dalam Implementasi Kebijakan Sosial

Warsono, Hardi, 2009 dalam kajian kerjasama daerah mengemukakan Prinsip

Pendekatan wilayah dianggap sebagai pelengkap dalam penyelenggaraan pembangunan disamping pendekatan pembangunan daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan wilayah-khususnya kerjasama antar daerah yang berdekatan-inilah berbagai kondisi, baik praktical maupun teoritical terjadi. Dalam domain praktis tercatat menguatnya kebijakan desentralisasi, sedangkan pada domain teoritis antara lain terjadi pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam literature kerjasama antar daerah (intergovernmental management) juga terjadi pergeseran semangat dari yang sekedar co-operation ke arah semangat collaboration. Secara umum pergeseran- pergeseran tersebut terjadi dari pendekatan sentralistis ke desentralistis. Beberapa runutan kajian yang membahas proses regionalisasi dan kerjasama antar daerah, tercatat antara lain Goggin, Weichhart. Sementara beberapa pakar public management study belakangan memberikan kajian yang memperkuat konsep-konsep intergovernmental management. Goggin Networking dalam Intergovernmental Management (Hardi Warsono) 81 (1992) menjelaskan pada The Communications Model of Intergovernmental Policy Implementation sejumlah faktor yang mendukung (inducement factors) dan menghambat (constraint factors) dalam kerjasama regional pada berbagai level pemerintahan, sementara Weichhart (2002) lebih tegas mengemukakan sejumlah faktor yang berperan dalam proses regionalisasi dan kerjasama antar daerah antara lain: tekanan global, keterbatasan kemampuan dan potensi serta ego lokal. Pertanyaan yang sering menggelitik banyak pihak ketika mencermati format yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah adalah: “apakah perlu menyusun bentuk organisasi yang berbeda ketika kita membentuk lembaga atau organisasi yang dibangun dari banyak kewenangan otonom (dua atau lebih pemerintah daerah)?” Organisasi pengelola kerjasama yang melibatkan hubungan antara beberapa pemerintah daerah yang bersifat otonom tentu saja memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi dalam satu payung pemerintah daerah. Pengaturan bersama tentu berbeda dengan pengaturan sendiri. Pengaturan sendiri seperti kebanyakan desain organisasi resional menggunakan pendekatan dominansi kewenangan sentral yang berasal dari kewenangan pucuk (dalam hal ini kewenangan pimpinan daerah). Organisasi rasional dikembangkan dengan pendekatan weberian type bureaucracy dengan prinsip-prinsip yang tegas dan cenderung kaku. Kerjasama antar daerah merupakan aksi bersama (collective action) yang terjadi dalam proses unik. Keunikan kerjasama antar daerah ini terlihat dari antara lain, pola hubungan yang terjalin dilandasi oleh relasi horisontal, bukan hirarkhial. Konsekuensi dari pola hubungan ini akan berimplikasi pada pendekatan yang semestinya dipahami bersama oleh aktor yang terlibat. Kesalahan pemahaman dan pemberlakuan model organisasi konvensional berakibat fatal pada manajemen kerjasama antar daerah, yakni jebakan birokratisme dalam kerjasama antar daerah. Pendekatan konvensional memandang organisasi dengan pendekatan birokrasi Weberian.

Dalam beberapa kasus terdapat pengabaian atau belum tertanganainya masalah- masalah sosial pada daerah-daerah khusus, diantaranya pada daerah perbatasan untuk

kebutuhan layanan Pendidikan anak-anak tenaga kerja Indonesia yang bekerja pada wilayah perbatasan negara seperti kutipan berikut :

The border region is currently still very identical to the" limitations" so almost all border regions in Indonesia have nearly the same issue namely welfare gaps to the Community border as a result of the limitations of the various issues of basic infrastructure, education, health issues to social economic problems communities are still largely dependent on neighboring countries. In the field of education is known for all education jargon that became the Foundation of the movement the fulfillment of education for all. In order to achieve the goals of national education the flattens, quality, relevant and efficient as mandated by legislation of the national education system the number 20 in 2003, where special education and special services (PK-LK) need very basic education gets special attention. A labor of Indonesia (TKI) at the boundary of the country generally citizens of the entrants in the Emergency Department and is busy with his household economic activities. The condition implies less serious handling education for their child. This problem is compounded by the limited educational facilities at the border. To address this movement of strange education boundary is required (Warsono, Hardi, 2018)

Kajian yang menyoroti esensi dari collaborative governance dan bagaimana peran pemerintah di dalamnya dikemukakan oleh Gunningham, N dalam jurnal yang berjudul “The New Collaborative Environmental Governance : The Localization of Regulation”. (Gunningham, 2009). Pembahasan difokuskan pada pemahaman tentang bagaimana lingkungan kerja kolaboratif dibangun dan peran pemerintah sebagai penggerak atau inisiator kolaborasi. Kaidah lingkungan kerja kolaboratif merupakan suatu cara kerja yang melibatkan kolaborasi antara swasta, publik, dan non-pemerintah yang bertindak bersama menuju tujuan yang disepakati bersama. Cara kerja kerja ini diyakini memberikan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan cara kerja yang mengandalkan kemampuan individu. Cara kerja kolaboratif merupakan suatu pergeseran ke pemerintahan baru yang merubah tatakelola tradisional dipenuhi dominasi negara terhadap kelompok lain (misalnya, masyarakat sipil dan bisnis) dan aktor non-negara. Penekanan terpenting dari kolaboratif adalah adanya kesetaraaan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam kolaborasi dimana para pihak mengambil peran lebih besar, meski menurut Gunningham posisi penting tetap dimainkan oleh negara dalam perannya sebagai inisiator. Negara dalam tatakelola kolaboratif wajib terus memainkan peran penting, yakni langsung intervensi serta koordinasi, memfasilitasi, kemudi dan intervensi langsung (setidaknya ketika mengarah kepada hal- hal yang salah).

Kajian ini penting dalam memberikan pemahaman substansial terhadap konsep kolaborasi dalam penanganan kebijakan sosial di Indonesia. Hal penting dari masukan kajian ini adalah bagaimana menempatkan posisi pemerintah dalam tatakolaboratif permasalahan publik dalam hal ini problem sosial.

Selanjutnya, Ansell, C, & Toring, J, dengan artikel yang berjudul “How does Collaborative governance Scale?”. (Ansell, C, & Toring, 2015) selanjutnya melakukan kajian literatur keduanya bertujuan untuk untuk mengkaji bagaimana bentuk pemerintahan yang interaktif dan berjejaring. Secara umum, tata kelola kolaboratif khususnya, berkaitan dengan konsep skala dan beberapa dimensi. Dialog tentang relevansi skala, telah menghasilkan kerangka kerja untuk menggambarkan skala dari pemerintahan interaktif. Pemerintahan interaktif adalah bagian dari bidang pemerintahan yang lebih luas menyoroti interaksi antara sejumlah besar pelaku publik dan swasta sebagai kendaraan untuk memulai, merancang dan menerapkan kebijakan dan peraturan. Tatakelola interaktif dapat mengambil bentuk spesifik, termasuk korporatisme, kemitraan publik-swasta, forum deliberatif. Tiga bentuk interaksi: kerjasama, koordinasi dan kolaborasi. Kerja sama mengacu pada memperhatikan tujuan orang lain dan juga bertukar pengetahuan dan gagasan. Koordinasi berusaha menghindari konflik dan duplikasi (koordinasi negatif), dan untuk menciptakan sinergi (koordinasi positif). Akhirnya, kolaborasi menyiratkan bentuk interaksi yang terus berlanjut dan dilembagakan yang disediakan untuk negosiasi kepentingan yang saling bertentangan, pembentukan strategi bersama dan tujuan, dan implementasi bersama dan sasaran strategis dari pendanaan ini. Dalam kaitan dalam penanganan kebijakan sosial, diperluka kolaborasi yang kuat antar pelaku yang terlibat, dengan bangunan konsensus yang kuat dan setara dalam gerakannya.

B. Metode Kajian

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 40-43)