Kerangka Pikir Dan Metode Kajian
4. Kebijakan Publik untuk Penanggulangan Kemiskinan
Negara kesejahteraan mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk perlindungan rakyatnya dari kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan sudah menjadi kata kunci semua pihak. Di tingkat international, kesepakatan untuk penanggulangan kemiskinan ini bermuara pada Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) tahun 2005.
Di tingkat nasional, penanggulangan kemiskinan telah dijamin secara tegas dalam UUD 1945, khususnya pasal 27 dan 28. Pasal 27 ayat 2 berbunyi : "Tiap-tiap warganegara berhak alas peke,jaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”;· sedangkan pasal 28 B ayat 2 : "Setiap anak berhak alas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak alas perlindungan dari kekeraan dan diskriminasi".
Khusus masalah pendidikan, pasal 28 C ayat 1 dan pasal 31 ayat l. Pasal 28 C ayat 1 berbunyi: ''setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar; berhak mendapatpendidikan dan memeperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan hidup,rya dan demikesejahteraan umat manusia." Pasal 31 ayat 1 berbunyi : "tiap-tiap warganegara berhak mendapat pendidikan”.
Di tingkat nasional, penanggulangan kemiskinan selanjutnya juga telah dibuatkan acuan berupa Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) sejak tahun 2004. Impian Indonesia terkait pencapaian sasaran dan tujuan MDGs tahun 2015 adalah mengurangi separo angka kemiskinan, menurunkan separo angka kematian balita dan ibu melahirkan. Yang menjadi perdebatan adalah bagaimana semangat konstitusi dan dokumen SNPK diwujudkan dalam praktek dan kelembagaan sehari-hari (Abdul Waidl dkk. Ed., 2008).
Dari laporan Human Development Report tahun 2010 didapatkan informasi bahwa: Dari data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI), Indonesia menempati urutan 108, lebih rendah dibanding negara di Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (27), Brunei (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97) .
Sementara itu, dari evaluasi capaian RPJMN dikemukakan bahwa target pengentasan kemiskinan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) bakalan tidak tercapai. Hal tersebut terlihat dari rendahnya pencapaian target tahunan. Target RPJM akhir tahun 2009: tingkat kemiskinan 8,2% sedangkan realisasi sampai Maret 2009 masih 12% sampai 14%. (Bappenas:
http://www.menkokesra.go.iti 3 Maret '09).
Dalam paparan kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat oleh Deputi Menko Kesra (Februari 2011) disebutkan konsep "Pembangunan Untuk Semua" sebagai upaya percepatan penanggulan kemiskinan. Konsep Pembangunan Untuk Semua ini merujuk pada tiga arah utama yaitu:
1. Pembangunan yang inklusif. Inklusif dalam outcomes seperti penciptaan lapangan kerja maksimal, dan percepatan penurunan tingkat kemiskinan, serta inklusif dalam proses yang berupa partisipasi masyarakat.
2. Dimensi kewilayahan, dimana daerah sebagai pusat pertumbuhan yang memiliki sumber daya yang berbeda beda, serta pengembangan ekonomi lokal untuk memperkuat ekonomi domestik
3. Integrasi Ekonomi Nasional.
Hal yang ingin dicapai dalam konsep Pembangunan Untuk Semua dalam masa 2010, hingga 2014 dimana pertumbuhan ekonomi yang mendorong perbaikan pemerataan: pola pertumbuhan yang ramah keluarga miskin (pro poor gowth) dan pengurangan kesenjangan pembangunan antar daerah. Demikian juga pembangunan manusia Indonesia
yang berkualitas, dimana manusia sebagai subjek pembangunan, menginvestasikan untuk bidang pangan, kesehatan dan pendidikan serta perbaikan kualitas hidup termasuk didalamnya dimensi lingkungan hidup (pemenuhan terhadap target MDGs).
Adapun arah kebijakan penanggulangan kerniskinan yang tertuang dalam dokumen RPJMN tahun 2010- 2014 adalah
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan usaha kecil dan dapat dinikmati seluas-luasnya oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin (pro-poor growth);
2. Meningkatkan kualitas kebijakan & program penanggulangan kemiskinan (kebijakan afirmatif/keberpihakan);
3. Peningkatan efektivitas penurunan kemiskinan di daerah; 4. Percepatan pembangunan di daerah terpencil & perbatasan.
Diuraikan kemudian mengenai focus kebijakan pemerintah dalam percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang akan diambil, diantaranya:
1. Meningkatkan koordinasi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dan memperkuat aspek-aspek pendukungnya yaitu (1) regulasi, (2) kelembagaan, (3) pendanaan, (4) pendataan dan (5) sistem informasi.
2. Menaikkan anggaran untuk program-program yang berkaitan langsung maupun tidak langsung untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran;
3. Mendorong APBN di setiap kementerian dan lembaga untuk mengembangkan program yang berbasis pemberdayaan masyarakat;
4. Tetap mempertahankan program subsidi bagi masyarakat miskin seperti Raskin, BOS, Jamkesmas, PKH dan lainnya
5. Mendorong APBD provinsi, kabupaten dan kota agar tahun-tahun selanjutnya meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja.
6. Memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi dan investasi; meningkatkan pertumbuhan sektor riil, mengembangkan UMKM, menjaga kestabilan harga beras, mendorong investasi yang padat karya, dan lainnya.
Pada prinsipnya kebijakan public adalah pilihan. Ada negara yang memilih belanja sosial yang luas dan ada negara-negara yang memilih belanja sosial yang minimal. Ada tiga penjelasan terhadap pilihan kebijakan Negara pada belanja sosial tersebut. Amenta dan Carruthers (1988) menjelaskan ketiga alasan tersebut. Pertama, penjelasan ekonomi. Perkembangan sosial-ekonomi dan teknologi menciptakan masalah-masalah sosial yang harus diatasi oleh Pemerintah (The logic of industrialism). Perluasan industrialisasi dan urbanisasi menciptakan masalah sosial yang beraneka dan menekan pemerintah untuk menyediakan belanja sosial yang lebih luas.
Kedua, penjelasan politik (democratic politic). Belanja social yang luasmerupakan hasil dari institusi-institusi politik dan partisipasi politik, atau dengan kata lain sebagai hasil dari kompetisi politik. Oleh karenannya, belanja sosial yang luas dipandang bukan sebagai akibat ekonomi atau kapitalisme, melainkan sebagai pengaruh proses politik. Welfare state dengan belanja sosial yang luas, dipandang sebagai kemenangan politik atas ekonomi. Politik di sini diartikan dua, yakni : politik pemilu (electoralpolitic), dan politik dalam pengertian gerakan sosial (non electoralpolitic), seperti kelompok kepentingan, gerakan sosial, dan gerakan protes.
Ketiga, penjelasan peran Negara dalam kebijakan sosial. Dalam penjelasan ini, Negara bukanlah actor atau institusi yang pasif, Negara bukan merupakan alat dari masyarakat dan bukan sekedar cerminan dari kekuatan luar dirinya. Justru sebaliknya, Negara memiliki otonomi dan kepentingannya sendiri (state-centered analysis). Oleh karenanya belanja sosial yang tinggi dan program social yang luas harus ditelusuri dari kepentingan negara, masa lalunya, kapasitas, dan sebagainya. Peran Negara dapat berjalan secara langsung, yaitu kapasitas Negara (fiscal dan birokrasi) dalam menyediakan dana dan berbagai program sosial, dan peran tidak langsung adalah kebijakan masa lalu yang memiliki andil pada kebijakan masa kini.
Ada enam perspektif dalam memahami kebijakan dan anggaran pro-poor yaitu: • Pertama, pro poor budget merupakan bagian atau turunan dari pro poor polity
(kebijakan yang berpihak kepada kaum miskin. Secara konseptual, kebijakan yang berpihak pada si miskin (pro poorpolity) adalah tindakan
politik yang bertujuan mangalokasikan hak-hak dan sumberdaya kepada individu, organisasi dan wilayah yang terpinggirkan oleh pasar dan Negara (Moore dan Putzel, 2000).
• Kedua, anggaran pro poor merupakan bentuk tindakan afirmatif dalam pengarus utamaan kemiskinan (poverry mainstreaming) dalam kebijakan pembangunan. Terlihat dari tingkatan dunia dalam MDGs, sedangkan dalam tingkatan nasional sudah tertuang dalam RPJMN yang kemudian dijabarkan dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Suatu anggaran bisa dikatakan sebagai pro rakyat miskin bila kebijakan anggaran diarahkan untuk mempercepat (akselerasi) peningkatan pendapatan secara agregat, membuka akses bagi orang
rniskin untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berkembang, sekaligus sebagai instrument utama untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan.
• Ketiga, anggaran propoor dapat dipahami dari perspektif pendekatan
pembangunan yang berbasis pada hak (right_based approach to development).
Pendekatan ini berpijak pada kerangka relasi "hak" dan "kewajiban", yakni relasi antara individu atau kelompok pemegang hak disatu pihak dan di lain pihak, pemerintah sebagai pengemban kewajiban. Pendekatan berbasis hak
(right_based approach to development) lahir sebagai kritik dan revisi
pendekatan berbasis kebutuhan dasar (basic_need approach). Jika pendekatan berbasis kebutuhan dasar berupaya mengamankan sumber daya tambahan untuk melayani atau mencukupi kebutuhan kelompok-kelompok marjinal, pendekatan berbasis hak menegaskan bahwa sumberdaya yang tersedia seharusnya dibagi secara adil kepada kaum marjinal sekaligus memperkuat posisi tawar kaum matjinal memperjuangkan hak-hak mereka atas sumberdaya. Dengan pola pikir ini, orang rniskin harus ditempatkan secara utuh sebagai citizen yang berhak atas kebijakan afirmatif dan berhak atas anggaran, bukan sekedar target penerima manfaat, dan penerima amal.
• Keempat, anggaran pro poor bisa dibingkai dalam 3 perspektif kemiskinan,
yakni structural (kelas), gender, dan institusional.
• Keliina, anggaran propoor bisa dimaknai dari perspektif demokrasi, sehingga
anggaran propoor identik dengan anggaran yang demokratis.
• Keenam, anggaran pro poor bisa dipahami melalui perspektif desentralisasi,
yakni anggaran yang dekat dengan rakyat rniskin di level lokal. Pelaksanaan desentralisasi salah satunya bertujuan untuk mendekatkan kekuasaan, tata pemerintahan, pelayanan publik dan perencanaan dan penganggaran dari Negara kepada rakyat atau dari pemerintah nasional kepada daerah.