• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesehatan Keluarga Miskin

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 148-155)

Analisi Kemanfaatan Program

3. Kesehatan Keluarga Miskin

Kesakitan bagi keluarga miskin ibaratnya adalah roda penggerak kemiskinan.

Berbeda dengan keluarga dari golongan menengah ke atas yang ketika sakit rata-rata masih memiliki tabungan, asuransi dan tetap bisa mengambil gaji di awal bulan walaupun mereka tidak masuk kerja, bagi keluarga miskin, ketika mereka sakit, maka yang terjadi biasanya adalah akumulasi tekanan yang ujung-ujungnya akan membuka peluang bagi terj adinya proses pendalaman kemiskinan.

Seperti dikatakan Chambers (1987), bahwa serangan penyakit sesungguhnya adalah roda penggerak atau factor yang seringkali menyebabkan keluarga miskin makin terpuruk, karena bukan saja menyebabkan mereka kehilangan kesempatan untuk

memperoleh upah atau penghasilan yang sifatnya harian akibat tidak bisa bekerja, tetapi tak jarang juga menyebabkan mereka terpaksa harus menjual sebagian asset procluksinya untuk menambah kebutuhan hidup dan biaya berobat bagi si sakit. Bagi keluarga miskin, ketika mereka sakit, maka itu berarti tidak acla pula kesempatan bagi mereka untuk memperoleh penghasilan selama mereka sakit. Seorang tukang becak miskin yang tidak bekerja karena sakit, maka tidak akan pernah memperoleh penghasilan karena tidak ada satu penumpang pun yang akan membayamya. Demikian pula ketika seorang nelayan miskin tidak melaut karena sakit, maka tidak akan pemah ada penghasilan yang bisa diperoleh karena tidak ada ikan yang mereka tangkap dan bawa pulang.

Di kalangan keluarga mis kin, kesakitan oleh sebab itu adalah mala petaka yang selalu dicoba dihindari, karena efeknya yang menyengsarakan. Meski dernikian, bukan berarti mereka selalu mampu menyiasati serangan penyakit dan memastikan diri untuk tetap sehat sepanjang waktu. Akibat situasi cuaca yang tidak menentu dan kondisi gizi yang kurang, tidak jarang terjadi anggota keluarga miskin, -entah itu ayah, ibu atau anak -anak mereka- tiba-tiba jatuh sakit dan membutuhkan perawatan atau pengobatan.

Tabel 5.8

Anggota Keluarga Responden yang Pemah Sakit Tergolong Cukup Berat Harus Ke Puskesmas/Dokter/RS Selama 6 Bulan Terakhir

Anggota Keluarga Keterangan

Tidak Ya

1. Ayah / Suami 2. Ibu / Istri 3. Anak Balita 4. Anak (bukan balita)

72,0 % 78,0 % 88,0 % 59,0 % 28,0 % 22,0 % 12,0 % 41,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian

Dalam enam bulan terakhir, studi ini menemukan cukup banyak anggota keluarga miskin yang pernah sakit yang tergolong cukup berat. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, 28% mengaku anggota keluarga yang pemah sakit cukup parah dan harus dirawat di Puskesmas atau Rumah Sakit adalah ayah, 22% ibu, dan 12% anak balita, dan 41 % anak yang sudah bukan lagi balita. Dibandingkan orang tua, ayah dan ibu, ada kecenderungan anggota keluarga yang lebih potensial terserang penyakit tampaknya adalah anak-anak, khususnya anak yang sudah tidak lagi balita. Anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah, dan acapkali terpapar situasi lingkungan yang kurang kondusif, tampaknya menyebabkan posisi anak-anak (non balita) lebih rawan terserang penyakit.

Untuk anak-anak yang masih balita, studi ini menemukan probabilitas mereka

terserang penyakit relatif lebih rendah bila dibandingkan anggota keluarga yang lain. Fakta ini tentu cukup menggembirakan. Di kalangan keluarga miskin, tampaknya kesadaran untuk memberikan perawatan kesehatan yang memadai bagi anak-anak balita telah cukup berkembang. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, studi ini menemukan sebanyak 40% responden untuk saat ini masih memiliki anak yang

tergolong balita, yaitu 1 orang anak. Meski ada sebagian responden yang mengaku anak balita mereka seringkali mengalami kondisi berat badan di bawah garis merah KMS (20%), tetapi dari 200 keluarga miskin yang saat ini memiliki anak balita, sebagian besar responden (42,5%) menyatakan hal itu hanya kadang-kadang tetjadi, dan bahkan sebanyak 37,5% responden menyatakan tidak pernah anaknya yang balita mengalami

masalah kekurangan berat badan.

Tabel 5.9

Frekuensi Makan Keluarga Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Dalam Setahun Terakhir

Anggota Keluarga Keterangan

3 x sehari 2 x sehari 1 x sehari Tidak

1. Ayah 2. Ibu

3. Anak dibawah 18 tahun (bukan balita) 4. Anak balita 51,0% 48,0% 53,0% 25,0% 20,0% 20,0% 20,0% 10,0% 9,0% 8,0% 9,0% 8,0% 20,0% 24,0% 18,0% 57,0% Sumber : Data dan Analisa penelitian

Di kalangan keluarga miskin, frekuensi dan kemungkinan anggota keluarga

terserang penyakit tampaknya sedikit-banyak berkaitan dengan frekuensi mereka makan dalam kehidupan sehari-hari. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, hanya sekitar separuh yang mengaku dalam setahun terakhir makan rata-rata 3 kali sehari- hari. Cukup banyak keluarga miskin yang setiap hari temyata hanya makan 2 kali sehari, dan bahkan sekitar 8-9% responden mengaku setiap harinya makan 1 kali sehari. Meski ada kemungkinan mereka makan 2 kali sehari karena kebiasaan, tetapi bila dibandingkan dengan energi dan tenaga yang harus mereka keluarkan dalam peketjaan sehari-hari, maka asupan makanan yang hanya 1-2 kali sehari niscaya kurang ideal.

Di antara anak-anak keluarga miskin yang diteliti, studi ini menemukan sebanyak 43% responden mengaku memiliki anak yang termasuk kurang gizi. Bagi keluarga miskin

yang beruntung (50%), selama ini kondisi kesehatan anaknya masih cukup terbantu karena sesekali mereka mengaku memperoleh bantuan makanan tambahan bergizi dari pemerintah. Bagi keluarga miskin yang aktif dalam kegiatan Posyandu, dan memiliki

akses yang cukup terhadap bantuan dari pemerintah, peluang mereka untuk memperoleh

bantuan dari berbagai program pemerintah memang lebih besar. Terlepas, bagaimana kondisi kesehatan dan status gizi anak responden saat ini, kesadaran keluarga miskin untuk sejak awal menjaga kesehatan anak-anaknya sebetulnya sudah cukup berkembang. Dari hasil wawancara diketahui bahwa sejak masa kehamilan, kesadaran ibu untuk memeriksakan kesehatan kandungannya telah sering dilakukan. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, 45% responden menyatakan sering memeriksakan kesehatan janin ketika harnil, dan bahkan 17% responden mengaku selalu memeriksakan kesehatan janinnya. Hanya 15% responden yang mengaku tidak pemah memeriksakan kesehatan janin selama kehamilan anaknya. Menurut pengakuan responden, selama ini pihak yang menolong persalinan anak mereka yang terakhir sebagian besar adalah tenaga medis, yaitu bidan

bahwa pihak yang menolong persalinan anak mereka yang terakhir adalah dukun (40%).

Bagi keluarga miskin yang benar- benar papa dan tidak berpendidikan, memang dalam

beberapa kasus peran dukun persalinan masih sangat dominan, terutarna karena kehadiran dukun dirasakan tidak mengalienasikan dan berjarak dengan mereka. Tetapi, bagi keluarga miskin yang bersikap lebih terbuka, kepercayaan mereka pada peran tenaga medis modern umurnnya lebih besar, sehingga bisa dipahami jika dalam persalinan anak yang terakhir pihak yang dipilih sebagai penolong persalinan adalah tenaga medis modem, terutama bidan. Di berbagai desa yang rnenjadi lokasi studi, keberadaan bidan yang kebanyakan adalah penduduk seternpat memang rnenjadi altematifyang seringkali dipilih dan dipercaya sebagai penolong persalinan anak. Selain biayanya relatif tetjangkau, di mata masyarakat mis kin, keberadaan dan peran bidan tampaknya dinilai tidak terlalu "betjarak" seperti layaknya tenaga medis dokter.

Tabel 5.10

Kondisi Kesehatan Keluarga Miskin di Jawa Tengah Apakah responden masih memiliki anak

balita

Ya, memiliki Tidak memiliki

40,0 % 60,0 %

Jumlah Balita yang dimiliki (N = 200) 1 anak 100,0 %

Pernah tidaknya anak balita responden memperoleh bantuan makanan tambahan bergizi (program PM1) dari pemerintah

N = 200 Ya, Pernah Tidak Pernah 50,0 % 50,0 %

Apakah responden memiliki anak yang termasuk kurang gizi

Ya, memiliki Tidak memiliki

43,0 % 57,0 % Pernah tidaknya anak balita responden

mengalami kondisi berat badan berada di bawah batas garis merah KMS (N = 200)

Sering Kadang-kadang Tidak pernah 20,0 % 42,5 % 37,5 % Hal-hal yang dilakukan keluarga responden jika

ada anggota keluarga yang sakit tergolong berat

Diobati sendiri Dibawa ke Puskesmas

Dibawa ke Rumah Sakit Dibawa ke Dokter Umum Dibawa ke Dukun 10,0 % 45,0 % 15,0 % 25,0 % 5,0 %

Tempat ibu/istri responden biasanya memeriksakan kehamilan anak yang terakhir

Tidak pernah periksa Dukun Puskesmas Bidan Dokter

15,0 % 23,0 % 33,0% 23,0 % .6,0 % Rutin tidaknya ibu/istri memeriksakan ·

kehami!ari< ·

Selalu Sering Jarang Tidak pernah

17,9 % 45,0 % 23,0 % 15,0 % Yang menolong persalinan anak

responden yang terakhir

Dukun Bidan . Dokter 40,0 % 45,0 % 15,0 %

boleh dikatakan kondisi kesehatan masyarakat miskin di Provinsi Jawa Tengah, terutama kesehatan anak tergolong tidak terlalu mencemaskan. Hanya saja, harus diakui masih ada sebagian keluarga miskin yang hidup dan konclisi kesehatannya harus membutuhkan berbagai penanganan. Di kalangan keluarga miskin, jika ada di antara anggota keluarga yang sakit, tempat yang menjadi rujukan pertama berobat umumnya adalah Puskesmas (45%) dan dokter umum (25%). Hanya sebagian kecil responden yang biasa mengaku mengobati penyakit ke clukun (5%) atau diobati sendiri (10%).

Bagi keluarga miskin yang memiliki dan tercatat sebagian bagian dari program Jamkesmas atau Jamkesda, jika mereka terpaksa jatuh sakit, di atas kertas biaya berobat dan berbagai layanan yang dibutuhkan selama perawatan niscaya akan ditanggung program layanan kesehatan dari pemerintah. Seperti diketahui dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah mengalokasikan dana dan mencanangkan program Jakesmas/ Jamkescla untuk membantu meringankan beban warga masyarakat miskin yang terganggu kesehatan. Melalui program ini, masyarakat miskin yang jatuh sakit diharapkan akan dapat memperoleh layanan kesehatan gratis sesuai ketentuan yang berlaku. Cuma, yang menjadi masalah kemuclian, dalam praktik sering terjadi hak masyarakat miskin untuk memperoleh layanan kesehatan gratis tidak selalu semulus seperti yang diharapkan.

Tabel 5.11

Akses dan Pemanfaatan Jamkesmas/Jamkesda di kalangan Jamkesmas/Jamkesda Pernah tidaknya keluarga responden

memanfaatkan Program Jamkesmas atau Jamkesda dalam setahun terakhir (N = 365

Tidak Pernah Pernah

30,1 % 69,9 %

Ketika memperoleh kartu Jamkesmas/ Jamkesda, apakah responden membayar (N = 365)

Ya Tidak

35,6 % 64,4 %

Jika ya, jumlah yang harus dibayar responden ( N = 130) Rp. 30.000 - Rp.50.000 Rp. 50.001 - Rp.70.000 Rp. 70.001 - Rp.90.000 >Rp. 100.000 38,5 % 15,4 % 7,6 % 38,5 % Tingkat kesulitan keluarga responden ketika

mengurus Kartu Kepesertaan Program Jamkesma atau Jamkesda ketika berobat di Puskesmas/Rumah Sakit (N = 365) Sangat sulit Sulit Biasa saja Mudah Sangat mudah 12,3 % 27,4 % 28,8 % 21,9 % 9,6 % Sumber : Data dan Analisa penelitian

Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, tidak semua responden mengaku memiliki kartu Jamkesmas/Jamkesda. Hanya 365 responden yang mengaku memilikinya, dan itu pun selama setahun terakhir tidak semua pemah memanfaatkan kartu Jamkesmas/Jamkesda. Dari 365 keluarga miskin pemilik kartu Jamkesmas/Jamkesda, hanya 69,9% yang mengaku pemah memanfaatkan ketika ada anggota keluarga yang

jatuh sakit, sementara itu sebanyak 30,1% responden mengaku tidak pernah memanfaatkannya. Di desa perbatasan, studi ini menemukan ada indikasi nasib masyarakat miskin tak jarang agak terabaikan, dan sebagian tidak memperoleh kartu Jamkesmas/Jamkesda karena jauh dari pusat pemerintahan.

Terlepas dari berbagai kerumitan dan keluhan dalam implementasinya, bagi masyarakat mis kin, keberadaan program Jamkesmas/Jamkesda sudah barang tentu sangat fungsional. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika keluarga miskin yang jatuh sakit kemudian mereka harus mengeluarkan sendiri biaya berobat yang makin hari makin mahal. Sebagai bagian dari penduduk miskin yang berhak memperoleh layanan kesehatan gratis, memiliki kartu Jamkesmas/Jamkesda sungguh sangat membantu. Namun demikian, diakui sejumlah responden bahwa untuk bisa memperoleh dan tercatat sebagai target sasaran program Jamkesmas/Jamkesda bukanlah hal yang mudah. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, hanya sekitar 31 % responden yang menyatakan proses pengurusan kartu kesertaan program Jamkesmas/ Jamkesda relatif mudah atau sangat mudah. Sementara itu, sebagian besar responden menyatakan sulit (27,4%), dan bahkan 12,3% responden menyatakan sangat sulit.

Studi ini menemukan cukup banyak keluarga miskin ketika mengurus kartu

jamkesmas/Jamkesda temyata harus mengeluarkan sejumlah dana tertentu. Dari 365

keluarga miskin yang memiliki_ kartu jamkesmas/ Jamkesda, 35,6% mengaku mereka

terpaka harus mengeluarkan uang untuk membayar proses pengurusan kartu tersebut. Sebagian responden (38,5%) menuturkan mereka mengeluarkan uang sekitar 30-50 ribu untuk mengurus pemilikan kartu Jamkesmas/Jamkesda, dan bahkan sebagian yang lain terpaksa mengeluarkan uang hingga 50 ribu lebih, atau malah 100 ribu lebih (38,5%).

Tabet 5.12

Bentuk Kesulitan yang Dihadapi Keluarga Responden Ketika Mengakses Layanan Kesehatan Melalui Program Jamkesmas Atau Jamkesda =365

Bentuk Kesulitan Keterangan Sering Kadang- kadang Tidak Pernah 1. Prosedur adrninistrasi di 19,2% 26,0% 16,4% 42,5% 50,7% 35,6% 35,6% 28,8% 27,4% 35,6% 23,3% 34,2% 28,8% 38,4% 32,9% 43,8% 53,4 % Puskesmas/RS berbelit

2. Sikap petugas kurang ramah 38,4%

3. Didiskriminasi 60,3%

4. Tetap membayar, meski hanya sebagian

23,3% 5. Memperoleh fasilitas layanan yang

diinginkan

20,5%

6. Memperoleh obat 26,0%

7. Memperoleh layanan gratis 31,5%

8. Mengajukan Komplain 27,4%

Kalau berbicara normatifnya, sebagai pemilik kartu Jamkesmas/ J amkesda, siapa pun keluarga miskin yang tercatat dan diakui sebagai bagian dari masyarakat miskin, mereka berhak memperoleh layanan kesehatan gratis sesuai ketentuan, Sesuai janji pemerintah dan ketentuan yang berlaku, penduduk miskin, berhak untuk memperoleh layanan kesehatan gratis agar tidak makin terpuruk ditekanan kebutuhan perawatan kesehatan yang dari hari ke hari cenderung makin mahal. Tetapi, mengingat kondisi yang ada di lapangan di masing-masing daerah berbeda-beda, studi ini menemukan tidak semua keluarga miskin di Provinsi Jawa Tengah bis a mengakses layanan kesehatan gratis sesuai ketentuan.

Dalam kenyataan, ketika ada anggota keluarga miskin yang jatuh sakit dan terpkasa harus berobat ke Puskesmas atau pusat layanan kesehatan lain, mereka tidak

sekali-dua kali menemui kesulitan tatkala mencoba memanfaatkan program

Jamkesmas/Jamkesda. Sekitar separuh responden mengaku mereka seringkali masih harus mengeluarkan uang, meski tidak penuh (42,5%) dan seringkali pula mereka tidak memperoleh fasilit.as layanan seperti yang diharapkan (50,7%).

Dari sejumlah keluarga miskin yang memiliki kartu Jamkesmas/ Jamkesda, sekitar seperempat responden mengaku seringkali harus menghadapi prosedur administrasi Puskesmas/RS yang berbelit (19,2%) dan sikap petugas yangdinilai kurang ramah (26%). Tidak sedikit responden juga merasa bahwa dalam mengakses layanan kesehatan, mereka merasa diperlakukan diskriminatif (16,4%), dan kesulitan ketika mengajukan komplain (28,8%). Sebanyak 35,6% responden juga mengaku seringkali kesulitan memperoleh bantuan gratis beberapa jenis obat tertentu, dan terpaksa harus membeli sendiri di luar Puskesmas/Rumah Sakit karena di sana tidak tersedia.

Dikat.akan Chambers (1987), bahwa serangan penyakit bagi keluarga miskin ibaratnya adalah roda penggerak kemiskinan. Artinya, ketika ada anggot.a keluarga miskin sakit, terut.ama ketika yang jatuh sakit adalah kepala keluarga yang menjadi sumber sekaligus penopang utama pencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, maka yang tetjadi umumnya adalah rentetan dampak yang acapkali menyebabkan keluarga miskin menjadi makin terpuruk.

Studi ini menemukan tidak sedikit keluarga miskin di Provinsi Jawa Tengah yang semakin terpuruk ketika tulang punggung keluarga jatuh sakit. Sebuah keluarga yang kehidupan sehari-hari tergantungpada peketjaan ayah atau ibu yang menjadi buruh industri kecil, dan suatu saat mereka tiba-tiba sakit, maka jangan kaget jika untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, keluarga itu lantas kelimpungan. Tidak jarang terjadi, ketika tulang punggung keluarga sakit, maka anak-anak pun terpaksa harus menjadi korban karena mereka harus ikut beketja membantu orang tua mencari nafkah (34%). Bahkan, tidak jarang terjadi, anak-anak yang semestinya harus diberi kesempatan bersekolah, terpaksa harus putus sekolah di tengah karena membantu dan menggantikan peran orang tua untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Di Kabupaten Pemalang, misalnya studi ini menemukan ada salah seorang anak buruh

konveksi yang selama SD selalu ranking I, tetapi ternyata tidak bisa melanjutkan ke SMP akibat kemiskinan dan ketidakmampuan ekonomi orang tuanya.

Tabel 5.13

Dampak Sosial Yang Dialami Keluarga Miskin Ketika Tulang Punggung Keluarga Sakit

Dampak Sosial Keterangan Sering Kadang- kadang Tidak Pernah

1. Terpaksa utang (tanpa bunga) 37,0 % 38,0 % 25,0 %

2. Utang ke orang lain (dengan bunga) 31,0 % 35,0 % 34,0 %

3. Menjual barang 19,0 % 33,0 % 48,0 %

4. Menggadaikan barang 18,0 % 42,0 % 40,0 %

5. Meminta bantuan kerabat/ saudara 20,0 % 30,0 % 50,0 %

6. Anak terpaksa membantu bekerja 34,0 % 42,0 % 24,0 %

Sumber : Data dan Analisa penelitian

Ketika tulang punggung keluarga jatuh sakit, dampak sosial yang terjadi dan dialami keluarga miskin biasanya adalah mereka terpaksa utang orang lain, baik dengan kewajiban membayar bunga (31 %) atau tanpa bunga (37%), terpaksa menggandaikan (18%) atau bahkan menjual sebagian barang berharga miliknya (19%), atau jika memungkinkan meminta bantuan kerabat (20%) agar dapat membantu keluarga miskin yang bersangkutan memperpanjang daya tahan mereka.

Bagi keluarga miskin yang terkena musibah di mana ada anggota keluarga yang tiba-tiba jatuh sakit, terlebih yang jatuh sakit adalah tulung punggung keluarga, apa yang terjadi kemudian bukan tidak mungkin adalah proses pendalaman kemiskinan yang menyebabkan mereka makin terpuruk. Ibarat pukulan, kesakitan bagi keluarga miskin tak ubahnya seperti palu godam: begitu kuat menghantam hingga menyebabkan taraf kehidupan mereka makin terjepit dan tak berdaya. Pada titik inilah, bis a dipahami jika Chambers (1987) menyebut serangan penyakit adalah roda penggerak kemiskinan yang membuat keluarga makin sengsara dan papa. ·

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 148-155)