• Tidak ada hasil yang ditemukan

Payung Hukum Pelaksanaan Program Jamkesmas

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 125-134)

Implementasi Kebijakan Sosial Dan Responsitas Daerah

B. Provinsi Jawa Timur

1. Payung Hukum Pelaksanaan Program Jamkesmas

Saat ini pemerintah sedang memantapkan penjaminan kesehatan melalui Jamkesmas sebagai awal dari pencapaian jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk. Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) akan menjadi pendorong perubahan•perubahan mendasar bagi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Dalam pedoman pelaksanaan Jamkesmas, dijelaskan bahwa Jamkesmas adalah bentuk belanja bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak mampu serta peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Program ini diselenggarakan secara nasional agar tetjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap peserta menjadi tanggung jawaban dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal. Pengertian Jamkesmas secara umum telah climengerti secara baik dan benar oleh seluruh peserta Focus Group Discussion (FGD). Peserta FGD melibatkan dinas terkait, seperti Dinas Kesehatan dan Bappecla

di lima kabupaten di Jawa Timur diantaranya Pemprov Jawa Timur, Sampang, Sumenep, Bangkalan, Bondowoso dan Probolinggo. Hal essensial dari Jamkesmas yang sebagai pemberian jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin agar memudahkan mereka dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang pembiayaannya clibebankan pada APBN.

Kemudian lebih rinci Jamkesmas diartikan bersama sama sebagai pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak tercover oleh Jamkesmas, yang pembiayaannya dibebankan pada daerah (APBD) yang bersangkutan yang bertujuan agar masyarakat miskin bisa mendapatkan pelayanan dan akses pelayanan kesehatan yang baik dan tepat sesuai dengan kebutuhannya.

Pelaksanaan Jan,kescla diclasarkan pada pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. J uga sebagai respon atas kebijakan nasional di bidang kesehatan. Jamkesmas di level nasional, memberikan quota/jatah di tiap provinsi dan kabupaten/ kota mendapatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas.

Kebijakan Jamkesmas mendapatkan respon yang baik dari pemerintah provinsi dan kab/kota di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari kebijakan yang diturunkan dan dihasilkan didaerah berupa payung hukum baik itu peraturan daerah, peraturan gubemur atau peraturan bupati sebagai landasan hukum pelaksanaan Jamkesda. Peraturan sudah dirasa sudah mencukupi, tidak menjadi kendala atau sebagai suatu masalah, tinggal ditahap pelaksanaannya perlu penclampingan dan control yang baik agar ter•implementasikan dengan baik. Payung hukum di level provinsi Jawa Timur dilanclaskan pada Perda No 4 tahun 2008 tentang sistem jaminan kesehatan daerah di Jawa Timur, kemudian diturunkan ke Pergub No 4 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Timur. Dalam Peraturan Daerah yang telah disahkan pada Juni 2008 secara umum dijelaskan bawah tujuan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Daerah (SJKD) adalah : a. Melindungi seluruh warga masyarakat dalam sistem jaminan kesehatan di Daerah b. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem jaminan kesehatan di Daerah

c. Mewujudkan sistem pembiayaan kesehatan perorangan yang bersumber dari masyarakat dan Pemerintah serta mendorong efisiensi pembiayaan.

d. Menjamin keterjangkauan masyarakat dengan mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu.

e. Memberdayakan masyarakat bersama Pemerintah Daerah di Jawa Timur dalam pelayanan publik bidang kesehatan.

Sementara di level kabupaten, seperti di Kabupaten Bondowoso juga merniliki payung hukum berupa Peraturan Bupati yaitu Perbup No 11 tahun 2011 tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang dijamin pemerintah

Bondowoso. Dari kelima kabupaten yang menjadi locus penelitian, semuanya sudah memiliki payung hukum pelaksanaan Jamkesda yang memang masih beragam baik yang masih menggunakan peraturan bupati maupun peraturan daerah seperti yang terdapat di Kabupaten Sumenep dengan Peraturan Daerah No.29 tahun 2008 tentang

pelaksanaan Jarnkesda. Tentu hal ini dapat menandakan respon yang baik dan tepat dari pemerintah di daerah atas kebijakan nasional di dalam menindaklanjuti upaya-upaya mensejahterakan masyarakat.

Dijajaran pemerintah Provinsi Jawa Timur juga sedang mengusahakan pembentukan DWA (Dewan Wali Amanah) sebagai Badan Pengelola Pelaksanaan Jamkesda. Adapun tugas dari DWA adalah sebagai badan pelaksana jaminan kesehatan masyarakat daerah (Jamkesda) di Jawa Timur. Membuat nota kesepakatan dengan kabupaten dan kota di Jawa Timur, termasuk mendata dan mengawasi pelaksanaan Jamkesda tersebut. Hal ini didasarkan pada landasan hukum Perda No. 4 tahun 2008 tentang Jamkesda. Tugas dan wewenang Dewan Wali Amanah secara rinci disebutkan: a. kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan kesehatan; b. mengusulkan kebijakan investasi DJKD, memberikan persetujuan rencana investasi

dan menilai kinetja pelaksanaannya;

c. mengusulkan anggaran jaminan kesehatan bagi penerima bantuan iuran di Daerah Provinsi dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dan/atau Pemerintah.

d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola kepada Gubernur;

e. menetapkan peraturan internal dan kebijakan BPJKD sesuai dengan kewenangannya;

f. meminta keterangan, memeriksa dan/atau mengusulkan kepada Gubemur tentang

sanksi bagi Pejabat Pengelola;

g. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan keluhan dan pendapat/saran, dari Peserta

terhadap penyelenggraan program jaminan kesehatan daerah bersama•sama Pejabat Pengelola;

h. melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan kesehatan

daerah dan melaporkan hasilnya sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Gubernur dan DPRD Provinsi paling lambat 1 (satu) bulan setelah laporan Pejabat Pengelola setiap semester dan setiap tahunan.

Kebanyakan didaerah kabupaten pelaksanaan Jamkesda masih dikelola oleh dinas•

dinas terkait, seperti dinas kesehatan yang juga bekerja sama dengan bappeda atau BPS. Tentu diharapkan pembentukan semacam badan penyelenggaran Jaminan Kesehatan Daerah boleh diadakan oleh kabupaten/kota. Walau memang akan terkait dengan

anggaran nantinya, namun pengelolaan secara khusus akan memudahkan sekaligus

memaksimalkan dalam pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Sementara terkait dengan anggaran dana dalam pelaksanaan Jamkesda masih beragam. Hal ini didasarkan pada kemampuan anggaran dan pendapatan di masing masing daerah cukup berbeda satu dengan lainnya. Pemerintah provinsi Jawa Timur yang notabene tidak memiliki "masyarakat" membantu kabupaten/ kota dengan program ketjasama dengan dana sharing pembiayaan pelayanan Jamkesda. Anggaran yang

dialokasikan dengan bentuk dana sharing berkisar 341 Millar di tahun 2010 untuk 38 kab/

kota yang ada di Jawa Timur. Sharing pembiayaan ini membagi beban pendanaan

pelayanan kesehatan 50% dari provinsi dan 50% dari kabupaten/ kota. Selain itu, kabupaten/ kota juga memiliki anggaran tersendiri dalam menunjang pembiayaan pelaksanaan Jamkesda. Seperti halnya Kabupaten Bondowoso mengalokasikan 3,7 Millar di tahun 2007.

2. Implementasi Kebijakan dan Best Practice Program Jamkesmas

Untuk Jamkesmas, data kepesertaannya didasarkan pada data Badan Pusat Statistik 2008 yang menetapkan kepesertaan l?J name dan l?J address ditiap kab kota yang ada di Jawa Timur. Data tersebut diverifikasi oleh daerah masing masing dan kemudian diterbitkan Surat Keputusan oleh pejabat tinggi daerah untuk penetapannya sebegai penerima Jamkesmas. Dan kemudian, sebagai respon yang baik oleh pemerintah daerah, Jamkesda.

Sementara untuk mengurangi kesalahan data dan keterbatasan alokasi dana dalam

data updating peserta Jamkesda, maka dinas kesehatan seperti yang terdapat di Kabupaten Sampang dan Sumenep memiliki inovasi dengan melibatkan tenaga kesehatan di level terendah desa, seperti bidan, perawat dalam melakukan update dan validasi data berdasarkan pasien yang datang berobat ke puskesmas atau tempat praktek kesehatan. Dinas kesehatan menggerakkan perangkat kesehatan desa untuk mensurvei dan mendata masyarakat miskin hingga kemudian data yang masuk diolah berjenjang sampai ke bappeda, dan verifikasi dengan dinas kesehatan dan validasi data yang ada di BPS. Hal ini tentu bentuk inovasi dalam mengurangi pengeluaran dana yang terdapat di daerah.

Keterbatasan alokasi dana di daerah dalam pemberian layanan terkadang berimplikasi pada dibatasinya biaya pelayanan dan bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat seperti yang terdapat di beberapa kabupaten di Jawa Tengah. Namun di Kabupaten Sumenep tidak ada pembatasan biaya dalam pernberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin. Ketika terjadi pembengkakan dalam pembiayaan pelayanan masyarakat miskin, maka diusulkan PAK (Perubahan Anggaran Kerja) dan umumnya bisa terpenuhi. Demikian halnya di Kabupaten Sampang, pemkab sudah

menjalin kerjasama dengan dengan pemprov Jatim dalam sharing pembiayaan..Tidak ada

pembatasan pembiayaan dalam pemberian pelayanan bagi masyarakat miskin. Bagi masyarakat mis kin yang tidak merniliki kartu Jamkesda dapat menggunakan SPM sebagai bukti kepesertaan. Jika pelayanan kesehatan dilakukan di kabupaten maka pembiayaan dibebankan ke kabupaten, sedangkan untuk pelayanan rujukan akan dibebankan ke provinsi.

Sementara itu, pemerintah provinsi juga memberikan BK atau Bantuan Keuangan khusus Kesehatan untuk puskesmas dalam pembelian alat kesehatan, disamping itu juga ada program dari perubahan Polindes (pondok bersalin desa) menjadi Ponkesdes, pondok kesehatan desa bantuan ini diberikan untuk semua kab/kota namun besarannya

berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kab/kota. Tentu kebijakan kebijakan serupa perlu ditiru oleh kabupaten/ kota yang dalam respon atas kebijakan dilevel nasional yang tujuannya untuk memaksimalkan pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

3. Permasalahan Dan Usulan Perbaikan Program Jamkesmas

Tentu pelaksanaan kebijakan Jamkesmas/Jamkesmas tidak terlepas dari permasalahan yang terjadi dilapangan. Hampir serupa dengan apa yang terjadi di Jawa Tengah. Utamanya terkait dengan pendataan dan data base kepesertaan masih

menemukan kendala. Pendataan dan data base orang miskin yang sebelumnya

menggunakan/mengacu pada BPS 2008. Data tersebut pada kenyataannya sudah banyak mengalami perubahan, baik dikarenakan anggota keluarga tersebut meninggal, berpindah tempat atau tidak ditemukan. Hal tersebut sering terjadi dilapangan, tidak hanya di Jawa Timur, namun ditemukan juga di Jawa Tengah. Sernentara itu, untuk keperluan validasi data membutuhkan dana yang cukup besar sekitar Rp. 3 Milyar, dan itu dibebankan kepada masing masing daerah sementara kemampuan anggaran tidak mencukupi. Dalam hal yang lebih teknis terjadi juga perbedaaan data dari BPS dengan data program atau SKPD terkait, yang terkadang bisa lebih riil melihat kenyataan dilapangan.

Sementara itu, hal unik yang ditemukan yaitu fenomena "Calo" Jasa SPM. Fenomena ini berkedok Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang hamper merata terdapat di daerah daerah. Modus yang mereka jalankan adalah dengan menawarkan jasa dalam pengurusan kartu SPM (Surat Pemyataan Miskin) bagi masyarakat yang menginginkan pelayanan kesehatan gratis, atau ingin mendapatkan pengurangan dalam biaya pengobatannya. Umumnya, mereka yang jadi "korban" adalah masyarakat miskin yang tidak mengerti cara atau prosedural mendapatkan kartu SPM, yang tentunya ingin mendapatkan kemudahan layanan tanpa dipusingkan dengan hal-hal yang administrative. Sang calo mendapatkan imbalan atas jasa dalam pengurusannya, nominalnya beragam dan disesuaikan dengan "deal” dengan korban. Hal ini tentu disatu sisi dapat merugikan masyarakat dan tentunya petugas dalam memberikan layanan, namun disisi lain juga mereka merasa terbantu dalam hal pengurusan SPM, dikarenakan tidak mau “repot” Tentu hal ini perlu untuk ditindaklanjuti dengan sosialisasi yang “clear” kepada masyarakat target agar lebih rnengurus sendiri kepesertaan atau rnendapatkan keterangan SPM.

Pernbagian atau distribusi kartu baik Jamkesmas maupun Jamkesda, juga menjadi sorotan yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan dilapangan. Kepala desa, RT/ RW rnenjadi ujung tornbak dalam distribusi kartu bagi calon peserta. Namun hal ini terkendala dirnana kartu tidak terdistribusikan dengan baik dan cepat sehingga pelayanan yang diberikan terhambat. Akibatnya, ketika masyarakat miskin yang sudah terdaftar baik dalam Jamkesmas atau Jamkesda mau berobat namun tidak mendapatkan kartu atau sedang tidak memegang kartu akhimya meminta untuk dibuatkan SPM.

Tentunya, hal ini menjadikan double atau duplikasi data, dimana seharusnya mereka sudah terdata dan terdaftar sebagai pemegang kartu dan layanan namun terhalang/ terhambat dikarenakan tidak ada distribusi kartu yang baik. Alasan kepala desa tidak mendistribusikan kartu dikarenakan ketiadaan dana pendistribusian kartu selain itu juga terkadang kepala desa menyimpan kartu untuk digunakan oleh kerabat atau saudara dekatnya. Terdapat juga fenomena "SADIK.IN" atau sakit sedikit menjadi miskin. Hal ini terjadi ketika ada masyarakat yang sakit, namun ingin mendapatkan pelayanan kartu jamkesda dengan membuat SPM. Fenomena tersebut tentunya akan sangat mengkawatirkan baik bagi peserta yang seharusnya mendapatkan pelayanan, maupun bagi pemerintah daerah, dikarenakan pembengkakan biaya pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin telah ditempuh dengan program Jamkesmas dari pemerintah pusat, dan program Jamkesda dari pemerintah daerah. Quota dari pusat untuk Jawa Timur sebanyak 10,7 juta ditambah dari Jamkesda 1,4 juta keluarga miskin, namun kenyataan dilapangan masih saja terdapat masyarakat miskin yang tidak mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki biaya pengobatan. Data atau trend kemiskinan selalu mengalami kenaikan. Tidak ada penarikan kartu jamkesmas/ jamkesda dan penurunan quota tahunan ditiap daerah serta tidak ada ukuran yang bisa mengukur kondisi masyarakat miskin setelah menerima dengan sebelum menerima menjadi beberapa hal yang penting untuk diperhatikan ke depannya.

Sementara validasi dan update data kepesertaan selalu menjadi tantangan dan permasalahan yang sering ditemui dilapangan. Menggerakkan dan melibatkan perangkat pelayanan kesehatan desa untuk mensurvei dan mendata masyarakat miskin menjadi salah satu sarana dalam meminimalisir kesalahan data. Usulan dari beberapa peserta dalam pemberian pelayanan kesehatan cukup dengan menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja, bagi masyarakat yang sakit cukup menunjukan KTP maka dia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dengan pelayanan dasar kelas tiga di rumah sakit. Prinsipnya adalah, bahwa tidak semua orang ingin sakit. Sehingga, bagi masyarakat yang sakit bisa dilayani dengan menunjukkan KTP dengan fasilitas layanan dasar di kelas tiga. Kalau mau lebih dari fasiltas yang menjadi dasar tersebut,maka masyarakattersebut boleh memilih jenis pelayanan dan tentunya harus membayar sendiri.

III. Implementasi Kebijakan Program Keluarga Harapan

1. Implementasi Kebijakan Dan Best Practice Daerah

Dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijeiaskan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi Dalam pengertian ini tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi.

Jawa Timur telah memberikan respon yang positif terhaclap berbagai kebijakan

nasional tersebut dengan menerbitkan berbagai kebijakan daerah, diantaranya pembentukan Komisi Perlindungan Anak yang disahkan dengan Keputusan Gubernur

Nomor 188/ 145/ KPTS/ 031/ 2003. Dalam Surat Keputusan Gubernur ini terdapat 3

Komite yang tercliri dari Komite Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Komite Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Komite Penghapusan Eksploitasi Seksual Anak. Setelah keluarnya Surat Keputusan Gubemur ini, kemudian disusun Rencana Aksi Perlindungan Anak dengan Surat Keputusan Ketua Komisi Perlindungan Anak Nomor 13/SKEP/IV/201.4/2004

Jawa Timur juga telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu dengan Keputusan

Gubernur yang diperbaharui setiap tahun. Surat Keputusan Gubernur terkini adalah Nomor 188/85/KPTS/013/2010. Berbagai kerja advokasi ini juga mendorong disahkannya Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan

Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Terkait dengan Penanganan

Perdagangan orahg di Jawa Timur, juga telah disahkan Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perclagangan orang Propinsi Jawa Timur melalui Surat Keputusan Ketua Umum Komisi Perlindungan Anak.

Adapun tujuan umum dari Rencana Aksi ini adalah menghapus Tindak Pidana

Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) di Provinsi Jawa Timur. Tujuan khusus dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan Peclagangan Orang dan ESA di Jawa Timur sebagai berikut:

1. Mencegah segala bentuk Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA)

di Jawa Timur;

2. Meningkatkan keterpacluan dan keberlanjutan dalam Penanganan Korban

Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) sampai mandiri;

3. Mengembangkan berbagai kebijakan dan menegakkan_aturan yang ada, sehingga

betul-betul dapat memberikan perlindungan terhaclap penduduknya khususnya Perempuan dan Anak dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA).

Namun berdasarkan diskusi yang dilaksanakan secara umum, program perlindungan anak yang dikembangkan di Jawa Timur lebih banyak bersifat kuratif. Dalam arti, apa yang dikembangkan lebih banyak mendirikan lembaga layanan dan pengacluan daripada melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kasus child abuse. Di Propinsi Jawa Timur, salah satu program khusus yang menangani hal ini disebut pusat pelayanan terpaclu, kerjasama antara SKPD Kesehatan, Kepolisian dan instansi yang terkait. Pusat layanan ini, bertujuan merawat anak-anak yang memperoleh kekerasan baik korban kekerasan fisik, kekerasan psikologi maupun kekerasan ekonomi.

Selain itu, juga terdapat RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak), yang terdapat di daerah Batu. Tempat ini difungsikan sebagai shelter, pusat pelayanan terpadu perlindungan anak yang memperoleh kekerasan fisik, psikologis dan ekonorni. Kapasitas tempat pelayanan perlindungan anak ini sebanyak 40 orang, dan menjadi satu dengan panti "Petiran Anak", di mana panti ini difungsikan untuk anak-anak yang lambat dalam mernpeioleh pelajaran, di tempat ini anak-anak di beri suntikan energi psikologis dan motivasi. Di rumah ini, sudah menangani 900 kasus selama tahun 2010, dimana pada umumnya anak-anak yang di rawat merupakan korban dari keluarga yang tidak harmonis, memperoleh penganiayaan fisik, penganiayaan psikologis. Pada umumnya mereka mengaku, untuk melaporkan orang tua mereka tentang penganiayaan yang telah dilakukan merupakan suatu hal yang memerlukan keberanian yang sangat tinggi, pada umumnya anak- anak takut melaporkan orang tua mereka sendiri.

Di Jawa Timur, peran LSM, Lembaga Perlindungan Anak Jatim, dan lembaga sosial-kemasyarakatan lain cukup aktif dalam upaya mengembangkan kegiatan perlindungan anak. Dalam beberapa kasus, di jatim telah dilakukan upaya untuk menggandeng Pondok Pesantren, PKK, Dasa Wisma, dan lembaga sosial-keagamaan lain untuk terlibat dalarn upaya perlindungan anak. Fatayat NU dan Muhammadiyah, adalah lembaga sosial-keagamaan yang cukup intensif terlibat dalam upaya perlindungan anak. Di Jawa Timur sudah terdapat program perlindungan anak yang tersebar di Pokja dan SKPD, yang nantinya akan dipertajam lagi, dalam hal memperoleh informasi akan di peroleh secara parsial dari masing-masing SKPD. Hal ini tentu akan sangar bagus dalam peningkatan pemberian layanan dan utamanya sebagai tindakan preventif dalam kekerasan terhadap anak.

Namun terkait dengan dana pendampingan atau anggaran dana untuk perlindungan anak masih dirasa terlampau sangat kecil baik di kabupaten kota maupun juga dilevel provinsi. Alokasi dana untuk Dinas Sosial kurang dari 1 % dari APBD. Bahkan perwakilan dari Kabupaten Bondowoso mengungkapkan bahwa dana yang diperoleh kurang dari 100 juta per tahun, paling kecil jika dibandingkan dengan dinas yang lain.Namun demikian, secara hukum, perlindungan anak di Propinsi Jawa Timur sudah menjadi prioritas, hal tersebut termuat baik dalam RPJMN dan RPJMD, sehingga memiliki landasan dan payung hukum yang kuat.

Sementara juga terdapat pola kerjasama daerah dalam penanganan perlindungan anak. Seperti kabupaten Probolinggo, kepedulian di dalam menjalankan program yang berkenaan dengan perlindungan anak sudah cukup besar. Biasanya, ketika terdapat anak yang nakal, lambat belajar atau merupakan korban dari kekerasan fisik, psikologis dan ekonorni dari dinas sosial kabupaten kemudian difasilitasi oleh provinsi untuk kemudian dibawa ke Batu, Malang dan mengenai pembiayaan menjadi sharing cost antara provinsi dengan kabupaten/ kota. Hal yang sama juga dilakukan dibeberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur seperti Mojokerto dan Bangkalan.

Keunggulan Propinsi Jawa Timur dalam hal penanganan perlindungan anak lainnya juga terdapat pada Pusat Pelayanan Terpadu yang menampung korban

kekerasan anak, dimana disediakan call center yaitu dengan nomor 129, untuk sementara baru beroprasi di Sidoarjo, dimana siapapun bis a melapor kepada Pemerintah Kabupaten jika terdapat kasus kekerasan terhadap anak, dan kapan saja bisa menghubungi selama 24 jam, nomor ini bisa dihubungi melalui telpon rumah. Dengan adanya layanan ini mencegah kekerasan terhadap anak, petugas penerima telpon pun juga memperoleh pelatihan sebelum akhirnya bekerja, hal ini berkenaan dengan komunikasi terhadap korban kekerasan, yang diharapkan bisa membuat nyaman anak secara psikologi dalam berkominikasi, agar anak tidak takut dan enggan melapor. Hanya, yang disayangkan adalah ketika layanan ini tidak populer di kalangan masyarakat, karena kurangnya sosialisasi, terbatasnya informasi, sehingga hanya segelintir orang saja yang tahu layanan ini.

Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa Propinsi Jawa Timur lebih cenderung menangani anak-anak jalanan dan anak-anak terlantar yang kelihatan daripada dilihat dari besaran angka yang pada kenyataannya lebih banyak anak terlantar yang terselebung yang belum tertangani. Hampir sama dengan kenyataan yang ditunjukkan oleh Propinsi Jawa Tengah, hanya karena pejabat politik yang berkuasa tidak berkenan melihat anak jalanan dan terlantar yang kelihatan. Dari Dinas BPP & KB mengungkapkan, bahwa selama ini kegiatan sosial yang dilakukan di Propinsi Jawa Timur hanya bersifat preventij, terkadang ditemukan tupoksi yang berkenaan dengan kegiatan sosial justru terdapat di SKPD yang berlainan, sehingga.membingungkan. Namun meski begitu diharapkan dengan adanya program yang sudah berjalan, tidak lagi terdapat anak terlahir dari orang tua yang belum menginginkan anak, anak yang tidak memperoleh dukungan ataupun kontrol dan tidak ada anak yang putus sekolah.

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 125-134)