Analisi Kemanfaatan Program
5. Perlindungan Anak
Di Provinsi Jawa Tengah, tidak semua keluarga miskin yang diteliti dalam setahun terakhir memperoleh bantuan dari pemerintah. Tetapi, dari 420 keluarga miskin yang mengaku pemah menerimanya dalam kurun waktu setahun terakhir, bentuk bantuan dan
program dari pemerintah yang mereka terima umumnya bermacam- macam, Sebagian
besar keluarga miskin yang ada (76,2%) umumnya dalam setahun terakhir mengaku
pernah menerima bantuan beras murah (raskin) Untuk jenis bantuan dan program penanggulangan kemiskinan yang lain, seperti bantuan modal usaha, pelatihan, peralatan produksi, pendampingan, rehabilitasi rumah, perbaikan fasilitas sosial, dan lain-lain umumnya tidak terlalu banyak keluarga miskin yang pemah menerimanya.
Tabel 5.17
Jenis Bantuan Program Penanggulangan Kemiskinan Yang pernah Diterima Keluarga Miskin di Provinsi Jawa Tengah Setahun Terakhir (N=420)
Jenis Bantuan Program Keterangan
1. Beras murah 76,2 % 23,8 %
2. Beasiswa sekolah 39,3 % 60,7 %
3. Modal usaha 36,9 % 63,1 %
4. Pelatihan 34,5 % 65,5 %
5. Rehabilitasi rumah 20,2 % 79,8 %
6. Perbaikan fasilitas sosial 31,0 % 69,0 %
7. Perbaikan fasilitas public bidang ekonomi 26,2 % 73,8 %
8. Lapangan/Kesempatan kerja 25,0 % 75,0 %
9. Peralatan produksi 38,1 % 61,9 %
10. Pendampingan 45,2 % 54,8 %
Sumber : Data dan Analisa penelitian
Dari berbagai jenis bantuan dari program penanggulangan kemiskinan yang pernah diterima keluarga miskin di Provinsi Jawa Tengah, studi ini menemukan yang paling banyak diterima keluarga miskin tampaknya adalah program-program populis yang sifatnya karitatif. Yang dimaksud program populis-karitatif di sini adalah program bantuan yang lebih berupa bantuan insidentil yang sifatnya sesaat, sekadar mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin dalam jangka pendek, dan tidak berkelanjutan. Program-program yang berorientasi pada pemberdayaan, seperti bantuan pendampingan, modal usaha dan bantuan peralatan produksi tidak banyak diterima keluarga miskin di berbagai daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Kalau berbicara idealnya, memang bantuan apapun yang diterima keluarga miskin seyogianya bukan hanya bermanfaat untuk mengurangi beban yang mesti ditanggung keluarga miskin, tetapi juga sekaligus memberikan manfaat bagi kelangsungan dan upaya pemenuhan hak anak-anak mereka. Sebagai bagian dari keluarga yang secara ekonomi pas-pasan, disadari bahwa tanpa bantuan dari pemerintah, maka besar kemungkinan kondisi ekonomi keluarga miskin akan makin bermasalah. Untuk
sekadar bertahan hidup, barangkali cukup banyak keluarga -miskin yang masih mampu memenuhinya, entah dari penghasilan yang diperoleh maupun dengan cara mengandalkan pada utang dan bantuan kerabat. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan lain-lain yang berkaitan dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak, bukan tidak mungkin akan timbul berbagai masalah,
Tabel 5.18
Berbagai Masalah Yang Dihadapi Keluarga Miskin Jika Keluarga Responden Tidak Memperoleh Bantuan PKH Atau Program Bantuan Modal/Dana Lain Dari Pemerintah
Kesulitan yang dihadapi
Keterangan Sangat terganggu Terganggu Cukup terganggu Tidak terganggu 1. Kelangsungan pendidikan anak
2. Kondisi kesehatan keluarga responden
3. Pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari
4. Kelangsungan usaha keluarga responden 30,0 % 24,0 % 20,0 % 20,0 % 46,0 % 36,0 % 25,0 % 35,0 % 15,0 % 30,0 % 30,0 % 26,0 % 9,0 % 10,0 % 25,0 % 19,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian
Studi ini menemukan, tidak sedikit keluarga miskin yang menyatakan terganggu kelangsungan pendidikan anaknya (46%), atau bahkan sangat terganggu (30%) jika mereka tidak memperoleh bantuan PHK atau bantuan program penanggulangan kemiskinan lain dari pemerintah. Artinya, selain mengancam kemampuan keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan orang miskin untuk melangsungkan usahanya dan memenuhi kebutuhan kesehatan keluarga, bagi keluarga miskin yang tidak memperoleh bantuan dari pemerintah, maka jangan heran jika yang terjadi kemudian mereka terpaksa mengorbankan upaya pemenuhan hak-hak anaknya -termasuk hak anak untuk melanjutkan pendidikan. Hanya 9% responden yang menyatakan kelangsungan pendidikan anaknya tidak terganggu mesti mereka tidak mendapatkan bantuan PKH.
Di sub bab terdahulu telah banyak dipaparkan bahwa di kalangan keluarga miskin, masa depan dan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak acapkali terbengkelai karena orang tua mereka tidak memiliki dana yang cukup, dan juga karena anak dalam usia dini sudah harus membantu orang tua beketja mencari nafkah bagi orang tuanya. Tanpa adanya dukungan dari pemerintah, tidak mustahil implikasi yang mesti ditanggung keluarga miskin, terutama bagi upaya perlindungan anak menjadi makin berat.
Banyak kajian telah membuktikan bahwa di kalangan keluarga yang didera masalah
ekonomi, menjadi korban PHK atau ketika usaha yang mereka tekuni mengalami kemunduran, seringkali anggota keluarga yang menjadi korban dan sasaran pelampiasan dari tekanan hidup yang dialami orang tua adalah anak-anak (Suyanto, 2010). Artinya, yang dihadapi sebuah keluarga miskin yang sedang mengalami masalah ekonomi, bukan hanya tekanan kebutuhan hidup yang makin tidak sebanding
dengan pemasukan atau penghasilan yang diperoleh, tetapi juga tak jarang berimplikasi pada dikorbankannya kebutuhan dan hak anak. Bahkan, yang memprihatinkan, tidak sedikit kasus membuktikan bahwa keluarga yang sedang didera masalah ekonomi, maka implikasinya kemudian adalah pada makin tipisnya batas toleransi dan kesabaran orang tua dalam menghadapi anak-anaknya.
Tabel 5.19
Yang Dilakukan Orang Tua Dari Keluarga Miskin jika Anak yang Bersangkutan Dinilai Nakal
Jenis Tindakan Keterangan Sering Kadang- kadang Tidak Pernah 1. Menasehati 36,0 % 30,0 % 20,0 % 20,0 % 18,0 % 28,0 % 23,0 % 25,0 % 25,0 % 42,0 % 22,0 %
2. Memarahi dengan keras secara verbal 50,0 % 20,0 %
3. Mencubit 34,0 % 46,0 %
4. Menyendul Kepalanya 46,0 % 34,0 %
5. Menampah/memukul dengan tangan 35,0 % 47,0 %
6. Memukul dengan benda tertentu 30,0 % 42,0 %
7. Menendang 29,0 % 48,0 %
8. Mengurung 31,0 % 44,0 %
9. Menghajarnya 35,0 % 40,0 %
Sumber : Data dan Analisa penelitian
Dari hasil wawancara diketahui tidak sedikit keluarga miskin, dalarn kehidupan sehari-harinya temyata melakukan praktik-praktik abuse yang menyakiti fisik dan bahkan menimbulkan Iuka psikologis di benak anak- anak mereka. Selain sering melakukan
verbal abuse (30%), studi ini menemukan tidak sedikit orang tua dari keluarga miskin
yang melakukan tindakan kekerasan, seperti mencubit (20%), menyendul kepala anak (20%), menampar (18%), menendang (23%), mengurung anak (25%), menghajar anak (25%), dan bahkan memukul anak dengan benda tertentu (28%).
Di kalangan keluarga miskin, menghukum dan menghajar anak secara fisik dan
mengumpat dengan kasar, diakui atau tidak, sudah menjadi fenomena yang lazim. Meski studi ini tidak menggali lebih lanjut apa faktor penyebab dan bagaimana clampak tinclakan abuse itu bagi anak-anak, sejumlah studi telah membuktikan bahwa di sekitar kita memang masih banyak dijumpai praktek-praktek budaya yang merugikan anak baik merugikan secara fisik maupun emosional. Misalnya dalam pola pengasuhan anak yang menekankan kepatuhan anak kepada orang tua. Dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai kepatuhan ini acap masyarakat membiarkan dan mentolerir hukuman fisik (cambuk, samblek, pecut, tendang, atau tempeleng), verbal (pisuh, umpat, damprat, atau cemooh) maupun kekerasan dalam bentuk pengisolasian sosial.
Tabel 5.20
Yang Dilakukan Anggota Keluarga Miskin Di Provinsi Jawa Tengah Untuk Menambah Penghasilan Keluar Selama Setahun Terakhir
Strategi kelangsungan hidup Ya Keterangan Tidak 1. Suami bekerja lain di luar pekerjaan pokok
2. Istri bekerja di luar pekerjaan pokok 3. Anak ikut membantu bekerja 4. Orang tua (lansia) tetap bekerja
48,0 % 69,0 % 51,0 % 66,0 % 52,0 % 31,0 % 49,0 % 34,0 % Sumber : Data dan Analisa penelitian
Penelitian Mustain, misalnya tentang Tinclak Kekerasan dalam Keluarga (1997) membuktikan masih banyaknya praktik-praktik kekerasan terhaclap perempuan dan anak. Dikemukakan Mustain bahwa yang paling sering menjadi sasaran kemarahan dan kejengkelan orang tua (baca: ayah) adalah anak-anak. Jika sang ayah sedang marah tidak jarang anak ditendang dan ditempeleng. Yang menarik, studi yang dilakukan Mustain juga menemukan hampir tidak ada reaksi yang berarti dari orang lain (tetangga) terhadap perlakukan kasar dan keras tersebut. Para tetangga menilai persoalan kekerasan terhadap anak yang lakukan tetangganya adalah urusan intern mereka sendiri, dan sepenuhnya dipahami bahwa hal itu perlu dilakukan dalam rangka "mendidik" anak-anaknya yang dinilai membandel dan membangkang orang tua.
Di kalangan masyarakat mis kin, selain dituntut untuk selalu patuh pada orang tua, salah satu kebiasaan yang berkembang umumnya adalah norma yang mewajibkan anak untuk sejak awal belajar mandiri dan bersedia membantu orang tua untuk mencari nafkah. Bekerja, walaupun menurut ketentuan yang berlaku semestinya tidak dilakukan anak-anak di bawah umur. Tetapi, karena tekanan kebutuhan hidup yang berat, tidak sedikit anak-anak miskin terpaksa harus membantu orang tua untuk mencari nafkah.
Tabel 5.21
Kondisi Hak dan Perlindungan Anak Keluarga Miskin di Provinsi Jawa Tengah
Apakah ada anak responden yang saat ini bekerja Ya, ada Tidak ada
70,0 % 30,0 % Umur anak responden ketika pertama kali bekerja
(N = 150) 11 tahun 12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun 10,0 % 20,0 % 14,3 % 20,0 % 35,7 % Jika ada yang bekerja, mereka bekerja sendiri
membantu orang tua atau bekerja di orang lain (N = 150)
Bekerja membantu orang tua Bekerja di orang lain Bekerja membantu orang tua dan juga bekerja di orang lain
34,3 % 40,0 % 25,7 % Lama anak bekerja setiap harinya (N = 150) 1 – 2 Jam
3 – 4 Jam 5 – 6 Jam 7 – 8 Jam 35,7 % 24,3 % 25,7 % 14,3 % Saat ini, apakah anak responden bekerja, sekolah
atau masih keduanya
Hanya sekolah Sekolah dan bekerja Hanya bekerja (putus sekolah) Tidak keduanya
21,0 % 38,0 % 32,0 % 9,0 % Yang berinisiatif mendorong anak bekerja
(N = 150) Anak sendiri Ayah Ibu Teman-teman 55,7 % 22,9 % 8,6 % 12,8 %
Ketika pilihan di pasar kerja tidak banyak, dan kesempatan orang tua untuk mengembangkan diversifikasi usaha sangat terbatas karena tidak dimilikinya modal dan asset yang mendukung, maka salah satu alternatif yang biasanya dilakukan keluarga miskin adalah membiarkan atau bahkan tak jarang meminta anak-anak untuk ikut bekerja membantu orang tua. Dari 500 keluarga miskin yang diteliti, hampir separuh (49%) responden menyatakan bahwa saat ini anak-anak mereka terpaksa ikut bekerja membantu orang tua mencari nafkah. Untuk ibu/istri, jumlah yang bekerja lebih sedikit daripada anak, yakni hanya sekitar 31%. Hal ini terjadi, karena ibu/istri tampaknya lebih banyak yang berkonsentrasi melaksanakan pekerjaan domestik, sementara anak-anak lebih memungkinkan untuk bekerja di sektor publik..
Studi ini menemukan, untuk saat ini sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin yang diteliti (70%) umumnya adalah berstatus buruh anak. Dari 150 anak-anak miskin
yang tengah bekerja ini, sebagian besar (40%) umumnya bekerja di orang lain dan sebagian yang lain bekerja dobel, yaitu bekerja membantu orang tua, tetapi sekaligus juga bekerja di orang lain (25,7%). Hanya 34,3% anak-anak miskin yang bekerja sebagai pekerja keluarga.
Tentang siapa yang meminta anak beketja, studi ini menemukan sebagian adalah karena didorong ayahnya (22,9%) dan sebagian yang lain karena didorong ibunya (8,6%). Tetapi, sebagian besar (55,7%) anak-anak miskin sebetulnya memilih bekerja adalah atas dasar inisiatif mereka sendiri..Sebagai anak miskin, sejak awal mereka tampaknya sudah menyadari kecilnya kemungkinan mereka untuk dapat melanjutkan pendidikan. Di tengah lingkungan pergaulan sesamanya yang rata-rata putus sekolah dan sudah beketja di usia dini, memang tidak banyak altematif pilihan yang bisa mereka ambil, kecuali ikut arus. Bahkan, dalam beberapa kasus sering terjadi anak- anak yang terpaksa bekerja itu cepat atau lambat mulai menikmati apa yang mereka lakukan, terutama ketika mereka sudah memperoleh gaji atas apa yang mereka lakukan.
Di kalangan anak-anak dari keluarga miskin, ketika harus memilih, mereka dalam beberapa kasus mengaku lebih suka bekerja di sektor publik daripada bekerja di rumah membantu orang tuanya karena dua alasan. Pertama, karena bekerja di sektor publik akan memungkinkan anak-anak mis kin itu dapat mengelola uang atau gaji yang diterimanya, kalau pun bukan semua, paling-tidak sebagian dari gaji yang diterimanya. Kedua, karena beketja di sektor publik lebih memberi ruang gerak dan kemerdekaan bagi anak- anak miskin itu daripada mereka bekerja sebagai pekerja domestik yang tidak digaji dan bahkan seringkali pula mereka menjadi korban kemarahan atau omelan orang tuanya jika dinilai tidak bekerja dengan baik. Bekerja di sektor publik, bagi anak-anak juga menjadi ajang dan kesempatan untuk bergaul dengan sesama peer-groupnya, sehingga tidak membosankan.
Bagi anak-anak miskin yang terpaksa bekerja, idealnya mereka tidak bekerja penuh
waktu. Tetapi, dalam kenyataan tidak semua anak yang bekerja memperoleh dispensasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari 150 anak-anak yang bekerja, sekitar 60% mengaku mereka umumnya bekerja sekitar 1-4 jam. Sebanyak 35,7% responden
mengaku bekerja sekitar 1-2 jam sehari, dan 24,3% beketja sekitar 3-4 jam sehari. Namun clemikian, tidak sedikit anak-anak miskin ternyata beketja lebih dari 4 jam sehari. Sebanyak 25,7% anak-anak miskin mengaku setiap harinya bekerja rata-rata 5-6 jam,
dan bahkan sebanyak 14,3% anak-anak miskin bekerja hingga 7-8 jam sehari layaknya peketja clewasa. Dari kacamata hak anak, anak-anak yang setiap hari harus bekerja lebih dari 4 jam ini, tentu merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Tetapi, di tengah konclisi ekonomi orang tua yang pas-pasan dan bahkan kekurangan, tentu tidak banyak pilihan
yang tersedia bagi anak- anak mis kin. Meski setiap hari mereka harus menghabiskan waktu 7 -8 jam, hal itu mau tidak mau harus tetap dilakukan untuk menambah pemasukan keluarga dan orang tuanya.
Bagi anak-anak miskin, bekerja dan sekolah pada clasarnya adalah beban ganda yang terlalu berat ditanggung di saat yang bersamaan. Sebagian anak- anak miskin yang beruntung, mereka (21 %) biasanya bisa berkonsentrasi pada urusan sekolah saja. Tetapi, bagi anak-anak miskin yang tidak beruntung, mereka biasanya terpaksa putus sekolah di tengah jalan dan sepenuhnya harus bekerja untuk membantu orang tua menari nafkah (32%), atau menanggung beban gancla: bekerja dan sekolah di waktu yang bersamaan
(38%). Studi ini menemukan, sebagian besar anak-anak miskin umumnya harus panclai
-panclai mengatur waktu, karena dalam sehari-harinya mereka harus membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Tidak jarang terjadi, anak-anak yang menanggung beban ganda seperti ini biasanya akan rawan putus sekolah, karena bagaimana mungkin akan-anak yang sudah lelah beketja itu masih harus meluangkan waktu untuk belajar, mengerjakan PR dan lain-lain yang seharusnya menjadi tugas siswa.