• Tidak ada hasil yang ditemukan

lmplementasi Kebijakan Perlindungan Anak (Program Keluarga Harapan (PKH)

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 117-121)

Implementasi Kebijakan Sosial Dan Responsitas Daerah

III. lmplementasi Kebijakan Perlindungan Anak (Program Keluarga Harapan (PKH)

1. Implementasi Kebijakan dan Best Practise Program PKH

Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial, sejak tahun 2007 pemerintah Indonesia telah melaksanakan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH pada prinsipnya memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga sangat miskin melalui persyaratan menyekolahkan anaknya untuk menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun dan memeriksakan kesehatan serta pemberian makanan bergizi kepada anak•anak usia balita dan ibu hamil atau menyusui. Untuk jangka pendek, bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin. Sedangkan pada jangka panjang, bantuan itu diharapkan akan mengurangi kemiskinan karena adanya peningkatan pendidikan serta perbaikan kondisi kesehatan dan gizi.

Kemiskinan terkait dengan tingkat pendidikan, kesehatan, dan nutrisi. Rendahnya tingkat pendidikan sebuah rumah tangga miskin menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan anak•anaknya. Keluarga itu juga tidak mampu menjaga kesehatan ibu mengandung sehingga risiko kematian ibu saat melahirkan tinggi, dan buruknya kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan.

Peran serta daerah baik provinsi atau kab/kota tentu diharapkan bisa berkolaborasi dengan pemerintah pusat dalam penanganan implementasi program ini. Keikut•sertaan daerah dalam PKH dilakukan melalui tahapan berikut (Buku Panduan Umum PKH):

Tahap pertama adalah pemilihan provinsi yang dilakukan atas dasar: a. Kesediaan pemerintah provinsi pada saat Musrenbang.

b. Keberagaman karakteristik daerah (tingkat kemiskinan tinggi/ sedang/ rendah, daerah perkotaan/perdesaan, daerah kepulauan/ pesisir, daerah dengan aksesibilitas relatif mudah/ sulit, dll).

Tahap kedua adalah pemilihan kabupaten/ kota dan kecamatan.

a. Pemilihan kabupaten/kota dan kecamatan dilakukan dengan memperhatikan data BPS berdasarkan kriteria: (i) tingginya angka kemiskinan, (ii) angka gizi buruk dan angka transisi dari SD /MI ke SMP /MTs, (iii) ketersediaan sarana dan prasarana (suppfy) baik pendidikan maupun kesehatan,

b. Adanya komitmen daerah.

c. Adanya kriteria khusus, sepert:i daerah yang mengalami bencana (pasca bencana).

Kesediaan pemerintah daerah untuk melaksanakan PKH dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan program PKH termasuk di dalamnya penyediaan fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan untuk penyandang cacat. Untuk itu, sebelum pelaksanaan dimulai, pimpinan daerah (Bupati/Walikota) harus menandatangani surat pernyataan.

Di provinsi Jawa Tengah, terkhusus lima kabupaten/kota yang dalam kajian kebijakan sosial ini terlihat memang bahwa Program Keluarga Harapan belum diimplementasikan. Tabel dibawah menjelaskan, daerah daerah yang ikut serta dalam pelaksanaan program ini. Karena program ini masih tergolong baru, belum banyak daerah yang melibatkan diri dan ikut dalam "perjanjian" tersebut seperti diatas.

Tabel 4.2 Lokasi PKH Sampai Tahun 2009

PROVINSI Rumah Tangga Sangat Miskin

(RSTM)

SUMATERA BARAT (1 b) 8.005

DKI JAKARTA (1 Kota) 7.005

JAWA BARAT 199.42

JAWA TIMUR 280.114

NUSA TENGGARA TIMUR 69.287

SULAWESI UTARA 25.439

GORONTALO 9.174

NANGGROE ACEH DARUSSALAM 13.276

SUMATERA UTARA 42.311

DI. YOGYAKARTA 18.425

BANTEN 27.215

NUSA TENGGARA BARAT 11.973

KALIMANTAN SELAMAT 14.732

JUMLAH 726.376

Sumber : Deputi Bidang Kesra – Kantor Wakila Presiden RI, April 2010

Belum terlibat dalam Program Keluarga Harapan bukan berarti daerah/ kabupaten/kota tidak memikirkan program• program demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Program Perlindungan Anak dalam hal ini turut menjadi kajian Tim•terkhusus di Jawa Tengah dikarenakan Program Keluarga Harapan masih belum diimplementasikan juga penting untuk melihat bagaimana kondisi anak, penanganan anak jalanan.

Makna dari perlindungan anak dapat diartikan sebagai cara atau upaya kita memperlakukan hak•hak anak sesuai potensi dan memberlakukan perlindungan anak sebagai upaya yang partisipatif, bagaimana kita bisa mengembangkan anak sesuai dengan bakat, potensi dan kemampuannya, karena anak•anak merupakan penerus bangsa ini kedepan. Kabupaten Pemalang dalam upaya menjalankan program perlindungan anak, memiliki program dengan membangun rumah amanah ''JAYANDUWIDURI", sasaran dan tujuannya adalah melindungi anak dari segala kekerasan fisik, ekonomi dan psikologi. Tempat ini ibarat sebagai tempat pengaduan atas berbagai tindak kekerasan yang terjadi baik bagi keluarga, ibu, dan anak.

Dalam upaya pelaksanaan program perlindungan anak, Kabupaten Banyumas memiliki panti, anak•anak terlantar masuk ke dalamnya meskipun memiliki orang tua, untuk dididik dan di rawat (dana berasal dari APBD Banyumas) Terdapat panti khusus untuk penanganan anak mogul (anak sulit menerima pelajaran, dan tidak mau sekolah), pada saat liburan diberi pelatihan, bimbingan dan penyuluhan untuk mengatasi hal ini.

Sementara pemangku kebijakan di Dinsos Provinsi melihat bahwa permasalahan perlindungan anak diselesaikan melalui dua cara pendekatan yaitu sistem Balai (Panti) dan Non•balai. Adanya perubahan nama dari panti menjadi balai dikarenakan persepsi bahwa panti hanya untuk tempat singgah anak•anak, tidur dan makan, sementara Balai, selain untuk tempat tidur, makan dan singgah, juga dilakukan kegiatan produktif. Namun hal ini hanya berlaku untuk panti yang dikelola oleh pemerintah, sedangkan yang dikelola oleh swasta tidak mengalami perubahan peristilahan.

Pada tahun 2011 fokus perlindungan anak terhadap anak jalanan, penanganan anak jalanan, jika diperlukan dilakukan upaya represif. Tim yang bertugas untuk menangani hal ini diberi nama Tim Reaksi Cepat, yang terdiri dari (Polisi, Satpol PP, Kecamatan, LSM dan TNI). Tim Reaksi Cepat penanganan anak jalanan ini merupakan inisiatif dari Propinsi. Terdapat pula CSR (Corporate Social &sponsibiliry), bantuan melalui kegiatan Karang Taruna. CSR diarahkan untuk kegiatan sosial. Contoh yang sudah pemah dilaksanakan adalah kegiatan menyumbang 1000 kacamata gratis untuk anak•anak.

Sistem pendekatan dilakukan secara dialog diarahkan untuk bisa merubah pola piker. Jika hal ini tidak bisa dilakukan, atau jika gagal dilakukan maka dilakukan upaya represif. Dana paling besar yang dikeluarkan oleh Dinsos, difokuskan lebih ke anak

jalanan, dibanding untuk penanganan perlindugan anak yang lain. Padahal berdasarkan

data statisti.k, jurnlah anak terlantar lebih banyak, hanya saja anak terlantar ti.dak nampak, tidak kasat mata seperti anak jalanan. Upaya persuasif dan represif dilakukan oleh TNI juga, melalui kegiatan bela negara, agar anak memiliki rasa bangga karena sudah di didik oleh TNI, sehingga menimbulkan rasa percaya diri dan nasionalisme.

Data tahun 2010 oleh Dinas Sosial Jawa Tengah menunjukkan jumlah berikut:

1) Anak terlantar 124.878 jiwa

2) AnakJalanan 5.311 jiwa

3) Balita Terlantar 32.211 jiwa

4) Anak Nakal 8.135 jiwa

Anggaran paling besar digunakan adalah untuk menangani anak jalanan,

sementara anak terlantar lebih banyak ditangani oleh pihak swasta melalui yayasan yayasan atau lembaga sosial. Tentu hal ini harus mendapat penanganan serius dari pemerintah, baik provinsi/kabupaten kota. Ketjasama dan sinergi antar daerah perlu untuk ditingkatkan, mengingat anak jalanan dari satu kabupaten bisa juga "terdampar" ke kabupaten lain. Sehingga, penanganan bersama akan lebih maksimal.

Program ini lainnya yang pernah dijalankan yaitu Program Pembentukan Aksi perlindungan Pekerjaan Anak. Dengan tahapan sebagai berikut.

Gambar 4.1 Aksi Perlindungan Anak

Melalui kegiatan ini mereka diberi pelatihan dan ketrampilan yang memadai, menghubungkan satu keluarga, anak bekerja, namun sebelumnya di beri pelatihan. Kendala dari pelaksanaan Program ini adalah:

Anak kurang menekuni program pelatihan yang ada, motivasi terkadang hanya ingin membantu orang tua saja, ketika orang tua sudah merasa terbantu, program bisa putus di tengah jalan.

Pelaksanaan program masih bergantung pada ketersediaan alokasi dana yang berpengaruh pada jumlah kabupaten yang akan ikut berpartisipasi.

Monitoring dari Disnaker,perwakilan anak untuk mendeklarasikan, melindungi, dan untuk menghindari eksploitasi anak, dengan memiliki komite•komite.

Pada umumnya anak anak bekerja di sektor informal tetapi Dinsos hanya mengurusi yang bekerja di sektor formal.

2. Permasalahan Dan Usulan Perbaikan Program

Permasalahan dan kendala yang dihadapi terkait dengan perlindungan anak di Jawa Tengah dalam dilihat dalam beberapa pain pain penting berikut:

Permasalahan perlindungan anak yang utama di Propinsi Jawa Tengah adalah tidak terdapatnya grand design yang jelas dan terpadu. Gambaran yang terinci dengan jelas bagaimana peran tiap SKPD, bagaimana penganggaran di dinas dan kerjasama antar daerah dalam hal penanganan dan pemberian perlindungan terhadap anak.

Dalam hal perlindungan anak Provinsi Jawa Tengah belum memiliki dokumen perencanaan daerah sebagai payung hukum, akibatnya SKPD tidak bisa

menterjemahkan. Tentu hal ini sangat berdampak besar terhadap pemaksimalan kinerja tiap dinas. Ketika dokumen perencanaan dan juga payung hukum yang jelas dan khusus mengatur perlindungan anak, maka program pelaksanaan seakan seadanya dan tidak maksimal.

Permasalahan Dana tetap menjadi perhatian. Dana untuk program perlindungan anak hanya berasal dari Propinsi dan Menteri Sosial. Pendampingan dana dari APBD dari daerah masih belum maksimal, hal ini juga dikarenakan kemampuan

anggaran daerah dan juga keseriusan pemangku jabatan dalam mensukseskan program perlindungan anak.

Alokasi Dana untuk Dinas Sosial kurang dari 1% dari APBD, padahal semua masalah sosial diserahkan ke Dinas Sosial. Sementara cakupan masalah masalah sosial cukup banyak, namun dukungan dana belum maksimal.

Demi perkembangan, perlindungan anak dari KDRT, ke depan diharapkan ada jalinan, rujukan dengan instanti lain, anak•anak yang tidak diinginkan orang tuanya, diambil oleh pemerintah daerah, kemudian untuk dititipkan di panti melalui jalur hukum yang sesuai dengan undang•undang. Hal ini tentu sebuah tindakan yang lebih preventif. Sementara dalam upayanya pencegahan terhadap child abuse, perusahaan, toko•toko, perusahaan rumah tangga diberikan penyuluhan dan sosialisasi melalui pertemuan secara

berkala mengenai hak•hak dan kewajiban anak di bawah usia 17 tahun ketika bekerja,

mengenai upah kerja, jam kerja dan lain•lain. Selain perusahaan, toko•toko dan perusahaan rumah tangga, penyuluhan dan sosialisasi dilakukan terhadap keluarga, koordinasi di mulai dari RT•RW, melalui organisasi PKK, polisi, dan sektor lainnya.

Tentu perlu bagi setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota agar

merencanakan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan program

perlindungan anak. Grand design program yang meliputi perencanaan, payung hukum,

penganggaran dan bentuk bentuk kolaborasi yang tepat antar daerah agar bisa bersinergi dalam penanganan perlindungan anak.

Dalam dokumen Kajian kebijakan sosial (Halaman 117-121)