• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah utama yang diakibatkan kekurangan guru PNS adalah mutu tenaga guru yang kebanyakan terdiri dari guru-guru non-PNS. Masalah ini dapat disebut sebagai masalah tenaga kerja kedua. Untuk memahami bagaimana masalah mutu terkait dengan tenaga kerja kedua, perlu diberi gambaran tentang karakteristik dan komposisinya.

Guru-guru non-PNS didanai melalui berbagai sumber, terutama melalui anggaran kabupaten dan sekolah. Tenaga guru non-PNS memiliki stratifikasi tersendiri, setidaknya dalam hal pembayaran dan persyaratan. Kategori dan kondisi tenaga guru non-PNS disajikan dalam Tabel 14.

Tabel 14. Komposisi Tenaga Guru Non-PNS

Kategori Persyaratan Gaji Bulanan

Guru Kontrak: Guru Kontrak Daerah (GKD) & Guru

Tidak Tetap Daerah (GTTD) Jangka pendek (kontrak tahunan) Rp.1.250,000- - 1.500,000

Guru yang diangkat sekolah, (GTTB) kebanyakan diangkat menggunakan dan BOS dan terkadang dana dari komite sekolah

Jangka pendek (per

semester/kontrak tahunan) Rp. 300,000—500.000

Guru-guru ini memiliki kondisi yang kerja sangat berbeda dari guru-guru bersertifikasi serta berjabatan tetap yang gaji bulanannya mencapai Rp. 3.000.000-5.000.000.

77 Pemerintah Provinsi NTT juga prihatin dengan implikasi persyaratan BKN di seluruh wilayah dan telah mengangkat masalah kepada Menteri Pendidikan dan kebudayaan.

Pada Gambar 6, dapat dilihat proporsi tenaga guru dengan kondisi pelayanan terendah yaitu guru kontrak sekolah. Untuk Sumba Barat Daya, angkanya mencapai 40%.79 Proporsi tertinggi kedua adalah Sumba Timur dengan 27%. (Persentase sebenarnya di semua kabupaten tidak dapat diketahui dari data Dapodik karena ada kategori “Lain-Lain” yang cukup besar).80

Gambar 6. Komposisi Tenaga Guru Kontrak di Sumba Berdasarkan Sumber Pendanaan

Kesenjangan yang cukup besar dalam hal penggajian dan kondisi kerja mempengaruhi komitmen, khususnya karena kecilnya kemungkinan bagi para guru ini untuk beralih status menjadi PNS.81 Seperti dikatakan salah satu pejabat pendidikan dalam diskusi di Sumba Barat Daya:

Ada perbedaan kesejahteraan: bandingkan gaji Rp. 300 ribu untuk Non-PNS dan 3 - 5 juta

untuk PNS. Bagaimana kinerja guru bisa baik kalau bukan PNS?82

Dari segi mutu, yang diukur dengan status kualifikasi, Tabel 15 membandingkan berbagai kategori guru berdasarkan latar belakang pendidikan. Di seluruh Sumba, proporsi guru-guru kontrak sekolah yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan tidak berbeda jauh dari kategori PNS dan GTT. Namun demikian, proporsi guru tanpa latar belakang pendidikan keguruan (SMA) lebih besar dalam kelompok non-PNS daripada dalam kelompok PNS, walaupun tidak banyak perbedaan antara guru yang dikontrak sekolah dan guru yang dikontrak daerah.

79 Terdapat ketidaksesuaian dalam data Dapodik ketika dianalisis menggunakan status guru (Gambar 1) dibanding kalau menggunakan sumber pendanaan lain (Gambar 2). Perbedaan tersebut terutama diakibatkan kategori “Lainnya” dalam data tentang sumber pendanaan yang tidak ada dalam date jenis guru lainnya.

80 Kategori ini mencerminkan masalah kualitas data ketika melakukan entry data tentang kualifikasi.

81 Lihat komentar bab 4.

Tabel 15. Kategori Tenaga Guru di Sumba berdasarkan Status Kualifikasi

Tingkat Kualifikasi PNS % GTT% Kontrak Sekolah %

S1/D4 46 50 48

D1-3 20 7 4

SMA ke bawah 27 35 37

N/A 6 8 11

Pola ini bervariasi antar kabupaten. Sumba Barat merupakan kabupaten yang paling terpengaruh oleh masalah guru kontrak sekolah yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan, di mana 64% guru kontrak sekolah hanya tamatan SMA, sedangkan yang memiliki kualifikasi S1/D4 hanya 28%. Kebanyakan guru kontrak sekolah di Sumba Tengah juga hanya berlatar belakang pendidikan SMA.

Akhirnya kualitas tenaga kerja kedua ini dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap peluang pengembangan diri dibanding dengan tenaga PNS.

Hanya beberapa pemerintah daerah di Sumba yang mendukung guru non-PNS untuk mendapat dukungan peningkatan kualifikasi. Kebanyakan guru non-PNS mendanai sendiri, dari gaji mereka yang rendah, sedangkan untuk guru PNS, setengah dari biaya pendidikan didanai pemerintah daerah.

Kebijakan nasional tentang profesionalisme dan kinerja guru tidak memperhatikan tenaga kerja kedua ini. Pengembangan profesi yang ada saat ini ditetapkan sebagai bagian dari pengembangan PNS. Dengan demikian guru non-PNS tersisih dalam hal pengembangan karier. Peraturan Menteri PAN-RB 2009 (Permenpan No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka kreditnya) hanya mengatur kemajuan karier dan pemberian insentif untuk peningkatan kompetensi PNS.

Alih-alih mengatur tentang pelatihan, Standar Nasional Pendidikan lebih menekankan kinerja yang kompeten melalui pengukuran, evaluasi dan perbaikan diri. Model yang digunakan adalah guru pembelajar. Penekanan dalam UKG terletak pada akuntabilitas pribadi guru untuk pengembangan diri, bukan pada penyediaan pelatihan oleh pemerintah.

Perkembangan-perkembangan tersebut juga mengurangi kesempatan untuk pemerolehan keterampilan praktis. Pelatihan praktis memang disediakan sebagai bagian dari sistem sertifikasi (Pendidikan dan latihan Profesi guru - PLPG), namun pelatihan ini hanya tersedia untuk PNS yang telah berkualifikasi S1.

Sulitnya akses terhadap pengembangan profesi diperparah oleh fakta bahwa tidak ada standar (SNP maupun SPM) yang mengharuskan penyediaan pengembangan profesi bagi para guru.

Tidak adanya akses terhadap pengembangan profesi menimbulkan risiko bahwa tenaga guru yang didanai kabupaten yang jumlahnya besar, termasuk mereka yang tanpa pendidikan keguruan, akan terus berkemampuan rendah.

Konsekuensi kebijakan dari semua elemen ini yang berkontribusi terhadap norma profesional guru yang baru adalah tidak adanya ruang kebijakan bagi pelatihan tenaga guru yang tak berlatar belakang pendidikan keguruan yang tidak dapat mengakses pengembangan profesi.

Namun sistem pendidikan nasional mengakui keberadaan tenaga kerja kedua ini. Mereka terhitung secara resmi sebagai tenaga kerja, yaitu dalam database Dapodik. Fakta bahwa banyak dari mereka tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi guru tidak membedakan mereka dari banyak guru PNS. Mereka memiliki nomor identitas guru (NUPTK). Pedoman resmi untuk Dana BOS bahkan memungkinkan digunakannya hingga 15% dari pengeluaran untuk menggaji mereka dan untuk sekolah swasta persentasenya mencapai 30%. Bahkan ada regulasi tentang tingkat remunerasi/penggajiannya, yaitu Permenpan No. 16 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru.