• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka pertama dari ketiga kerangka dimaksud adalah Undang - Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional—SISDIKNAS, (UU No. 20 Tahun 2003) serta peraturan operasionalnya.

28 “Overcoming problems in the New Autonomy Era”, Jakarta Post, Mon, 22 Desember 2014.

29 (4) Standar pelayanan minimal dengan menerapkan otonomi satuan pendidikan atau manajemen berbasis sekolah/madrasah. PP Pengelolaan Pendidikan 17, 2010, 14 (4)

Masih ada beberapa bidang penting di mana kebijakan belum dikembangkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan sistem pelatihan persiapan/pra masa jabatan bagi guru demi memenuhi tuntutan standar pendidikan dan melaksanakan transformasi kurikulum. Bidang kedua adalah tentang ketersediaan guru. Kedua bidang ini sangat penting artinya bagi daerah-daerah seperti Sumba; dan dapat dikatakan telah mempengaruhi efektivitas kebijakan pendidikan dasar yang telah dikembangkan.

SISDIKNAS mengatur tentang sistem pendidikan yang ada saat ini. SISDIKNAS merupakan sumber dari

reformasi utama yang dilakukan sejak tahun 2003, yaitu: peningkatan kualifikasi guru (termasuk kepala sekolah), standar yang mengatur pencapaian pelayanan yang bermutu, komitmen 20% anggaran pusat dan kabupaten untuk pendidikan, paradigma mengajar yang berpusat pada siswa, desentralisasi manajemen kepada sekolah dan masyarakat, serta pelibatan orang tua.

Undang-undang ini didasari adanya aspirasi yang tinggi bagi mutu pendidikan, sekaligus pengakuan akan adanya variasi dalam penyediaan pelayanan pendidikan di Indonesia. Salah satu tema dalam undang-undang ini adalah pentingnya memperhitungkan karakteristik wilayah. Terdapat sejumlah pasal dalam SISDIKNAS yang relevan. Salah satunya adalah pengakuan akan adanya keragaman:

Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Karena itu tanggung jawab kabupaten adalah koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah.30

Di samping itu terdapat pengakuan akan perbedaan antar daerah berupa potensi penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pada kelas-kelas awal.31

Ketiga adalah pengakuan akan hak warga negara di wilayah terpencil dan terbelakang untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus

.

32

Pasal-pasal dalam SISDIKNAS merupakan pernyataan ringkas kebijakan. Penjabarannya melalui peraturan dan undang-undang masih terus berlangsung untuk membentuk konteks pendidikan di Indonesia.

Undang-Undang tentang Guru dan Dosen (UU No. 14 tahun 2005) merupakan salah satu dari ketiga

kerangka peraturan utama bidang pendidikan. Undang-undang ini sangat penting artinya bagi pemerintah kabupaten, termasuk efeknya yang tak diperkirakan terhadap wilayah tertinggal.

Orientasi Undang-Undang ini adalah penciptaan profesi mengajar. Strategi utama untuk mencapai profesionalisme guru adalah adanya keharusan bagi semua guru untuk memiliki kualifikasi akademis Sarjana (S1)/Diploma 4 (D4); memiliki sertifikat untuk keempat kompetensi guru; dan untuk peningkatan imbalan keuangan bagi guru yang telah disertifikasi melalui hak untuk mendapatkan tunjangan profesi.

30 UU 20/2003, Pasal 38 (2).

31 Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu (Pasal 33,2.)

32 Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (Bab 4. Pasal 5, (3).

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 bertujuan agar profesionalisme dikembangkan sepanjang masa kerja guru. Namun, masalah utama yang dihadapi adalah setelah sertifikasi tidak ada insentif untuk pengembangan profesionalisme berkelanjutan. Akses terhadap penghargaan profesi bersifat tidak bersyarat. Uji kompetensi yang tampaknya baik dalam proses sertifikasi awal (portofolio guru) justru menurunkan harapan bagi adanya transformasi guru melalui proses sertifikasi. Bertambahnya bayaran yang diterima guru justru mendukung sistem penghargaan yang tidak produktif. Bertambahnya bayaran melalui tunjangan profesi guru dibedakan berdasarkan tingkat senioritas, bukan kinerja guru.

Kekecewaan terhadap tidak adanya dampak proses kualifikasi/sertifikasi terhadap hasil belajar siswa menarik perhatian pada tidak adanya komponen akuntabilitas guru untuk profesionalisme.33 Hal ini mulai ditangani melalui pengembangan jalur karier guru. Pada tahun 2009, sebuah peraturan mengaitkan penilaian guru dan pembelajaran profesi berkelanjutan dengan kenaikan pangkat (Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan). Ketentuan-ketentuannya menggantikan bentuk penilaian administratif dengan kemajuan karier guru. Namun demikian, pembelajaran profesi yang memenuhi syarat cenderung lebih menekankan keterampilan akademis daripada keterampilan mengajar. Dua dari tiga kategori pengembangan wajib yang perlu dilakukan untuk kenaikan pangkat adalah publikasi profesional dan pengembangan dukungan kurikuler yang inovatif. 34

Pada tahun 2014 mulai diadakan uji kompetensi tahunan yang terpisah dari proses penilaian karier. Tujuan uji kompetensi tersebut adalah sebagai cara sistematik untuk menyasar pengembangan profesi sesuai kebutuhan guru. Bidang kompetensi guru yang masih rendah diidentifikasi melalui uji tersebut, dan akan disasar melalui sebuah rencana pembelajaran profesi. Walaupun Permendiknas No. 10 Tahun 2009 masih menjadi rujukan, saat ini sedang dikembangkan sebuah sistem untuk mengelola pembelajaran profesi guru. Penilaian kebutuhan guru merupakan tugas kepala sekolah, dengan dukungan dari guru pembimbing senior.

33 RPJMN 2015-19. Studi Latar Belakang hal. 148.

34 Permendiknas 10/2009, Pasal 2.

Langkah-langkah utama dalam Undang-Undang Guru dan Dosen memiliki dampak penting bagi pengalokasian sumber daya di pusat maupun kabupaten. Empat kewajiban paling utama pusat dan kabupaten adalah (1) memberikan bantuan kepada staf yang tidak memiliki kualifikasi agar memiliki kualifikasi dan sertifikasi yang ditentukan (Pasal 13); (2) memenuhi kebutuhan akan guru yang memiliki kualifikasi akademis dan kompetensi yang dipersyaratkan secara merata (Pasal 24); (3) menyediakan cara untuk mengembangkan profesi berkelanjutan di semua sekolah; termasuk guru-guru di sekolah swasta (Pasal 34); dan (4) pusat menyediakan tunjangan bagi guru-guru di daerah khusus (Pasal 18). Pasal 16 (1) menyatakan bahwa pemerintah pusat akan menyediakan tunjangan profesi kepada guru-guru yang disertifikasi, baik yang diangkat oleh sekolah negeri maupun swasta

Kerangka standar yang mengatur mutu adalah kerangka peraturan ketiga yang telah membingkai

penyelenggaraan pelayanan pendidikan di Indonesia. Terdapat dua jenis standar yang berlaku, yaitu delapan Standar Nasional Pendidikan serta Standar Pelayanan Minimal.

Standar Nasional Pendidikan (SNP) dikeluarkan dengan Peraturan Pemerintah (PP No. 19 Tahun 2005).

Sesuai dengan SISDIKNAS (Pasal 35), terdapat delapan standar dalam SNP. Standar tersebut mencakup sebagian besar pelayanan pendidikan: isi kurikulum, proses mengajar, kompetensi siswa saat lulus, tenaga pendidikan (guru, kepala sekolah dan pengawas), sarana prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.35

Tujuan standar-standar tersebut adalah menjamin mutu penyelenggaraan pendidikan dan disasar untuk satuan-satuan pendidikan—terutama sekolah, walaupun mencakup bidang-bidang di luar jangkauan sekolah untuk memenuhinya. Pemenuhan standar dibutuhkan karena akreditasi sekolah bergantung pada pencapaian standar dan tanpa akreditasi, sekolah tidak boleh mengeluarkan ijazah.

Pemutakhiran standar sedang berlangsung seiring dengan upaya pemerintah meningkatkan efektivitas agenda reformasi SISDIKNAS. Pemutakhiran paling akhir terhadap delapan standar tersebut dilakukan pada tahun 2013.

Di bawah ini dipaparkan secara lebih rinci tentang mutu mengajar dan pembelajaran.

Standar untuk Guru

Standar tenaga pendidikan menunjang persyaratan Undang - Undang tentang Guru dan Dosen yang mengharuskan kualifikasi S1/D4 dan sertifikasi guru, kepala sekolah dan pengawas. Standar menetapkan kompetensi untuk setiap posisi. Untuk guru, dua kompetensi yang paling terkait langsung dengan proses mengajar, yaitu kompetensi profesional dan kompetensi pedagogi, merupakan kompetensi yang paling berkembang.36 Kompetensi profesional mencakup pengetahuan tentang landasan pendidikan, program dan rencana mengajar, implementasi dan penilaian siswa. Kompetensi pedagogis meliputi pemahaman tentang pembelajaran, pengembangan kurikulum dan penyelenggaraan program yang berfokus pada pembelajaran. Kedua bidang ini telah dijabarkan secara luas dalam berbagai Peraturan Menteri yang dikeluarkan sejak tahun 2005.

Standar untuk Kepala Sekolah

Dua kompetensi utama untuk kepala sekolah, yaitu manajerial dan supervisi, dibangun di atas konsep bahwa sekolah merupakan organisasi pembelajaran dan mencakup banyak ciri kepemimpinan sekolah yang efektif (Permen 13/2007).

35 Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan

Berbagai upaya telah dilakukan melalui standar-standar tersebut untuk memastikan bahwa kepala sekolah yang diangkat memiliki latar belakang profesional kepemimpinan sekolah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 201037 menetapkan persyaratan pengangkatan berupa proses perekrutan yang rinci dan berjenjang, yaitu pengalaman mengajar selama lima tahun, uji kompetensi serta pendidikan dan pelatihan untuk calon kepala sekolah, terkait kelima bidang kompetensi (Pasal 6, 1). Rencana Strategis Pendidikan Nasional (Renstra) 2016-19 mewajibkan kelulusan dari pelatihan persiapan sebagai prasyarat perekrutan kepala sekolah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) pada tahun 2009; dan pada tahun INPRES 2010 menyediakan pelatihan untuk semua calon kepala sekolah. Pelatihan yang diprasyaratkan cukup lama, memiliki komponen praktis yang kuat dan harus diselenggarakan oleh sebuah lembaga terakreditasi.38 LPPKS menawarkan pelatihan bersubsidi bagi kepala sekolah kepada kabupaten.

Standar untuk Pengawas

Standar yang mengatur tentang pengawas sekolah dasar mewajibkan adanya kualifikasi dan sertifikasi, pengalaman mengajar, tetapi bukan pengalaman sebagai kepala sekolah. Kompetensi yang harus dimiliki pengawas adalah supervisi akademis dan manajerial; evaluasi sekolah; dan kemampuan untuk penelitian pendidikan. Dalam evaluasi sekolah, para pengawas diharapkan untuk memantau pelaksanaan standar nasional dan menyusun indikator untuk hasil belajar.

Semua persyaratan tersebut sebenarnya adalah persyaratan yang dimiliki oleh seorang pakar pendidikan dan penekanannya adalah pada kredibilitas pengawas sebagai narasumber teknis. Penekanannya terletak pada kredibilitas masukan teknis, bukan senioritas atau status yang harusnya mempengaruhi kepala sekolah dan guru.

Standar untuk Kurikulum

Standar pendidikan menetapkan lingkup, urutan, proses penyelenggaraan, penilaian dan hasil kelulusan kurikulum; serta standar untuk setiap bidang studi. Jadi standar tersebut merupakan kurikulum sekolah dalam pengertian luas maupun sempit.39 Hal ini terjadi pada masa berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

37 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010.

38 Agar mampu memenuhi tuntutan ini, LPPKS memberi peluang bagi lembaga lain untuk melaksanakan pelatihan.

39 Dalam standar nasional pendidikan, kurikulum dibedakan menjadi tiga standar: isi, proses dan penilaian.

Mulai tahun 2017 Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS) akan menjadi prasyarat untuk penangkatan Kepala Sekolah. Salah satu syarat untuk mendapatkan NUKS adalah keikutsertaan dalam pelatihan kepala sekolah.

(KTSP) di Indonesia (2006-16). Dengan orientasi ini, adalah hal yang logis ketika standar tersebut berfungsi sebagai acuan bagi kerangka kurikulum.

Namun demikian, konsep kurikulum berbasis sekolah sejalan dengan pengakuan SISDIKNAS terhadap pentingnya kesesuaian kurikulum dengan keadaan setempat dan kepemilikan kurikulum.

Fungsi standar sebagai ukuran kepatuhan mutu telah diartikan bahwa standar memiliki ekspektasi yang terstandardisasi terhadap pelaksanaan kurikulum. Indikator-indikator telah dikembangkan setiap komponen dan sub-komponen

masing-masing standar.40 Pemilihan indikator menentukan apa yang penting dalam kinerja

dan mendorong proses standardisasi lebih lanjut. Walaupun pemenuhan standar dibangun ke dalam sistem akreditasi sekolah, namun tidak ada variasi dalam indikator itu sendiri. Yang bervariasi hanyalah tingkat pencapaiannya oleh sekolah dalam proses akreditasi.41

Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan instrumen kendali mutu pelayanan sektoral terdesentralisasi.

SPM ditetapkan pada awal desentralisasi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Namun isinya dikembangkan bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. SPM merujuk pada standar nasional pendidikan.

SPM berfungsi untuk mengarahkan pemerintah daerah dalam perencanaan dan penganggaran pelayanan pendidikan bermutu. Sebagai standar minimal, sebagian fungsinya adalah mendukung peningkatan kinerja standar pendidikan secara bertahap dengan menyediakan target minimal yang harus dicapai (PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, 8, 14, (3).42 Tingkat akreditasi sekolah terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu A, B atau C sesuai dengan kinerja masing-masing.

SPM bidang pendidikan telah mengalami beberapa kali perubahan sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun 2004. Pada akhir 2016, peraturan yang berlaku terkait SPM adalah revisi Permendiknas No. 23 Tahun 2013. Namun demikian, revisi besar lain diharuskan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 yang memindahkan kewenangan atas SMA dari pemerintah kabupaten. Revisi ini memberi kesempatan bagi banyak perubahan dalam pada SPM yang bertujuan agar SPM lebih bermanfaat dan dapat dicapai oleh pemerintah kabupaten. SPM yang baru lebih memperhatikan kapasitas setempat melalui adanya spesifikasi kepatuhan yang lebih luas yang dapat mengakomodir definisi daerah: melalui target yang meningkat bertahap menuju pencapaian

40 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan 2012. Pedoman Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Pada Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah(MI)

41 Studi yang dilakukan Kementerian menunjukkan bahwa rata-rata sekolah hanya mampu memenuhi 30% dari standar infrastruktur dan peralatan yang ditentukan SNP. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: The role of Minimal Service Standards in implementing education in a decentralized context. Draft final policy paper, 2016, hal. 1.

42 Bab 1.PP Standar pelayanan minimal adalah kriteria minimal berupa nilai kumulatif pemenuhan Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan.

Standardisasi yang diberlakukan demi kendali mutu telah memunculkan pemahaman yang aspirasional terhadap kurikulum dan penyelenggaraan mengajar di semua konteks di Indonesia, walaupun sebenarnya kondisi kinerja antar wilayah sangat berbeda.

terhadap SPM. Kepatuhan akan difasilitasi melalui peraturan perundangan dan sanksi untuk kabupaten yang tidak melakukan peninjuan terhadap SPM.

Prinsip utama dalam revisi ini adalah penekanan pada peran pemerintah kabupaten dalam penyediaan input esensial bagi sekolah. Apabila perundangan baru ditetapkan, maka pemerintah kabupaten akan bertanggung jawab untuk empat input utama pendidikan yaitu: guru dan tenaga kependidikan, infrastruktur (termasuk buku), pengelolaan dan pendanaan. Sebagai bagian dari fokus pada input yang dapat diukur, SPM sebelumnya yang terkait dengan proses belajar mengajar akan dihilangkan. Format modifikasi SPM yang baru disebut “Minimal Conditions of Learning—MCL”. Walaupun terpisah dari proses SPM, kepatuhan sekolah pada MCL akan dijadikan persyaratan kelayakan untuk akreditasi. Namun penilaian, pengukuran dan pelaporannya akan menjadi bagian dari sistem evaluasi pendidikan daerah. Pengawas akan bertanggung jawab kepada sekolah dan Dinas Pendidikan untuk evaluasi yang dimaksud. Perubahan-perubahan ini memiliki implikasi yang besar terhadap evaluasi sekolah.