• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia memiliki empat sistem evaluasi sekolah: (1) monitoring dan pelaporan berkelanjutan oleh kepala sekolah dan pengawas di tingkat sekolah; (2) laporan tahunan kabupaten tentang pencapaian Minimal Conditions of Learning — sebuah sistem baru;43 (3) evaluasi eksternal untuk akreditasi sekolah; dan (4) evaluasi diri tahunan yang dilakukan sekolah. Semuanya didasari standar-standar pendidikan. Diskusi di bawah ini meninjau efektivitas keempat sistem tersebut.

Monitoring dan pelaporan oleh kepala sekolah. Standar untuk kepala sekolah mewajibkan supervisi

bulanan pada kelas untuk setiap guru, yang diikuti analisis dan umpan balik kepada guru dan, bila perlu, guru diberi dukungan. Melalui pelaksanaan proses tersebut, kepala sekolah ditempatkan sebagai pimpinan sekolah yang bertanggung jawab terhadap mutu pembelajaran di sekolah.44

Kepala sekolah juga diwajibkan untuk memberikan laporan bulanan tentang sekolah yang dipimpinnya kepada Dinas Pendidikan, dan tingkat kepatuhan terhadap kewajiban ini tinggi. Namun demikian, format laporan di Sumba tidak mewajibkan untuk menyertakan profil kinerja guru sebagai hasil tinjauan kepala sekolah dalam kunjungan bulanan, maupun tentang pencapaian belajar siswa per bulan. Dinas Pendidikan tidak mendapatkan informasi tentang pembelajaran dari sistem yang tingkat kepatuhan penyerahan laporannya tinggi.

Evaluasi pengawas terhadap sekolah. Mengevaluasi kinerja pendidikan di sekolah merupakan salah satu

kompetensi yang diperlukan dari standar untuk pengawas.45 Spesifikasi untuk memenuhi syarat ini termasuk

43 Sistem evaluasi baru Minimal Conditions of Learning, yang muncul dari revisi SPM tahun 2016 belum ditetapkan secara resmi tetapi akan ditetapkan menjelang akhir tahun 2016.

44 Peraturan Menteri Pendidikan tentang Kepala Sekolah Nasional Nomor 28 Tahun 2010

penyusunan kriteria keberhasilan dan indikator untuk dukungan belajar di sekolah dan untuk pengamatan dan analisis belajar mengajar; serta analisis dan manajemen data hasil belajar siswa untuk setiap mata pelajaran.46

Namun demikian, terdapat persepsi yang kuat di Sumba bahwa kompetensi akademis dan pedagogis pengawas di Sumba terlalu rendah sehingga tidak mungkin melakukan evaluasi belajar mengajar serta kinerja kepala sekolah, guru dan staf.47 Persepsi ini konsisten dengan hasil studi ACDP 029 tentang tingkat kompetensi kepala sekolah dan pengawas di mana para pengawas secara mandiri menilai diri mereka paling rendah untuk keterampilan akademis supervisi.48 Hanya satu dari empat kabupaten di Sumba yang memiliki pengawas yang semuanya berkualifikasi S1. Di satu kabupaten hanya sepertiga jumlah pengawas, serta di kabupaten lain hanya setengah dari jumlah pengawas yang berkualifikasi S1.

Lebih lanjut, pelaksanaan evaluasi pembelajaran oleh pengawas di Sumba lemah. Walaupun alokasi satu pengawas per sepuluh sekolah sebenarnya cukup konsisten untuk kunjungan rutin ke sekolah, namun di beberapa kabupaten terdapat penurunan dalam jumlah pengawas yang diangkat. Seperti yang akan terungkap dalam temuan survei sekolah, sekolah-sekolah di daerah tertinggal menjadi korban dari kelebihan beban kerja dan kurang tegasnya Dinas dalam pelaksanaan kunjungan pengawas. Penilaian pembelajaran oleh pengawas di sekolah-sekolah terpencil tidak berjalan.

Bahkan kalaupun dilakukan kunjungan pengawas, pengawas biasanya tidak melapor tentang belajar mengajar tetapi tentang data sekolah yang sebenarnya sudah tersedia dalam Dapodik.

Tidak efektifnya kunjungan dan pelaporan kemungkinan diakibatkan karena tidak adanya proses sistematis dalam Dinas untuk merespon laporan triwulan pengawas tentang keadaan sekolah. Tidak ada rekapitulasi data sekolah oleh pengawas dan tidak ada pembahasan serta tindak lanjut oleh Dinas berdasarkan informasi yang didapatkan dari pengawas. Laporan sekolah hanya ditindaklanjuti dalam konteks penyelesaian masalah.

Evaluasi diri sekolah/madrasah. Evaluasi diri sekolah diperkenalkan oleh Kemdikbud pada tahun 2011.

Lingkup evaluasi adalah kinerja dibandingkan dengan kedelapan standar. Evaluasi diri memiliki dua tujuan. Salah satu tujuannya adalah persiapan untuk akreditasi.49 Penilaian tahunan sekolah menjadi dasar bagi penyusunan rencana kerja perbaikan sekolah yang secara bertahap membawa sekolah menuju akreditasi terhadap berbagai tingkatan standar. Dalam hal ini, fungsi evaluasi diri sekolah mirip dengan fungsi Minimal Conditions of Learning serta target tahunan untuk SPM. Tujuan kedua evaluasi diri sekolah adalah untuk perbaikan diri sekolah.

46 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2007.

47 Konsultasi dengan pemangku kepentingan tentang evaluasi sekolah di semua kabupaten, 18-31/07/2016.

48 ACDP 07. 2015. Study on Principals and Supervisors’ Competency Baseline Study.

Evaluasi diri sekolah dilakukan oleh komunitas sekolah. Evaluasi tersebut mencakup 167 indikator, yang masing-masing memiliki sub-indikator dan masing-masing sub-indikator perlu diisi dengan penjelasan atas kekuatan, kelemahan, rekomendasi dan prioritas sekolah, sehingga secara keseluruhan terdapat ratusan entry yang perlu diisi. Indikator-indikator juga mengharuskan dimasukkannya informasi kualitatif, kuantitatif, dan bukti fisik. Validasi eksternal terhadap klaim dalam laporan dilakukan oleh tim pengawas yang melakukan sampel terhadap sekolah-sekolah di kecamatan dan hal ini dibantu oleh LPMP Provinsi.

Sebagian besar indikator untuk kedelapan SNP memilik aspek yang dalam hal tertentu memperhatikan pembelajaran di kelas. Namun kerangka EDS merupakan penilaian/audit menyeluruh terhadap sekolah, yang mencakup jauh lebih banyak hal daripada yang terkait dengan pembelajaran.50 Bagi beberapa sekolah, proses melengkapi EDS hanyalah kegiatan birokratis, karena terlalu banyak informasi yang dibutuhkan sehingga sulit untuk mendukung setiap jawaban dengan jawaban yang didasari bukti yang sangat rinci. Di satu kunjungan sekolah, ditemukan satu format yang setengah terisi yang kemudian diperiksa secara lebih seksama dan isian dari format laporan tersebut berisi komentar yang hanya mengulangi kalimat yang menjelaskan indikator.

Selain mengalihkan perhatian dari pembelajaran siswa, EDS tidak membantu perbaikan sekolah sebagai tujuan evaluasi. Indikator-indikatornya tidak mengungkap gagasan mengenai praktik baik. Banyak pernyataan yang tidak disertai panduan deskriptif.51 Tanpa mengetahui cara memenuhi indikator, ada resiko bahwa responden akan memberi tanda cek pada pilihan-pilihan yang ada tanpa memahaminya. Di samping itu, panjangnya daftar yang harus diisi menjadikan hal ini tidak realistis.

EDS terutama melakukan investigasi tentang apakah guru atau kepala sekolah mengikuti proses yang telah ditentukan. EDS tidak mewajibkan adanya bukti dalam laporan untuk menunjukkan apakah suatu kegiatan membawa perbaikan terhadap efektivitas sekolah dalam memajukan pembelajaran siswa.

Akses sekolah-sekolah di Sumba terhadap proses evaluasi sekolah di luar layanan LPMP tampaknya tidak mudah. Persediaan instrumen terbatas, khususnya versi daring. Sekolah-sekolah terpencil (13% dari sekolah di Sumba) dirugikan akibat kewajiban untuk menyerahkan EDS secara daring. Saat ini, terdapat rencana di tingkat Dinas Pendidikan Kabupaten untuk memberikan dukungan teknis dalam menyelesaikan format-format EDS, namun belum ada alokasi anggaran untuk tujuan tersebut.

50 Sebagai contoh, Standar Isi termasuk indikator terkait apakah minat siswa dan kebutuhan belajarnya terpenuhi. Standar Proses memiliki indikator terkait apakah rencana pelajaran memperhitungkan gaya belajar, motivasi dan kemampuan siswa yang berbeda, dan akan pembelajaran yang inspiratif, menantang, dan interaktif. Indikator Kompetensi Lulusan mencakup pembentukan pembelajar independen. Standar Manajemen merujuk pada persyaratan untuk menjalankan evaluasi diri secara berkelanjutan untuk mengetahui seberapa aktif siswa belajar. Standar terkait pendidik, dan fasilitas dan infrastruktur sekolah memiliki persyaratan yang berhubungan dengan lingkungan belajar. Standar Penilaian/Evaluasi mengindikasikan bahwa orang tua perlu dilibatkan oleh sekolah dalam upaya peningkatan

51 Sebagai contoh, dalam Standar Proses terdapat pernyataan: “RPP memperhatikan perbedaan gender, kemampuan awal, tahap intelektual, minat, bakat, motivasi belajar, potensi, kemampuan sosial, emosional, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai-nilai, dan lingkungan peserta didik” Pernyataan (Indikator 2.2.2.) tidak memperjelas apa yang dimaksud dengan ‘memperhatikan’ atau menjelaskan bagaimana mengukurnya.

Evaluasi diri sekolah bukan urusan wajib di tingkat nasional; serta tidak ada mandat formal (Surat Edaran) yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan yang mengharuskan kepatuhan sekolah. EDS merupakan sebuah kegiatan yang dikelola dari dan untuk Pusat melalui LPMP, dan di Sumba biasanya dilakukan setelah adanya pelatihan dari petugas LPMP.52

Pelaksanaan EDS oleh sekolah tampaknya terbatas akibat ketergantungan pada dukungan LPMP dalam penggunaan instrumen. Selain pengisian EDS dalam pelatihan oleh LPMP, tidak jelas berapa banyak sekolah yang melaksanakan EDS di Sumba. Tidak ada rekapitulasi data yang tersedia di tingkat Dinas tentang berapa banyak sekolah yang melaksanakan EDS dan tidak jelas apakah data yang terkumpul digunakan sebagai dasar intervensi ke sekolah atau sebagai dasar perencanaan tahunan yang lebih tersasar.

Sejauh pelaksanaan EDS bergantung pada ketersediaan dukungan tenaga LPMP, terbatasnya jumlah dukungan yang diberikan LPMP setiap tahunnya memperkecil peluang EDS menjadi kegiatan tahunan.

LPMP NTT mengakui bahwa terdapat informasi yang menyesatkan dalam laporan pencapaian sekolah dalam EDS. Satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa para kepala sekolah takut melaporkan situasi sebenarnya yang belum memenuhi standar.

Kecenderungan ini kemungkinan akibat dari sebuah proses dan instrumen yang tidak mempertimbangkan perbedaan kondisi pencapaian standar antar sekolah dan mengharuskan pertanggungjawaban sekolah terhadap hal yang berada di luar jangkauannya. EDS mengasumsikan bahwa tingkat pelayanan di semua sekolah sama. Namun demikian, 60% sekolah di Sumba berada di daerah tertinggal. Banyak sekolah yang kekurangan sumber daya pengaya yang diasumsikan oleh standar proses. Apabila perbedaan konteks tidak diperhitungkan, maka sistem EDS justru akan mengakibatkan kesenjangan antara sekolah di daerah terpencil/tertinggal dengan sekolah di daerah lain akibat penilaian yang tidak tepat terhadap kinerja terstandar.

Hal ini justru akan menyebabkan demoralisasi karena kemungkinan besar tidak akan ada tindak lanjut terhadap penyebab kinerja rendah yang harus sekolah akui. Karena hasil evaluasi sekolah ditujukan untuk Kementerian, bukan Pemerintah Daerah, maka peluang pemenuhan sumber daya yang kurang di sekolah (tanggung jawab pemerintah daerah) kecil, kecuali dalam tanggapan dalam bentuk sikap.

Evaluasi untuk akreditasi sekolah. Badan Akreditasi Nasional untuk Sekolah dan Madrasah (BAN-SM) sebagai

badan independen dibentuk dan bertanggung jawab untuk sistem akreditasi sekolah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. Badan ini terdesentralisir ke tingkat provinsi, pada Badan Akreditasi Provinsi —BAP-S/M.

Akreditasi sekolah bergantung pada pencapaian standar. Tanpa akreditasi terendah “C”, sekolah tidak dapat mengeluarkan ijazah kelulusan siswa (walaupun tampaknya tidak ada sangsi kalau regulasi ini dilanggar). Akreditasi yang lebih tinggi membuktikan tingkat mutu sekolah yang lebih tinggi pula. Jadi akreditasi memiliki dampak nyata bagi sekolah. Akreditasi menjadi jaminan mutu sehingga merupakan tujuan yang patut dicapai lewat upaya-upaya perbaikan.53

Pada revisi SPM tahun 2016, pelaksanaan Minimal Conditions of Learning merupakan prasyarat untuk mengikuti proses akreditasi untuk mendapatkan tingkat akreditasi terendah yaitu C.54

Akreditasi dilakukan setiap empat tahun. Tabel 10 menunjukkan proporsi sekolah di Sumba yang terakreditasi saat ini. Hanya 35% sekolah yang saat ini telah terakreditasi. Namun angka ini tidak mencerminkan status mutu sekolah. Jumlah sekolah menjalani proses akreditasi per tahun bergantung pada dana dari Kementerian, ditambah dana dari Badan Akreditasi Provinsi (BAP). Sekolah bisa siap diakreditasi tetapi ada kemungkinan untuk masuk daftar tunggu.55

Tabel 10. Status Akreditasi Sekolah di Sumba

Kabupaten

Jumlah SD Persentase SD

Total Terakreditasi TerakreditasiTak Terakreditasi Terakreditasi Tak

Sumba Barat 38 51 43% 57% 89

Sumba Barat Daya 66 165 29% 71% 231

Sumba Tengah 59 22 73% 27% 81

Sumba Timur 69 186 27% 73% 255

Total Sumba 232 424 35% 65% 656

Sumber: BAP NTT, 2016

Akreditasi sekolah merupakan sebuah proses sukarela. Badan Akreditasi Provinsi (BAP) menentukan putaran akreditasi dan mengundang sekolah untuk memasukkan permohonan.56 Berdasarkan hasil konsultasi dengan pemangku kepentingan di Sumba, pada saat ini sekolah juga memenuhi syarat untuk akreditasi berdasarkan data evaluasi diri yang dikirim kepada Kementerian dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).57

53 Namun terkait dengan manfaat bagi sekolah, menurut para pemangku kepentingan yang dikonsultasi, dampak yang tak diperhitungkan dari akreditasi sekolah adalah terjadinya penurunan dukungan masyarakat bagi sekolah karena akreditasi dipandang sebagai bukti bahwa sekolah memiliki cukup pendanaan.

54 Sampai tanggal 16/08/2016 Keputusan untuk memasukkan MCL sebagai persyaratan akreditasi belum ditetapkan

55 Tidak terakreditasi merujuk kepada sekolah-sekolah yang gagal akreditasi atau yang masa berlaku akreditasinya telah lewat.

56 Badan Akreditasi Nasional SD/MI, 2014. Perangkat Akreditasi SD/MI, p. 63.

57 LPMP merupakan lembaga terdepan dalam diseminasi proses EDS ke sekolah-sekolah dalam provinsi. LPMP hanya memberikan pelatihan pengisian EDS pada beberapa sekolah model per kabupaten, dengan harapan bahwa ada diseminasi ke sekolah-sekolah satelit. Diseminasi seperti itu merupakan masalah serius bagi Sumba karena hubungan antara akreditasi dengan pengisian EDS. Jika

Walaupun seharusnya ada input dari pemerintah daerah tentang sekolah yang memenuhi syarat untuk mengikuti akreditasi, dan ada kontribusi terhadap biaya pelaksanaan, pemangku kepentingan yang dikonsultasi mengatakan bahwa kecuali di Sumba Barat Daya, hal itu tidak dilakukan.58 Dapat dikatakan bahwa akreditasi sebagai sebuah proses peningkan mutu sekolah melangkahi otoritas pendidikan kabupaten. Sejumlah pemangku kepentingan menjelaskan bahwa hal ini dilakukan untuk mempertahankan independensi proses akreditasi. Belum jelas apa yang akan terjadi dengan EDS sebagai persyaratan mengikuti akreditasi dengan adanya revisi proses SPM.

Instrumen yang digunakan untuk akreditasi merupakan serangkaian pertanyaan menyeluruh terkait kedelapan standar. Ciri khas instrumen tersebut adalah kuantifikasi terhadap semua tingkat kinerja dibanding dengan ke delapan standar. Apabila diterapkan pada bidang kualitatif yang kompleks, seperti implementasi kurikulum, analisis kuantitatif terhadap kinerja mengindikasikan bahwa ukuran utama yang digunakan bukanlah efektivitas pelaksanaan kurikulum sekolah tetapi kepatuhan pada parameter yang telah ditetapkan. Mutu yang diukur sebenarnya adalah kuantitas kepatuhan.59

Belum jelas apakah evaluasi proses belajar mengajar akan dihilangkan dari evaluasi akreditasi, jika proses minimal conditions of learning diadopsi.

Terlepas dari isu penting kurangnya keikutsertaan otoritas pendidikan kabupaten dalam proses akreditasi, sistem akreditasi sekolah cocok untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Salah satu alasan efektivitas tersebut adalah sistem pendukungnya: terdapat akuntabilitas yang jelas untuk pengelolaan proses, pelatihan penilai (asesor) untuk mendapatkan hasil yang bermutu dan pendanaan yang memadai terhadap proses akreditasi.60

Namun demikian, sebagai sebuah kegiatan di mana sekolah hanya berpartisipasi maksimum sebanyak empat tahun sekali, akreditasi bukanlah sistem evaluasi sekolah yang dapat menjalankan fungsi evaluasi sebagai peningkatan kinerja sekolah secara berkelanjutan. Karena itu perlu ada sistem lain. Proses Evaluasi Diri Sekolah (EDS) merupakan sistem yang dimaksudkan untuk menjalankan fungsi tersebut.

Evaluasi tahunan SPM yang baru. Dalam Peraturan Menteri tentang SPM (No. 23 Tahun 2013), kabupaten

diharuskan untuk menyerahkan laporan tahunan pencapaian SPM tahunan. Seperti halnya kabupaten-kabupaten lain di Indonesia, saat ini kabupaten-kabupaten-kabupaten-kabupaten di Sumba tidak melaksanakan hal tersebut. Hal ini

data dari EDS menjadi pemicu bagi Kementerian dan BAN/SM untuk melakukan akreditasi sekolah, terbatasnya dukungan pengisian EDS merupakan pemicu rendahnya jumlah sekolah terakreditasi di Sumba.

58 Lokakarya evaluasi sekolah di Waikabubak 8 Agustus 2016. SBD memiliki anggaran untuk akreditasi pada tahun 2016.

59 Contoh Standar Isi. 5. Sekolah/madrasah melaksanakan kurikulum pengajaran berdasarkan prinsip-prinsip pelaksanaan kurikulum [prinsip-prinsip kurikulum didaftarkan dalam Standar Isi]

Melaksanakan Kurikulum berdasarkan 7 prinsip pelaksanaan Melaksanakan Kurikulum berdasarkan 5-6 prinsip pelaksanaan Melaksanakan Kurikulum berdasarkan 3 - 4 prinsip pelaksanaan Melaksanakan Kurikulum berdasarkan 2 - 3 prinsip pelaksanaan Tidak melaksanakan kurikulum berdasarkan prinsip pelaksanaan

60 Kementerian Perencanaan Pembangunan /BAPPENAS. 2015. Background Study for the Preparation of the RPJMN for Education 2015-19. Vol. 1, p.62.

berarti bahwa satu lagi upaya yang dapat dilakukan kabupaten untuk mendapatkan data yang relevan tentang kinerja sekolah tidak berjalan.

Revisi SPM tahun 2016 memberi penekanan yang baru pada perencanaan dan evaluasi SPM berdasarkan target bertahap, sebagai proses yang lebih memungkinkan untuk mencapai SPM dalam jangka waktu lima tahun. Pelaporan kepada pemerintah pusat tentang status pencapaian tahunan akan ditetapkan melalui peraturan perundangan yang akan ditegakkan dengan mengenakan sangsi. Evaluasi Minimal Conditions of Learning juga direncanakan akan dilakukan per tahun. 61

Jika perubahan-perubahan tersebut, termasuk Minimal Conditions of Learning, diterima oleh semua kementerian terkait, maka akan berpengaruh besar terhadap konteks evaluasi di Sumba, serta di kabupaten lain di Indonesia. Evaluasi tahunan sekolah kemungkinan besar akan dilakukan, bukan hanya karena meningkatnya peluang dan insentif, tetapi juga karena Dinas Pendidikan Kabupaten mempunyai peran inti dalam kegiatan evaluasi ini. Para kepala sekolah perlu memasukkan penilaian pembelajaran dalam laporan bulanannya kepada Dinas Pendidikan, sehingga Dinas akan mempunyai informasi yang berkelanjutan tentang kinerja pembelajaran di sekolah-sekolah. Para pengawas akan menjadi agen yang mengumpulkan evaluasi tahunan, dan ada aspek akuntabilitas yang terkait dengan peran pengawasan mereka.62 Sebagian besar Minimal Conditions of Learning yang diusulkan juga merupakan proses yang memiliki hubungan yang jelas dengan mutu belajar mengajar serta mudah diukur:

Tabel 11. Usulan Minimal Conditions of Learning

1. Alokasi waktu mengajar sesuai dengan SNP

2. Kepala Sekolah mengadakan supervisi terhadap pembelajaran

3. Kepala Sekolah melaporkan hasil pembelajaran (kepada orang tua dan Dinas Pendidikan) 4. Sekolah melaksanakan pengelolaan berbasis sekolah

5. Sekolah menciptakan lingkungan yang dapat menumbuhkan nilai-nilai moral dan perilaku yang baik 6. Sekolah mengalokasikan waktu untuk membaca di luar jadwal pelajaran

7. Tidak diperbolehkan adanya perilaku kasar atau merokok di lingkungan sekolah 8. Guru bekerja dan mengajar sesuai dengan persyaratan jam mengajarnya 9. Guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kurikulum 10. Guru melakukan dan melaporkan penilaian terhadap siswa

61 Diskusi tentang draf indikator SPM 12 Agustus 2016, Jakarta.

Kesimpulan.

Pada saat ini baik sekolah maupun Dinas Pendidikan kabupaten tidak mendapatkan informasi yang tepat waktu, sistematis ataupun valid tentang kemajuan belajar siswa; dan informasi tersebut tidak dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai oleh berbagai evaluasi yang sudah ada.

Ini disebabkan oleh beberapa hal, termasuk tidak adanya proses yang berkesinambungan untuk merekapitulasi data mulai dari data kelas sampai data di tingkat sekolah dan kemudian di tingkat Kabupaten. Laporan kepala sekolah dan pengawas tidak berisi data yang relevan. Kalaupun berisi data yang relevan, tidak ada proses di tingkat kabupaten untuk menanggapi informasi tersebut secara sistematis, dalam bentuk intervensi strategis, perencanaan dan penganggaran tahunan atau pemanfaatan data untuk menganalisis aspek-aspek lain dari kinerja sistem dalam peningkatan mutu.

Informasi tentang kinerja yang dikumpulkan hanyalah informasi tentang kepatuhan pada standar, termasuk standar yang kondusif untuk pembelajaran, namun bukan melalui indikator deskriptif yang memberi peluang kepada para guru, kepala sekolah, dan evaluator untuk mengidentifikasi perilaku yang relevan, atau belajar dari hasil evaluasi tersebut, khususnya apabila kapasitas mengevaluasi kelas rendah. Akhirnya, evaluasi jarang dilakukan, baik evaluasi oleh pengawas, evaluasi diri atau proses akreditasi. EDS dan akreditasi sebagai proses tampaknya menjadi aktifitas yang dikesampingkan Dinas, seolah-olah mutu sekolah bukan urusan Dinas.

Reformasi SPM akan membawa perbedaan yang besar terhadap situasi ini, khususnya jika proses evaluasi Minimal Conditions of Learning melengkapinya. Reformasi tersebut mengharuskan diadakannya evaluasi tahunan, dan menjadikan Dinas Pendidikan sebagai pemangku kepentingan utama serta menyederhanakan prosesnya. Belum jelas bagaimana hubungan reformasi ini dengan evaluasi diri sekolah - apakah EDS akan tetap dipertahankan. Namun mengingat sebagian besar sekolah di Sumba belum terakreditasi, maka evaluasi SPM serta penentuan sasaran tahunannya masih relevan; serta bidang dan indikator MCL jelas dan mudah dipahami oleh evaluator yang tak terlatih sekalipun.

Namun demikian, masih ada kekurangan dari MCL. MCL tidak menyediakan informasi tentang kemajuan belajar, khususnya penguasaan keterampilan dasar literasi dan berhitung. Kedua, MCL tidak memanfaatkan proses penilaian formatif memungkinkan dilakukan melalui data yang dikumpulkan per bulan melalui laporan kepala sekolah. MCL tidak memperkuat budaya evaluasi diri yang berkelanjutan menggunakan benchmark atau patokan yang disusun sekolah dalam rencana kerja tahunannya. Yang terakhir, MCL tidak melibatkan pemangku kepentingan utama lainnya dalam proses evaluasi, khususnya orang tua, misalnya dengan mendemonstrasikan kepada mereka bagaimana cara menguji pembelajaran siswa dan menjadikan ini sebagai bagian dari proses evaluasi tahunan, sehingga mendorong keterlibatan orang tua dan menjadi sarana yang memberikan pemahaman bagi orang tua tentang akuntabilitas sekolah.