• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revisi kerangka konseptual peningkatan SD/MI di Sumba dalam kesiapan anak bersekolah

Kerangka konseptual yang mengarahkan analisis sekolah ini terbukti bermanfaat dalam penentuan faktor yang mempengaruhi efektivitas. Kerangka konseptual tersebut menjadi sarana yang sistematis untuk membedakan sekolah yang baik dan yang kurang baik dalam hal praktik dan penyelenggaraan yang secara kongkret berdampak pada kemajuan siswa di sekolah. Melalui kerangka ini dapat diidentifikasi beberapa isu menonjol yang menghambat pembelajaran di semua sekolah, khususnya isu-isu yang berkaitan dengan pengajaran keterampilan dasar.

Namun, kerangka tersebut tidak mengungkap peran beberapa faktor lain yang berpengaruh pada kinerja/prestasi siswa di Sumba, yang tidak kalah relevannya, dan bahkan lebih menentukan dibanding faktor-faktor yang ditemukan di sekolah itu sendiri. Kelemahan dari sebuah kerangka konseptual efektivitas sekolah yang lebih fokus pada praktik internal dan ketentuan/peraturan, adalah kerangka tersebut tidak mempertimbangkan banyak unsur yang bergantung pada pengaturan sistem dan komitmen politik.

Pada bagian ini akan diidentifikasi isu-isu yang menonjol bagi efektivitas akan dilanjutkan dengan penomoran yang dilanjutkan dari penomoran di atas untuk menekankan kenyataan bahwa faktor-faktor yang dipengaruhi oleh lembaga di luar sekolah merupakan bagian integral dari efektivitas sekolah.

Di Sumba terdapat tiga faktor yang sangat menentukan yang harus dimasukkan dalam kerangka yang dapat mengarahkan sekolah dan sistem-sistem terkait dalam bidang-bidang yang berpengaruh langsung terhadap kinerja/prestasi siswa. Pada bagian ini unsur-unsur tersebut akan ditambahkan ke dalam kerangka konseptual asli.

4. Analisis ketenagaan sebagai dasar bagi profesionalisme guru

Dalam kasus di Sumba, sejauh ini, kebutuhan dasar yang paling penting adalah isu mutu ketenagaan di sekolah, yaitu guru dan kepala sekolah. Analisis situasi yang dilakukan banyak memperhatikan faktor-faktor yang bertanggung jawab bagi fakta mengejutkan bahwa banyak guru sekolah di Sumba berada di luar kerangka kebijakan guru Pemerintah Indonesia. Tenaga guru inilah yang disebut sebagai ‘tenaga kerja kedua’ pada Bab 4. Enam puluh persen guru di Sumba adalah non-PNS. Untuk tenaga kerja kedua ini tidak terdapat kebijakan perekrutan, prospek karier atau pengembangan profesi, serta tidak ada kebijakan yang mengatur tentang kondisi pekerjaan yang paling mendasar seperti remunerasi. Semua hal ini mengakibatkan ketidaksetaraan yang telah berpengaruh besar terhadap kinerja guru, khususnya para guru di daerah tertinggal. Tanpa kerangka kebijakan guru, tenaga pengajar tidak dapat dijadikan profesional.

Di samping itu, terdapat inefisiensi dalam penempatan tenaga guru. Kelebihan tenaga guru di Sumba diakibatkan tidak terkendalinya pengangkatan guru oleh sekolah mengakibatkan pemborosan dana BOS yang sebenarnya dapat digunakan untuk pengembangan profesi guru. Sekolah-sekolah mengangkat guru

biasanya diakibatkan karena kurang baiknya distribusi guru. Di Sumba, seandainya semua PNS dan guru yang dibayar pemerintah daerah didistribusikan dengan baik antara sekolah, maka tidak perlu ada pengangkatan guru oleh sekolah – kecuali di satu kabupaten (yang paling padat penduduknya). Hal yang sama seriusnya dengan pemborosan dana sekolah adalah dampak merusaknya terhadap profesionalisme guru, karena terdapat kesenjangan yang besar dalam remunerasi dan kondisi kerja antara guru yang diangkat sekolah dengan guru lainnya.

Faktor utama yang berada di balik situasi tenaga kerja kedua ini, yaitu kekurangan guru PNS berimplikasi perlunya perubahan pada sistem nasional. Namun mengingat tingginya angka partisipasi di sekolah swasta, pengalokasian anggaran kabupaten untuk sekolah swasta, serta banyaknya tenaga non-PNS di Sumba, akan bertahan lama. Hal yang dapat dilajukan pemerintah kabupaten adalah memberi respon terhadap situasi ini, yaitu dengan menetapkan kebijakan ketenagaan yang mencakup semua guru di kabupaten sebagai dasar untuk meningkatkan mutu, kesetaraan, dan efisiensi penyediaan guru. Karena itu, kebijakan tenaga kerja guru di kabupaten ditambahkan ke dalam kerangka konseptual awal.

5. Kepemimpinan sekolah yang efektif

Pemerintah kabupaten bertanggung jawab untuk pengangkatan dan penempatan kepala sekolah. Input yang konsisten diperoleh selama diskusi kelompok terarah yang juga diakui keabsahannya oleh para bupati adalah bahwa pengangkatan kepala sekolah sering kali tidak didasarkan pada proses pemilihan yang diamanatkan peraturan perundangan (Permendiknas 28/10), tetapi pada penunjukan oleh eksekutif, yang sering kali didasari pertimbangan lain selain kemampuan orang yang ditunjuk.

Pada studi kasus yang dibahas di Bab 5, digambarkan tentang perbedaan antara sekolah yang berkepemimpinan baik dan kurang baik. Sebuah temuan penting tentang kepemimpinan sekolah dari studi ini adalah bahwa efektivitas sekolah bisa diwujudkan melalui berbagai faktor efektivitas yang ada di sekolah, yaitu: iklim kelas dan sekolah yang positif, penilaian yang sering dilakukan, waktu yang cukup untuk tugas-tugas, kehadiran guru dan siswa di kelas, kondisi bangunan yang terpelihara dengan baik, serta penggunaan sumber daya belajar mengajar yang efektif. Di samping itu, dalam konteks seperti di Sumba, faktor efektivitas seperti keterlibatan orang tua sangat bergantung pada kemampuan kepala sekolah menjangkau orang tua, yang kemungkinan besar tidak melek huruf, dan perlu dibantu untuk memahami pentingnya mereka mendukung anak belajar.

Walaupun dapat dilihat dari apa yang dilakukan, kepemimpinan sekolah sebagai agen efektivitas sekolah harus disebutkan secara eksplisit dalam kerangka efektivitas sekolah. Hal ini penting untuk semua kabupaten di Sumba mengingat endemiknya masalah perekrutan kepala sekolah yang tidak memperhitungkan kualifikasi dan kecocokan untuk posisi tersebut.

6. Pelayanan untuk sekolah terpencil

Sistem penyelenggaraan pendidikan yang ada tidak berjalan untuk sekolah-sekolah terpencil (13% sekolah). Hal ini merupakan tema yang dibahas dalam studi kasus yang dilakukan. Pengabaian terhadap masalah ini bisa mengakibatkan turunnya semangat berjuang atau mengakibatkan tidak berjalannya sama sekali prosedur dukungan yang sudah ada. Kedua hal ini ditemukan selama kunjungan sekolah.

Sekolah-sekolah di desa terpencil jarang dikunjungi pengawas karena kemustahilan akses. Dalam beberapa kasus, KKG tidak menjangkau sekolah-sekolah tersebut. Buku, informasi dan komunikasi sering kali tidak menjangkau sekolah secara tepat waktu. Patut diakui bahwa terputusnya komunikasi dengan sekolah-sekolah ini bukan hanya karena kurangnya insentif untuk lokasi-lokasi tersebut, tetapi sering kali karena kemustahilan praktis untuk mengendarai sepeda motor selama kurang lebih lima jam dari kantor dinas pendidikan ke sekolah atau karena dibutuhkan kendaraan khusus melewati jalan yang sulit.

Kesenjangan antar sekolah-sekolah tersebut dengan sekolah-sekolah lain semakin lebar dengan semakin meningkatnya penyediaan pelayanan secara online oleh Kementerian. Sekitar setengah dari sekolah-sekolah yang dikunjungi dalam studi kasus ini tidak memiliki listrik dan sinyal. Hal ini sudah dialami terkait pengumpulan data sekolah, pengembangan profesi yang terkait UKG, serta dukungan bahan untuk kurikulum baru. Kebijakan lain yang akan diterapkan adalah penilaian wajib tahunan siswa yang dilakukan secara online.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pelayanan khusus bagi sekolah-sekolah tersebut, yaitu pelayanan sekolah terpencil, perlu ditambahkan dalam kerangka sekolah efektif.

7. Pelibatan masyarakat dalam mempersiapkan anak bersekolah

Latar belakang siswa merupakan salah satu bidang efektivitas sekolah yang tidak secara konseptual dimasukkan dalam kerangka penelitian tentang efektivitas sekolah. Ada empat alasan utama mengapa hal ini sangat relevan untuk konteks Sumba, yaitu praktik yang luas di mana anak hanya sarapan setelah mendekati siang – sehingga berdampak buruk terhadap kemampuan siswa untuk berkonsentrasi selama jam sekolah; kesulitan orang tua dalam membantu anak belajar di rumah karena kurangnya pendidikan orang tua; banyaknya PAUD yang berkembang tanpa sumber daya atau kebijakan yang mendukung pelaksanaannya. (Isu keempat, yaitu masalah bahasa di rumah yang berbeda dengan bahasa pengantar di sekolah, telah dibahas pada bagian sebelumnya).

Perangkat desa tampaknya bersedia memperluas keterlibatannya dalam pendidikan anak. Analisis Situasi yang dilakukan mendapati bukti adanya dukungan untuk program pemberian makanan tambahan melalui program PAUD di sebagian besar desa yang dikunjungi untuk studi kasus. Diskusi kelompok terarah dengan tokoh masyarakat mengindikasikan adanya keterbukaan untuk mempertimbangkan perluasan intervensi gizi dan kesehatan untuk siswa kelas awal; dan kemampuan serta minat untuk dilibatkan dalam memantau partisipasi siswa di sekolah serta kinerja sekolah. Undang-undang tentang Desa (2014) menjadi sumber

dukungan dan daya ungkit bagi masyarakat desa. Peran yang didapatkan para aparat desa dalam penyelenggaraan PAUD menjadi batu loncatan untuk memperluas perhatian desa pada anak-anak usia dini, termasuk anak-anak yang bersekolah di kelas awal. Untuk itu diperlukan advokasi serta koordinasi antar sektor, perencanaan, dan pendampingan melalui kebijakan bersama dari dinas terkait di tingkat kabupaten.

Terdapat alasan yang kuat untuk memperluas kerangka sekolah yang efektif di Sumba sehingga mencakup strategi pelibatan masyarakat dan orang tua demi mengoptimalkan kesiapan anak untuk bersekolah.

Kesimpulan

Analisis situasi terhadap SD/MI di Sumba menegaskan tentang relevansi kerangka konseptual sekolah yang efektif; dan dengan kerangka tersebut teridentifikasi pengaruh tambahan terhadap kinerja sekolah yang khas Sumba. Jika proyek peningkatan SD/MI di Sumba akan didasari sebuah kerangka yang relevan dengan konteks setempat, pengaruh-pengaruh tersebut harus diintegrasikan ke dalam sebuah kerangka umum yang mengidentifikasi sekolah yang efektif.

Telah disusun sebuah revisi kerangka konseptual SD/MI yang efektif di Sumba. Kerangka tersebut mengatur kembali domain atau bidang-bidang kerangka konseptual awal agar lebih sesuai dengan prioritas kebutuhan di Sumba saat ini. Kepemimpinan efektif telah diangkat secara eksplisit, demikian pula tanggung jawab otoritas pendidikan kabupaten. Mengingat pentingnya kemitraan dengan masyarakat bagi pendekatan yang diambil pemerintah daerah untuk mendukung sekolah, maka pemerintah dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam mendukung sekolah. Kerangka ini memberi peluang bagi ACDP 040 dalam dukungannya untuk pengembangan kebijakan kabupaten, untuk mengembangkan sistem evaluasi sekolah berdasarkan kriteria-kriteria efektivitas tersebut termasuk indikator-indikator pilihan untuk pemantauan sekolah oleh pemangku kepentingan. Karena fokus pada praktik-praktik yang mudah diamati yang paling berpengaruh terhadap pembelajaran siswa, maka indikator-indikator tersebut cocok dengan orientasi kerangka tersebut pada hasil.

Indikator-indikator tersebut juga cocok dengan tema utama Analisis Situasi yaitu bahwa hal-hal yang mudah diamati perlu berjalan agar pembelajaran anak juga dapat terjadi.