• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para pendidik di Sumba meyakini klaim bahwa ada perbedaan jelas antara anak-anak yang pernah mengikuti PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini-PAUD) sebelum masuk sekolah dengan anak-anak yang tidak mengikuti PAUD.94

Di Sumba, ciri yang sangat signifikan dari pelaksanaan PAUD adalah adanya perbedaan penyelenggaraan kelompok bermain dan tempat penitipan anak, serta penyelenggaraan TK. Tabel 19 secara jelas menunjukkan perbedaan ini.

92 RPJMN study

93 RPJMN study

Tabel 19. Jumlah PAUD per Kabupaten

Kabupaten Jenis PAUD Pemerintah Swasta Total

Sumba Barat TK/RA 2 24 26

KB/TPA/SPS95 143 11 154

Sumba Barat Daya TK/RA 3 104 107

KB/TPA/SPS 0 6 6

Sumba Tengah TK/RA 3 10 13

KB/TPA/SPS 0 110 110

Sumba Timur TK/RA 22 21 43

KB/TPA/SPS 0 0 0

Total Sumba TK/RA 30 159 189

KB/TPA/SPS 143 127 270

Sumber data: DITJEN PAUD 2016).

Untuk penyelenggaraan PAUD oleh pemerintah, penyelenggaraan TK sangat rendah, yaitu hanya 2 atau 3 di setiap kabupaten kecuali di Sumba Timur. Untuk seluruh Sumba terdapat total 30 TK, sedangkan jumlah PAUD yang mencapai 143.

Sementara itu pola penyelenggaraan PAUD oleh swasta terbalik dari pola pemerintah. Dengan pengecualian Sumba Tengah (yang tidak memiliki PAUD negeri), terdapat lebih banyak TK swasta daripada PAUD swasta. TK swasta cenderung berbayar dan karena itu kecil kemungkinannya diakses oleh keluarga miskin. Pengalaman anak di TK, yaitu lembaga yang mempersiapkan anak untuk literasi dan berhitung di sekolah, kemungkinan membawa dampak langsung terhadap prestasi anak yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti TK. Sedangkan, anak-anak yang kurang mampulah, yang kemungkinan besar tidak mengenal Bahasa Indonesia sebelum mereka masuk sekolah, yang paling membutuhkan kesempatan persiapan literasi di TK sebelum masuk sekolah formal.

Terdapat kemajuan yang jelas dalam kebijakan pemerintah untuk PAUD. Semua kabupaten kecuali Sumba Barat Daya melaporkan telah menyiapkan Satuan Tugas Kabupaten untuk PAUD terpadu; dan desa di seluruh kabupaten menyediakan makanan tambahan dua kali seminggu melalui PAUD. Di Sumba Barat ada rencana untuk memperluas pemberian makanan tambahan ke sekolah-sekolah. Sumba Barat juga sedang menyusun

peraturan daerah untuk membimbing aparat desa dalam perencanaan dan penganggaran desa untuk PAUD yang efektif.

Di Sumba Barat, saat ini layanan PAUD terpadu sudah berjalan. Anak-anak dapat mengakses layanan kesehatan (Posyandu) setiap dua minggu. Kantor Dinas Sosial mencatat partisipasi di Posyandu dan mengurangi dana Program Keluarga Harapan yang diterima jika anak tidak mengikuti kegiatan Posyandu. Di satu kecamatan Wanukaka, Sumba Barat, petugas kesehatan mengharuskan orang tua menghadiri dalam pertemuan tentang pola asuh anak di Posyandu.

Pengalaman tersebut menjadi contoh yang menjanjikan bagi disediakannya dukungan yang sama untuk siswa kelas awal di sekolah dasar.

Namun demikian, belum ada peningkatan yang besar terhadap angka partisipasi sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden tahun 2013 tentang PAUD terintegrasi. Kenaikan partisipasi hanya sekitar 5% sejak 2012. (Angka pertumbuhan serupa terlihat di tingkat provinsi NTT, meskipun angka awalnya lebih tinggi).

Tabel 20. Kecenderungan angka partisipasi kasar PAUD di Sumba

Kabupaten APK

2012/2013 2013/2014 2014/2015

Sumba Barat 25.66 28.35 31.23

Sumba Tengah 28.81 30.29 32.66

Sumba Barat Daya 20.72 23.80 26.38

Sumba Timur 24.21 26.91 29.57

NTT 47.85 49.91 53.78

Nasional 63.01 65.16 68.10

Sumber data: PDSP, Kemdikbud (2013, 2014, 2015)

Dalam diskusi kelompok terarah, para pemangku kepentingan mengidentifikasi empat masalah terkait tingkat pemanfaatan PAUD yang rendah.

Masalah pertama adalah kenyataan bahwa anak-anak yang masih berada pada kelompok usia PAUD sudah bersekolah di Kelas 1.

Masalah kedua adalah keengganan orang tua untuk mempersiapkan anak-anak untuk mengikuti PAUD adalah sarapan sebelum mengikuti PAUD dan pendampingan anak-anak yang masih kecil ke PAUD. Menarik untuk membandingkan informasi tentang perilaku orang tua ini dengan keterangan yang diberikan oleh ibu dalam diskusi desa selama studi kasus sekolah (Lihat Bab 5).

Masalah yang jauh lebih penting lagi adalah tidak semua desa memiliki PAUD yang dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan bermain, seperti pensil mewarnai dan kertas. Orang tua anak PAUD terlalu miskin untuk diharapkan membeli kelengkapan untuk anak-anak mereka. Akhirnya, jarang ditemukan ada fasilitator PAUD yang memahami perkembangan anak, bagaimana mendampingi anak-anak, atau yang memiliki kualifikasi yang diprasyaratkan (S1).

Salah satu isu utama yang tidak diangkat oleh pemangku kepentingan atau pemerintah dalam pembahasan tentang PAUD adalah peran yang bisa dimainkan PAUD dalam mempersiapkan anak-anak memahami bahasa pengantar di sekolah.

Yang dimaksud di sini bukanlah memperkenalkan Bahasa Indonesia kepada anak di PAUD, tetapi menyediakan kurikulum bahasa di PAUD yang paling membantu proses peralihan anak untuk menggunakan Bahasa Indonesia di sekolah. Menjadi sebuah keprihatinan tersendiri bahwa tidak ada kebijakan tentang bahasa untuk PAUD, dan terdapat sejumlah petunjuk bahwa Bahasa Indonesia sedang diperkenalkan sebagai keharusan di PAUD, tanpa ada analisis kebijakan terhadap masalah ini.

Kesimpulan

Bab ini memaparkan bagaimana kabupaten-kabupaten di Sumba diposisikan oleh undang-undang nasional yang mengatur tentang penyediaan guru yang berkualitas. Ternyata kombinasi historis di Sumba antara penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan penyelenggaraan pendidikan oleh yayasan keagamaan kurang sesuai dengan penyediaan guru berkualitas (guru PNS) dari pemerintah pusat. Konsekuensi luas dari hal ini adalah ketergantungan Sumba yang besar pada tenaga kerja kedua yang tidak didukung regulasi, akses terhadap pengembangan kualifikasi dan profesi, dan dalam hal kondisi kerja. Terlepas dari masalah kewajaran, terlalu naif untuk beranggapan bahwa kesenjangan besar dalam gaji dan kesempatan tidak akan mempengaruhi investasi guru dalam pekerjaan mereka.

Struktur ganda penyelenggaraan pendidikan di Sumba tidak akan berubah, demikian pula kebijakan pemerintah pusat tentang PNS. Hal yang masih merupakan kewenangan pemerintah kabupaten untuk lakukan adalah mengenali sifat dari tenaga pengajar yang dimiliki dan memberikan penghargaan yang lebih tinggi pada guru non-PNS. Komponen guru non-PNS memiliki jumlah tenaga lulusan S1 yang sama dengan komponen guru PNS. Lagi pula faktor yang relevan dengan mengajar yang lebih baik adalah kualifikasi guru, bukan statusnya sebagai pegawai negeri. Karena tenaga guru non-PNS bersifat lokal, maka dibutuhkan

Save the Children sedang mengembangkan model PAUD terintegrasi di Sumba Barat. Ciri yang menjanjikan dari model tersebut, yang diperluas untuk mencakup kelas awal SD adalah mekanisme dukungan desa untuk pendidikan. Di dalamnya termasuk pembentukan Kelompok Peduli Pendidikan di desa. Ciri kedua adalah dukungan yang diberikan untuk pengembangan Peraturan Desa bidang Pendidikan. Peraturan ini berpotensi untuk memanfaatkan dana desa mendukung program-program seperti pemberian makanan tambahan di sekolah. (Risalah FGD Sumba Barat 19 May.)

kebijakan kabupaten untuk membawa tenaga non-PNS keluar dari bayang-bayang regulasi dan memasukkannya ke tenaga arus utama kabupaten.

Distribusi guru yang lebih baik akan bersinggungan dengan kebijakan untuk menyediakan dukungan yang lebih baik bagi tenaga non-PNS. Masalah distribusi mengakibatkan kelebihan guru yang sebagian besar didanai dari BOS. Jika pemetaan guru oleh sekolah dilakukan dan ditindaklanjuti, maka akan banyak penghematan terhadap pengeluaran BOS yang tidak efisien, sehingga dapat digunakan untuk hal yang memang dibutuhkan, misalnya untuk pengembangan profesi guru. Selain itu, ketidakadilan remunerasi guru (guru yang dibayar dari Dana BOS) bisa diperkecil.

Tuntutan akan kinerja tinggi terhadap guru dalam kurikulum baru yang dipantau secara nasional serta konteks penilaian di Sumba tidak dapat diabaikan oleh pemerintah daerah. Bab 5 menunjukkan tentang betapa pentingnya pelatihan bagi guru yang tak berlatar belakang pendidikan keguruan, bahkan lebih penting dibandingkan dengan tuntutan kurikulum yang digunakan saat ini. Di antara isu-isu pelatihan yang mendesak tersebut, terdapat isu yang kurang dibahas dan dianalisis di tingkat sekolah dasar serta PAUD, yaitu tentang bagaimana guru harus mengatasi masalah mengajar anak yang bahasa ibunya bukan Bahasa Indonesia.

Studi Kasus Sekolah di Daerah