• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fokus pada interaksi belajar dan mengajar telah membawa kepada pemahaman yang lebih dinamis akan sekolah sebagai ‘ekologi’. Konsep utama dalam model ekologis suatu sekolah adalah interaksi dinamis antara berbagai faktor (input dan proses) dengan komposisi khas sekolah – yaitu jenis staf, jenis siswa, jenis kepala sekolah yang berada di sekolah tersebut. Bentuk-bentuk interaksi inilah yang berpengaruh pada outcome. Sintesis Reynolds (2014: 224-5) tentang perkembangan dalam penelitian-penelitian efektivitas sekolah mengutip beberapa tokoh utama dalam bidang tersebut yang berhasil menguji validitas model sekolah yang dinamik

Dampak dari interaksi-interaksi ini mempengaruhi outcome. Efek interaksi dinamis signifikan, khususnya ketika sekolah membutuhkan perubahan, dan interaksi-interaksi ini memberi penjelasan mengapa di sejumlah sekolah perubahan berhasil sedangkan di sekolah lain perubahan tidak berhasil, walaupun dari sekolah-sekolah tersebut tampaknya sama.

Implikasi utama dari pemahaman tentang sekolah sebagai ekologi adalah memahami efek dari jenis komposisi tertentu dari suatu sekolah terkait dengan perubahan yang diperlukan. Pemahaman ini hanya dapat dicapai melalui studi kinerja sekolah yang kontekstual. Sebagai contoh sederhana, sebuah sekolah yang banyak

membutuhkan pemahaman tentang pengajaran (seperti penilaian diagnostik) dibanding sekolah yang banyak gurunya berkualifikasi baik.

Meskipun demikian, perlu diperjelas bahwa penekanan pada pemahaman tentang bagaimana dampak dihasilkan di sekolah tidak berarti bahwa hanya sekolah sendiri yang bertanggung jawab terhadap tersebut. Jika staf tak terlatih tidak mampu menerapkan perubahan yang membutuhkan tingkat pendidikan profesi, maka sistemlah yang akan bertanggung jawab. Efektivitas sekolah sangat banyak ditentukan oleh efektivitas sistem dalam memampukan sekolah menjalankan fungsinya.

Kesimpulannya, dari pembahasan tentang lingkup konsep efektivitas sekolah terdapat dua dimensi penting efektivitas sekolah, yaitu: mutu, yang diukur berdasarkan outcome pembelajaran sekolah; dan kesetaraan yang diukur dengan peningkatan outcome/hasil siswa berprestasi rendah dibanding rata-rata siswa berprestasi tinggi (Reynolds, 2014: 205). Kedua dimensi ini relevan dengan studi tentang efektivitas sekolah dalam konteks seperti di Sumba.

4. Temuan-temuan yang Diterima dari Penelitian Efektivitas Sekolah

Walaupun berbagai upaya terus dilakukan untuk memperjelas apa yang dipandang sebagai penyumbang terhadap efektivitas sekolah, namun masih ada kontinuitas yang mengesankan terkait faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai faktor kunci.

Sebuah paparan yang sahih tentang faktor-faktor tersebut pertama kali disusun oleh Edmonds (1979). Tabel 1 yang membandingkan konstruk/gagasan ini dengan temuan-temuan kontemporer menunjukkan bahwa kelima kunci yang saling terkait ini masih tetap berlaku.

Tabel 1. Stabilitas Faktor Kunci Efektivitas Sekolah Seiring Waktu

Edmonds (1979) Teddlie dan Reynolds (2000)

Kepemipinan kepala sekolah yang kuat Kepemimpinan kepala sekolah: Tegas, partisipatif, berorientasi tugas; monitoring dan proses penggantian guru/staff secara partisipatif

Penekanan pada pembelajaran keterampilan dasar

Fokus pada pembelajaran yang ditujukan untuk pencapaian outcome akademis

Iklim yang teratur yang memfasilitasi pembelajaran

Kultur sekolah positif yang mencakup: visi bersama, iklim yang teratur, dan dorongan positif.114

Ekspektasi tinggi tentang apa yang siswa akan capai

Ekspektasi tinggi terhadap siswa dan guru.

Monitoring yang sering terhadap kemajuan siswa

Pemantauan terhadap kemajuan di tingkat sekolah, kelas, dan siswa.

114 Hehnveld dan Craig mendefinisikan kultur sekolah sebagai iklim sekolah (ekspektasi yang tinggi terhadap siswa, sikap positif guru, keteraturan dan disiplin, tujuan pembelajaran yang jelas, dan penghargaan serta insentif bagi siswa)

Pelibatan orang tua dan mendorong interaksi positif. Menghasilkan pengajaran yang efektif melalui: memaksimalkan waktu pembelajaran, strategi pengelompokkan, melakukan pengukuran

berdasarkan praktik terbaik, dan penyesuaian praktik dengan kebutuhan siswa.

Pengembangan profesi di tempat bagi staf yang terintegrasi dengan inisiatif sekolah.

Pelibatan siswa dalam proses pendidikan melalui tanggung jawab dan hak.

Berbagai upaya telah dilakukan secara konsisten untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang memiliki efek terbesar bagi nilai siswa. Scheerens (2015) merangkum besaran efek dari tiga meta analisa terhadap efek sekolah, termasuk milik Hattie yang melakukan sintesis terhadap 800 meta-analisa. (Ketiga peneliti menggunakan prosedur statistik berbeda. Pengukuran yang dilakukan Hattie memberikan hasil yang besarannya sekitar dua kali lipat dari besaran hasil yang digunakan dua peneliti lainnya.)

Hasil dari Hattie secara konvensional dipandang sebagai besaran efek menengah; dan hasil dari dua peneliti lain dipandang sebagai efek rendah, yang menurut Scheeren, menunjuk pada kesulitan yang berkelanjutan dari bidang penelitian ini untuk mengukur nilai tambah sekolah yang sah. Dengan membandingkan besaran, dapat dilihat bahwa monitoring dan evaluasi, keterlibatan orang tua di sekolah dan iklim yang teratur merupakan besaran efek sekolah terbesar bagi sebuah sekolah; sehingga hasil efektivitas pengajaran lebih besar dibanding hasil di tingkat sekolah melalui strategi pengajaran yang baik.

Tabel 2. Besaran Efek Meta-analisis terhadap Efek Sekolah

Variabel Scheerens dkk. (2007 Hattie (2009) Kyriakides (2008) Creemers dan Variabel tingkat sekolah

Konsensus dan kohesi .02 - .16

Iklim yang teratur .13 .34 .12

Monitoring dan evaluasi .06 .64 .18

Kurikulum/peluang belajar .15 - .15

Pekerjaan Rumah .07 .30 -

Waktu belajar efektif .15 .34 -

Keterlibatan orang tua .09 .50 -

Orientasi pencapaian .14 - -

Kepemimpinan pendidikan .05 .36 .07

Diferensiasi .02 .18 -

Variabel tingkat pengajaran Seidal dan Shavelson

(2007)

(2007 Kyriakides (2008)

Manajemen kelas .10 .52 .00

Pengajaran terstruktur .09 .60 .02

Strategi pengajaran dan

pembelajaran .22 .70 .22

Umpan balik dan monitoring .07 .66 .01

Sumber Scheerens, 2015: 16.

Efek sekolah yang membawa perbaikan khusus bagi siswa kurang mampu telah diringkas dalam studi-studi lain. Efek yang menonjol adalah iklim yang hangat dan mendukung, baik di tingkat sekolah maupun di tingkat kelas. Proses pengajaran yang kandungan isinya jelas terstruktur, yang menempatkan hal-hal kongkrit terlebih dahulu sebelum abstraksi, yang mendorong adanya respon, yang menjelaskan transisi dan kembali ke petunjuk demi menunjukkan bagaimana bagian-bagian yang dipelajari saling bertautan, merupakan proses yang paling efektif untuk siswa yang kurang mampu (Reynolds, 2014: 16).

5. Tradisi Efektivitas Sekolah di Negara-negara Berkembang

Keterbataasan sumber daya di negara-negara berkembang menyebabkan upaya mengidentifikasi hal yang paling efektif untuk peningkatan pembelajaran siswa menjadi perhatian utama dalam menerapkan hasil–hasil penelitian tentang efektivitas sekolah. Dalam konteks ini, sejumlah ekonom pendidikan kembali kepada skeptisisme semula yang muncul akibat studi Coleman terhadap efektivitas dari pendekatan yang didorong oleh input. Skepitisme ini dipicu oleh studi tentang peningkatan anggaran pendidikan di negara-negara (Argentina, Brazil) namun belum diikuti oleh peningkatan yang setara dalam hal tingkat kinerja hasil PISA, dan hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan akibat terjadinya peningkatan partisipasi siswa yang besar pada periode yang sama.

Sebuah studi penting oleh Glewwe dan kawan-kawan menganalisis hasil meta analisis yang mengevaluasi dampak berbagai input terhadap siswa selama jangka waktu 1990-2010. Hanya studi-studi yang memenuhi kriteria mutu bukti yang digunakan dalam analisis tersebut (79 dari 9000) dan yang kemudian dibagi menjadi “mutu sedang” dan “mutu tinggi”. Arti penting studi Glewwe adalah fokusnya pada input-input esensial yang mendukung peningkatan pembelajaran. Tabel 3 menyajikan hasil studi Glewwe yang telah disusun secara berurutan.

Input-input yang berdampak pada outcome pembelajaran dari studi-studi yang memenuhi

syarat mutu bukti yang cukup (79 studi)

Input-input yang mempengaruhi outcome pembelajaran dari studi-studi yang memenuhi

kriteria mutu bukti yang tinggi (46 studi)

Meja belajar, meja dan kursi Meja belajar, meja dan kursi

Bangunan dalam kondisi baik Bangunan dalam kondisi baik

Pengetahuan guru tentang mata pelajaran Pengetahuan guru tentang mata pelajaran

Pelatihan di tempat kerja untuk guru-guru Pelatihan di tempat kerja untuk guru-guru

Jumlah jam yang cukup pada hari sekolah Jumlah jam yang cukup pada hari sekolah

Buku teks Peningkatan jumlah murid dalam kelas berdampak negatif

Listrik di sekolah Ketidakhadiran guru memiliki berdampak negatif terhadap nilai.

Perpustakaan sekolah

Guru dengan pendidikan lebih baik Kepala Sekolah berpengalaman Peningkatan jumlah murid dalam kelas berdampak negatif

Ketidakhadiran guru berdampak negatif terhadap nilai.

Sumber: Glewwe et al. 2011.

Glewwe dan kawan-kawan mengakui bahwa salah satu alasan hanya sedikit input yang lolos evaluasi efektivitas yang ketat adalah karena dampak inputnya sangat bervariasi dalam konteks dan keadaan yang berbeda-beda; akibat variasi tersebut, banyak asosiasi penting yanglenyap ketika diagregasi secara statistik.

Dua kesimpulan yang ditarik dari daftar efek yang cukup pendek ini adalah pemerintah harus mendesentralisir lebih banyak kewenangan kepada sekolah untuk memilih input yang memenuhi kebutuhan mereka; namun secara keseluruhan, diperlukan diberi lebih banyak perhatian pada solusi manajemen dan akuntabilitas untuk efektivitas sekolah daripada sekedar memberi “lebih banyak uang”.

Studi Heneveld dan Craig (1996) merupakan sintesis dari penelitian tentang pengembangan dan praktisi dengan efektivitas sekolah dalam konteks negara-negara berkembang, khususnya Afrika. Mereka juga memperhatikan pertanyaan tentang persyaratan mendasar yang esensial agar sekolah bisa efektif.

Mereka telah mengidentifikasi sejumlah input mendasar yang serupa dan penting dalam konteks tersebut, yaitu buku teks dan bahan ajar, dukungan instruksi bagi para guru, lamanya hari sekolah dan waktu yang disediakan untuk pembelajaran di kelas. Mereka menekankan hal-hal lain yang serupa dengan temuan-temuan penelitian tentang hal-hal yang bermanfaat bagi siswa yang kurang sejahtera, yaitu: fleksibilitas pelaksanaan kurukulum, penyesuaian dengan tingkat dan kecepatan siswa. Mereka menambahkan kesehatan dan bahasa pengantar yang tepat, yang tidak ada dalam penelitian-penelitian tentang efektivitas di

negara-solusi terdesentralisir yang berbasis sekolah atas masalah-masalah yang ditemui.

6. Model Sekolah Efektif Indonesia

Masalah desentralisasi sekolah sebagai prasyarat efektivitas merupakan titik balik yang tepat untuk membahas parameter efektivitas sekolah di Indonesia.

Indonesia mengadopsi manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai bagian dari kerangka yurisdiksi desentralisasinya pada tahun 2001. 115 Namun model MBS seperti apakah yang digunakan?

Manajemen berbasis sekolah diturunkan dari gagasan bahwa sekolah yang mengelola diri sendiri memiliki pengetahuan setempat, sumber daya, otonomi dan insentif untuk secara langsung memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna setempat (Caldwell dan Spinks, 1988). Konsep MBS menjadi berpengaruh dalam dunia pembangunan melalui integrasinya ke dalam kerangka yang dikembangkan oleh dari Bank Dunia 2003 untuk penyelenggaraan pelayanan efektif bagi orang miskin. Penekanannya ada pada bagaimana layanan terdesentralisir mempermudah akuntabilitas karena pendeknya jarak antara penyedia dan pengguna — insentifnya terletak pada “kekuatan pelanggan” (Chen, 2011: 3). Versi MBS murni memberikan wewenang pengambilan keputusan kepada orang tua dan masyarakat, termasuk dalam hal pengangkatan dan pemecatan guru (Brun dkk.).

Model manajemen berbasis sekolah di Indonesia berbeda dengan model Bank Dunia. Di Indonesia, para manajer sekolah tidak memiliki kewenangan demikian. Pemerintah kabupaten dan pusat mempertahankan kewenangan pengangkatan dan pemecatan guru PNS; dan kriteria bagi belanja BOS yang diperbolehkan menghalangi penggunaan dana sekolah sesuai kebutuhan. Akuntabilitas yang terbatas dari sekolah yang swa kelola dalam sistem Indonesia diakui dalam Standar Pelayanan Minimal bagi sekolah-sekolah. Bagi sekolah dasar, SPM meliputi penyediaan buku teks dan buku-buku pendukung, bahan ajar, jumlah jam per minggu di mana guru harus berada di sekolah serta lingkup kewajibannya, implementasi kurikulum yang ditetapkan secara lokal, tanggung jawab penilaian, tanggung jawab pengawasan kepala sekolah terhadap guru-guru dan implementasi prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (Permen 23 Tahun 2013 tentang SPM). Biaya operasional dari pemerintah tersebut lebih lanjut mengurangi potensi peran komite sekolah dalam penentuan arah direksi sekolah yang sebelumnya merupakan bawaan dari perannya dalam penggalangan dana.

MBS di Indonesia memusatkan perhatian pada manajemen, bukan pada tata kelola sekolah yang otonom. Ciri esensial dari model di Indonesia adalah keterlibatan masyarakat dan bukan pemantauan terhadap perencanaan dan penentuan arah sekolah; dan keterlibatan dalam pembelajaran siswa. Komite sekolah

115 Keputusan Menteri No. 044/U/2002 (Kementerian Pendidikan Nasional, 2002) tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (KS). Chen: “Keputusan ini secara eksplisit mengatur bahwa tujuan KS adalah: (1) megakodasi aspirasi masyarakat tentang kebijakan operasional dan program sektor pendidikan di tingkat satuan pendidikan (tingkat sekolah); (2) mendorong peran serta masyarakat yang lebih tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah; dan (3) memfasilitasi penyelenggaraan pelayanan pendidikan di tingkat sekolah secara transparan dan akuntabel.”

Pendidikan sebagai badan tertinggi untuk input masyarakat.

Terhadap model manajemen ini ditambahkan dimensi lain pada awal era ini, yaitu: pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini didasarkan pada tradisi sekolah ramah anak PBB yang bertujuan mencapai lingkungan pembelajaran yang kondusif di sekolah. Dengan tiga komponennya yaitu manajemen, keterlibatan masyarakat dan ambang perhatian terhadap pengajaran dan pembelajaran, MBS merupakan model sekolah yang efektif. Model ini disebarluaskan secara universal di Indonesia dan dilembagakan dalam standar pendidikan Indonesia. Selain itu terjadi kontinuitas yang menakjubkan dalam perkembangan lebih lanjut terhadap model ini melalui intervensi pendidikan dasar dari pemerintah dan mitra pembangunan hinga saat ini. Intervensi-intervensi ini menggiring penajaman fokus perbaikan sekolah pada mutu pembelajaran. Ada bukti pelaksanaan MBS dan pengalokasian sumber daya yang berkelanjutan secara substantif di beberapa kabupaten yang mendapat dukungan donor (Cannon, 2014: 13).116 Namun Cannon mengungkapkan secara telak, bahwa banyak program donor yang tidak mengetahui keberlanjutan, luasnya diseminasi dan dampak dari model yang mereka dukung (Cannon, 2014: 1). Hal ini merupakan keterbatasan yang signifikan bagi pengumpulan informasi tentang praktik baik yang teruji di Indonesia.

Walaupun analisis-analisis yang telah dilakukan menekankan ambang batas model MBS dalam pendekatan terhadap pengajaran dan pembelajaran serta keterlibatan masyarakat (SMERU, 2004; 2008; ACDP MSS 2013; Chen, 2012), model ini memiliki keuntungan besar karena dilembagakan dalam standar pendidikan Indonesia dan diinternalisasi sebagai sebuah kerangka ekspektasi guru, kepala sekolah dan masyarakat. Bukti akan pentingnya model ini adalah pengakuan dari beberapa program donor (Cannon 2014, Save the Children 2014) yang terkait dengan upaya peningkatan kapasitas pedagogi guru dan pemahaman mata pelajaran di sekolah, sedemikian rupa sampai pemahaman mata pelajaran tidak akan berhasil tanpa pertama-tama didasari oleh MBS (Cannon 2014; Save the Children, 2014)..