• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa yang digunakan di rumah.

Informasi tentang bahasa yang digunakan siswa Kelas 2 di rumah diperoleh dari ibu siswa Kelas 2 dan guru Kelas 2.

Guru. Enam puluh persen guru merupakan guru non-PNS. Di semua sekolah ada guru non-PNS yang digaji

dari dana BOS; sedangkan di beberapa sekolah terdapat pula guru-guru yang digaji oleh kabupaten. Di atas dua per tiga guru hanya memiliki latar belakang pendidikan SMA; hanya 24% yang memiliki kualifikasi S1; dan enam persen sudah disertifikasi. Sedangkan untuk Sumba secara keseluruhan 48% guru per sekolah memiliki kualifikasi S1.

Di antara guru Kelas 2, dua pertiga hanya berlatar belakang SMA, dan sepuluh di antaranya tidak mendapatkan pelatihan mengajar membaca. Rata-rata rentang waktu menjadi guru dari sekitar 50% guru Kelas 2 adalah dua tahun.

Informasi yang didapatkan dari ibu siswa dan guru kelas 2 pada umumnya sama yaitu bahwa antara 40-50% siswa hanya menggunakan bahasa daerah di rumah. Tingginya jumlah anak yang lingkungannya tidak berbahasa Indonesia merupakan sebuah isu kebijakan yang penting.

Kesiapan belajar di sekolah. Terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan hubungan erat antara

pengalaman di PAUD dengan prestasi siswa di kelas awal, khususnya bagi anak-anak di daerah tertinggal.97

Namun demikian, hanya seperempat ibu yang diwawancarai yang sebelumnya memasukkan anaknya (yang sekarang berada di Kelas 2) ke PAUD. Namun hal ini tidak berarti bahwa para ibu tidak mengetahui manfaat PAUD. Para ibu di sebuah sekolah dengan sangat jelas mengutarakan alasan mengapa PAUD bermanfaat.

Namun dalam wawancara dengan mereka, para ibu secara gamblang menyatakan alasan mereka tidak memasukkan anaknya ke PAUD, yaitu:

saya (tinggal) dekat dengan PAUD ini. Kalau saya lihat sehari-hari, kadang kadang guru di sini ini, guru guru SD anak anak SD ini kalau sudah masuk, guru-guru PAUD belum ada. Anak-anak mau datang sekolah gurunya tidak ada. Namanya anak kecil, tidak ada guru... yaaahh ... anak-anak pulang. Jadi menurut saya, bukan berarti anak anak tidak mau sekolah, tetapi dari tenaga pendidiknya, pembimbingnya. Lalu kalau saya lihat lagi, anak-anak namanya dari 3 sampai 5 tahun masih perlu bimbingan orang tua. Kalau andaikata jaraknya sampai 100 meter atau 500m, kan masih perlu diantar. Jadi orang tua mau bimbing bawa ke sekolah gurunya tidak ada. Tidak akan mungkin orang tua dia tunggu. Mau tidak mau pulang.98

Kesehatan dan gizi. Sudah diketahui

secara umum bahwa siswa datang ke sekolah tanpa sarapan sehingga kekurangan tenaga untuk belajar dan

berkonsentrasi. Setengah dari guru-guru Kelas 2 berpandangan bahwa hal ini kemungkinan besar terjadi pada sebagian besar siswa. Dalam sebuah diskusi di desa tentang hal ini, para ibu menegaskan bahwa anak-anaklah yang tidak mau sarapan kecuali mereka sudah lapar. Tapi mungkin siklus harian para ibu yang bekerja inilah yang memengaruhi waktu untuk memperhatikan anak-anak dan mempersiapkan makanan – yaitu pada siang hari. Seperti dikatakan salah seorang ayah, mempersiapkan makanan di dapur di desa perlu diawali dengan mengumpulkan kayu dan air, serta menyalakan api, sedangkan mereka harus ke ladang sebelum hari menjadi panas.99

97 World Bank; Stanley study in Indonesia

98 Wawancara Dengan Ibu, Survei Sekolah, 10 Mei.

99 Dalam kaitan dengan hal ini, perlu dicatat bahwa menurut kajian WVI satu-satunya alasan mengapa hanya 11% wanita menyusui adalah karena tuntutan waktu dan energi untuk bekerja di ladang.

“Pada akhirnya, ketika anak pergi sekolah, ibunya ke kebun, karena mayoritas petani, setelah orang tuanya pulang jam 12, baru diperhatikan.”

Ibu di sekolah C menyatakan bahwa mereka memandang pendidikan usia dini penting karena anak belajar lewat bermain dan di pendidikan usia dini guru harus mengikuti minat/kenginan anak.

Karena merupakan keharusan, praktik yang sulit dihilangkan ini bisa dijadikan dasar untuk menyediakan camilan bergizi bagi anak-anak pada saat tiba di sekolah, sehingga memberi keuntungan tambahan sebagai pendorong bagi anak untuk ke sekolah tepat waktu.

Terkait efek penyakit kronis pada pembelajaran, ekitar 50% dari ibu siswa Kelas 2 mengatakan bahwa anak mereka tidak pernah tak ke sekolah dalam dua minggu sebelum wawancara. Namun, 22% mengatakan anak-anak mereka tidak ke sekolah tiga kali atau lebih pada dua minggu sebelumnya. Semua petugas Posyandu yang terlibat dalam diskusi di desa menilai bahwa tingkat kesehatan anak-anak di desa kurang baik.

Dukungan literasi dan belajar di rumah. Temuan yang menggembirakan adalah hampir 60% dari siswa

Kelas 2 memiliki buku di rumah. Namun, Gambar 11 menunjukkan bahwa sangat sedikit dari buku-buku tersebut yang dapat digunakan untuk melibatkan anak-anak dan orang tua dalam praktik literasi awal, yaitu: melihat, membaca dan berbicara tentang kisah-kisah dalam buku.

Gambar 11. Jenis Buku yang Menurut Ibu Siswa Kelas 2 Ada di Rumah

Sebagian besar ibu mengatakan bahwa anak mereka mempunyai waktu khusus untuk belajar di rumah. Namun enam belas orang ibu mengindikasikan bahwa mereka tidak membantu anak belajar. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah karena mereka tidak mampu membantu anak. Mereka menyatakan tentang pentingnya pembelajaran ibu untuk mendukung anak meningkatkan kemampuan bacanya.

46.88% 21.88% 18.75% 6.25% 9.38% 53.13% 78.13% 93.75% 90.63% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Bk Pelajaran Bk Cerita Bk Rohani Srt kabar / majalah Lainnya Ada Tidak ada

Tabel 21. Alasan yang Diutarakan Para Ibu Terkait Ketidakmampuan Membantu Anak Belajar di Rumah

Alasan Frekuensi

Tidak mampu membaca 5

Terlalu sibuk 3

Tidak tahu bagaimana membantu anak belajar 2

Ada orang lain yang lebih mampu membantu 4

Tidak dekat dengan anak; tidak cukup sabar mengajar anak membaca 3

Ketidakhadiran di sekolah. Staf sekolah memiliki pandangan yang sama bahwa siswa tidak hadir di sekolah

karena mereka bekerja di sawah/ladang atau karena alasan acara adat. Namun demikian, banyak ibu (60%) menyangkal bahwa anaknya yang duduk di Kelas 2 tidak hadir karena membantu orang tua bekerja. Dua puluh lima persen mengatakan bahwa terkadang mereka meminta anaknya membantu saat panen. Sebagian kecil (6%) mengatakan bahwa anaknya bekerja sebagai pekerja bayaran saat panen. Para ibu (80%) juga menyangkal bahwa anaknya tidak hadir karena dibawa menghadiri acara-acara adat. Namun demikian, bukti yang terdokumentasi menunjukkan bahwa terdapat angka ketidakhadiran yang sangat tinggi di sekolah (Gambar 12). Pada saat kunjungan ke sekolah, setengah bagian siswa Kelas 2 tidak hadir. Sekolah juga mengadakan libur tambahan di luar kalender pendidikan. Hampir 100% kepala sekolah mengatakan bahwa ada liburan tambahan bagi siswa.