• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Mengajar yang Efektif

Seperti ditunjukkan dalam Tinjauan Pustaka, penelitian tentang sekolah efektif semakin memusatkan perhatian pada mengajar yang efektif sebagai faktor yang paling menentukan hasil belajar siswa. Hubungan antara kegiatan mengajar dan hasil belajar siswa dipelajari dalam studi kasus yang dilakukan dalam studi ini. Sub bagian ini akan meringkas temuan-temuan utama terkait bidang pengajaran yang efektif dalam kerangka efektivitas sekolah.

Guru yang memahami bagaimana cara mengajar literasi dan berhitung. Temuan-temuan yang paling

relevan dengan penilaian mutu mengajar adalah kemampuan membaca siswa kelas awal yang sangat rendah, walaupun keterampilan tersebut merupakan keterampilan paling mendasar yang perlu dikuasai pada kelas awal.

Menurut para guru Kelas 2 di sekolah-sekolah di daerah tertinggal, hampir 50% siswa di kelasnya mengalami kesulitan membaca pada akhir tahun Kelas 2.

Temuan penting dari studi ini adalah bahwa walaupun iklim positif sekolah dan ruang kelas dapat mempengaruhi keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar, pengelolaan kelas dan sekolah yang baik saja tidak cukup bagi siswa untuk belajar membaca. Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dalam angka mengulang siswa Kelas 2 di sekolah yang teridentifikasi sebagai sekolah yang berkinerja atau berprestasi tinggi (bisa serendah 1%) dibanding sekolah-sekolah lainnya, namun di sekolah-sekolah yang berkinerja tinggi pun sekitar 30% siswa Kelas 2 mengalami kesulitan membaca. Sebaliknya salah satu dari sedikit faktor yang secara statistik signifikan mempengaruhi kemampuan membaca adalah guru Kelas 2 yang mendapatkan pelatihan.

Dari wawancara dengan para guru, terdapat petunjuk bahwa banyak guru yang tidak tahu bagaimana cara membantu anak-anak mempelajari keterampilan dasar termasuk menyusun rencana pelajaran untuk mengatasi kesulitan membaca siswa. Hal ini bisa diakibatkan hilangnya pengetahuan kelembagaan akibat gelombang pensiun guru tamatan SPG pada pertengahan tahun 2000an yang memiliki pemahaman tentang metode membaca dan karena kurikulum S1 PGSD yang ada saat ini tidak secara khusus menyasar mengajar membaca. Buku teks Kelas 1 yang sering kali menjadi satu-satunya panduan bagi guru selama pelaksanaan KTSP sedikit dibahas pada Bab 1. Kurikulum 2013 yang wajib dilaksanakan pada tahun 2017 mengasumsikan bahwa siswa Kelas 1 sudah mampu membaca.

Bahan kurikulum dan petunjuk yang dapat dipahami siswa yang tingkat kemampuan belajarnya berbeda. Analisis Situasi ini juga menemukan bahwa di rumah, 50% siswa sekolah dasar di daerah tertinggal

hanya menggunakan bahasa daerah. Ketiadaan pengenalan terhadap bahasa pengantar pasti berkontribusi terhadap kesulitan yang banyak dialami siswa kelas-kelas awal dalam membaca. Fakta bahwa sekitar 70% anak

mampu menjawab dengan tepat pertanyaan pemahaman ketika dibacakan kepada mereka dalam bahasa daerah, dibanding hanya 42%, ketika bacaan dibaca dalam Bahasa Indonesia, menunjukkan sejauh mana perkembangan anak-anak terhambat akibat kesulitan memahami bahasa.

Kabupaten belum menyadari hal ini sebagai penyumbang utama terhadap kesulitan membaca di sekolah dasar di Sumba. Akibatnya, Dinas Pendidikan Kabupaten belum memanfaatkan peluang yang diberikan SISDIKNAS untuk mengimplementasikan kurikulum terdiversifikasi demi mengakomodasi bahasa daerah; serta peluang yang diberikan Kurikulum 2013 untuk menggunakan bahasa daerah. Kabupaten juga belum menjalankan amanat SPM untuk menyediakan panduan kurikulum daerah. Sebaliknya, salah satu bukti yang menonjol dari penerimaan terhadap pendidikan terstandar adalah penggunaan Bahasa Indones ia sebagai bahasa pengantar di PAUD yang bermunculan di seluruh Sumba sesuai dengan amanat PP nol 60 Tahun 2014. Belum ada kebijakan tentang pemanfaatan bahasa di PAUD, sehingga memunculkan pilihan yang dapat berdampak negatif terhadap salah satu nilai utama PAUD dalam mempersiapkan anak bersekolah, yaitu: mengembangkan kapasitas kognitif anak melalui pengembangan bahasa lisan. Karena belum ada wacana kebijakan, maka tidak ada tindakan yang diambil, termasuk tindakan yang terjangkau seperti pengadaan bahan-bahan lokal untuk mendukung upaya menjembatani bahasa daerah dan Bahasa Indonesia atau menggunakan sumber daya linguistik daerah dalam mendukung pendekatan bilingual oleh guru.

2. Monitoring dan evaluasi belajar mengajar

Studi kasus sekolah menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara monitoring oleh kepala sekolah dan rendahnya angka mengulang. Namun secara umum, para guru tidak dapat mengatakan bahwa kepala kepala sekolah memberi dampak positif bahkan walau mereka bersungguh-sungguh dalam supervisi bulanan ke kelas. Umumnya, para kepala sekolah belum mendapatkan pelatihan tentang mengajar yang efektif. Di sekolah yang dikunjungi pada studi kasus, hampir setengah dari kepala sekolah hanya memiliki latar belakang pendidikan setara SMA (20% kepala sekolah di Sumba hanya berlatar berlatar belakang SMA). Kemampuannya tidak lebih baik daripada guru dalam mengajar yang efektif. Rendahnya tingkat pelatihan juga dialami para pengawas. Hanya di satu dari keempat kabupaten di Sumba di mana semua pengawas memiliki kualifikasi S1. Di sebuah kabupaten, proporsi pengawas yang berkualifikasi S1 hanya sepertiga dari jumlah seluruh pengawas. Pengawas tidak mendapatkan pelatihan yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utamanya. Pengembangan kompetensi peran pengawas tidak termasuk dalam reformasi ketenagaan pendidikan di Indonesia.105

Kurangnya kompetensi teknis bisa menjelaskan tidak berfungsinya monitoring dan evaluasi sekolah. Di 70% dari sekolah yang dikunjungi selama studi kasus, guru menyatakan bahwa mereka belum dimonitor oleh pengawas.

Penjelasan kedua terhadap tidak berfungsinya monitoring dan evaluasi adalah kurangnya ketentuan tentang pelaporan hasil pembelajaran dan tindak lanjut terhadap laporan. Walaupun ada laporan, laporan tersebut tidak berisi informasi tentang prestasi siswa, akibatnya Dinas Pendidikan tidak mempunyai sumber informasi tentang kinerja sekolah dilihat dari hasil belajar siswa. Kalaupun informasi seperti itu ada, tidak ada fungsi untuk memanfaatkan informasi tersebut secara sistematis untuk mengevaluasi sekolah, strategi atau perencanaan dan penganggaran yang tersasar. Tidak ada yang dilakukan terhadap informasi bulanan yang dikumpulkan.

Tidak ada evaluasi rutin terhadap sekolah. Inilah situasi yang terjadi di mana proses EDS sebenarnya dapat memberi sumbangan.

Namun bahkan jika terdapat kepatuhan, EDS sebagai audit mutu sekolah terhadap kedelapan standar, tidak cocok untuk tujuan evaluasi efektivitas pembelajaran sekolah, khususnya dalam konteks seperti di Sumba. Tidak ada alasan untuk melakukan proses berulang tahunan kalau sekolah belum mencapai standar input minimal yang dapat dicapai. Kenyataannya, sejauh efektivitas mengharuskan semua indikator mutu harus dicapai, hal ini justru malah menghambat upaya perbaikan atau mendukung tidak adanya upaya perbaikan dari para kepala sekolah dan guru; yaitu ciri-ciri sekolah yang kepemimpinannya tidak efektif dalam studi ini. Namun demikian, pertanyaan yang hendak di jawab studi ini dan jawabannya ternyata bersifat afirmatif adalah apakah ada perbedaan efektivitas antar sekolah terpencil di Sumba (60% sekolah di Sumba). Terkait satu hasil/outcome siswa yang sangat penting, yaitu angka mengulang kelas awal, sekolah berprestasi yang tidak memenuhi standar mutu, jauh lebih baik dari sekolah lain.

Praktik terbaik dalam monitoring dan evaluasi sekolah yang ada saat ini fokus pada penilaian yang didasarkan pada hasil/outcome, yang mengevaluasi perbaikan yang diakibatkan oleh ciri, strategi, dan intervensi tertentu pada pembelajaran siswa.106 Di Sumba, agar evaluasi terjadi secara rutin, bukti yang digunakan untuk melakukan penilaian tersebut harus jelas bagi semua pihak, termasuk pihak yang bukan pakar. Banyak yang dapat diperoleh dari ukuran-ukuran yang lebih sedikit dan dengan mudah diukur demi perbaikan yang bersifat strategis, dan realistis. Demikian pula dengan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses evaluasi. Sebuah temuan penting dari studi kasus yang diadakan menunjukkan bahwa ada minat dari pemerintah desa dan orang tua untuk mengetahui apa yang dilakukan sekolah bagi anak-anak, dan hal ini bisa jadi merupakan langkah awal menuju akuntabilitas yang lebih besar. Terkait dengan pelayanan PAUD di desa serta pengasuhnya yang tidak terlatih, orang tua peserta PAUD berani mengemukakan analisis yang tajam terhadap kekurangan pelayanan yang diterima peserta PAUD.

106 Misalnya, evaluasi OFSTED didasari empat penilaian: pencapaian siswa, mutu mengajar, perilaku dan kesejahteraan siswa, serta kepemimpinan dan manajemen. Semuanya digabungkan menjadi penilaian terhadap efektivitas secara menyeluruh. Aspek-aspek evaluasinya memang lebih sedikit, tetapi prosesnya mengharuskan analisis yang lebih luas dan refleksi diri.

3. Ketersediaan pelatihan

Sekitar 30% guru di Sumba memasuki dunia pendidikan tanpa latar belakang pendidikan keguruan. Dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten memang mendanai pelatihan profesi, tetapi peluang untuk mendapatkan pelatihan tersebut tidak merata. Peluangnya kecil bagi guru-guru tak berlatar belakang pendidikan keguruan untuk mendapatkan pelatihan, terutama kalau mereka mengajar di kelas-kelas awal.

Bukan hanya guru tak berlatar pendidikan keguruan yang membutuhkan pelatihan mengajar yang efektif. Uji-t Uji-terhadap daUji-ta sUji-tudi kasus menunjukkan bahwa Uji-tidak ada perbedaan guru S1 dan Uji-tamaUji-tan SMA serUji-ta PNS dan non-PNS dilihat dari proporsi siswa Kelas 2 yang mengulang. Satu dari dua variabel yang berkorelasi signifikan dengan perbaikan kemampuan membaca adalah pelatihan yang didapatkan guru Kelas 2.

Masalah kapasitas guru yang jelas terkait mengajar membaca akan diperparah ketika kurikulum tahun 2013 dan prosedur penilaian yang baru diberlakukan. Sekarang guru diwajibkan untuk memiliki tingkat keterampilan pedagogis yang akan dipantau secara nasional melalui uji kompetensi tahunan, dan akan diberlakukan ujian berbasis kohor (PMTK) yang baru pada Kelas 4, 8 dan 11.

Dalam kelembagaan KKG, kabupaten memiliki sebuah sistem yang terjangkau dan mendapat pendanaan, dalam desain awal yang mewujudkan prinsip terbaik dari pengembangan profesi guru berkelanjutan dalam hubungannya dengan kegiatan mengajar di kelas. Namun input yang secara konsisten didapatkan dalam studi ini mengungkap bahwa pada umumnya KKG tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme pengembangan profesi guru. KKG terutama hanya digunakan untuk mengurus tugas administrasi guru selama tahun ajaran. KKG jarang dilakukan sehingga tidak cukup memadai sebagai sistem pengembangan profesi. Sekolah-sekolah terpencil jarang mengakses KKG. Sering kali guru-guru kelas awal tidak mengikuti KKG: sekolah cenderung menginvestasikan sumber daya KKGnya pada guru-guru Kelas 6 yang akan mengikuti ujian.107 Tidak ada data monitoring efektivitas pelaksanaan KKG di berbagai gugus sekolah; namun mutu KKG kemungkinan sangat bervariasi antar gugus. Efektivitas pengawasan tergantung pada kepala sekolah dan pengawas. Tidak ada pemantauan di tingkat kabupaten.

Namun demikian, dari semua faktor yang berpeluang membawa perbaikan bagi mutu mengajar di Sumba, KKG bermutu tinggi merupakan langkah yang paling terjangkau, paling berkesinambungan, dan paling mungkin dilakukan di Sumba jika melihat kapasitas yang sudah ada. Hal yang masih kurang untuk menjalankan peran ini adalah mobllisasi para guru, kepala sekolah, dan pengawas terampil untuk memberikan arahan teknis, yang ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan utama tenaga guru; prioritas KKG oleh Dinas sebagai strategi utama untuk pengembangan kapasitas guru; dan prosedur operasional yang didasari penilaian kinerja, serta peraturan kabupaten tertinggi untuk mengatur pelaksanaannya.

107 Sumber input adalah diskusi kelompok terarah, wawancara guru saat studi kasus serta temuan evaluasi Save the Children terhadap KKG di Sumba Barat.

Revisi kerangka konseptual peningkatan SD/MI di Sumba