• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angka Mengulang per Kelas

Kelompok 3: Ketidaksiapan anak

belajar di kelas awal

• Pejabat pendidikan Kabupaten: Kepala SD dan TK • Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten

• Kepala Dinas Sosial Kabupaten

• Kepala Bidang Sosbud Bappeda Kabupaten • Kepala Desa

• Kepala Komite yang mengurus PAUD • Pengelola PAUD

• Pelatih PAUD Save the Children/ World Vision • Perwakilan orang tua

Analisis kebijakan yang dikembangkan melalui proses ini dibahas dalam Bab 3 dan 4.

Analisis data kuantitatif tentang sistem dan kinerja sekolah merupakan bidang penelitian kedua dalam

Analisis Situasi ini. Analisis ini menggunakan data tentang sekolah dan guru yang bersama dengan data individu siswa merupakan bagian dari sistem Dapodik. Kabupaten menyediakan akses ke sistem Dapodik-nya untuk mendapatkan data tentang guru dan sekolah di masing-masing kabupaten.

Kualitas data Dapodik kurang memadai. Data dimasukkan oleh sekolah dan diserahkan langsung kepada Kementerian tanpa pemeriksaan kualitas oleh Dinas Pendidikan Kabupaten. Banyak data sekolah yang masih kosong dalam data Dapodik Sumba Timur tahun 2014-5, sehingga tidak dapat digunakan untuk penelitian yang berkaitan dengan guru. Sementara itu terdapat kesenjangan yang signifikan dalam data guru Sumba Tengah.

Jalur utama penelitian yang diambil adalah terkait dengan data penyediaan guru, distribusi dan kualifikasi guru serta status guru di keempat kabupaten. Tujuannya adalah untuk melihat apakah persepsi pemangku kepentingan terhadap masalah yang terkait dengan ketersediaan guru berkualitas didukung oleh data yang

ada; serta bagaimana pola yang bisa ditemukan yang bisa memberi masukan tambahan tentang masalah yang dihadapi serta solusi yang memungkinkan. Hasil analisis diangkat dalam diskusi kelompok terarah sehingga memperbaiki dan merubah persepsi terhadap masalah dan peluang pilihan kebijakan.

Melalui Dinas Pendidikan Provinsi NTT, ACDP memperoleh akses ke database UN. Namun, karena data sudah diagregasi di tingkat sekolah, dan karena kurangnya variasi dalam kisaran kinerja sekolah, maka hanya sedikit informasi yang bisa diperoleh dari sumber tersebut tentang efektivitas sekolah. Tim tidak dapat mengakses data prestasi individu siswa pada UN SD sehingga tidak mungkin

melakukan analisis multivariat terhadap faktor-faktor sekolah dan latar belakang siswa yang relevan. Hasil analisis kuantitatif ini juga menjadi bagian isi Bab 3 dan 4.

Bidang penelitian ketiga adalah studi kasus tentang sekolah-sekolah di daerah tertinggal. Penelitian ini merupakan bagian terbesar

dari studi ini dilihat dari segi logistik dan kerumitan metodologis, serta dari segi ruang bagi pengembangan kebijakan dan inovasi di kabupaten. Karena fokus Kerangka Acuan ACDP 040 adalah sekolah di daerah tertinggal, maka studi kasus ini dibatasi pada strata sekolah di daerah tertinggal. Tujuan dari studi kasus sekolah dan fokus pada sekolah di daerah tertinggal adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghasilkan kinerja yang efektif di daerah sulit, sehingga solusi setempat terhadap masalah yang dihadapi serta praktik-praktik cerdas diharapkan dapat diterapkan untuk semua sekolah di Sumba. Karena itu, dalam konteks daerah tertinggal, studi kasus membandingkan sekolah berkinerja/berprestasi tinggi, sedang dan rendah.

Metodologi yang digunakan untuk studi kasus sekolah mencakup beberapa komponen.

Pemilihan sekolah. Sekolah dipilih dari desa-desa yang terpilih berdasarkan indeks ketertinggalan dan keterpencilan. Indeks ini didasarkan pada kriteria yang diambil dari database Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik. Kriteria ketertinggalan yang digunakan adalah ketiadaan listrik, pembangunan ekonomi yang diukur dengan fasilitas seperti pasar permanen/semi permanen dan toko-toko, pertanian sebagai sumber utama pendapatan, akses terhadap air bersih, rendahnya rumah tangga dengan fasilitas toilet, keberadaan Puskesmas dan SMP. Berdasarkan indeks yang dihasilkan, diketahui bahwa 256 dari 426 desa di Sumba merupakan desa tertinggal. Kriteria untuk keterpencilan adalah jarak dari ibukota kabupaten, kesulitan akses (tidak dapat diakses oleh kendaraan saat musim hujan), dan kurangnya angkutan desa. Berdasarkan indeks yang dihasilkan dari kriteria ini, teridentifikasi bahwa terdapat 55 desa terpencil di Sumba. Database yang digunakan untuk mengidentifikasi desa-desa ini adalah PODES 2014. Metodologi penyusunan indeks dapat dilihat pada Lampiran 3. Metodologi Studi Kasus.

Dari desa-desa tersebut, dipilih 12 sekolah studi kasus (empat per kabupaten). Kriteria yang digunakan adalah angka mengulang, sebagai satu-satunya variabel hasil yang tersedia dan dapat diandalkan untuk

60% desa di seluruh Sumba merupakan desa tertinggal. Karena itu, studi kasus ini sebenarnya merupakan studi tentang sebagian besar sekolah di Sumba.

membedakan tingkat kinerja belajar. Diadakan pula konsultasi dengan Dinas Pendidikan setempat dan pengawas untuk memastikan bahwa pilihan sekolah yang diambil konsisten dengan yang mereka ketahui tentang kinerja sekolah yang dipilih.

Fokus penelitian studi kasus sekolah di daerah tertinggal. Penelitian di tingkat sekolah memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah untuk melihat sejauh mana tingkat kinerja sekolah, berdasarkan kemampuan membaca siswa pada Kelas 2. Tujuan kedua adalah untuk melihat sejauh mana ketentuan, dan praktik serta proses di sekolah, sesuai dengan kriteria efektivitas dalam enam bidang yang membingkai penelitian ini.

Karena sampel yang jumlahnya kecil tidak bersifat acak, maka kesimpulan statistik tentang hubungan antara hasil belajar dengan ukuran efektivitas sekolah terbatas. Namun demikian, apabila kemampuan membaca yang baik dan kelas yang efektif serta praktik sekolah terjadi berdampingan, maka berdasarkan pustaka, berarti ada hubungan antara ketiganya. Kemustahilan praktis bagi pembelajaran anak di beberapa konteks yang diamati, memvalidasi sejumlah temuan dalam studi kasus ini.

Tujuan ketiga adalah untuk memahami konteks kinerja sekolah studi kasus sebagai dasar untuk membentuk penilaian tentang tingkat kelayakan peningkatan kinerja yang diinginkan. Di samping itu, secara khusus juga diperhatikan kondisi pembelajaran anak yang hadir di sekolah.

Pelaksanaan survei. Untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja dan kondisi kinerja sekolah, dikembangkan sepuluh instrumen, yaitu:

• Pengujian kemampuan membaca siswa Kelas 2

• Observasi pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas 2

• Wawancara terpisah dengan guru Kelas 2, Ibu dari siswa Kelas 2, Kepala Sekolah, staf pengajar di sekolah, dan komite sekolah

• Sebuah diskusi kelompok terarah dengan pimpinan desa dan pengelola Posyandu dan PAUD. Apabila memungkinkan, instrumen didasarkan pada atau menggunakan unsur-unsur dari studi nasional atau studi di Sumba yang dilakukan sebelumnya agar para pemangku kepentingan dapat melakukan perbandingan kinerja SD/MI, seperti yang digambarkan dalam penelitian ini. Sumber utama pengujian kemampuan membaca adalah instrumen yang dikembangkan oleh USAID untuk studi SSME/EGRA tingkat nasional di Indonesia pada tahun 2014. Sedangkan untuk data tentang latar belakang siswa, pertanyaan yang relevan diambil dari instrumen baseline Save the Children untuk Sumba Barat dan Sumba Tengah.

Pengujian kemampuan membaca perlu dijelaskan secara khusus. Penilaian ini terdiri dari mendengar seorang anak membaca bahan bacaan yang cocok untuk Kelas 2 dengan nyaring. Hal ini memungkinkan para

pemangku kepentingan langsung mengetahui apakah anak bisa membaca atau tidak. Gagasan untuk menunjukkan kepada pemangku kepentingan apakah anak mampu membaca atau tidak diadaptasi dari model ASER yang digunakan oleh Pratham India. Hal ini memungkinkan orang tua bahkan yang mungkin tidak dapat membaca untuk menilai apakah ada nilai tambah sekolah untuk anak mereka. Lihat Instrumen Studi

Kasus pada dokumen terpisah, yang tersedia atas permintaan kepada ACDP.

Survei ini dilaksanakan oleh tim kabupaten yang didukung anggota tim ACDP 040. Anggota tim kabupaten termasuk Kepala Bidang Pendidikan Dasar dari Dinas PPO kabupaten, dan kepala sekolah dan guru berpengalaman yang diusulkan Dinas Kabupaten. Sebelum melakukan kegiatan lapangan, anggota tim dilatih selama satu hari terkait penggunaan instrumen dan protokol studi.

Setiap sekolah/desa dikunjungi selama satu setengah hari kerja.

Analisis. Data yang dikumpulkan dari sekolah digunakan menyusun deskripsi profil sekolah di daerah tertinggal berdasarkan karakteristik sekolah yang dapat dikuantifikasi. Untuk analisis efektivitas komparatif, sekolah dikelompokkan menjadi sekolah berprestasi/berkinerja tinggi, menengah dan rendah berdasarkan dua variabel keluaran, yaitu angka mengulang dan pengujian kemampuan membaca siswa Kelas 2. Ketiga kelompok sekolah kemudian dianalisis untuk melihat apakah ada perbedaan antar kelompok dilihat dari enam indikator dalam enam domain kerangka efektivitas sekolah. Kemudian dilakukan pembahasan mengenai apa yang diindikasikan oleh perbedaan tersebut terhadap perbedaan angka mengulang siswa dan kemampuan membaca.

Bab 5 berisi hasil studi kasus sekolah di daerah tertinggal.

Komponen terakhir dari Analisis Situasi ini adalah peninjauan, dan apabila perlu, revisi terhadap kerangka efektivitas sekolah sementara yang dikembangkan berdasarkan pustaka. Hal ini dilakukan dengan menilai faktor yang paling mendasar untuk kinerja sekolah dalam konteks Sumba dan menyesuaikan lingkup kerangka studi ini dengan konteks di Sumba.