• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut para guru, banyak siswa Kelas 2 yang kesulitan membaca. Tabel 23 mengungkap besarnya masalah ini per sekolah.

Tabel 23. Perkiraan Guru Kelas 2 tentang Siswa yang Kesulitan Membaca

Sekolah Siswa yang kesulitan membaca di K2 Total siswa di K2 % siswa kesulitan baca

1 12 29 41,4% 2 8 13 61,5% 3 11 38 28,9% 4 3 7 42,9% 5 18 28 64,3% 6 40 53 75,5% 7 15 28 53,6% 8 6 18 33,3% 9 8 20 40,0% 10 9 30 30,0% 11 13 26 50,0% 12 10 26 38,5%

Gambar 13. Papan Tulis yang Baik yang Merangkai Suku Kata Menjadi Kata

Proporsi terendah siswa di kelas yang kesulitan membaca adalah hampir sepertiga. Yang tertinggi adalah 75% - yaitu, 40 dari 53 siswa di akhir Kelas 2 yang masih kesulitan membaca. Dengan pengecualian di dua sekolah, kelas-kelas tidak dapat disebut kecil. Jadi berdasarkan estimasi guru, jumlah keseluruhan anak-anak yang tidak berhasil membaca cukup besar.

Sebagian hasil ini begitu drastis sehingga mengindikasikan adanya faktor lain yang berpengaruh selain mengajar. Ada kemungkinan bahwa faktor tersebut adalah sejauh mana siswa Kelas 2 hanya memahami bahasa ibu. Investigasi yang akurat dari prevalensi penggunaan bahasa daerah eksklusif di rumah, berada di luar cakupan penelitian ini.

Tapi apa saja praktik mengajar yang menyebabkan hasil ini? Pengamatan pelajaran Bahasa Indonesia Kelas 2 menyediakan informasi untuk menjawab pertanyaan ini.

Pengamatan yang dilakukan mencakup sejauh mana keterampilan komponen membaca diajarkan saat pelajaran berlangsung.102 Fokus pada huruf adalah salah satu yang paling jarang ditemukan di pelajaran Bahasa Indonesia Kelas 2. Fokus pada huruf hanya ditemukan di sepertiga dari jumlah kelas yang diamati.

Fakta ini bertentangan dengan kenyataan bahwa guru Kelas 2 (60%) menyadari bahwa siswa di kelas yang mereka tangani mengalami kesulitan membaca, karena "tidak mengenal huruf".103

Ketika diminta untuk menjelaskan mengapa siswa mengalami kesulitan membaca, baik guru Kelas 2 maupun guru kelas lainnya terutama mengangkat masalah latar belakang siswa, termasuk bahasa daerah. Ketika ditanya bagaimana mereka membantu siswa yang kesulitan membaca, beberapa di antara mereka berbicara tentang strategi seperti kartu huruf atau grafik alfabet. Meskipun ada tanggapan demikian, alat bantu seperti diagram alfabet hanya terlihat di satu kelas.

Pengetahuan tentang huruf, bunyi huruf dan penggabungan huruf sangat penting. Tetapi banyak guru dan kepala sekolah yang tampaknya menyamakan penguasaan bunyi huruf dan penggabungan huruf dengan "membaca". Dalam beberapa ruang kelas, membaca tidak lebih dari pengucapan fonem kata tunggal dan tidak membahas makna kata-kata dan kalimat yang tersusun oleh fonem-fonem tersebut. Minat membaca tidak akan pernah berkembang jika kata-kata hanyalah rangkaian bunyi tak bermakna.

Kenyataannya, kemungkinan alasan bagi kesulitan yang dialami siswa dalam membaca adalah banyak dari gurunya yang tidak paham cara mengajar membaca. Sebagian besar guru kelas awal di sekolah-sekolah tertinggal tidak terlatih dalam mengajar (berlatar belakang SMA). Gelombang pensiun guru senior tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sedang terjadi, mengakibatkan sedikit sekali memori kelembagaan yang tertinggal di sekolah terkait dengan bagaimana cara mengajar keterampilan mendasar seperti membaca pada

102 Format observasi yang digunakan adalah format yang digunakan USAID untuk EGRA testing.

103 (“Mengenal huruf”). Frasa ini sendiri bisa bermasalah. Setidaknya ada dua guru yang mencoba mengajar anak untuk mengucapkan sebuah suku kata dengan mengucapkan nama dan bukan bunyi huruf.)

kelas awal. Para guru tamatan SPG mendapat pengajaran tentang pendekatan sistematis terhadap analisis huruf dan bunyi serta gabungan huruf menjadi suku kata dan kata.104 Tidak hanya guru tak berlatar belakang pendidikan keguruan yang tidak terlatih mengajar membaca. Tidak ada satu pun lembaga penyedia pendidikan PGSD yang mendidik calon guru sekolah dasar di Sumba yang mengangkat kompetensi mengajar membaca sebagai outcome dalam kurikulum pendidikan S1 yang diselenggarakannya. Mengajar membaca tidak secara khusus ditampilkan dalam ke-58 mata kuliah pendidikan S1 PGSD.

Sebagian besar penjelasan yang diberikan guru terkait kesulitan siswa membaca, dan terkait semua siswa yang mengalami kesulitan, terkait dengan kurang mampunya siswa, orang tua atau kurangnya sumber daya, serta bahasa yang digunakan di rumah. Alasan yang paling umum diberikan oleh kepala sekolah terhadap tingginya angka mengulang adalah kurangnya kemampuan siswa, rendahnya kemampuan, dukungan rendah oleh orang tua, dan guru yang tanpa kualifikasi.

Terdapat pemikiran yang seragam tentang cara membantu siswa yang kesulitan membaca. Jawaban yang sering diberikan adalah dengan cara memberikan bimbingan tambahan di waktu luang kepada siswa yang kesulitan. Jawaban yang diberikan tidak terlalu spesifik tentang jenis perbaikan yang diperlukan siswa. Kesulitan serta solusi yang diangkat

tampaknya tidak bisa dianalisis dari segi pembelajaran. Keseragaman pandangan yang sama didapati ketika membahas tentang jenis pelatihan yang paling membantu untuk meningkatkan kemampuan guru mengajar. Banyak guru

tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan tersebut.

Para guru tentu saja mencoba membantu siswa. Salah satu masalah yang paling sering mereka tangani adalah masalah bahasa daerah. Strategi yang diambil guru adalah menggunakan bahasa daerah jika siswa tidak memahami Bahasa Indonesia. Seperti ditunjukkan beberapa penelitian, cara mengajar seperti ini, yang disebut code switching bisa jadi tidak akan membantu memberikan pemahaman yang baik terhadap kedua bahasa. Di salah satu sekolah, di mana dua dari tiga siswa yang terpilih mampu membaca, kepala sekolah telah menghentikan penggunaan bahasa daerah oleh guru.

Bersama dengan kurangnya pengetahuan tentang keterampilan mengajar membaca, masalah ini mungkin menjadi hambatan pembelajaran siswa di kelas yang tak tertangani. Bahasa daerah digunakan dimana-mana dan selalu disebut sebagai penyebab rendahnya prestasi siswa. Sejauh ini, masalah tersebut belum termasuk

104 Wawancara dengan pensiunan pengawas di Sumba Barat, 24/10/2016. Metodologi yang digunakan secara luas adalah Structural Analytic Synthetic system (SAS), yaitu sebuah metode yang fokus pada memilah dan membangun dari satuan fonologis terkecil menjadi kalimat, sehingga siswa belajar tentang hubungan antara bunyi dan nama huruf dalam konteks satuan makna.

Di beberapa sekolah, ketika dilakukan

• observasi kelas untuk pelajaran membaca,

• pengujian kemampuan baca siswa yang dipilih secara acak,

• wawancara dengan para guru

masalah kebijakan di Sumba. Belum ada strategi untuk pengembangan literasi pada anak-anak yang bahasa ibunya bukan bahasa Indonesia, baik di PAUD maupun di kelas awal. Strategi tersebut sangat mendesak, tetapi harus didasari penelitian dan analisis linguistik rinci terhadap komunitas bahasa di Sumba.