• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Dampak Pengembangan Ekowisata

Kegiatan wisata alam akan membawa dampak, baik positif maupun negatif. Hadinoto (1996) menjelaskan tentang hubungan tempat wisata dan lingkungan dimana bila ditangani dengan baik, maka akan terjadi peningkatan lingkungan ke arah yang lebih baik. Tetapi apabila tidak ditangani dengan baik justru akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Pariwisata dapat berdampak positif pada sektor ekonomi yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan bagi komunitas lokal. Dampak ekonomi juga akan berpengaruh bagi pemerintah daerah melalui pendapatan dari pajak dan retribusi. Dampak pada lingkungan dapat bersifat positif maupun negatif, dampak positifnya adalah adanya area untuk konservasi, sehingga ada pengontrolan dan pemeliharaan. Sedangkan dampak negatifnya adalah polusi lingkungan dan permasalahan sampah. Adapun dampak ekowisata terhadap lingkungan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Dampak negatif ekowisata terhadap lingkungan

Komponen Lingkungan

Fenomena Dampak Negatif

Kegiatan Pariwisata yang Menimbulkan Dampak Negatif Flora dan Fauna Gangguan perkembangbiakan Pengamatan burung Gerak jalan Hilangnya atau kepunahan satwa

Hewan dan bagian tubuh yang diawetkan Masakan istimewa

Lingkungan alam yang dipadati pengunjung Perubahan pola migrasi

satwa

Pariwisata di jalur migrasi

Kerusakan vegetasi Pembangunan sarana wisata baru Kegiatan wisatawan di hutan lindung

Polusi

Polusi air

Limbah cair

Ceceran (minyak dan kimia berbahaya lain) Pembuangan sampah padat

Polusi udara Emisi kendaraan Polusi suara

Terlampau padat Kemacetan lalu lintas

Kehidupan malam yang tak terkendali

Erosi

Pengikisan tanah Lalu lintas terlalu padat

Tanah longsor Lingkungan binaan tak terkendali Penggundulan hutan

Kerusakan DAS Wisata berperahu tak terkendali DAS dipadati pengunjung/penghuni Sumberdaya

Alam

Habisnya cadangan air tanah

Terlalu banyak kawasan terbangun Kerusakan sumber air

Tingginya kemungkinan kebakaran

Api yang tak terkendali

Wisatawan yang tak bertanggung jawab Dampak

Pemandangan

Kawasan terbangun yang tampak buruk

Tak ada perencanaan dan pengendalian (lanskap)

Pemandangan yang kotor

Sampah

Kebersihan tak terjaga Sumber: WTTC (2003)

Seperti tertera pada Tabel 6 bahwa di setiap pengembangan objek wisata akan mempunyai dampak-dampak. Tetapi pada penelitian ini hanya akan memperdalam dampak terhadap lingkungan, khususnya pencemaran perairan dan kemampuan perairan tersebut untuk kembali pulih yang disebut daya lenting (resiliensi). Banyaknya aktivitas di sekitar ekowisata hutan mangrove Blanakan menyebabkan adanya pencemaran perairan. Pencemaran tersebut bisa berasal dari pencemaran domestik dari kios, warung makan, toilet dan kegiatan manusia lainnya di sekitar kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan.

Kepmen LH (2003) menyatakan limbah domestik mengandung sampah padat berupa feses dan cair yang berasal dari sampah rumahtangga dengan beberapa sifat, antara lain: 1) Mengandung bakteri; 2) Mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi, sehingga BOD biasanya tinggi; 3) Padatan organik dan anorganik yang mengendap di dasar perairan dan menyebabkan oksigen terlarut (DO) rendah; 4) Mengandung bahan terapung dalam bentuk suspensi sehingga mengurangi kenyamanan dan menghambat laju fotosintesis.

Dampak pencemaran tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi ekosistem perairan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Perairan mempunyai kemampuan untuk mendegradasi bahan pencemar yang masuk ke perairan, sehingga menurunkan tingkat pencemaran tersebut yang disebut kemampuan asimilasi. Kemampuan asimilasi merupakan suatu proses alami, dimana perairan mempertahankan kondisi awalnya melawan bahan-bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan tersebut. Menurut Effendi (2007), kapasitas asimilasi perairan adalah kemampuan perairan memulihkan diri akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Kemampuan asimilasi sangat dipengaruhi oleh adanya proses pengenceran maupun perombakan bahan pencemar yang masuk ke perairan.

2.5. Daya Lenting (Resiliensi) Ekologi

Suatu sistem akan memberikan tanggapan terhadap suatu gangguan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggapan tersebut sesuai dengan keadaan daya lenting yang dimilikinya. Daya lenting merupakan sifat suatu sistem yang memungkinkannya kembali pada stabilitas semula, bahkan untuk menyerap dan memanfaatkan gangguan yang menimbulkan dinamika atau perubahan kecil (Folke 2003). Resiliensi ekologi mengacu pada kapasitas suatu

ekosistem, habitat, populasi atau takson untuk bertahan, kembali pulih atau adaptasi dari pengaruh dan tekanan, seperti perubahan iklim dan mempertahankan struktur proses-proses dan fungsi yang sama (Holling 1996). Menurut Fiksel (2006) acuan pemeliharaan dari resiliensi ekosistem sebagai suatu aspek kunci dari ketahanan untuk kembali ke kondisi awal dan juga sebagai suatu tujuan kebijakan lingkungan penting yang berada dalam kajian ekologi.

Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem mampu menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat gangguan itu masih ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali dan menuju pada kondisi keseimbangan. Berkaitan dengan daya tahan ekosistem tersebut, di dalam ekologi terdapat istilah yang dikenal dengan daya lenting. Daya lenting menunjukkan kemampuan ekosistem untuk pulih setelah terkena gangguan. Semakin cepat kondisi ekosistem itu pulih berarti semakin pendek masa pulih, semakin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi, maka semakin besar daya lentingnya (Odum 1993).

Setiap ekosistem akan memberi tanggapan (respon) terhadap suatu gangguan/usikan. Tanggapan ekosistem terhadap gangguan dilakukan sesuai dengan daya lentingnya. Gangguan yang jauh melebihi daya lenting suatu ekosistem akan menciptakan dinamika yang mengarah kepada terbentuknya kondisi ekosistem yang menyimpang atau berbeda dengan kondisi ekosistem sebelumnya (Fiksel 2006).

Berdasarkan posisi ketidakberlangsungan ekologi mungkin muncul ketika campur tangan manusia sudah cukup mengurangi resiliensi ekosistem itu. Ketika sistem kehilangan daya lentingnya, maka sistem akan kembali lemah oleh gangguan-gangguan yang sebelumnya dapat diserap tanpa adanya perubahan secara struktural (Gunderson and Pritchard 2002 ).

Teknik resiliensi diasumsikan bahwa lingkungan dari sebagian sistem di dalam suatu daerah yang stabil berisi kondisi yang tetap. Ketika sistem yang dapat melakukan reorganisasi (yang menggeser daerah stabilitas ke suatu keadaan yang lain) merupakan suatu pengukuran yang lebih relevan dari dinamika ekosistem adalah resiliensi ekologis. Daya lenting ekologis adalah suatu ukuran dari jumlah perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk mengubah bentuk sistem dari suatu pemeliharaan yang berasal dari proses

penguatan dan pembentukan struktur yang berbeda dari proses pembentukannya (Peterson et al. 1998). Untuk mengukur perubahan yang diperlukan dalam memindahkan ekosistem dari organisasi satu kumpulan yang satu sama lain memperkuat struktur dan proses-proses yang lainnya (Peterson et al. 1998).

Dinamika dalam ekosistem terdapat empat fase perkembangan, yaitu perubahan eksponensial (eksploitasi atau fase r), periode pertumbuhan statis (konservasi atau fase K), periode pengaturan ulang/pelepasan (release atau fase Ω). Keempat fase tersebut dapat digambarkan dalam suatu model heuristic. Urutan dari perubahan gradual diikuti oleh urutan perubahan cepat yang dipicu oleh gangguan/usikan. Sehingga, instabilitas tingkah laku dalam jumlah yang sama dengan yang dapat diorganisir oleh stabilitas (Holling 2001). Fase eksploitasi dan konservasi merupakan bagian dari siklus yang mendapat perhatian utama, sementara fase pelepasan dan reorganisasi sering diabaikan. Hubungan di atas dapat diilustrasikan dalam Gambar 8.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya lenting ekosistem yaitu (1) Biodiversitas ekosistem, banyaknya variasi dalam spesies maupun antar spesies, keadaan populasi dan habitatnya dapat menjadi faktor kunci dalam daya lenting; (2) Ekosistem yang sehat berarti fungsi alami baik secara fisik, kimiawi dan proses ekologi yang membuat ekosistem resilience sehingga dapat menyerap tekanan dan kembali pulih setelah adanya gangguan; (3) Pengaruh yang kuat pada ekosistem yang berarti banyaknya faktor yang mempengaruhi ekosistem, ada banyak cara baik secara individual maupun secara kombinasi dan pada

Gambar 8 Siklus adaptif dari empat fungsi ekosistem (r, K, Ω, α) dan aliran kejadiannya (Holling 2001)

berbagai waktu; (4) Perlindungan dan pengelolaan karena suatu ekosistem yang telah berada dalam tekanan, efektivitas perlindungan dan pengelolaan berfungsi untuk mengukur dan menunjukkan tekanan ekosistem tersebut, hal ini merupakan hal penting dalam menahan dan memugar daya lenting (Berkes 2007). Menurut Brand dan Jax (2007) menyatakan bahwa perubahan ketahanan dilihat dari jumlah pencemaran (tekanan) pada suatu sistem yang dapat mengakomodasi sebelum keadaan yang memburuk. Dalam kerangka konseptual degradasi habitat, pemeliharaan dan perbaikan dapat ditujukan yang digunakan sebagai salah satu indikator penurunan daya lenting (Gunderson and Pritchard 2002).

Kerangka daya lenting (resiliensi) digambarkan oleh Turner et al. (2003) terdiri dari komponen exposure, sensitivitas dan resiliensi yang dapat dilihat pada Gambar 9.

Ekosistem dapat me-reorganisasi dirinya, yaitu merubah keadaan dari satu domain stabil ke domain stabil lainnya, maka ukuran dinamika ekosistem yang lebih relevan digunakan adalah resiliensi ekologi, yaitu ukuran jumlah perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk merubah sistem. Perubahan ini dipengaruhi oleh seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persistensi, kemampuan adaptif, variabilitas dan ketidakpastian yang semuanya merupakan Gambar 9 Kerangka Kelentingan/Resiliensi (Turner et al. 2003)

Karakteristik dan komponen exposure SISTEM EKOLOGIS Kondisi Ekonomi Kondisi Biofisik

EXPOSURE SENSITIVITAS RESILIENSI

Pengaturan dan adaptasi

Resiko dan dampak

atribut dari perspektif evolusi dan pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat keberlanjutan.

Resiliensi menyediakan kemampuan untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Saat terjadi perubahan, resiliensi menyediakan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali (Barrow 2006). Sebaliknya, kerentanan merupakan kebalikan dari resiliensi, dimana saat suatu sistem ekologi kehilangan resiliensinya maka sistem tersebut menjadi rentan terhadap perubahan yang sebelumnya bisa diserap. Dalam sebuah sistem yang resilien perubahan memiliki potensi untuk menciptakan kesempatan bagi pengembangan kebaruan dan inovasi. Sebaliknya dalam sistem yang rentan perubahan kecil dapat menyebabkan kerusakan besar.

Pemahaman mengenai resiliensi menjadi penting karena: 1) resiliensi dapat meningkatkan keanekaragaman; 2) resiliensi adalah sifat yang berkaitan dengan sistem sosial-ekologi; 3) meningkatkan ketahanan dari sistem untuk memperkecil gangguan; 4) ketika resiliensi hilang atau berkurang, sebuah sistem pada tingkat resiko yang tinggi dapat berubah menjadi kondisi yang berbeda yang mungkin tidak diharapkan (Gunderson 2000).

Resiliensi perairan objek wisata merupakan ketahanan badan air di objek wisata dalam bertahan dari gangguan, seperti pencemaran limbah domestik akibat kegiatan manusia. Kajian daya lenting (resiliensi) ekologi yang dalam penelitian ini ditekankan pada pada ekosistem akuatik (sungai dan muara). Resiliensi ini menggambarkan sifat perairan berdasarkan tipe daya lenting perairannya di kawasan wisata untuk kembali pulih setelah adanya pencemaran. Tipe daya lenting perairan terbagi menjadi tiga, yaitu fragile, linier, atau resilience. Untuk tipe daya lenting fragile mengindikasikan bahwa perairan tersebut rapuh, sehingga dengan pencemaran yang terus-menerus akan menyebabkan turunnya kualitas perairan di waktu yang akan datang. Tipe daya lenting resilience mengindikasikan perairan tersebut sangat mudah kembali setelah adanya pencemaran dan tidak akan menyebabkan menurunnya kualitas perairan. Sedangkan tipe daya lenting linier mengindikasikan perairan yang akan mudah kembali pulih setelah adanya pencemaran.

Kajian kelentingan tersebut digambarkan dengan pemetaan. Dengan memetakan hasil penelitian, maka akan diketahui badan perairan ekosistem

mangrove Blanakan termasuk kedalam tipe kelentingan fragile, linier, atau resilience.

Metode untuk melihat kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan pendekatan hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya (Chapra dan Reckhow 1983). Metode ini memiliki kelemahan karena tidak memperhatikan berbagai dinamika di perairan tersebut yang sangat mempengaruhi kapasitas asimilasi suatu perairan. Perhitungan kapasitas asimilasi spesifik untuk setiap lokasi, evaluasi kapasitas asimilasi memerlukan model matematika yang sesuai untuk mendeterminasi konsentrasi parameter kunci yang merupakan hasil dari tingkat beban limbah. Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut.

2.5.1. Pencemaran Air

Definisi pencemaran air mengacu pada definisi yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

yaitu: “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,

zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1 ayat 2).

Gambar 10 Model grafik tipe-tipe daya lenting (Resiliensi) (Sumber: Chapra dan Reckhow 1983)

b Waktu (tahun) a c Baku mutu Keterangan: a. Fragile b. Linier c. Resilience Ko n sen trasi P enc em ar an

Menurut Hutagalung (1997) tanda-tanda menurunnya kualitas air adalah sebagai berikut:

1. Perubahan suhu air, semakin tinggi suhu air maka semakin rendah kadar oksigen terlarut dalam air.

2. Perubahan pH, air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Air limbah yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air, sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme air.

3. Perubahan warna, bau, dan rasa air.

Suhu merupakan parameter yang penting, karena pengaruhnya terhadap reaksi kimia, laju reaksi, kehidupan organisme air, dan penggunaan air untuk aktivitas sehari-hari. Perubahan suhu yang mendadak atau ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan kematian. Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota air, terutama dalam proses metabolisme. Peningkatan suhu menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi, selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen, namun dipihak lain juga mengakibatkan turunnya kandungan oksigen terlarut (Asmustawa 2007).

Derajat keasaman atau pH merupakan nilai yang menunjukkan aktivitas hidrogen dalam air. Nilai pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam perairan. Nilai pH berkisar antara 1 – 14, dimana semakin tinggi nilainya maka perairan bersifat basa, demikian juga sebaliknya. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, dan DO. Oksigen terlarut (DO) dalam perairan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. DO diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan dan dalam proses dekomposisi senyawa-senyawa organik. BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mendegradasi senyawa organik. Jumlah BOD yang tinggi menunjukkan banyaknya bahan organik, bila nilai BOD rendah berarti secara umum limbah bahan organik rendah (Suripin 2002).

Fosfor dalam perairan berada dalam bentuk fosfor terlarut. Fosfor penting dalam penentuan produktivitas biologis dalam semua sistem perairan, karena membatasi atau mengatur produktivitas perairan (Michael 1994). Tumbuhan pada umumnya mengambil fosfat yang masih terlarut dalam air tanah.

Nitrogen pada umumnya terdapat dalam senyawa organik seperti protein, urea dan asam nukleat atau yang sudah dikenal dengan senyawa anorganik (nitrit, ammonia dan nitrat). Daur nitrogen merupakan proses transfer nitrogen

dari atmosfir ke dalam tanah. Disamping air hujan, masuknya nitrogen ke dalam tanah juga dapat melalui proses fiksasi nitrogen. Nitrat (NO3-) yang diperoleh dari hasil fiksasi biologis akan digunakan oleh produsen atau tumbuhan yang nanti diubah menjadi molekul protein. Selanjutnya jika hewan atau tumbuhan mati, maka makhluk pengurai akan merombaknya menjadi (NH3) atau yang dikenal dengan gas amoniak dan garam ammonium yang larut dalam air (NH4). Proses ini dinamakan dengan proses amonifikasi.

Plankton dan makrobenthos adalah organisme yang ditemui hidup di perairan. Plankton mempunyai gerak sedikit dan sangat mudah terbawa arus. Sedangkan makrobenthos hidup di dasar/substrat perairan, yang sering dijadikan indikator biologi terhadap pencemaran perairan. Menurut Nontji (2005), keragaman fitoplankton dan makrobenthos merupakan jumlah individu per spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas spesies tersebut yang berkaitan erat dengan kualitas lingkungan perairan.

2.5.2. Proses Perombakan (Asimilasi) Bahan Pencemar

Dalam fase pencemaran badan air, dapat terlihat bahwa pada fase dekomposisi dimulai proses perombakan. Dalam proses perombakan bahan pencemaran baik organik maupun anorganik akan diproses dengan menggunakan oksigen terlarut dalam air. Adapun proses perombakan yang terjadi sangat tergantung pada tersedianya oksigen, jenis organisme maupun bahan-bahan organik yang ada dengan bantuan organisme pembusuk aerobik. Sedangkan proses perombakan tanpa menggunakan oksigen (anaerobik) dibutuhkan bakteri perombak yaitu Methane producing bacteria. Antara pembusukan aerobik dan anaerobik sebenarnya tidak dapat dibedakan pentahapannya, namun keduanya saling mengisi karena adanya keberlanjutan reaksi dalam menyelesaikan keseluruhan mata rantai dalam proses perombakan (Wardhana 1995).