• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hutan Mangrove

2.2.2. Pengelolaan dan Pengembangan Objek Wisata

Keberhasilan pengelolaan objek wisata sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Hal ini dikarenakan keberadaan kawasan yang multifungsi dan dalam aktivitas pengelolaannya diperlukan teori dan konsep

dari berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat digolongkan dalam kategori unsur pengelolaan dan pola pengelolaan.

Damanik dan Weber (2006) menyatakan unsur-unsur pengelolaan, keberhasilan optimalisasi pengusahaan suatu tempat wisata harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Kondisi lingkungan biofisik kawasan yang mampu menarik minat pengunjung, seperti keindahan alam, keunikan dan kekhasan flora dan fauna, keheningan, kesejukan dan lain-lain.

2. Sikap masyarakat sekitar yang mampu mendukung terjalinnya hubungan yang baik antara pengelola kawasan dan masyarakat sekitar.

3. Tersedianya dana yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam jumlah maupun kontinyuitas.

4. Jumlah dan keahlian tenaga kerja yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik.

5. Kemudahan, kenyamanan dan keamanan pengunjung untuk mendatangi kawasan tersebut.

Sedangkan dalam kaitannya dengan pola pengelolaan, untuk mencapai keberhasilan pengusahaan suatu destinasi wisata, pengelola harus mampu melakukan dengan optimal hal-hal sebagai berikut (Damanik dan Weber 2006):

1. Penataan ruang, yakni dengan membagi kawasan ke dalam beberapa zona untuk tujuan dan pemanfaatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik kawasan.

2. Pengadaaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas, yakni dengan membangun fasilitas-fasilitas tertentu yang benar-benar diperlukan, dengan tetap memperhatikan faktor estetika dan kelestarian lingkungan.

3. Pengelolaan sumberdaya manusia, yakni dengan merekrut tenaga kerja yang berkualitas, mengembangkannya serta menciptakan hubungan kerja yang harmonis, baik antara sesama karyawan maupun pimpinan dengan karyawan.

4. Pengorganisasian dan administrasi, yakni dengan mengelompokkan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, penugasan setiap kelompok aktivitas pada staf, pendelegasian wewenang, pengontrolan kegiatan serta penerapan sistem pelaporan yang efektif dan efisien.

5. Pengelolaan sumberdaya alam, yakni dengan mempertahankan, menggali, meneliti serta mengembangkan sumberdaya alam yang ada.

6. Pengelolaan pengunjung, yakni dengan mengatur kegiatan pengunjung di dalam kawasan, mengontrol jumlah pengunjung serta memberikan pelayanan informasi dan interpretasi bagi pengunjung.

7. Pengelolaan keuangan, yakni dengan secara kontinyu mampu mendapatkan dana yang diperlukan serta mampu mangalokasikannya seefisien mungkin.

8. Pengelolaan hubungan dengan masyarakat sekitar, yakni dengan melakukan pembinaan, memberikan kesempatan berusaha, merekrut tenaga kerja, dan lain-lain.

9. Pengelolaan pemasaran, yakni dengan melakukan usaha publikasi kepada masyarakat luas untuk menumbuhkan minat mereka terhadap kegiatan dalam kawasan

Suatu wilayah bila akan dikembangkan menjadi suatu kawasan pariwisata membutuhkan strategi perencanaan yang baik, komprehensif dan terintegrasi, sehingga dapat mencapai sasaran sebagaimana yang dikehendaki dan dapat meminimalkan munculnya dampak-dampak yang negatif, baik menurut sudut pandang ekologis, ekonomis maupaun sosial budaya dan hukum. Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki dan permintaan atau minat pengunjung wisata. Komponen penawaran terdiri dari atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk aktivitas wisata), transportasi (aksesibilitas), dan amenitas berupa pelayanan informasi dan akomodasi dan sebagainya. Sedangkan komponen permintaan terdiri dari pasar wisata dan motivasi pengunjung.

Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan pengembangan objek dan daya tarik wisata alamnya (ODTWA). Menurut Departemen Kehutanan (2006) keseluruhan potensi ODTWA merupakan sumberdaya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Pengembangan ODTWA sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas sumberdaya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat, dan pihak swasta.

Departemen Kehutanan (2006) menulis ada beberapa strategi pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) meliputi:

1. Aspek perencanaan pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan dan sistem informasi ODTWA.

2. Aspek kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi.

3. Aspek sarana dan prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu (1) alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2) sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal.

4. Aspek pengelolaan yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan ODTWA secara lestari.

5. Aspek pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

6. Aspek pemasaran dengan mempergunakan teknologi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri.

7. Aspek peran serta masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

8. Aspek penelitian dan pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, sosial dan ekonomi dari ODTWA. Diharapkan nantinya mampu menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA.

Hadinoto (1996) menyatakan kondisi-kondisi dan prosedur untuk perencanaan ekowisata yang konsisten adalah pengaturan dan prosedur yang berhubungan dengan efisiensi, keterlibatan pengelola, nilai budaya, monitoring dan prosedur penilaian serta keterlibatan stakeholders di dalam ekowisata. Selanjutnya Hadinoto (1996) mengusulkan perencanaan untuk pengembangan ekowisata terletak pada:

1. Perencanaan ekowisata menyertakan perlindungan lingkungan dan mengukur perencanaan penggunaan lahan.

2. Perencanaan ekowisata, dengan proses perawatan ekologis, cagar alam keanekaragaman biologi dan memastikan bahwa penggunaan sumberdaya tetap terjaga.

3. Perencanaan ekologis dan lingkungan cenderung mendekati nilai-nilai di dalam masyarakat.

4. Memiliki ukuran-ukuran untuk mengevaluasi area alami.

5. Metode perencanaan ekowisata dan lingkungan dalam mengevaluasi atribut lingkungan untuk konservasi dan perlidungan di dalam suatu kerangka perencanaan ekowisata.

6. Konsep daya dukung tidak bisa dipisahkan dari berbagai macam biaya. 7. Pendekatan perencanaan ekowisata harus meliputi nilai sosial dan

mengikutsertakan wisatawan serta masyarakat setempat.

8. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari suatu proses berkelanjutan (sustainable).

9. Perencanaan regional memberikan metode yang terbaik untuk menuju keberhasilan strategi pengembangan ekowisata dan perlindungan lingkungan.

10. Untuk penetapan dari suatu kerangka perencanaan ekowisata untuk area alami yang dipilih didasarkan pada konsep pengembangan yang berkelanjutan, didasarkan pada konservasi dan perlindungan lingkungan, dan mengikutsertakan pengunjung serta masyarakat setempat.

Proses perencanaan pembangunan pariwisata menurut Yoeti (1997), dapat dilakukan dalam lima tahap :

1. Melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki

2. Melakukan penaksiran (assessment) terhadap pasar pariwisata internasional dan nasional, dan memproyeksikan aliran/lalu lintas wisatawan.

3. Memperhatikan analisis berdasarkan keunggulan daerah (region) secara komparatif.

4. Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki.

Wahab (2003) menggambarkan proses pengembangan kawasan wisata dari waktu ke waktu, dimana perkembangannya tidak lepas dari dukungan masyarakat setempat. Pada tahap awal pengembangan wisata, respons terhadap potensi ODTW akan mendorong tumbuhnya aksesibilitas ke kawasan. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya sistem transportasi yang menghubungkan antara kawasan wisata dan penyalur wisata. Dalam waktu yang sama pertumbuhan jumlah wisatawan terus meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur wisata. Stakeholders yang berpengaruh pada tahapan eksplorasi adalah pelaku bisnis wisata dan wisatawan yang terus menerus berusaha untuk menemukan daerah tujuan wisata yang baru.

Pada tahap selanjutnya dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan, maka peranan masyarakat sebagai penerima wisatawan juga mulai diikutsertakan dalam pengembangan kawasan. Pada tahapan ini masyarakat akan berperan lebih aktif dalam menyediakan sarana seperti akomodasi, restoran, cinderamata, serta sarana lainnya sehingga potensi ekonomi masyarakat akan berkembang. Hal ini tentunya akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan tenaga kerja dan menarik migrasi dari kawasan lain di sekitarnya.

Peranan pemerintah kemudian terbentuk setelah proses pembangunan pada kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukan kelembagaan wisata menjadi bagian yang tidak terelakkan dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan pemanfaatan ruang kawasan wisata. Butler (1980) membuat model siklus hidup suatu destinasi wisata yang menggambarkan proses pengembangan sebuah kawasan wisata. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini. A = stagnation B = rejuvenation C = decline Consolidation Involvement

Gambar 6 Siklus hidup destinasi wisata Sumber: Butler 1980

Dari Gambar di atas siklus hidup destinasi menurut Butler (1980) dapat dijelaskan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Siklus hidup destinasi wisata

NO. TAHAPAN SIKLUS KETERANGAN

1. Exploration

Kunjungan terbatas dan sporadis dari orang yang ingin berpetualang. Terjadi kontak yang intensif dengan penduduk lokal dan menggunakan fasilitas yang dimiliki penduduk dengan dampak sosial dan ekonomi yang sangat kecil

2. Involvement

Meningkatnya pengunjung yang mendorong penduduk lokal menawarkan fasilitas kepada pengunjung. Kontak dengan penduduk lokal tetap tinggi dan beberapa dari mereka mulai menyesuaikan pola sosialnya untuk mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi akibat keberadaan wisatawan. Promosi destinasi wisata mulai diinisiasi

3. Development

Investor luar mulai tertarik untuk menanamkan modalnya guna membangun berbagai fasilitas pariwisata di destinasi tersebut. Aksesibilitas mengalami perbaikan, advertising semakin intensif dan fasilitas lokal mulai diisi dengan fasilitas modern dan terbaru. Atraksi buatan mulai muncul, khususnya diperuntukkan bagi wisatawan. Tenaga kerja dan fasilitas import mulai dibutuhkan untuk mengantisipasi pertumbuhan pariwisata yang begitu cepat.

4. Consolidation

Porsi terbesar dari ekonomi lokal berhubungan dan bersumber dari pariwisata. Level kunjungan tetap meningkat namun dengan rata-rata kenaikan semakin menurun. Usaha pemasaran semakin diperluas untuk menarik wisatawan yang bertempat tinggal semakin jauh dari sebelumnya.

5. Stagnation

Kapasitas maksimal dari faktor penunjang telah mencapai batas maksimum atau terlampaui, menyebabkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jumlah puncak kunjungan wisata tercapai. Atraksi buatan menggantikan atraksi alam dan budaya, dan destinasi tidak lagi dianggap menarik.

Post stagnation

6. Decline

Wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non-pariwisata. Atraksi wisata menjadi semakin kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat lokal mungkin meningkat seiring penurunan harga fasilitas pariwisata dan penurunan pasar wisatawan. Daerah destinasi menjadi terdegradasi kualitasnya, kumuh, dan fasilitasnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata.

7. Rejuvenation

Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya pariwisata. Terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artifisial baru atau penggunaan sumberdaya alam yang tidak tereksploitasi sebelumnya. Sumber: Butler, 1980