• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Model Pengelolaan Ekowisata di Hutan Lindung

Pendekatan daya dukung dianggap sebagai teknik dalam pengembangan pariwisata di lingkungan yang cenderung sensitif terhadap usikan manusia. Daya dukung didesain untuk membatasi wisatawan, tetapi di lain pihak pengelola mendorong memberikan kenyamanan kepada wisatawan dengan membangun berbagai fasilitas.

Sebagai salah satu contoh adalah pengelolaan area hutan rimba Bob Marshall. Hutan tersebut adalah tipe area yang dilindungi sesuai kategori I b (area hutan belantara). Kawasan Hutan rimba Bob Marshall terletak di Montana Pusat sebelah utara, dan dikelola oleh The United States Forest Service (USFS) dibawah ketetapan undang-undang hutan rimba tahun 1964. Kawasan ini merupakan hutan beriklim sedang dengan luas 600.000 hektar, dan menarik 25.000 wisatawan terutama pada bulan Juni hingga Nopember. Bulan Juni hingga September didominasi oleh pejalan kaki dan berkuda. Pada musim gugur, sebagian besar penggunaan adalah untuk kawasan perburuan hewan besar (Mc Cool 1996).

Pada tahun 1982, USFS memulai usaha perencanaan berdasarkan proses Limit of Acceptable Change (LAC). Usaha ini melibatkan partisipasi masyarakat yang kontinyu melalui kekuatan tim kerja yang terdiri dari stakeholders, masyarakat, ilmuwan dan pengelola. LAC memfokuskan usaha pada penilaian seberapa besar perubahan kondisi di dalam hutan, biogeofisik dan kondisi-kondisi sosial yang dapat diterima. Dengan menetapkan sebuah proses partisipasi masyarakat yang menggabungkan nilai-nilai adat dalam kawasan hutan tersebut, para partisipan mengembangkan sebuah tindakan manajemen yang efektif dalam mengurangi dan mengontrol pengaruh yang disebabkan oleh manusia.

Rencana ini memiliki tiga karakteristik, yaitu:

1. Rencana ini menetapkan empat kelas (zona) alternatif untuk melindungi karakter asli dari hutan, namun secara realistik mengijinkan beberapa aktifitas wisata yang telah dipertimbangkan dari pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh manusia.

2. Rencana ini mengidentifikasi variabel-variabel indikator, untuk mengawasi, dan memastikan kondisi tetap dapat diterima, digunakan untuk menetapkan keefektifan dari tindakan-tindakan yag diterapkan untuk mengontrol, serta mengurangi pengaruh. Untuk setiap indikator, ada standar-standar yang dapat dikuantifikasi, yang menunjukkan batas perubahan alami yang dapat diterima di setiap zona.

3. Rencana ini menunjukkan tindakan manajemen untuk setiap zona yang bertujuan menunjukkan kemampuan penerimaan sosial mereka.

Penetapan zonasi pada dasarnya membentuk kerangka kerja untuk menangani dampak yang disebabkan oleh manusia. Setiap zona dijelaskan

kondisi manajerial, sosial, dan biogeofisik yang dapat diterima. Pembagian zonasi ditetapkan berdasar kelas dalam kawasan, mewakili jumlah pengaruh yang diperbolehkan pada sebuah rangkaian. Kesatuan kelas I menjadi yang paling alami, sementara kelas 4 adalah yang paling tidak alami.

Tabel 6 Kelas-kelas kesempatan LAC dalam Hutan Rimba Bob Marshall

ZONA SETTING DESKRIPSI

KELAS 1

Biogeofisik Lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Pengaruh lingkungan diusahakan seminimal mungkin

Sosial Terisolasi dan sunyi, tidak ada aktivitas manusia. Sangat jarang dikunjungi manusia

Manajerial

Penekanan yang kuat pada upaya mempertahankan ekosistem alami. Komunikasi melalui peraturan terdapat di luar area (misalnya gerbang pembatas)

KELAS 2

Biogeofisik Lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Dampak penggunaan lingkungan rendah

Sosial Isolasi yang tinggi. Sedikit menjumpai manusia. Kesempatan bagi wisatawan untuk bebas

Manajerial Menekankan pada peningkatan ekosistem alami. Kontak manajemen di lokasi masih minim

KELAS 3

Biogeofisik

Lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Beberapa proses alami terpengaruh oleh manusia. Pengaruh manusia terhadap lingkungan tingkat menengah, sebagian besar di sepanjang rute perjalanan

Sosial

Isolasi menengah, dan kunjungan manusia yang rendah hingga menengah. Kebebasan dari wisatawan di tingkat menengah

Manajerial

Penekanan pada tingkatan ekosistem alami. Kontak pengunjung pada lokasi terjadi secara rutin. Komunikasi tentang peraturan diletakkan di luar area

KELAS 4

Biogeofisik

Terutama lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Kondisi dapat terpengaruh oleh manusia, terutama pada rute-rute perjalanan, koridor sungai, pantai, dan titik-titik pintu masuk

Sosial

Kesempatan isolasi tingkat menengah hingga rendah. Berkemungkinan untuk berjumpa manusia. Kesempatan interaksi yang tinggi dengan lingkungan, tetapi dengan tantangan atau resiko yang rendah hingga menengah

Manajerial

Pengelolaan dengan cara pengawasan terhadap penilaian wisatawan dan memantau terhadap kerusakan lingkungan upaya rehabilitasi dapat dilaksanakan

Beberapa pengelolaan ekowisata mangrove antara lain Wahyuni et al. (2007) menyatakan pengembangan ekowisata mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai mempunyai program-program ekowisata yang ditawarkan antara lain: Program Mangrove education tour & Tracking, Program Bird Watching, Program Fishing, Program Mangrove Tree Plantation or Adoption, Program Canoeing, Program Boating. Pelaksanaan dari keenam program tersebut, Mangrove education tour & Tracking yang paling banyak peminatnya dibandingkan dengan program yang lain. Dari 9 kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi diperoleh hasil 7 prinsip yang pelaksanaannya lebih dari 50%, melihat kondisi di atas dapat disimpulkan pengembangan ekowisata mangrove sudah memenuhi prinsip/kriteria ekowisata nasional. Hal yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan Tahura sebagai saran kepada pengelola, antara lain: partisipasi masyarakat, pemungutan retribusi, penanganan sampah, penyempurnaan program yang tidak berjalan, dan pengelolaan ekowisata melalui kelembagaan yang solid.

Pengelolaan dan pengembangan ekowisata mangrove di Nusa Lembongan, Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah pendapatan dan persepsi masyarakat. Skenario pengelolaan optimal kawasan mangrove adalah ekowisata mangrove dengan aktor pengelola pemerintah/swasta dan kebijakan program pemberdayaan masyarakat. Model pengembangan ekowisata mangrove adalah wisata alam terpadu dengan objek pengamatan mangrove, terumbu karang, budidaya rumput laut, kehidupan desa, dan atraksi kebudayaan (Yuanike 2003).

Sari (2002) telah meneliti tentang pengelolaan sampah di kawasan hutan mangrove Teluk Benoa sebagai upaya kebersihan dan pengembangan ekowisata mangrove. Oleh karena itu diusulkan suatu model pengelolaan sampah yang melibatkan seluruh stakeholder, yaitu meliputi masyarakat, pemerintah, swasta dan pihak terkait lainnya. Hal pertama yang dilakukan adalah membentuk swadaya kebersihan di tingkat desa untuk mengelola sampah dan kebersihan sungai di wilayahnya. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dan swasta.