• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan melawan Perhutani

Ketidakadilan

ini mendorong

masyarakat

untuk bangkit

dan melawan

Perhutani.

Penembakan petani menjadi pelanggaran HAM yang selama ini belum tuntas diusut karena Perhutani selalu memberikan santunan dan bantuan kepada keluarga korban agar mereka tidak menuntut

Perhutani. Namun, strategi ini tidak cukup meredam kemarahan warga yang memuncak terhadap

Perhutani. Setiap kali ada kekerasan terhadap warga, masyarakat membalasnya dengan menebang kayu jati bersama-sama. Respon masyarakat ini tidak membuat Perhutani jera. Banyak warga yang menderita luka-luka dan ada juga yang tewas akibat kekerasan yang dilakukan oleh Perhutani. Dalam rentang periode 1998-2008, LBH Semarang mencatat bahwa sudah ada tujuh orang warga yang tewas karena mengalami penganiayaan dan penembakan dari Perhutani, yaitu Darsit, Rebo, Djani, Wiji, Musri, Nurhadi, dan Pariyono. Hingga saat ini, kekerasan itu masih juga

mewarnai kehidupan masyarakat sekitar. Lewat organisasi Lidah Tani, masyarakat

menyerukan kepada pemerintah untuk segera membubarkan Perhutani.228

B.4. Perampasan Akses Penduduk Lokal melalui Program Taman

Nasional

Konflik SDA yang terjadi di Desa Sedoa dan O’o Parese muncul sejak masuknya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Sulawesi Tengah sejak tahun 1980an. Sejak itu, banyak lahan yang dikelola oleh masyarakat diklaim oleh pemerintah, khususnya oleh Kementerian Kehutanan.229 Klaim ini membuat masyarakat tidak bisa lagi mengelola lahan yang ada dalam kawasan TNLL. Untuk menentukan wilayah yang masuk dalam kawasan TNLL dan wilayah kelola masyarakat serta pemukiman penduduk, TNLL melakukan pemancangan pal batas pada tahun 1979. Pada tahun 1982, TNLL melakukan perubahan pal batas, dan mengubah lagi pal batas itu pada tahun 2007. Perubahan pal batas inilah yang kemudian memicu konflik antara masyarakat sekitar dengan TNLL.

Sebagian besar tanah di Desa Sedoa ditetapkan sebagai bagian kawasan konservasi TNLL. Akibat penetapan itu, hanya ada 6% wilayah desa yang bisa dipergunakan oleh

228 Lidah Tani merupakan sebuah organisasi tani yang ada di Blora. Banyak petani menjadi anggota organisasi ini. Lidah Tani mencatat bahwa konflik agraria yang terjadi antara petani anggota Lidah Tani dengan Perhutani tersebar di sembilan desa dan dua kecamatan di Kabupaten Blora. Sembilan desa itu adalah Temulus, Boto, Sambongwangan, Pilang, Sumber, Nginggil, dan Semengko di Kecamatan Radublatung, serta Menden Rejo dan Sumber Rejo di Kecamatan Keradenan.

229 “Studi Kasus 127: Perebutan Sumber Daya Hutan Warga Desa Sedoa dan O’o Parese dengan Taman Nasional Lore Lindu”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

penduduk untuk pemukiman, pertanian, serta sarana dan prasarana sosial lainnya. Penetapan status itu membuat penduduk tidak berhak lagi mengelola lahan-lahan yang ada di desa itu padahal mereka sudah mengelola lahan itu jauh sebelum TNLL ada. Lahan-lahan itu dikelola dengan sangat baik oleh penduduk dan dijadikan sebagai perkebunan kopi, kakao, dan kemiri, sebagian lagi menjadi lahan pertanian. Penduduk Desa Sedoa merasa diperlakukan tidak adil karena pemerintah

menetapkan pal batas secara sepihak pada tahun 1997. Peristiwa ini menimbulkan konflik antara penduduk lokal dan pemerintah. Konflik ini kembali berlanjut pada tahun 2008 ketika terjadi penangkapan penduduk Desa Sedoa dengan dalih masyarakat menggarap lahan pertanian di dalam kawasan hutan lindung.

Penangkapan itu dilanjutkan dengan penghakiman secara sepihak oleh polisi hutan. Tidak hanya itu, status Desa Sedoa juga dihilangkan dalam perencananaan

pembangunan masyarakat oleh Badan Planologi dari peta Badan Planologi Nasional tahun 2009.

Selain Desa Sedoa, konflik juga terjadi di Desa O’o sejak tahun 1980an hingga saat ini. Menurut tetua adat Desa O’o, penetapan Desa O’o sebagai kawasan hutan lindung dan kemudian kawasan konservasi TNLL, telah melanggar hak-hak masyarakat adat Desa O’o. Ini terjadi karena pemerintah berbohong kepada

penduduk Desa O’o dalam proses penetapan pal batas. Petugas penentuan kawasan dan penentuan pal batas kawasan TNLL di Kabupaten Sigi tidak menginformasikan kepada penduduk desa kalau tindakan mereka bertujuan untuk menentukan Kawasan TNLL. Petugas hanya menyampaikan bahwa penentuan pal batas itu bertujuan untuk menjaga perladangan penduduk. Penduduk Desa O’o merespon penjelasan petugas dengan baik karena mereka berpikir itu akan meningkatkan keamanan desa karena telah lama terganggu dengan aksi penduduk desa tetangga yang merambah kawasan hutan adat Desa O’o. Namun, pada tahun 2007-2008, beberapa penduduk Desa O’o ditangkap dan dihakimi secara sepihak oleh aparat keamanan dengan tuduhan perambahan kawasan TNLL. Penduduk Desa O’o

dilarang untuk mengakses lahan desa yang sudah ditetapkan sebagai kawasan TNLL padahal mereka sudah mengelola lahan-lahan itu dengan menanam padi, jagung, kipi, kakao, kayu manis, dan tanaman lainnya.

Peristiwa serupa juga dialami oleh masyarakat adat yang berasal dari Kampung Cirompang, wilayah yang kini menjadi bagian Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Banten. Kampung Cirompang merupakan kampung yang masih memegang erat adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat yang

bermukim di Kampung Cirompang merupakan keturunan atau incu putu dari

komunitas adat Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Dari penelusuran sejarah dan diskusi dengan Kasepuhan, mereka mulai bermukim di desa ini sejak masa

penjajahan Belanda-Jepang. Pada tahun 1978, hutan adat Cirompang beralih fungsi menjadi hutan produksi. Hal ini berdampak pada akses masyarakat yang semakin

terbatas dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka dari hutan adat Cirompang. Alih-alih memberikan ruang kelola terhadap masyarakat, Perhutani menetapkan pajak inkonvesional. Besaran pajak yang ditetapkan adalah 25% dari total hasil bumi yang dihasilkan masyarakat.

Pada tahun 2003, hutan produksi beralih menjadi hutan konservasi perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). SK Menteri Kehutanan nomor 175/KPTS-II/2003 menyatakan bahwa semua areal masyarakat Kasepuhan menjadi kawasan TNGHS sehingga masyarakat tidak lagi mempunyai kewenangan dan keleluasan dalam menggarap lahan adat mereka. Inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak, sebagaimana yang dituturkan oleh Mursid Tunggara, salah satu warga Kampung Cirompang.

“Kampung Cirompang luasnya 600 hektare, hasil pemetaan partisipatif masyarakat dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada tahun 2008. Dari 600 hektare itu, sebanyak 50 hektare masih hutan, kami sebut [sebagai] hutan tutupan. Sebanyak 320 hektare hutan di zona pemanfaatan, kami sebut [sebagai] lahan garapan. Leluhur sudah membuka garapan di sana sejak dahulu dari tahun 1920an. Yang jelas sebelum kemerdekaan Indonesia, leluhur kami sudah menempati lahan tersebut. Pada tahun 1978, waktu itu baru 1 tahun wilayah kami, wilayah adat yang 372 hektare,

dirampas oleh Perum Perhutani. Mereka kemudian memungut sejenis pajak penghasilan 25% per tahun dari petani. [Pada] tahun 2003, terjadi alih fungsi dari Perum Perhutani ke TN Gunung Halimun Salak. Mereka juga ikut menanam pohon endemik dan tetap memungut pungutan hasil hutan walaupun dengan cara yang halus karena mereka tidak memungut, tapi bagi yang ikhlas dikumpulkan di rumah ketua RT masing-masing. Ternyata, hasil per tahun dimasukan ke ketua RT dan disetorkan kepada petugas taman nasional (TN).

Dan yang lebih menakutkan [adalah] sejarah masuknya Perhutani sampai keluar belum ada penangkapan warga, tetapi pada 2005 ketika membangun mushola kecil, kami minta izin kepada petugas TN untuk membangun mushola dan minta kayu walau kayunya di ladang kami karena mereka sudah klaim mereka sudah kelola di sana, maka kami negosiasi. ‘Silakan, tapi jangan terlalu banyak,’ kata petugas. Maka ditebanglah 6 pohon secara acak dan kami bersiap membangun mushola. Suatu ketika, datang petugas datang ke kampung, di belakangnya ada polisi. Saya bertanya ada apa. Ternyata mereka memeriksa kayu yang kami buat untuk membangun mushola tadi. Jumlahnya hanya 60 potong saja, itu direndam di kolam agar tidak terkena rayap. Tapi ternyata mereka angkat, semua kayu di sana yang milik warga mereka angkat semua dan dijadikan barang bukti. Singkat

cerita, dibawalah dua tokoh kesepuhan, Wolotopon Pemangku Adat dan Muhro Ketua Pembangunan. Mereka dibawa ke bawah, saya ikut mendampingi. Sore pukul empat, saya pulang ke rumah [dan] ditanya Amusuniah, istri Wolotopon, ‘Murshid, kakek lu ke mana?’ ‘Sudah dibawa polisi,’ [jawab saya]. Beliau menangis, ‘Tolong kakekmu,’ katanya, ‘dia sudah tua, kenapa dibawa polisi? Kalau kalian tidak mau menolong, saya sendiri berangkat ke sana.’ Akhirnya, kami di sana seorang tokoh ada pager salah satu kabinet lembaga kasepuhan namanya Sarinun. Dia ke sana kemari. Setelah dua hari dua malam Wolotopon dan Muhron ditahan di Kapolsek Sebang, mereka dikeluarkan. Itu yang terjadi pada 2005. Alih fungsi pada tahun 2003, dan sebelumnya pada tahun 2002, TN sudah masuk dan bersama-sama dengan Perhutani. Yang dilakukan mereka di sana dengan alih konservasi [adalah] membuat program penanaman tanaman endemik di lahan warga yang dilahan 320 hektare dengan alasan konservasi

penghijauan, padahal lahan sudah hijau dengan pohon; cuma alasan

mereka begitu. Tujuannya untuk mempertahankan hutan konservasi dengan penanaman, padahal omong kosong karena apa di tetangga desa kami itu ada illegal logging oleh pengusaha perorangan dan ketika akan melakukan operasi TN mereka semua tahu hari Rabu jangan nebang karena operasi. Dari mana mereka tahu informasi itu? Alasan menjaga [itu] omong kosong. Buktinya, di kawasan Sinakem, kayu habis ditebang pengusaha yang sampai saat ini tidak ditangkap. Pernah ditangkap setelah hutan itu habis, tapi tukang pikulnya dan [dijatuhi] vonis penjara [selama] lima tahun. Yang saya maksudkan, di luar desa kami wilayah yang ditebang. Terkait dengan perda, berdasarkan hutan yang dijaga negara dibanding hutan yang dijaga rakyat, lebih aman yang dijaga rakyat. Yang dijaga TN sekarang sudah tidak ada. Putusan MK untuk hutan adat adalah milik masyarakat adat, kata Menteri Kehutanan. Pengakuan sebagai hutan adat [terlaksana] jika dibuatkan perda. Maka, kami bekerja keras agar hak wilayah adat masuk perda.” 230

C. Perampasan Sumber Daya Alam dan Sumber

Penghidupan melalui Konsesi Perkebunan

Pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru menerapkan pendekatan neoliberalisme, antara lain dengan melakukan pengurangan kapasitas fiskal dan administratif negara dalam program perluasan perkebunan. Selama beberapa tahun terakhir, perampasan tanah terjadi dalam skala yang lebih masif. Proses ini terkait erat

230 Kesaksian Mursid Tunggara dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Atas Nama Sumber Daya Alam, Jakarta, 28 November 2013.

dengan proses reorganisasi dan rekonstruksi ruang geografis pedesaan di Indonesia dalam rangka menciptakan situs-situs produksi komoditas global. Pada saat yang sama, proses yang juga terjadi adalah perluasan politik perizinan atau lisensi, termasuk melalui desentralisasi pemerintahan, yang melanjutkan dan menambah bentuk-bentuk baru dari sistem ektraksi, produksi, dan pengelolaan sumber daya alam skala raksasa. Rezim-rezim ekstraktif ini terus dibentuk di seantero kepulauan Indonesia dan berfungsi sebagai hulu pasar komoditas global berbasis bahan

mentah sumber daya alam.

Rangkaian kuasa eksklusi yang berjalan dalam kurun waktu yang panjang itu menempatkan penduduk pedesaan, terutama perempuan dan kelompok marjinal lain, dalam posisi yang sangat rentan. Mereka kehilangan tanah. Mereka dicerabut dari caranya menjalankan hidup dan terpaksa menjadi buruh harian lepas bergaji murah di perusahaan-perusahaan yang merampas tanah mereka.

C.1. Perampasan Hak Milik Individu Atas Tanah dan Tindakan

Kekerasan oleh Aparat Negara

Di Jember, Jawa Timur, konflik antara petani Jenggawah dan perusahaan tembakau terjadi pasca-Peristiwa 1965. Dengan dukungan aparat militer PT Perkebunan (PTP) mengambil tanah petani dengan semena-mena, tanpa proses perjanjian jual-beli.231

Imam Masyhuri dan Tarup, dua perwakilan petani Jenggawah, menceritakan bahwa proses perampasan tanah itu berjalan dengan cara menyuap kepala desa setempat sehingga PTP dengan amat mudah memperoleh tanah dengan status hak guna usaha (HGU).

Mereka