Laporan lain menyebutkan, selama periode DOM menghasilkan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Aceh. Hingga Desember 1998, jumlah korban masyarakat sipil sekitar 5.000 jiwa dengan perincian; pembunuhan 1.321 orang, penyiksaan 3.430 orang, pemerkosaan 128 orang, pelecehan seksual 28 orang. Selain itu, DOM mengakibatkan pula janda kehilangan suami sebanyak 1.376 dan anak menjadi yatim 4.521 orang.184
Namun demikian, pencabutan DOM di Aceh pada Agustus 1998 tidak membuat kondisi Aceh membaik, tetapi wilayah konflik dan kekerasan meluas. Pada periode pasca-DOM kuartal kedua tahun 1999 dan seterusnya, wilayah konflik meluas menjadi 9
kabupaten/Dati II, termasuk dua kabupaten yang baru dibentuk. Selain itu, wilayah konflik meluas hingga Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Aceh Tengah, serta Kabupaten Aceh Singkil dan Aceh Jeumpa yang baru dibentuk. Dari 13 kabupaten/Dati II yang ada di Aceh, nampaknya Kodya Sabang (Pulau Weh) dan Kabupaten Simeuleue (Pulau Simeuleue) yang relatif aman. Aceh Selatan, wilayah penghasil tanaman pala yang aman semasa DOM,
181 Lihat (ed) Moch. Nurhasim, 2003, Konflik Aceh. Analisis atas Sebab-Sebab Konflik: Aktor Konflik, Kepentingan, dan Upaya Penyelesaian, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hlm. 24-25.
182 Ibid, hlm. 29. 183 Ibid, hlm. 26.
mengalami kasus penembakan terhadap warga di depan markas Kepolisian Resor (Polres) Aceh Selatan pada masa setelah DOM. Wilayah Pantai Barat yang juga tenang pada periode DOM, membara setelah DOM dicabut. Teungku Bantaqiah, tokoh ulama dari Pantai Barat, dibunuh oleh militer. Kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah, menunjukkan kembali kekebalan hukum dari tentara. Proses pengadilan untuk kasus tersebut cacat hukum karena tidak dapat mengadili komandan tertinggi dan tidak dapat menghadirkan saksi kunci.185
Setelah Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998, pemerintah akhirnya mencabut status DOM di Aceh. Konflik panjang ini juga menarik perhatian internasional. Tekanan berbagai pihak terhadap Indonesia menggiring pemerintah Indonesia dan GAM untuk menyepakati perdamaian. Jeda Kemanusiaan disepakati mulai 2 Juni 2000, difasilitasi oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue (HDC). Namun selama Jeda Kemanusiaan berlangsung dari 2 Juni 2000 hingga 15 Januari 2001, ketegangan dan kekerasan kerap terjadi dan mengakibatkan jatuhnya korban. Kontak senjata tetap terjadi, kesepakatan zona damai tidak dipatuhi, rumah-rumah penduduk dirusak atau dibakar, dan pelbagai kekerasan lain yang tak pernah
dibayangkan sebelumnya. Kekerasan juga tidak bisa dihentikan ketika Moratorium of Violence (MoV) yang berlaku dari 14 Januari sampai 14 Februari 2001 disepakati. Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan untuk menetapkan keadaan Darurat Militer untuk Aceh yang kemudian dilanjutkan dengan Darurat Sipil.
Status Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh menjadi mimpi buruk baru, setelah sebelumnya rakyat Aceh merasa lega dengan pencabutan DOM. Melalui Keppres No. 28 Tahun 2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, puluhan ribu personil tentara dikirim ke Aceh untuk menumpas GAM yang saat itu
diperkirakan berjumlah sekitar 5.300 orang.
Pada April 2004, pemerintah menetapkan Darurat Sipil di Aceh. Pada masa tersebut, banyak masyarakat sipil menjadi korban terutama dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan, dan penghilangan paksa. Pasca-tsunami 26 Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia kembali duduk di meja perundingan dan mencapai
kesepakatan damai pada 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MoU Helsinki.186
185 Lihat Otto Syamsuddin Ishak, 2003, Sang Martir: Teungku Bantaqiah, Jakarta: Yappika, hlm. 127.
186 Lihat (ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi, 2011, Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005, Banda Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh, hlm. 16-24.
D.1. Penangkapan, Penahanan, dan Penyiksaan
Pada masa konflik di Aceh, baik pada masa DOM maupun periode operasi terpadu militer, pihak tentara Indonesia mendirikan pos-pos pemeriksaan di seantero Aceh. Pos itu bertujuan untuk mempermudah pengawasan dan mempersempit ruang gerak anggota GAM. Namun, seringkali pos ini menjadi tempat penyiksaan terhadap warga yang ditangkap dengan pelbagai alasan yang digunakan militer. Pos-pos itu dimanfaatkan pula oleh militer sebagai tempat pungutan liar untuk kendaraan yang melalui pos. Pasukan keamanan Indonesia seringkali melakukan kekerasan
terhadap orang yang diberhentikan di pos jaga untuk ditanyai. Selama darurat militer, banyak pos yang didirikan di desa-desa dan membuat kekerasan terhadap penduduk desa meningkat tajam.187
Sebagai salah satu contoh kasus adalah kasus yang terjadi di Pos Brimob yang terletak di PT. Wira Lanao, Aceh Timur.188 PT. Wira Lanao diresmikan pada tanggal 30 Juli 1991 oleh Presiden Suharto melalui Menteri Perindustrian RI, Hartarto. Pada 28 Januari 2000, PT. Wira Lanao dibakar oleh orang tidak dikenal. Separuh lebih
bangunan pabrik moulding (pengolahan/pembentukan kayu) Wira Lanao beserta
ratusan ton kayu olahan hangus terbakar. Akibat kebakaran tersebut, PT. Wira Lanao terpaksa menghentikan usahanya dan mem-PHK 1.700 orang buruh tanpa
memenuhi hak para buruh. Tindakan ini mengundang reaksi keras dari buruh dengan melakukan demonstrasi menuntut haknya dibayar penuh.
Aparat polisi dari brimob yang ditugaskan di Polres Aceh Timur lalu ditempatkan di depan PT. Wira Lanao. Keberadaan Pos Brimob di PT. Wira Lanao dikenal sebagai pos yang paling kejam di Kabupaten Aceh Timur pada saat itu. Mereka sering melakukan razia-razia di depan pos dan patroli ke desa-desa di sekitarnya. Setiap malam razia dilakukan. Seorang korban yang pernah ditangkap mengisahkan bahwa dirinya ditangkap dan ditahan di pos. Selama tahanan, dia dirantai seperti binatang. Dia juga mengalami penyiksaan dengan cara dipukul dan disetrum. Dia ditahan selama 15 hari. Selama itu, dia sempat melihat empat orang tahanan lain yang ditahan karena dituduh menggerakkan massa untuk menuntut referendum. Dalam tahanan, Arifin mendengar dari tahanan lain ada tahanan yang dibakar dalam timber (tempat pengawetan kayu). Seorang istri korban menceritakan: “Suami saya pernah ditangkap dan ditahan disitu, dipukul sampai babak belur. Kondisinya parah. Aparat sampai memasukkan moncong senjata ke dalam mulutnya. Tapi suami saya
dilepaskan.”189
187 Ibid, hlm. 24.
188 “Studi Kasus 123: Kekerasan di Dalam Pos Aparat Keamanan Saat Operasi Militer di Aceh”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
189 Lihat Laporan KontraS Aceh, Di Balik Penemuan Dugaan Kerangka Manusia di Bekas PT. Wira Lanao, Langsa, dapat diakses di Website KontraS: www.kontras.org, http://kontras.org/data/-Dibalik%20Penemuan%20 Dugaan%20Kerangka%20Manusia-%282%29.pdf.
Penahanan dan penyiksaan sering dialami oleh penduduk yang memiliki hubungan keluarga dengan orang yang dicurigai sebagai GAM oleh tentara Indonesia. Selain