• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan perusahaan, dituduh

mengganggu

jalannya aktivitas

perusahaan.

Pada 6 Desember 2000, empat aktivis Rehabilitation Action for Torture in Aceh (RATA) yang sedang dalam perjalanan menjemput seorang korban ditangkap dalam sebuah razia di depan Koramil Tanah Luas, Aceh Utara. Keempat aktivis yang ditahan adalah Idris Yusuf, Erlita Yeni, Bakhtiar, dan Nazar. Mereka dibawa ke kantor Koramil, setelah itu dibawa ke arah

Lhokseumawe dengan mobil kijang dengan posisi tangan diikat. Kemudian, tiba di Simpang Cot Matahe, aparat menangkap seorang warga bernama Rusli, yang ketika itu ketakutan melihat aparat. Rusli kemudian dinaikkan ke dalam mobil dan dibawa bersama aktivis RATA. Sekitar pukul 18.05 WIB, tiba di Simpang Elak, di sebuah rumah kosong milik mantan Kapolsek Kuta Makmur, aparat mengeksekusi satu per satu. Korban pertama yang ditembak adalah Idris, setelah itu Erlita Yeni dan selanjutnya Bakhtiar, dan Rusli. Nazar berhasil melarikan diri. Aparat mengejar dan memberondong peluru, namun Nazar selamat dengan meloncat ke dalam jurang dan merayap. Sementara itu, Rusli tidak diketahui keberadaannya.201

Ja’far Siddig Hamzah, seorang aktivis kemanusiaan yang gencar melakukan advokasi dan kampanye tentang persoalan pelanggaran HAM di Aceh ditemukan telah menjadi mayat di perbatasan Tanah Karo – Dairi, Sumatara Utara.202 Jasad korban ditemukan dalam keadaan terikat di dalam semak-semak sekitar tujuh meter dari sisi badan jalan. Saat ditemukan kondisi mayat telah mengeluarkan bau

menyengat. Di dada, perut, dan paha kiri terdapat luka tembak dan luka tusukan senjata tajam. Selain jasad Ja’far, di lokasi berdekatan juga ditemukan lima mayat lain yang tidak diketahui identitasnya. Keluarga korban dari Ja’far mengatakan bahwa beliau hilang sejak 5 Agustus 2000 dan ditemukan 1 September 2000. Musliadi, koordinator Koalisi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Barat (KAGEMPAR) ditemukan tewas pada 30 November 2002. Dia diculik oleh 6 orang

200 “Hilang Petang, Pulang Mayat: Penghilangan Paksa di Aceh Selatan”, dalam Op.cit., Pulangkan Mereka!, hlm. 231-260.

201 (Ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi, Op.cit., hlm. 84. Lihat juga Siaran Pers KontraS, “Pembunuhan Sewenang-Wenang terhadap 3 Relawan Kemanusiaan RATA”, Banda Aceh, 8 Desember 2000.

202 “Studi Kasus 130: Operasi Militer, Pembunuhan, dan Penghilangan Paksa Aktivis Kemanusiaan Aceh”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

dengan membawa senjata laras panjang jenis SS1 dan mengendarai mobil kijang warna gelap. Jasad Musliadi ditemukan di bawah jembatan Seunapet, Lembah Selawah, Aceh Besar. Dari luka di tubuh korban, nampak terlebih dahulu disiksa. Kepala korban bagian belakang terdapat luka tusukan benda tajam, dan pergelangan tangan ada luka bakar.

Sementara itu, Sukardi, aktivis Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) hilang di daerah kantor Polsek Sawang, Aceh Selatan. Hilangnya Sukardi pada 1 Februari 2000. Organisasi tempat bekerja Sukardi bergerak dalam bidang advokasi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup. Jenazah Sukardi ditemukan tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan telanjang (hanya mengenakan celana dalam). Sekujur tubuh korban terdapat luka memar, sundutan rokok, dan bengkak bekas pukulan benda tumpul. Di lokasi tempat jasad ditemukan, terdapat selongsong peluru pin 556 dan buletin Machdum Sakti terbitan Polda Aceh edisi Agustus – September 1999.203 Juga, tentara melakukan tindakan kekerasan terhadap aktivis HAM yakni Jufri dan Ikhwan. Keduanya staf Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) yang berkantor di Sawang. Mereka ditangkap oleh TNI dan dibawa ke Koramil Blangpidie. Mereka dicurigai sebagai intel HAM. Keduanya baru dibebaskan setelah dijelaskan oleh Kolonel Farid Wajidi, salah seorang orang tua mereka, bahwa keduanya bukan intel HAM. Mereka bekerja pada lembaga yang bergerak dalam lingkungan hidup.

Meskipun mereka dibebaskan, tetapi mereka terpaksa mengasingkan diri ke Banda Aceh.204

E. Keadilan yang Tak Tampak

Pembasmian yang terjadi di Indonesia, baik yang dilakukan pada masa Orde Baru maupun masa setelahnya, dilaksanakan oleh aparat keamanan yang menggunakan sumber daya negara, dan seringkali dibantu oleh kelompok milisi yang dipersenjatai dan kebal hukum. Pada kurun waktu 1965-1966, nampak hubungan militer dan pelaku pembunuhan sangat erat. Hal tersebut terlihat dari waktu terjadinya

kekerasan yang muncul tidak lama setelah militer datang. Di Solo misalnya, tindakan represi terhadap orang-orang kiri dimulai setelah pasukan RPKAD masuk ke kota dan menggelar rapat akbar di alun-alun kota yang berujung dengan pembakaran kota Solo. Hal yang sama juga terjadi di Bali dan NTT. Di Sabu, kehadiran tentara yang pada bulan Oktober sampai Desember 1965 disertai dengan terjadinya

kekerasan seperti penangkapan, penahanan, teror, sampai pembunuhan.205

203 (Ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi, Op.cit., hlm. 251. 204 Ibid, hlm. 252.

Sementara itu, dalam melancarkan operasi militer di wilayah konflik, militer Indonesia membentuk dukungan sipil, baik dalam bentuk informan atau milisi. Hal ini tidak lepas dari penggunaan strategi teritorial dan intelijen selama operasi militer diberlakukan. Peran milisi di Timor Timur sangat besar seperti yang terjadi pada pembantaian di Gereja Suai. Sementara itu, penggunaan informan menjadi cara yang cukup sering dipakai di Aceh, dan dapat mengakibatkan terjadinya pembunuhan seperti yang terjadi di Jambo Keupok.

Pembasmian berkaitan dengan impunitas yang membuat para pelaku pelanggaran HAM yang berat lolos dari hukuman. Tindakan yang membuahkan kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor-Leste telah meninggalkan kekebalan hukum terhadap pelaku (impunitas). Sejumlah pelaku pelanggaran HAM berat yang melakukan operasi militer telah lolos dari hukum. Sebagian besar dari mereka secara sengaja tidak dihadirkan atau disembunyikan dari pengadilan. Selain itu, pengadilan militer masih berlapis untuk menguak tabir keadilan. Bagi tingkatan perwira ke bawah sudah bisa dibongkar, akan tetapi untuk pangkat perwira ke atas belum bisa mencapai keadilan. Di pengadilan, untuk pangkat perwira ke atas tidak pernah disebut-sebut dalam pengadilan. Kekerasan yang dilakukan oleh militer seringkali berhenti di pengadilan militer yang tertutup.

Pengadilan HAM Timtim. Mantan Pangdam Udayana yang menjadi terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM yang berat Timor-Timur. Mayjen Adam Damiri memberi komentar terhadap kesaksian mantan Panglima Penguasa Darurat Militer Timor Timur Mayjen Kiki Syahnakri dalam pengadilan HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 17 September 2002. (Foto: TEMPO/ Amatul Rayyani)

Dampak langsung dari impunitas adalah ketidakmenentuan kondisi korban dan keluarganya, baik secara ekonomi maupun secara sosial dan politik.

Pembasmian ini meninggalkan bekas yang mendalam di kalangan korban dan keluarga korban. Mereka sebagai korban dari kekerasan masa lalu belum

mendapatkan penjelasan dan pengakuan dari

pemerintah. Kekerasan di masa lalu, seperti

penghilangan terhadap Abd Rahman Dg Maselo pada tahun 1965 di Palu,

meninggalkan luka mendalam bagi keluarganya hingga kini. Mariyam Labonu, istri Daeng Maselo, menceritakan kondisi keluarganya ketika suaminya hilang:

“Bulan Mei saya dengar dia sama-sama dengan temannya sudah hilang. Banyak kabar angin. Jadi saya bingung. Tapi saya besarkan hati anak-anak ... saya bilang sama dorang jangan didengar. ... Selama ini biasa kalau dorang tanya papanya, saya tidak tau juga mau jawab apa. Cuma anak saya yang pertama itu, Gagar, mungkin dia sudah mengerti. Baru itu ada lagi kabar dari Pak Bantam yang tentara di Baiya itu. Dia kasih tahu anak saya Gagar itu, dia cerita semua. Dia bilang tidak usah lagi kamorang cari-cari papamu, bukan di bawa ke Manado, bukan juga dibawa dengan kapal Rusia, tapi sudah di eksekusi, ditembak. ... Seandainya kehilangan atau misalnya kematian suamiku itu melalui proses hukum yang berlaku, karena

kesalahannya misalnya, saya sangat ikhlas, tapi dengan keadaan seperti ini di mana keadilan itu.”206

Pembasmian gerakan kiri pasca-30 September 1965 mempunyai dampak terhadap perkembangan organisasi warga di Indonesia. Organisasi sipil seperti serikat buruh, petani, perempuan, dan guru mengalami kehancuran. Organisasi gerakan dari masyarakat senantiasa dicurigai sebagai organisasi yang tumbuh dari sisa-sisa komunisme. Berulang kali rezim militer Orde Baru menyelenggarakan “bersih lingkungan” untuk menutup ruang gerak dari masyarakat yang dicurigai masih dipengaruhi oleh warisan PKI dan partai kiri. Negara dalam keadaan darurat tetap ditegakkan agar pendekatan keamanan bisa diselenggarakan.

Di NTT, pembasmian terhadap guru dan kaum terpelajar lain justru menjadi bumerang bagi perkembangan masyarakat di sana. Para guru perempuan dipaksa untuk kembali ke ruang sempit di rumah tangga. Perempuan di Sabu tidak lagi berperan sebagai guru yang mengajar di sekolah-sekolah. Mereka kehilangan pekerjaan dan lingkungan. Pemecatan terhadap guru-guru yang dilakukan oleh negara berakibat pada merosotnya kualitas pendidikan.207 Pemecatan guru-guru yang dituduh PKI tidak hanya berlaku di NTT, tetapi terjadi di tempat lain di Jawa. Selama bertahun-tahun, sekolah kehilangan tenaga pengajar yang handal. Pengganti tenaga guru yang dipecat seringkali guru yang tidak mempunyai pengalaman

mengajar. Bahkan di beberapa sekolah, pengganti guru adalah para pelaku kekerasan.208

206 Kesaksian Mariyam Labonu dalam “Dengar Kesaksian KKPK” di Palu, 27 Desember 2012.

207 Untuk hal ini lihat investigasi yang menarik; Paoina Bara Pa dan Dorkas Nyake Wiwi, 2012, “Penghancuran Perempuan Guru Sabu – Raijua oleh Negara”, dalam (ed) Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah, Op.cit., hlm. 125-186.

208 Situasi ini yang memperkokoh benteng impunitas. Wawancara dengan Sumbino, 14 September 2011, Boyolali, Jawa Tengah.

Para perempuan yang mendapat penyiksaan dan kekerasan seksual jarang

memberikan kesaksian, sebagai akibat dari trauma dan stigma yang melekat pada diri mereka. Situasi ini pula yang membuat pelaku merasa bebas untuk bertindak sewenang-wenang. Rezim militer yang keji dengan menggunakan penyiksaan terhadap perempuan terus berulang dan tanpa pelaku mendapatkan hukuman. Selain itu korban dan keluarga korban yang telah dibebaskan dari hukuman penjara oleh rezim Orde Baru, di masyarakat masih berlaku stigma “tidak bersih

lingkungan”. Stigma itu berdampak bagi korban dan keluarganya sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Di kalangan warga di lingkungan tempat tinggal korban, secara tidak langsung tidak mau membantu korban dan keluarga, karena takut dianggap “tidak bersih lingkungan”. Demikian pula anak korban senantiasa menjadi pergunjingan di masyarakat sebagai anak komunis. Juga, mereka masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan, terutama untuk bekerja di lingkungan pegawai negeri atau ketentaraan dan kepolisian. Dibatasinya ruang pekerjaan bagi korban dan keluarga korban dari pengaruh kebijakan keadaan darurat yang diciptakan negara. Bisa dikatakan, korban dalam sepanjang hidupnya mengalami kehidupan yang darurat alias tidak menentu. Situasi seperti itu pada korban dan keluarganya memperkuat landasan impunitas terhadap pelaku. Kokohnya benteng impunitas membuka ruang bagi keberulangan pelanggaran HAM yang berat.