• Tidak ada hasil yang ditemukan

“memisahkan ikan dari air”

Para tahanan dan keluarga mereka dinaikkan kapal perang (dikenal sebagai 501, 502, 504, LCM 01/01) atau dipindahkan dengan pesawat. Antara tahun 1980 – 1986, sekitar 3.000 – 4.000, bahkan ada estimasi setinggi 6.000 orang, dipindahkan secara paksa ke Atauro. Pada 1986, semua orang “dibebaskan” dan disediakan transportasi untuk memulangkan mereka. Sebanyak 17 keluarga memilih untuk tinggal di Atauro, setelah menandatangani sebuah pernyataan tertulis. Waktu yang paling sulit bagi para tahanan terjadi pada saat kedatangan pertama dari Dili (3 September 1980) sampai dengan kedatangan ICRC (26 April 1982) hampir dua tahun kemudian. Beberapa saksi menyatakan bahwa selama ini, 350 orang meninggal karena sakit disebabkan oleh kekurangan gizi.

Seorang kepala desa, Faustino, masih berada di kelas 4 pada saat itu, mengingat kematian 5 – 6 anak per hari. Ayah dari Sabika, salah seorang komandan Falintil di Aileu, juga meninggal di pembuangan. Tentara Indonesia menyediakan makanan yang tidak mencukupi, sekitar 900 gram jagung berkualitas buruk per keluarga setiap minggu. Mereka yang meninggal dikuburkan di sebuah lokasi di belakang kota kecamatan, Villa.

Atauro adalah pulau penjara yang telah digunakan sejak masa kolonial Portugis. Pada periode pendudukan Jepang juga dipergunakan bagi tahanan pejuang kemerdekaan. Ketika pendudukan Timor Timur oleh militer Indonesia, Atauro dimanfaatkan kembali sebagai penjara. Kebijakan pendudukan militer Indonesia memenjarakan basis pendukung para pejuang di masa yang akan datang. Oleh karena itu, banyak anak-anak dan perempuan yang ditahan di Atauro adalah keluarga dari pejuang-pejuang Timor-Leste. Kebutuhan pokok untuk makan di Atauro tidak terjamin, seringkali terjadi kelaparan di sana.176 Acapkali seandainya saudaranya aktivis perlawanan yang sedang berjuang di hutan, maka adiknya sebagai sandera ditahan di Atauro. Joana Pereira, ketika itu berusia 13 tahun, merupakan contoh tawanan yang disandera. Karena kakaknya sedang berjuang di

hutan, maka adiknya yang menjalankan “hukuman”. Mereka yang dipindahkan ke Atauro bercerita kepada CAVR:

“Pada tanggal 29 Agustus 1981, Koramil Quelicai mengatakan kepada kami, siapa yang masih memiliki keluarga di hutan harus mendapatkan hukuman. Pihak Koramil kemudian mendaftarkan nama-nama orang. Setelah

beberapa hari, saya melihat nama-nama yang dipasang pada sebuah tripleks di depan Kantor Desa, baru saya mengetahui kalau kami akan dihukum di Ataúro. Saat itu saya berumur 13 tahun, Mateus Pereira masih kecil berumur sekitar sembilan tahun (kami berdua dihukum di Atauro karena kakak kami Pascoal Pereira (Nixon) masih di hutan). Pada tanggal 30 Agustus 1981, Komandan Koramil Quelicai membawa kami dengan

pengawalan empat truk bersenjata menuju pelabuhan Laga, Baucau. Pada 1 September 1981, kami diberangkatkan ke Ataúro dengan kapal perang 511. Sampai di sana, saya dan adik saya tinggal secara terpisah, dia tinggal di rumah dengan nomor 22 bersama 60 orang, saya tinggal di rumah nomor 24 dengan 70 orang. Kami tinggal dalam sebuah rumah yang tidak ada apa-apanya, atap rumah ditutup dengan seng, dindingnya ditutup dengan terpal, tidak ada tempat tidur. Waktu kami memulai hidup di Ataúro, saya dan Mateus hanya makan makanan yang kami bawa dari Quelicai. Satu bulan kemudian kami baru mendapatkan jatah makanan berupa jagung sebanyak tiga kaleng (ukuran kaleng sarden) dari tentara. Jatah makanan tersebut kami terima dua minggu sekali per kepala keluarga (KK). Kondisi demikian menyebabkan terjadinya kelaparan. Orang yang paling banyak meninggal adalah mereka yang dari Lospalos dan Viqueque. Dalam sehari yang meninggal 2 – 5 orang, yang paling banyak adalah anak-anak dan orang tua.”177

C.4. Pemisahan Anak Secara Paksa dan TBO

Konflik yang berlarut-larut di Timor-Leste berdampak pada kehidupan anak-anak. Mereka yang kehilangan orang tua dan sanak saudara mengalami kelaparan dan hidup yang mencekam. Anak-anak setelah dipergunakan untuk tenaga bantuan operasi, kemudian dibawa ke luar Timor-Leste oleh tentara. Ada juga anak-anak yang dibawa dari panti asuhan oleh orang-orang sipil dan militer dengan tujuan meringankan beban lembaga panti asuhan. Namun ada pula pengambilan anak Timor-Leste dengan motif untuk memurnikan anak ini dari musuh mereka.

Terlepas dari beragam motif yang ada, “pemindahan paksa” anak-anak Timor Timur ke tangan orang-orang Indonesia dilakukan secara sistematis. Banyak orang tua

anak itu tidak bisa bertahan dari operasi pengepungan dan pemusnahan militer Indonesia.178 Pertempuran sengit dan kesulitan ekonomi dan sosial yang menjadi beban sebagian besar masyarakat Timor-Leste membuat mereka terpaksa berpisah dengan anak-anaknya. Diperkirakan 4.000 anak diambil dari keluarga mereka dan dibawa ke Indonesia selama pendudukan militer di Timor Timur. Pemindahan anak-anak merupakan praktik yang disetujui pihak berwenang militer dan sipil. Praktik itu melibatkan individu dan institusi seperti militer, organisasi keagamaan dan sosial yang memfasilitasi proses itu.

Salah seorang anak yang diambil secara paksa dari keluarganya adalah Isabelinha Pinto. Ketika dipisahkan dari keluarganya, dia baru berumur 6 tahun. Pada masa kecil, Isabel telah dipaksa bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti mencuci. Menjelang remaja, ia menjadi korban pelecehan seksual dari tentara yang mengangkatnya. Pada masa remaja, dia berpindah-pindah mengikuti orang tua angkatnya. Dia juga bercerita sebenarnya anak-anak Timor-Leste yang dipindahkan paksa telah putus hubungan kebudayaan dengan kampung halamannya:

“Tahun ’79, saya ‘diadopsi’ dari keluarga saya. Nama saya Isabelinha Pinto. Saya diangkat sama tentara. Waktu itu nama saya diganti menjadi (nama keluarga tentara tersebut). Pada masa itu, orang tua angkat saya sampai tahun 1984 masih komunikasi dengan keluarga. Setelah putus hubungan, saya dibawa ke Menado. Kebetulan istri dari bapak yang mengangkat saya itu tidak suka punya anak perempuan. Tapi waktu diangkat dalam surat disebut mengangkat anak untuk menjadi anak kandung karena tidak punya anak perempuan. Tapi kenyataannya mereka tidak suka punya anak

perempuan, dan saya dibawa ke Menado karena ibu itu tidak suka, jahat. … Sulit untuk dibicarakan. Saya dikirim ke Sulawesi sekolah di sana, dan waktu kelas 2, saya pindah lagi ke Jakarta. Apapun yang terjadi, saya harus sekolah, dan harus membiayai diri saya sendiri. Sempat dibiayai sebentar, tapi ibunya cemburu sama saya. Bapak itu ternyata setelah mengangkat anak, ada maksud di balik itu, dia mau saya jadi istrinya…”179

178 Banyak anak-anak dipergunakan dalam Operasi Pagar Betis tahun 1978-79 oleh tentara Indonesia untuk menyapu kelompok perlawanan Fretilin. Sebagai tenaga bantu operasi, anak-anak tidak diberikan upah dan hanya makan satu kali. Lihat Op.cit., Pulangkan Mereka!, hlm. 278.

179 Kesaksian Isabelinha Pinto dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”, Jakarta, 26 November 2013.

“Adopsi”. Foto Isabelinha Pinto kecil saat akan diambil oleh anggota tentara Indonesia (duduk di sebelah kiri Isabelinha). Dua orang di sebelah kanan adalah keluarga dari Isabelinha.. (Foto: Anne-Cecile Esteve)

Dalam melancarkan operasi, militer Indonesia seringkali mempergunakan anak-anak sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO). Meskipun, perwira tinggi

mengumumkan bahwa operasi militer memanfaatkan laki-laki dewasa untuk TBO. Akan tetapi dalam kenyataan, setengah atau sepertiga TBO adalah anak di bawah umur 19 tahun. Pihak militer mempunyai alasan menggunakan TBO anak, yaitu dianggap lebih mudah untuk dikuasai secara mutlak. Anak-anak yang menjadi TBO sebagian direkrut secara paksa, dan ada juga yang bergabung untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari ancaman dan kelaparan. Para TBO ditugaskan untuk memberi bantuan logistik, membawa amunisi, memandu tentara melalui wilayah yang tak dikenal, mengambil air, kayu bakar, dan keperluan lainnya. Tahun 1975 – 1979 berlangsung perekrutan TBO secara masif untuk mendukung Operasi Seroja. Joao Rui, baru berumur sembilan tahun waktu ia dijadikan TBO. Dia bekerja untuk operasi militer seperti budak. Ia menceritakan pengalamannya kepada CAVR:

“Kami berjalan lebih dari 12 jam setiap hari. Berangkat pukul 05.00 pagi dan berjalan sampai pukul 12.00. Kemudian istirahat dan makan siang, lalu kami berangkat lagi sampai malam hari. Besoknya berangkat lagi dan kami mondar-mandir di hutan begitu saja. Saya sudah mulai bawa barang berat pada waktu itu. … Lalu kami naik ke [Gunung] Matebian, hujan terus dan saya tidak bisa tidur karena semuanya basah. Kadang-kadang kami kembali

kota dan mengambil beras, kadang-kadang heli yang antar. … Ada suatu gunung yang sulit sekali yang kami lewati dan ada yang jatuh … di perbatasan Uatu-Lari, di kaki gunung tersebut, kami istirahat dua hari, tetapi hujan lebat dan helicopter tidak dapat mencapai daerah kami selama dua hari dua malam. Kami kehabisan beras, rokok, pokoknya semua habis. Mereka tertekan hanya minum teh … ketika matahari sudah turun, kami mencari buah-buahan, kelapa, dan sebagainya, dan tiba-tiba helicopter turun. Tentara sudah menurunkan isyarat asap dan helicopter itu

menjumpai kami dan memberikan beras. Tiba-tiba saja semua TBO yang lebih tua melarikan diri. Mereka sudah tahu jalan dan kembali ke desa mereka. Sesuatu yang sulit kami [anak-anak kecil] lakukan—kami di tengah hutan dan dari mana kami mengetahui jalan? Malam itu ketika komandan kompi memerintahkan kami untuk mengambil beras, baru diketahui ada dua TBO yang hilang. Satu TBO lainnya juga meninggalkan kesatuan kami, sehingga yang tinggal hanya dua. TBO yang lain itu berumur 16 atau 17, dan saya sendiri berumur delapan atau sembilan.”180

D. Pembasmian dalam Operasi Militer di Aceh

(1989-1999) dan Darurat Militer/Sipil (2000-2005)

Konflik di Aceh berakar dari eksploitasi sumber daya alamnya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru sejak 1970an. Wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam adalah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Wilayah-wilayah tersebut mengalami konflik tinggi antara militer pemerintahan pusat dengan kelompok perlawanan di Aceh. Di daerah itu pula, eksplorasi alam merugikan rakyat Aceh karena penggusuran tanah, ganti rugi tak sepadan, serta intimidasi. Hampir seluruh keuntungan eksplorasi alam Aceh dikuras dan dibawa ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak pernah mengenyam hasilnya, dan bahkan tidak dilibatkan dalam pekerjaan industrialisasi di Aceh. Berdirinya Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 merupakan respons ketidakadilan itu. Pada tahun-tahun berikutnya, militer Orde Baru menghancurkan gerakan GAM itu dan membuat pimpinannya melarikan diri ke luar negeri.

Pada 1989, meningkatnya sejumlah penyerangan terhadap pusat-pusat pengolahan sumber daya alam seperti Arun NGL oleh GAM, oleh pemerintah lokal dipahami sebagai gangguan atas proses pembangunan. Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, melaporkan hal itu ke pemerintah pusat. Terutama setelah penyerangan terhadap markas ABRI di Aceh, Ibrahim meminta pemerintah pusat untuk mengirim

180 “Studi Kasus 66: Anak-Anak yang Dipisahkan dan Direkrut sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO) ABRI”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

pasukan ke Aceh. Sejak Mei 1989 hingga Agustus tahun 1998, Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) dengan nama Operasi Jaring Merah.181

Masa DOM merupakan pengalaman rakyat Aceh yang paling buruk. Rakyat Aceh mengalami perlakuan kekerasan fisik dan non-fisik yang diselenggarakan oleh militer. Aceh menjadi ladang pembantaian oleh militer Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari penyebaran pos-pos satuan taktis untuk mengamankan Aceh. Masing-masing pos satuan taktis membawahi tiga kecamatan. Pos-pos selama masa DOM terkenal sebagai tempat-tempat “pembantaian” yang kejam dan sadis.182 Selama Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer, ada dua pos satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal, yakni rumah Geudong di Pidie dan Roncong di Aceh Utara. Selama periode DOM sulit diperkirakan jumlah korban jiwa, akan tetapi terdapat versi jumlah korban DOM sekitar 35.000 orang.183

Selama