• Tidak ada hasil yang ditemukan

uang tebusan agar mereka bisa

dibebaskan.

Selama operasi militer berlangsung, penduduk juga rentan mengalami penahanan dan penyiksaan

berulang. Hal itu dialami oleh Tikamariah Usman, yang lebih dari sekali ditangkap dan disiksa bersama

suaminya. Tikamariah menceritakan:

“Waktu itu [1990] hari senin aku ke pasar, belanja. Pulang ke rumah, tahu-tahu Kopassus sudah ada di rumah. ‘Ibu ke sini dulu.’ Naiklah aku ke mobil. Habis itu dibawa ke tanah lapang dekat sekolah. Suami aku dijemput di rumah oleh orang lain. Tahu-tahu kami dibawa sampai di tempat dekat sungai. Kami disepak, rambut ditarik. Laki saya ditarik, disepak, dimasukkan ke gorong-gorong. Aku ditendang terus sampe muntah dan tak bisa bicara lagi, dihantam senjata di kepala, anting putus hilang semua. Aku dipegang, baju koyak. Abis itu diikat dibawa ke sungai, dilempar ke sungai biar kedinginan. Biar ngaku, orang mau ngaku apa orang tidak tahu salahnya. Kami dipendam di air [sampai] nggak bisa berenang. Suami aku ditarik, dipukul-pukul. Aku pingsan. Lalu kami dibawa ke Koramil dan Kodim. Laki saya entah ke mana dibawa. Pedih kita orang perempuan selama 7 hari rasanya 7 tahun, makan tidak karena kita nggak senang dikerjain seperti itu.

Tahun 2003, diambil lagi laki saya dari rumah di Bintang-Bintang, dibawa entah ke mana. Saya cari hampir 2 bulan tak dapat. Saya ke Rudal [Denrudal

Arhanud 001 Pulo Rungkom], karena ada kabar 8 orang ditahan di tempat itu. Pura-pura cari obat di rumah sakit. Aku bilang cari obat untuk orang tua di rumah. Jam 5 [sore] dikeluarkan 8 orang itu. Aku terus pulang, jumpa sama Pak Rusli [Danramil Bulo Brang Ara]. Aku bilang, ‘bagaimana itu laki kita sudah di Rudal?’ Pak Rusli tanya, ‘siapa bilang?’ Saya jawab, ‘bukan bilang Pak, saya lihat sendiri’. Dia menyuruh saya pergi ke Kopassus, minta bantuan. Kita sendiri pergi ke Kopassus, nekat padahal takut sekali. Sampe di Kopassus, aku ditanya, ‘ke mana Engkau?’ ‘Mau minta bantuan Bapak’, jawabku. Mungkin karena aku sudah nangis di situ, Kopassus bilang, ‘kalau ada di Rudal, kalau tidak ada kita minta ganti sama Ibu? Ini disuruh dengar, katanya tidak ada’. Saya bilang, ‘ada karena sudah lihat sendiri’. Kopassus telpon lagi, ‘kalau ada bilang ada kalau tidak ada bilang tidak ada karena sudah lihat sendiri bininya’. Abis itu telpon lagi, ‘bisa jam 8 datang lagi kemari jumpa sama lakinya’. Aku pulang ke rumah, besok Kopassus bilang pergi saja ke Kodim, di tempat tahanan.

Lalu datang lagi aparat ke rumah. Sampe masuk dia ke dalam, yang lain di luar, didempet aku ke dinding. Minta yang enak-enak katanya. Aku lawan orang itu, kugigit tangan dia. Ditendang aku sampe gigi ompong, tidak takut aku. Laki sudah diambil, masa ditanya-tanya lagi. Abis itu rumah saya dibakar sama orang itu. ... Aku dibawa lagi ke pos dipukul, ditaruh di lubang, disuruh ngucap biar mampus...”191

Kekerasan seksual juga kerap terjadi di dalam operasi militer. Banyak perempuan mengalami penyiksaan dari tentara karena dianggap bekerja sama atau

menyembunyikan keberadaan suami, ayah, atau saudara laki-lakinya yang dituduh sebagai anggota GAM. Ainon Mardiah menuturkan dalam dengar kesaksian:

“Pada April 2004, datang kesatuan 112 Komandan Edji Braka ke rumah, saya dibawa ke Pos Simpang Lima 112. Jam 3 sore, mulai diinterogasi tanya suami, saya jawab, ‘tidak tahu’, mereka tampar, lalu tanya teman suami, saya bilang, ‘tidak tahu’. Saya ditampar berpuluh-puluh kali, sehingga pipi saya bengkak. Mereka memukul di kepala dengan topi baja dan salah satu menendang saya. Sampai jam 8 [malam] saya tidak berhenti dipukul dan dihajar oleh mereka. Jam 8 malam mata ditutup dan tangan diikat dengan kabel dan dibawa entah ke mana. Mereka tanya keberadaan suami di mana dan teman suami di mana, mereka ancam bunuh saya. Mereka gali lobang dan bilang itu lobang kuburan saya. Lalu tanya keberadaan suami, saya bilang tidak tahu. Mereka lalu menancapkan senjata laras panjang di telinga kiri dan kanan dan suruh saya mengucap, kemudian ada suara letusan.

191 Kesaksian Tikamariah Usman dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”, Jakarta, 26 November 2013.

Saya tidak tahu suara letusan apa, saya pingsan. Jam 4 pagi, saya sadar dan mereka tanya makan saur atau tidak. Saya bilang bagaimana saya makan kalau mata ditutup, lalu mereka buka penutup mata. Mereka kemudian ajak saya, mereka cari markas GAM, saya bilang tidak tahu karena GAM

bergerilya. Di dalam pos, anak buah mereka menarik saya, memeluk dan baju saya koyak, mereka mau perkosa saya. Saya berteriak sekuatnya, ‘Pak Edji Barka anak buah Bapak mau perkosa saya’, Pak Edji Barka menjawab, “alah kamu mau dikasih enak aja menjerit’, lalu saya katakan, “Bapak orang berpendidikan tapi harga dirinya nol, saya tidak punya pendidikan tapi saya punya harga diri’. Lalu Pak Edji memukul anak buahnya yang mengganggu saya. Pak Edji Barka kemudian berangkat operasi. Lalu anak buahnya Daud ancam mau bunuh saya dan mengeluarkan kata kotor karena melaporkan mereka. Setelah 7 hari di Pos 112, saya di bawa ke SGI [di Buloh Blang Ara], di situ saya disetrum, lalu seorang di antara mereka meramas payudara saya sekuat-kuatnya. Tiga hari di SGI, saya dibawa ke Kuala Simpang dan tidak boleh kembali ke kampung. Saya di Kuala Simpang disuruh tetap komunikasi dengan mereka, berpindah dari satu rumah saudara ke rumah saudara lain karena tidak punya apa-apa.”192

D.2. Pembunuhan dan Penghilangan Paksa

Setelah DOM dicabut, kekerasan tidak surut. Bahkan terjadi sejumlah tragedi

kemanusiaan di Aceh. Pertama, kerusuhan Lhokseumawe, 31 Agustus 1998, dengan latar belakang tindakan penghalauan masyarakat umum oleh aparat militer yang sedang melindungi proses penarikan pasukan. Kedua, tragedi berdarah di simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) 3 Mei 1999 yang melibatkan warga masyarakat dan tentara. Pemicunya adalah pemukulan yang dilakukan oleh tentara terhadap warga setempat yang sedang melakukan kenduri. Ketiga, insiden penembakan di Mapolres Aceh Selatan pada 11 September 1999, ketika sekelompok rakyat Aceh Selatan

berdemonstrasi menuntut pelepasan seorang warga sipil yang ditangkap dan ditahan aparat Polres Aceh Selatan sehari sebelumnya. Keempat, tragedi Beutong

(pembunuhan Teungku Bantaqiah, 23 Juli 1999 yang terjadi akibat laporan intelijen yang menyatakan bahwa Dayah Babul Mukaramah, Beutong Ateuh, Aceh Barat, pimpinan Teungku Bantaqiah telah menyimpan 100 pucuk senjata). Dalam operasi penggeledahan, laporan itu ternyata tidak terbukti. Terakhir, operasi militer tentara Indonesia di Takengon Mei – Juni 2001 yang meningkatkan aksi kekerasan dan menimbulkan kekacauan sosial antara masyarakat dan suku Aceh dan orang pendatang, dan lain sebagainya.193

192 Kesaksian Ainon Mardiah dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”, Jakarta, 25 November 2013.

Di Simpang KKA, Aceh Utara, terjadi pembunuhan dan pembantaian warga sipil.194

Berawal dari isu yang dihembuskan oleh TNI Detasemen Rudal 001/Pulo Rungkom bahwa ada anggotanya Sersan Kepala Adityawarman hilang diculik saat menyusup pada acara peringatan 1 Muharram yang diperingati oleh warga Desa Cot Murong pada malam Jumat, 30 April 1999. Adityawarman diisukan diculik saat mengikuti ceramah agama. Tapi sampai hari ini tidak jelas, apakah Adityawarman benar diculik atau hanya skenario militer untuk mengganggu acara yang dicurigai oleh aparat keamanan sebagai acara ceramah GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Yang pasti, pada malam itu tidak ada satupun warga yang melihat ada kejadian ataupun ada orang yang diculik, apalagi mengetahui keberadaan anggota yang diculik.

Kenangan tentang Anak. Seorang ibu

memperlihatkan baju yang dikenakan anaknya yang tewas tertembak dalam peristiwa kekerasan di Simpang KKA, Aceh Utara. (Foto: AJAR)

Dengan dalih itu, sejak malam Sabtu, 1 Mei 1999, pasukan TNI Den Rudal menyisir tempat acara dan rumah warga. Pada hari Minggunya, 20 warga dipukul, ditendang, dan tiga orang sempat ditangkap karena dituduh terlibat penculikan Adityawarman. Tentara juga mengancam warga dengan mengatakan, “akan kami tembak semua orang Aceh apabila seorang anggota kami tidak ditemukan”. Masyarakat yang resah dengan operasi militer tersebut berkumpul. Tapi tentara terus bertindak represif. Bahkan jumlah pasukan ditambah untuk memasuki desa tersebut. Warga

memberanikan diri menghadang truk tentara yang memasuki desa. Mereka memprotes tindakan tentara. Pagi, 3 Mei 1999, ribuan warga (laki-laki dan

perempuan) telah memadati jalan Simpang KKA dan menutup akses jalan nasional

194 “Studi Kasus 91: Pembantaian Warga Sipil di Simpang KKA, Aceh Utara”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

Banda Aceh – Medan. Ratusan anggota TNI dari Den Rudal dan Yonif 113/Jaya Sakti juga bersiaga di Simpang KKA.

Tiba-tiba sebuah truk militer berjalan, sambil melaju dari atas truk, para tentara melempari warga dengan batu. Tiba-tiba dari arah semak-semak terdengar suara letusan senjata. Tentara dengan posisi berdiri, jongkok, dan yang di atas truk militer menghujani tembakan ke arah warga. Ribuan warga tiarap dan berlarian

menyelamatkan diri. Tentara terus mengejar dan menembaki. Tentara juga

menembak ke rumah-rumah penduduk sehingga tidak sedikit orang yang berada di rumah menjadi korban tembakan. Seorang saksi, Murtala, menuturkan:

“Saya lihat truk militer [Yonif] 113 di sebelah barat dan ada kios-kios kecil, saya melihat Camat Dewantara, Drs. Marzuki dan juga Koramil Dewantara, Kapten Muhammad Jafar. Pak Camat naik ke truk untuk bicara, warga menolak membubarkan diri dan menuntut Muspika Dewantara untuk menghadirkan Bupati, Kapolres, Danrem Lhokseumawe. Pada jam 12 siang lewat dikit azan berkumandang, lalu saya turun pergi shalat ke rumah Pak Jusuf. Setelah shalat orang semakin berjubel, lantas saya bergabung lagi dengan Pak Camat. Saya lihat tentara pake baret hijau lari ke semak, seiring itu dari arah selatan mobil datang dan pas di persimpangan mobil berhenti, lalu militer di dalam mobil ke samping sambil mengendap dan mendekat. Kemudian datang batu ke arah kerumunan massa, massa membalas lalu terdengar dua kali tembakan, lalu tembakan berikut tak berhenti. Tentara [Yonif] 113 ada yang duduk, jongkok, dan tiarap katanya. Saya berusaha merangkak di bawah truk militer, mau lari, dipukul di dada dengan senjata sampai terjatuh, lalu bangun dan dipukul lagi di punggung. Saya sempat lihat beberapa orang terjatuh mengeluarkan darah di depan saya. Saya lihat kios perabot, saya masuk ke situ.”195

Ditemukan 39 orang tewas (termasuk seorang anak berusia tujuh tahun), 156 luka-luka, dan 10 orang hilang. Tim juga menyebutkan dalam laporannya bahwa pihak yang diduga sebagai pelaku penembakan adalah Kol. Inf. Jhoni Wahab (mantan Danrem Lilawangsa), komandan Yonif 113/Jaya Sakti Letkol Inf. Bambang Haryana, Komandan Den Rudal Mayor Art. Santun Pakpahan, Danki Den Rudal Letnan Art. Ismail, dan Danru masing-masing.

Salah seorang korban Simpang KKA bernama Rosmiati mengatakan:

“Yang paling pahit saya rasakan saat ini adalah menjadi seorang ibu, seorang perempuan yang cacat. Kaki telah menjadi cacat, belum sembuh total, yang pada saat tententu merasa sakit bahkan teramat sakit.

195 Kesaksian Murtala dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”, Jakarta, 26 November 2013.

Terkadang saya tidak bisa berjalan dan lebih menyedihkan lagi masih ada serpihan peluru di dalamnya. Selama ini saya menyusui anak saya tiga orang dengan darah yang masih mengandung racun.”196

Di Aceh Selatan pada 11 September 1999 telah terjadi insiden penembakan terhadap rakyat Aceh Selatan yang dilakukan oleh Satuan Brimob Aceh Selatan197, Gegana, dan satuan aparat militer. Penembakan itu terjadi di depan Mapolres Aceh Selatan ketika sekelompok rakyat Aceh Selatan berdemonstrasi menuntut pelepasan salah seorang warga sipil yang ditangkap dan ditahan aparat Polres Aceh Selatan sehari sebelumnya. Diketahui korban 3 orang warga sipil tewas, 336 orang terluka dalam peristiwa tersebut, 5 di antaranya dalam kondisi kritis. Di samping ada indikasi korban yang hilang dan belum kembali.

Kejadian ini bermula, ketika Tengku Raja Faisal, warga desa Jambo Manyang, Kecamatan Kluet Utara ditangkap dalam razia senjata yang dilakukan aparat kemanan. Faisal ditangkap karena di tubuhnya ditemukan sepucuk rencong kecil saat ia digeledah, rencong kecil itu diakui Faisal sebagai jimat. Faisal dibawa ke Mapolres Aceh Selatan di Tapak Tuan dan ditahan. Razia senjata itu dilakukan dengan alasan pencarian terhadap pelaku penganiayaan dan pembunuhan terhadap Kopka Solihin, anggota Polsek Kluet Utara. Warga sipil berdatangan dengan

kendaraan roda empat dan menggelar aksi protes di jalanan di depan Mapolres Aceh Selatan. Wakapolres menawarkan dialog yang kemudian setelah bernegosiasi diterima oleh warga dengan mengirimkan 6 orang wakilnya, namun orang tua Tengku Raja Faisal yang meminta bertemu ditolak oleh aparat.

Saat dialog masih berlangsung, dari bagian belakang barisan warga terjadi

pelemparan batu yang diarahkan kepada petugas yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal. Massa tidak terprovokasi dan bahkan memperingatkan untuk menghentikan pelemparan batu tersebut. Namun peringatan tersebut tidak berhasil, pelemparan batu masih terus berlanjut. Petugas melepaskan tembakan peringatan ke udara yang mengakibatkan massa membubarkan diri. Namun penembakan masih terus berlangsung dan bahkan mulai diarahkan langsung kepada pengunjuk rasa. Akibatnya Abu Bakar dan Yusuf tewas tertembak.

Aparat masih terus mengejar massa yang berlarian memencar ke berbagai arah. Aparat mengejar dan memukuli massa yang bersembunyi di dalam rumah-rumah penduduk sekitar Mapolres yang digunakan sebagian massa untuk berlindung, sebagian dikejar sampai ke pantai dan kebun-kebun. Sebagian warga Tapaktuan yang tidak terlibat aksi itu turut menjadi korban. Penembakan dan pengejaran baru

196 Wawancara dengan Rosmiati, 29 April 2012, Arsip KKPK/AJAR.

197 “Studi Kasus 121: Insiden Penembakan di Depan Mapolres Aceh Selatan”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

berakhir setelah satu jam kemudian. Rakyat mulai membantu mengangkut korban-korban yang tewas ke RSU Dr. Yuliddin Away, Tapaktuan, RSU Cut Nja’ Dhien Meulaboh, Puskesmas Kluet Utara, dan sebagian di antaranya dipulangkan.

Di beberapa tempat di Kluet Utara terjadi sweeping yang dilakukan oleh orang-orang yang berpakaian sipil yang tidak dikenal dan bukan penduduk setempat. Dalam

sweeping ini, 9 orang hilang, 3 di antaranya kemudian ditemukan telah tewas, 1 orang warga Aceh Selatan sudah kembali, sedangkan 5 orang lainnya sampai saat ini masih belum diketemukan, 4 orang di antara korban hilang dan belum kembali adalah anggota masing-masing bernama Yus, Budi, Atin, dan Dian, sedangkan 1 orang korban hilang lainnya adalah warga sipil Aceh Selatan. Salah satu korban

dalam sweeping tersebut adalah seorang aparat bernama Praka Dasmo (anggota

batalyon Yonif 112, Meulaboh). Dua lainnya warga sipil.

Pada tahun 2001, di lokasi yang tidak jauh dari Mapolres Aceh Selatan, yaitu di Desa Jambo Keupok, juga menjadi salah satu daerah target operasi militer dan polisi (Brimob) karena sering dijadikan tempat persembunyian anggota GAM.198 Tahun 2002, dalam sebuah operasi, pasukan TNI menembak mati seorang anggota GAM Abdul Saleh. Pada bulan Maret 2003, sekitar pukul 10 malam, Sidar Landoe membalas kematian ayahnya dengan menembak Guntur hingga tewas di Simpang Seunebok Kare, Desa Jambo Keupok. Setelah insiden itu, aparat melancarkan operasi rutin yang dibantu oleh tenaga operasi sebagai informan, Abdul Jalil (warga Jambo Keupok). Sekitar April 2003, Abdul Jalil ditangkap GAM dan ditahan selama satu minggu. Akan tetapi, Abdul Jalil berhasil meloloskan diri dan lari ke pos TNI Simpang Raja, Bakongan. Pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 07.00 WIB, warga melihat tiga truk reo militer masuk dan berhenti; satu truk berhenti di jalan dekat dengan Gunung Batu, satu di depan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jambo Keupok, dan satu lagi di Simpang Irigasi. Jumlah pasukan yang turun dari truk diperkirakan mencapai ratusan orang, memakai seragam militer lengkap, membawa senjata laras panjang, dan bersama tentara ikut Abdul Jalil. Tentara yang melakukan operasi hari itu adalah pasukan gabungan dari PARAKO (Para Komando) dan SGI (Satuan Gabungan

Intelijen) yang menempati Pos di Simpang Raja, Bakongan.

Tentara bergerak cepat menyebar ke setiap rumah warga. Perempuan serta anak-anak dan laki-laki dipaksa keluar dari rumah di bawah todongan senjata, dipukul, dan ditendang. Lina dipukul karena lupa membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Demikian pula, anak angkat Lina bernama Eni Trisnawati juga dipukul. Warga yang telah dikeluarkan dari rumah, dikumpulkan di depan rumah warga bernama Suma.

198 “Studi Kasus 131: Operasi Kilat: Pembunuhan terhadap 16 Warga Sipil di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

Laki-laki dibariskan sambil diinterogasi satu per satu. Tentara menanyakan keberadaan beberapa anggota GAM.

Asri Bin Makmuha dipukul dengan popor senjata hingga darah mengalir dari kepala. Para perempuan dan anak-anak melihat Asri dipukul berteriak histeris. Setelah itu, para perempuan dikurung di dalam rumah Suma. Sementara itu, para lelaki terus diinterogasi dan disiksa. Khalidi Bin Lipah Linggam yang baru pulang mandi di sungai dihentikan di depan rumah sekolah. Dia diturunkan dari motornya sambil dipukul, ditendang, dan dibawa ke depan rumah Suma. Kemudian, Khalidi

diinterogasi sambil disiksa, dan dibacok oleh Abdul Jalil dengan parang di bagian kepala, setelah itu ditembak di kepala oleh tentara. Tentara yang menembak Khalidi mengatakan, “inilah contoh bagi orang yang kasih makan GAM”.

Monumen Jambo Keupok. Salah seorang anak korban berdiri di samping monumen Jambo Keupok yang memuat nama-nama korban pembantaian di Jambo Keupok, Aceh Selatan. (Foto: AJAR)

Setelah pembunuhan Khalidi, para perempuan dikeluarkan dari rumah Suma sambil diperiksa satu per satu identitas, lalu dibawa ke rumah sekolah, dan dikurung di dalam sebuah ruangan (kelas) enam. Rumah sekolah terletak 300 meter dari rumah Suma.

Sementara itu, Kasturi yang sedang makan diseret keluar dari dalam rumahnya. Zulekha (istri) dan Nurhayati (anak) berusaha merangkul Kasturi agar tidak dibawa. Tapi tentara memukul Nurhayati di leher belakang dengan popor senjata, setelah itu memukul Kasturi hingga

tersungkur ke tanah bersama dengan Zulekha. Tentara

menembak di dekat kaki Zulekha hingga serpihan peluru melukai kaki, tangan, dan lebam dari lutut sampai ujung kakinya. Zulekha tidak sadarkan diri. Kemudian, tentara menembak kaki kiri Kasturi dan kepalanya hingga tewas. Tentara juga membakar rumah

Kasturi. Tetangga Zulekha, Ibu Saedah dipukul dengan popor senjata hingga pingsan saat berusaha menyelamatkan anaknya Burrahman ketika diambil paksa di

rumahnya. Burrahman ditembak di kepala hingga tewas. Sementara itu, Budiman yang sedang berjalan dipanggil, lalu ditelanjangi dan disuruh joged. Kemudian, seorang tentara memasukkan moncong senjata ke dalam mulut Budiman, lalu ditembak. Setelah membunuh empat orang, tentara menggiring 12 warga berjenis kelamin laki-laki yang sebelumnya diinterogasi di depan rumah Suma ke dalam rumah Daud yang terbuat dari kayu. Selanjutnya, rumah bersama 12 orang itu dibakar, sambil diberondong senjata.

Sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan tentara meninggalkan lokasi peristiwa. Warga dan para perempuan keluar mencari mayat-mayat korban. Kemudian, jasad-jasad itu dikuburkan dalam satu liang. Selesai penguburan, warga pergi mengungsi ke Masjid Istiqomah selama 44 hari. Ada juga warga yang mengungsi ke kampung lain karena tidak berani pulang ke rumahnya. Beberapa hari kemudian, setelah peristiwa itu, tentara Indonesia membangun pos pasukan Raider (TNI) di Desa Jambo Keupok. Rumah warga (rumah Lina, Rustam) dan rumah sekolah dijadikan pos. Kehadiran pos TNI menambah trauma masyarakat. Aparat juga melarang warga bepergian ke kebun, membeli bahan kebutuhan pokok (beras, rokok, dan lain-lain) dalam jumlah yang banyak.199

Sebagaimana telah diuraikan singkat di atas, pasca-DOM konflik di Aceh tidak mereda, bahkan terus meluas ke geografi Aceh lainnya. Terutama di Aceh Selatan, konflik semakin mencekam di sana. Padahal pada masa DOM, Aceh Selatan aman dan bukan wilayah konflik. Hal ini dikarenakan di Aceh Selatan selama periode DOM, pertumbuhan GAM menjadi pesat di sana. Selain itu, banyak orang-orang Aceh yang berpindah ke sana dari wilayah-wilayah konflik seperti Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie. Juga pada masa pasca-DOM, Aceh Selatan tumbuh dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari sejumlah perusahaan penebangan kayu.

Namun demikian, perluasan tindakan kekerasan di Aceh terus meluas dengan menyasar pada pembasmian Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Terdapat lima motif yang menjadi dalih dari tentara untuk menghilangkan orang secara paksa di Aceh pasca-DOM. Pertama, warga yang dituduh terlibat langsung dengan GAM atau menjadi informan GAM. Kedua, para aktivis LSM khususnya aktivis HAM. Mereka dianggap menjadi provokator masyarakat dan menebar kebencian kepada pemerintah. Juga, mereka seringkali mempersoalkan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang