• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembasmian di Papua

di kamp pengasingan

B. Pembasmian di Papua

Pada tahun 1969, di Papua diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakjat (Pepera). Pelaksanaan Pepera itu dilakukan secara tidak adil karena disertai dengan

intimidasi, pemaksaan, penganiayaan, dan cacat hukum dalam menafsirkan

perjanjian New York tahun 1962.107 Indonesia, sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk melaksanakan referendum, dilaporkan menggunakan kekuatan militer untuk melakukan tekanan terhadap berbagai aksi politik di Papua sebelum dan pada saat Pepera dilangsungkan. Militer Indonesia melakukan penangkapan, pemenjaraan, pengancaman, dan pengasingan terhadap para pimpinan politik Papua.108

Awal konflik pemerintah Indonesia dengan orang Papua tidak terlepas dari situasi pasca-kolonialisasi dan perang dingin. Dalam Konferensi Meja Bundar antara

Indonesia dan Belanda tahun 1949, wilayah Papua yang saat itu dikenal sebagai West Niew Guinea tidak masuk ke dalam wilayah Indonesia. Pada 1961, Soekarno

membuat Deklarasi Trikora yang menuntut masuknya Papua ke wilayah Indonesia, dilanjutkan dengan digelarnya aksi militer lewat Komando Mandala. Operasi militer ini mendapat dukungan dari Uni Soviet.109

Hal ini mengkhawatirkan Amerika Serikat (AS), sehingga AS menekan Belanda agar menyerahkan wilayah ini kepada misi PBB, UNTEA. Penyerahan itu kemudian dilakukan pada Oktober 1962 lewat Perjanjian New York. Pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan wilayah Papua ke Indonesia dan bertugas untuk membantu proses penyelenggaraan referendum sebelum 1969. Indonesia kemudian melaksanakan referendum itu dengan menunjuk 1.026 orang yang dianggap mewakili Papua dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hasil Pepera secara bulat menyatakan mendukung integrasi dengan Indonesia.110 Hasil Pepera itu dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB dalam sidangnya pada 19 November 1969 dan dituangkan dalam resolusi Nomor 2504.

107 Perjanjian itu menyatakan bahwa “hak semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, bukan warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam tindakan menentukan nasib sendiri yang dilaksanakan sesuai dengan praktik internasional. (The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice)”, Perjanjian New York, Pasal XVIId, 1962.

108 Lihat, 2011, Masa Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi, ELSHAM-ICTJ, hlm. 7. Pada saat Pepera dilaksanakan, Ali Moertopo mengeluarkan ancaman tembak di tempat jika ingkar janji terhadap 1.026 pemimpin masyarakat yang memiliki suara dalam Pepera. Lihat Op.cit., Pulangkan Mereka!, hlm. 294.

109 Indonesia membeli peralatan militer besar-besaran kepada Uni Soviet “untuk mempersiapkan potensi militer Indonesia dengan kekuatan yang diperhitungkan mampu, untuk jika perlu, membebaskan Irian Barat dengan kekuatan bersenjata”. Lihat Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1986, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Jakarta: PT. Cipta Lamtoro Gung Persada, cetakan ketujuh, hlm. 183-4.

Otonomi. Gambar buatan salah seorang korban penahanan pada masa Pepera yang melukiskan pandangannya tentang kondisi di Papua sejak masa Pepera hingga kini. (Foto: AJAR)

Ketidakadilan dalam proses penentuan pendapat dan represi militer yang dilakukan pada saat itu membangkitkan reaksi perlawanan di tanah Papua. Gerakan

perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM) muncul pada tahun 1960an. Organisasi ini dibentuk oleh orang-orang dari Arfak, Manokwari.111 Terinspirasi oleh gerakan orang Arfak tersebut, orang Papua di tempat lain menyatakan dukungan kepada OPM. Gerakan OPM terus berkembang dan secara terus-menerus direspons oleh pemerintah Indonesia dengan pelbagai operasi militer.

Rezim Orde Baru menggelar operasi militer di Papua untuk menghadapi aktor non-negara atau OPM dengan menggunakan operasi teritorial sebagai inti operasi militer yang disokong operasi tempur, intelijen, dan penegakan hukum (kamtibmas).

Periode pasca-Pepera diwarnai dengan sejumlah operasi militer yang dimaksudkan untuk menumpas OPM. Seperti operasi Tumpas tahun 1971-1989 yang menyasar OPM di Biak Barat dan Biak Utara. Pemerintah Indonesia juga melakukan operasi-operasi militer untuk mematahkan gerakan perlawanan menjelang Pemilu tahun 1977 dan Sidang Umum MPR 1978. Gerakan perlawanan pecah di Enarotali, Biak, dan Mimika serta sepanjang perbatasan dengan Papua New Guini. Masa ini dianggap oleh orang Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Papua.

111 Orang-orang Arfak di tahun 1940an telah mulai memperjuangkan kemerdekaan Papua. Untuk hal ini lihat Soewarsono, 2013, “Tanah Merah, Boven Digoel, dan Manokwari dalam Jejak Sejarah Kebangsaan Indonesia”, dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 1-17.

Dalam pelaksanaannya operasi-operasi militer ini juga menyasar dan melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dengan melakukan penembakan dan

pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan penculikan. Serangan juga dilakukan terhadap rumah ibadah. Para istri anggota OPM ditahan, diperkosa, dan dipaksa untuk menunjukkan tempat suaminya bersembunyi. Pada masa ini, penduduk sipil di Papua hidup di bawah pengawasan ketat. Penahanan dapat terjadi kapan saja tanpa alasan yang jelas, terutama kepada orang yang sebelumnya pernah ditahan.

Pada masa Reformasi pendekatan militer untuk menangani konflik tetap menjadi pilihan pemerintah dan, walaupun tidak diumumkan, beragam operasi militer tetap digelar. Akibatnya, kekerasan di Papua tetap terjadi walau Indonesia telah dinilai sebagai negara demokrasi.

Konflik di Papua tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penguasaan sumber daya alam. Pada November 1965, ketika pembantaian massal terhadap anggota PKI dimulai, sebuah perusahaan tambang dari Amerika Serikat, Freeport Sulphur, memulai negosiasi dengan pemerintah Indonesia. Bahkan, pada April 1965, Freeport telah mencapai kesepakatan awal dengan Menteri Pertambangan untuk

mengeksplorasi tembaga dan nikel, namun Soekarno kemudian menutup pintu penanaman modal asing. Posisi ini berubah ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pada 1967, sebelum Pepera dilaksanakan, pemerintah Indonesia telah menandatangani kontrak dengan perusahaan itu.

B.1. Penyerangan terhadap Warga Sipil dan Pembunuhan

Pada tahun-tahun menjelang Pepera, terjadi kekerasan dan bentrokan antara tentara Indonesia dengan OPM. Tentara Indonesia juga seringkali melancarkan serangan militer terhadap warga sipil. Berdasarkan cerita para korban, terungkap bahwa operasi militer semakin intens dilakukan pada bulan-bulan menjelang Pepera dilaksanakan.

Di Manokwari, Organisasi Papua Merdeka dibentuk tahun 1965 untuk merespons represi tentara Indonesia. Pada 28 Juli 1965, pasukan OPM menyerang pos militer Indonesia di Arfai. Dalam pertempuran itu, 18 tentara Indonesia dan 4 personel OPM tewas. Kemudian OPM melancarkan serangan-serangan lainnya di wilayah Kepala Burung (Manokwari dan Sorong). Serangan itu dibalas oleh tentara Indonesia dalam sebuah operasi yang disebut Operasi Sadar. Serangan itu juga menyasar warga sipil di Kebar, Saukorem, Prafi, Ransiki, Wefiani, Wekari, dan Saukorem. Tentara

memaksa penduduk untuk wajib lapor, membakar desa, menyita hewan ternak, dan melakukan serangan udara, salah satunya merusak atap gereja di Kebar.112

Banyak penduduk melarikan diri ke hutan, hidup tanpa makanan, perumahan, atau obat yang memadai. Salah seorang warga Manokwari, AE, menceritakan

pengalamannya mengungsi ke hutan, ketika terjadi penyerangan di Manokwari. Ia bercerita:

“Mulai terjadi peristiwa Awom di Arfai pada 28 Juli 1965. Jadi pada malamnya peristiwa itu, keluarga dan masyarakat banyak mengungsi ke hutan untuk selamatkan diri. Saya ikut rombongan sepanjang kali. Sampai di suatu tempat, oii kami bertemu rombongan besar, itu semua pelarian ketemu. Semua suku dari 9 suku, duduk di bawah pohon, anak-anak

menangis. Kami lari terus masuk hutan ... Saya dan istri yang sedang hamil tua, jadi kami terpaksa dipisahkan dari rombongan. Sampai di Kroaer, istri melahirkan anak perempuan pada hari Sabtu 31 Juli 1965. Setelah istri melahirkan, kami lanjutkan pelarian naik gunung ... sampai di satu kampung, kepala desa tahan kami di situ. Selama ini kan tidak ada bahan makanan, jadi mereka kasih sagu kepada kami. Dua pohon sagu ditebang lalu dipotong, diramas sampai menjadi bekal untuk kami, setelah itu baru kami melanjutkan pelarian.”113

Penyerangan dan penembakan juga terjadi di Paniai.114 Di Komopa, tentara Indonesia menembak mati tokoh adat bernama Owaka Nawipa bersama 13 orang lainnya. Selain kasus penembakan terhadap penduduk sipil, militer juga melakukan perkosaan dan penghancuran harta dan ternak. Serangan ini dipicu oleh adanya perlawanan di Komopa, Pasir Putih tahun 1969, yang melibatkan ratusan aparat pemerintah. Perlawanan yang dipimpin Karel Gobay itu berlangsung 3 bulan.

“Peristiwa di Komopa, Pasir Putih. Korbannya, Gibobi Gobay, Nawipatuma, Nawipa, Tenouye, Dumay, dan Bunay. Korban-korban itu ditembak pada waktu peristiwa di mana rakyat menuntut kebebasan. … Waktu itu rakyat juga ‘keras’ untuk meminta kebebasan, sedangkan tentara juga

menganggap bahwa ini sudah wilayah Indonesia. Banyak orang yang mati. Saya tidak bisa sebut jumlah. Sedangkan saya punya kampung saja, saya lupa [berapa] anak-anak yang mati.”115

112 “Studi Kasus 26: Kekerasan Operasi Militer di Manokwari, Papua Barat”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

113 Kesaksian AE dalam “Dengar Kesaksian Tertutup KKPK di Jayapura”, 9 Desember 2013.

114 “Studi Kasus 27: Kekerasan dalam Operasi Militer di Paniai, Papua, 1960-1969”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

Penduduk di Biak juga mengalami serangan militer dari tahun 1962, termasuk kedatangan pasukan payung Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari September hingga November. Pada 1963, operasi ini diikuti penembakan dan pembunuhan terhadap pihak yang dianggap sebagai penentang integrasi.116 Seorang saksi menceritakan: “Kami tidak bermaksud masuk atau lari ke hutan. Tapi Indonesia datang dengan senjata menakutkan. Kami, masyarakat lari masuk hutan, baru dia kejar dan bunuh di hutan.” Seorang perempuan yang lari ke Mandoriai karena takut mendengar kabar bahwa tentara akan datang ke Orkdori, menceritakan pengalamannya saat di

pelarian sebagai berikut:

“Waktu tentara operasi sampai di Nasifu tempat kami berkebun, karena rumah- rumah di kebun kosong, mereka bakar dan musnahkan semua kebun, terus mereka memburu kami. Tentara mengejar sampai di Mandoriai tempat kami bersembunyi, mereka menyerang dan langsung menembak kami dalam rumah. Waktu kami ditembak pagi-pagi sekali, waktu itu kami semua masih dalam keadaan tidur. Tentara menembak, kami langsung kaget dan loncat dan lari. Saya kena tembak di tangan kiri. Waktu kami ditembak ada 6 orang yang kena tembak, 3 orang menderita luka tembak sampai meninggal. Setelah itu kami lari masuk hutan, selama kami bersembunyi di hutan tidak makan dan minum yang baik. Pada siang hari, kami sembunyi di hutan dan malam hari kami datang tidur di pondok-pondok yang dibuat untuk berteduh. Di hutan kami makan daun-daun genemo dan daun lain untuk bisa bertahan.”117

“Kami tidak