• Tidak ada hasil yang ditemukan

sendiri, Tuhan ada.”

Tindak kekerasan dan intimidasi juga banyak dialami oleh anggota keluarga OPM. Seperti yang dialami oleh istri dan ketiga anak Leo Ap (mantan tentara Yonif 751 Sentani) yang dikenakan wajib lapor setiap hari. Leo Ap dibunuh dalam sebuah insiden baku tembak dengan tentara di dekat kampung halamannya di Biak. Pada pameran pembangunan Biak tahun 1987, potongan kepala Leo Ap ditaruh di dalam kaca dan ditutup kain putih dalam ruang khusus di stand TNI dan akan dibuka jika ada pengunjung yang ingin melihat. Sementara, istri Leo Ap mendapatkan perlakuan diskriminasi dari aparat kampungnya jika ada penyaluran bantuan dari pemerintah. Istri Leo Ap dianggap oleh pemuka desa sebagai pengacau kampung.121 Istri Leo Ap menceritakan:

“Waktu dia meninggal di hutan itu, potong dia pu leher, badannya tinggal. ... Masyarakat dan tentara bawa dia pu kepala pake perahu antar ke Wardo. Baru lanjutkan dia pu kepala ke kota. ... Satu minggu baru saya keluar dari hutan. Minggu kedua saya baru ke kota. Saya ke kota, masuk ke pameran. ABRI dong pameran di situ. Saya jalan liat kamar-kamar sampai kamar yang terakhir. Saya masuk di situ, di dalam dong pamer dia pu foto-foto. ... [Waktu] saya angkat kepala baru saya lihat, air mata saya jatuh. ‘Tuhan kenapa begini, kau badan begini baru kepala ada itu. Tapi dong bunuh dia itu kepala tidak ada.’ Suami pu kepala itu dong pamer, pake kain putih dong tutup kepala.’ Habis itu saya tinggal di kampung, dengan anak yang terakhir ini. Saya jualan sampai jam 2 pagi. Karena bantuan-bantuan yang dong drop ke kampung dong tidak mau saya terima. Mereka bilang, saya punya laki kacau, jadi jangan terima bantuan-bantuan yang datang ke kampung. Baru saya bilang, biar sudah. Saya hidup sendiri, Tuhan ada.”122

Pada masa reformasi, tindakan sewenang-wenang juga masih dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia di Papua. Hal ini terjadi ketika aparat kepolisian melakukan penyisiran terhadap warga Abepura pada 7 Desember 2000 sebagai buntut dari penyerangan Mapolsekta Abepura dan pembakaran ruko. Kelompok penyerang diduga menggunakan atribut ciri khas masyarakat Pegunungan Tengah. Akibat penyerangan itu, seorang anggota polisi terbunuh dan dua lainnya luka. Pada waktu yang berdekatan terjadi penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja. Polres Jayapura menggelar operasi pengejaran dan penyisiran

121 Op.cit., “Masa Lalu yang Tak Berlalu”, hlm. 20.

dan kemudian melakukan penangkapan, penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, dan perampasan harta benda.123

Polisi melakukan penyisiran dan pengejaran dengan menyasar tiga asrama

mahasiswa yakni Ninmin, Yapen Waropen, dan Ikatan Mahasiswa Ilaga. Di samping itu, operasi itu juga menyasar pada tiga pemukiman penduduk sipil yaitu di Skyline, Kotaraja, dan Abepantai. Dalam penyisiran itu, pelajar dan mahasiswa dipukul, ditendang, dan dilempar ke dalam truk untuk dibawa ke Mapolsek. Di asrama Yapen Waropen, seorang mahasiswa terserempet peluru. Tindakan serupa juga dilakukan oleh aparat kepolisian di pemukiman penduduk sipil. Satu penduduk Skyline, Elkius Suhuniap, meninggal di tempat.

Pada Februari 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura. Kasus Abepura masuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat berdasarkan hasil penyelidikan KPP HAM tersebut. Kemudian sesuai amanat UU 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka kasus Abepura telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Namun proses persidangan sangat lambat dan tertutup. Hakim kemudian memvonis bebas kedua terdakwa yaitu Kombes Polisi Drs. Johny Wainal Usman (Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya) dan Ajun Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing (selaku pengendali dan pelaksana perintah operasi).

123 “Studi Kasus 100: Penyerangan dan Penembakan di Asrama Mahasiswa di Abepura, Papua”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

B.2. Penahanan dan Penyiksaan

Mendekati Pepera, militer Indonesia melakukan penangkapan dan penahanan massal terhadap ratusan warga. Mereka yang aktif berkampanye dalam persiapan menghadapi Pepera ditangkap dan ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi. Banyak dari mereka mengalami siksaan saat ditahan. AE juga termasuk warga yang mengalami penahanan dan penyiksaan. Selanjutnya ia menuturkan:

“Pada tahun 1967 … saya punya adik kandung dari Sorong datang. [Ia] bergabung dalam pelarian bersama saudara Awom. Akhirnya adik saya ini ditangkap. Saya ditangkap pada tanggal 26 Februari tahun 1967 itu pada jam 12 siang. [Waktu] itu banyak penangkapan dengan sangat-sangat luar biasa banyaknya. Kami semua dibawa ke pos Brimob. Lalu saya dengan bapak Maroupen, kami berdua ini yang diperiksa polisi terus dibawa ke Korem dan diperiksa lagi di Korem. … Bapak Maroupen diperiksa dan ditanya-tanya. Lalu [si penanya] marah, dipukulnya Bapak Maroupen di kepala … sampai pingsan dan terjatuh di lantai. [Ia] dipaksa sampai berbicara tapi tidak bisa karena Bapak Maroupen sudah pingsan, tak sadarkan diri. Sementara [ia] jatuh, seorang intel dari kepolisian memukul saya di bagian rusuk.

Kemudian Danres memegang pistol tanpa peluru untuk menggertak. Setelah itu berita acara ditanda tangan, kemudian dua anggota polisi dari pos datang dan kami berdua dibawa kembali dan dimasukkan ke dalam sel. … Penangkapan itu sudah sangat luar biasa [banyaknya], tidak sedikit.”124 Salah seorang korban lain di Manokwari mengalami penahanan dan penyiksaan. Bahkan luka pada kaki kirinya masih terlihat ketika diwawancarai 40 tahun kemudian.125 Ia menceritakan:

“Saya ditahan di rumahnya pukul 3.00 pagi pada 5 Agustus 1969 dan dibawa ke markas Komando Pasukan Angkatan Laut (KOPAL) di Manokwari.

Interogator menanyai malam itu dan hari-hari selanjutnya tentang spanduk [pro-kemerdekaan] dan pemimpin lokal OPM. Saya ditahan bersama empat orang lainnya sebelum dibawa ke Korem Manokwari dan dimasukkan dalam sel berukuran dua kali tiga meter yang dipenuhi kotoran manusia. Para tahanan terpaksa tidur berdiri di sel yang penuh sesak. Mereka diberi sedikit makanan selama tiga minggu, dan sering dipukuli dengan tangan atau popor senapan dan ditendang.”126

124 Kesaksian AE dalam “Dengar Kesaksian Tertutup KKPK di Jayapura”, 9 Desember 2013.

125 “Studi Kasus 26: Kekerasan Operasi Militer di Manokwari, Papua Barat 1962-1968”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

Korban lainnya, yang berada dalam tempat yang sama hanya diberi nasi, ikan asin, dan air yang dicampur dengan cabai. Banyak tahanan yang mengalami diare berdarah. Selama interogasi para tahanan disetrum, ditembak, ditendang, dan dipukul.

Pada awal