pada proses
“modernisasi” di
Indonesia.
Setelah terjadi penumpasan anggota PKI dan
simpatisan, serta berlangsungnya pemenjaraan dan pembuangan orang yang dituduh PKI, pemimpin militer memegang kendali pada proses “modernisasi” di Indonesia. Proyek modernisasi itu berlangsung di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan pertanian, dengan memanfaatkan keadaan darurat militer. Dengan menguatnya kekuasaan Orde Baru di Indonesia, perusahaan-perusahaan multinasional memberikan bantuan dalam bentuk modal. Demikian pula, bank-bank internasional, Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi proyek-proyek yang dipimpin oleh militer. Tentunya tak bisa dipungkiri bahwa situasi ekonomi di Indonesia sangat buruk pada masa itu. Pada tahun 1965 terjadi inflasi besar-besaran yang menyebabkan harga beras dan sembako lainnya melambung, masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Devaluasi mata uang rupiah dan defisit dana pemerintah akibat berbagai kebijakan berdampak pada krisis ekonomi.
Hal pertama yang dilakukan Suharto adalah menghentikan nasionalisasi atau pengambil-alihan perusahaan-perusahaan asing, terutama perusahaan minyak. Kedua, Suharto mempersiapkan modernisasi yang dipimpin oleh militer, dengan pinjaman dari International Monetary Fund (IMF), serta dana bantuan dari negara-negara Barat. Peran politik militer semakin dominan dalam melegitimasi
berlangsungnya pembangunan politik dan ekonomi dengan mengedepankan
stabilitas di atas segalanya. Pada tahun 1969, sekitar 70% posisi gubernur dan bupati dijabat oleh perwira militer aktif. Terakhir, rezim Suharto juga segera
mempersiapkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing.
Titik berangkat yang penting dalam proses menawarkan modal asing untuk investasi ke Indonesia adalah pertemuan Jenewa. Pertemuan yang berlangsung pada
30 Harian KOMPAS terbit pada Juni 1965 berdasarkan ide Letjen Ahmad Yani, Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat pada saat itu, untuk “mengadang pemberitaan pers komunis.” Pada 2 Oktober 1965, Papelrada Jakarta Raya melarang semua penerbitan. Empat hari kemudian KOMPAS bisa terbit kembali. Lihat http://www. kompasiklan.com/about
November 1967 dipimpin oleh para teknokrat Indonesia seperti Adam Malik, Selo Soemardjan, dan Sultan Hamengkubuwono IX. Para pejabat Indonesia bertemu dengan pemimpin keuangan dunia, perusahaan tambang, pertanian, dan kayu. Pertemuan itu mendiskusikan kesempatan berinvestasi. Pada akhir 1967 pertemuan lanjutan di Jenewa berlangsung di Jakarta. Pengusaha-pengusaha dari Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya hadir untuk mencari kesempatan berinvestasi di Indonesia. Dalam pertemuan itu ditegaskan bahwa rezim Suharto telah mempersiapkan masuknya modal asing.
Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing disahkan, menyusul Undang-Undang Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan, dan Pertanian. Seluruh sektor itu dibuka untuk penanaman modal asing. Untuk sektor pertambangan terutama minyak, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat di masa kepemimpinan Soekarno telah keluar dari Indonesia karena dibatasi untuk
eksplorasi minyak. Mereka kembali membuka ladang-ladang minyak di lepas Pantai Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Perusahaan-perusahaan itu adalah Caltex,
Indonesia American Petroleum Company (IIAPCO), dan Stanvac. Sementara itu, perusahaan tambang berasal dari New Orleans, Amerika Serikat, Freeport McMorand mengeksploitasi logam tembaga di Pegunungan Papua Barat.
Perusahaan Asing. Proyek LNG Arum di Blang Lancang, Aceh Utara pada tahun 1978. (Foto: TEMPO/Zakaria M Pasee)
Pada awal 1968 First National City Bank (kini Citibank), bank terbesar di Amerika Serikat, menerbitkan pedoman investasi kayu di Indonesia. Pedoman itu
pemasok terbesar di Asia. Militer bertugas sebagai pihak menjaga keamanan dan ketertiban di lokasi-lokasi modal asing dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam agar penduduk setempat tidak mengganggu melancarkan protes. Sementara itu, penduduk lokal tidak diizinkan masuk ke areal hutan untuk mengambil produk hutan. Hampir di seluruh wilayah Indonesia, eksploitasi hutan dilakukan oleh perusahaan bekerja sama perwira komando daerah militer setempat.
Di sektor perkebunan, pada periode 1968-1974, Indonesia memperoleh pinjaman sebesar US $ 59 juta dari Bank Dunia dengan kata kunci “konsolidasi”. Proses ini merestrukturisasi proses kerja di perkebunan, terutama dalam pengalihan tanaman dari karet ke kelapa sawit dan menggunakan buruh lepas. Meskipun Bank Dunia tidak menginstruksikan pengurangan buruh tetap, antara tahun 1969-1974, 50% jumlah buruh tetap hilang dari perusahaan perkebunan. Pada perkebunan-perkebunan asing dan nasional, serta pada beberapa perkebunan-perkebunan yang dimiliki pemerintah, buruh lepas mewakili lebih dari keseluruhan buruh dan dibayar dengan upah jauh di bawah yang bisa mereka peroleh jika mereka melakukan pekerjaan yang sama, tetapi berstatus buruh tetap.
Pada kenyataannya perusahaan-perusahaan menolak memperkerjakan buruh-buruh karena menolak untuk mempekerjakan secara tetap siapapun yang memiliki kaitan dengan masa lalu, khususnya Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri). Pada masa pra-1965 perkebunan-perkebunan karet banyak yang mempekerjakan buruh perempuan, terutama untuk menoreh batang karet. Namun, setelah
perkebunan mengubah tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit, perubahan ini menghilangkan pekerjaan buruh perempuan secara tetap di perkebunan karet. Pada tahun 1970, di sektor pertanian, dimulai proyek Revolusi Hijau yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian melalui peningkatan teknologi pertanian.
Peningkatan teknologi itu mencakup irigasi teknis, pupuk, pembibitan, insektisida, dan pestisida. Pada awal pelaksanaan Revolusi Hijau adalah pembangunan pedesaan dengan cara komando yang keras. Rezim Orde Baru memaksakan kredit pupuk, insektisida, pestisida kepada petani melalui perusahaan-perusahaan multinasional agribisnis. Jika panen berhasil petani harus mengembalikan kredit dan membagi 1/6 hasil panen. Penggunaan bibit unggul diimpor dari pabrik pembibitan (IRRI) di
Filipina seperti IR dan PB diawasi oleh kepala desa. Pasca-1965 kepala-kepala desa dari jajaran Angkatan Darat, merekalah yang mengawasi para petani menggunakan bibit unggul dan insetisida serta pestisida. Jika diketahui petani tidak menggunakan bibit dan pupuk itu akan dikenakan sanksi dirusaknya tanaman padi. Selain itu, petani senantiasa diawasi oleh kepala desa dalam pengembalian kredit.
Pelaksanaan Revolusi Hijau dengan cara di atas mengalami kegagalan. Namun, proyek itu tetap dilanjutkan dengan cara membatasi program pemberian kredit kepada petani kaya dan berhasil meningkatkan produksi beras. Misalkan di sebuah
desa di Pati, pada tahun 1965 produksi beras hanya 2,5 dan 2,8 ton. Pada pertengahan 1970an meningkat menjadi 4,1 dan 4,4 ton. Kenaikan produksi beras di desa itu mencapai 50% dengan proyek Revolusi Hijau. Sementara itu, penggunaan areal sawah pada desa itu juga meningkat dari 290 hektare pada tahun 1956 menjadi 351 hektare pada tahun 1976, areal yang ditanami beras meningkat dua kali lipat. Kenaikan produksi beras ini terutama disebabkan oleh semakin banyaknya pengeluaran untuk pembelian bibit, pupuk buatan, dan insektisida. Berbeda dengan pra-1965, pada saat itu petani menyimpan sebagian hasil panennya untuk pembibitan, sekarang mereka membeli bibit pada para penyalur resmi atau langsung di pasar bebas. Cara ini juga dilakukan pada pembelian pupuk yang kini semakin banyak dipergunakan.