Di Biak pada tahun 1967, muncul Gerakan Sampari, sebuah kelompok perlawanan tak bersenjata yang dipimpin oleh para guru. Lalu saat tentara Indonesia menggelar Operasi Sadar tahun 1968, tentara menahan anggota Gerakan Sampari. Elieser Karma, Ketua Sampari Korem dijemput dari kampungnya untuk menjalani penahanan di Polisi Angkatan Udara (POL-AU) sebelum dipindahkan ke markas Angkatan Laut.127
Tokoh lain yang ditangkap adalah Baldus Mofu, mantan anggota Dewan Nieuw Guinea. Pada 1965, Mofu untuk pertama kali ditangkap. Ketika itu, dia bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Biak. Beliau ditahan di POL-AU (Polisi Militer Angkatan Udara), setelah itu dipindahkan ke Markas Angkatan Laut untuk menjalani pemeriksaan. Tahun 1966, dia dibebaskan, tapi kemudian ditangkap kembali.
Seorang saksi yang ditahan bersama dengan Baldus Mofu menceritakan pengalaman penganiayaan yang brutal di markas POL-AU:
“Waktu di POL-AU saya saksikan penyiksaan terhadap Baldus Mofu, ketika dia diperiksa oleh petugas, dia setrum dan dimasukkan dalam bak air yang kotor, ada ulat dan sisa-sisa makanan. Kalau saya disuruh lari dengan bawa gerobak penuh dengan kotoran, ada satu petugas yang jaga, kalau saya jatuh nanti ditembak. Kalau dipukul pakai popor senjata, pakai kayu. Makanan yang dikasih ke kami itu dari sisa makanan mereka, makanan dicampur dengan makanan yang kita mau makan. … Dan untuk
pemeriksaan, saya tidak tahu mau cerita bagaimana. … Kami disetrum dengan baterai [yang] ditrap [dikayuh dengan kaki]. Ada kabel hitam dan merah. Rasa sakitnya sampai ke dalam tulang-tulang. Sementara periksa, kaki meja ditaruh di atas kuku kaki dan beberapa orang naik duduk di meja.”128
Pada saat rezim Orde Baru runtuh, masyarakat Indonesia masuk pada periode yang penuh akan harapan baru. Pada awal reformasi, berbagai produk hukum dan
127 Op.cit., “Studi Kasus 28: ...”.
langkah-langkah penting dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan dan menghentikan berbagai kekerasan yang dilakukan rezim Orde Baru.129 Namun begitu, suasana kebebasan tidak dirasakan oleh orang Papua. Pendekatan
keamanan untuk menghadapi aspirasi orang Papua tetap dilakukan. Salah satunya menjadi tragedi berdarah ketika militer membubarkan paksa demonstrasi di menara air Biak pada 2 – 6 Juli 1998. Salah seorang saksi menerangkan kejadian saat itu:
“Saya ditendang dari belakang kepala, karena cukup keras saya hilang kesadaran, saya disiksa tetapi saya tidak tahu. ... Saya diseret dan merasakan siksaan. ... Lalu kami dibawa ke Angkatan Laut. Waktu di Angkatan Laut, kami diangkat ke satu ruangan. Kami dijejer sekitar 14 orang, yang hidup 4 orang, terakhir satu orang yang mati di AL. Bapak Wilhemus Rumpaidus kena tembak. Sempat saya duduk melihat dia sampai dia menghembuskan nafas terakhir, maut jemput dia. … Kemudian masuk lagi TNI AL dan mengatakan yang hidup ini masuk mobil. Saya sempat ingat, Rumsowek dan ada dua orang laki-laki harus digotong, kita disuruh naik. Posisi tangan tetap terikat. Saya lompat-lompat naik ke mobil. Dua teman naik di mobil Angkatan Laut. Tentara di dalam mobil kokang senjata dan bilang: ‘Ko coba-coba lari sa tembak mati.’ Kita menuju kampung baru tapi masyarakat palang, jadi kita diserahkan ke rumah sakit. Perawatannya standar saja, padahal kami mengalami penyiksaan yang sangat brutal tapi waktu sampai ke RS hanya diberi antibiotik biasa dan tidak ada pemeriksaan yang mendalam.”130
Tineke Rumkabu menceritakan brutalnya perlakuan tentara ketika peristiwa itu terjadi:
“Kami mama-mama selalu menyiapkan makan dan minum untuk anak kami yang ada di bawah tower itu. Pagi jam 5, saya dengan teman mengantar kue, tiba-tiba kami disergap oleh tentara. Mereka mendekati kami dan rampas ceret dan siram kopi yang begitu panas di kepala, saya dipukul dengan popor senjata dari belakang dan jatuh lalu diinjak di perut. ... Lalu saya diseret beberapa meter ke arah toko Aru. Ada teman tentara, dia suruh saya lari. Saya lari ke arah kompleks Perumahan Kesehatan, ada barak di situ, saya tahu di situ ada lubang pembuangan. Teman yang ada sama-sama juga lari ke tempat itu. Kami sama-sama sembunyi, tapi tidak bertahan karena ketakutan, lalu kami masuk dalam rumah. Pakaian kami sudah sobek karena ditarik-tarik, kebetulan dalam rumah ada daster dan kami ganti lalu pura-pura pegang keranjang dan ke pasar. Saat kami keluar, di luar sudah ada truk kuning. Saya lalu ditarik oleh tentara, diikat mata
129 Lihat, 2011, Keluar Jalur: Keadilan Transisi Setelah Jatuhnya Soeharto, Jakarta: KontraS-ICTJ, hlm. 12-16. 130 Wawancara dengan BIA003, 2011, Arsip KKPK/ELSHAM Papua.
dengan kain lalu dilempar ke dalam truk. Waktu jatuh dalam truk rasanya jatuh di atas orang yang sudah dalam mobil. Saya dibawa ke suatu tempat, di mana orang teriak seperti dalam satu ruangan. Saya dengar perempuan laki teriak. Lalu kita punya pakaian dibuka, semua kasih telanjang dan diborgol tapi dalam keadaan telanjang. Lalu tentara bakar lilin dan masukkan ke dalam vagina. Rasanya pedis.”131
AK, seorang korban yang ikut ditahan pada saat penyerangan polisi ke asrama di Abepura, juga mengalami penyiksaan. Dia menyaksikan dua orang, Jhoni Karunggu dan Ori Doronggi, meninggal dalam tahanan Polres Jayapura. AK menceritakan penyiksaan terhadap tahanan yang dilakukan polisi:
“... [di truk] kami diinjak, ditendang, dipukul, dan polisi bergantungan di tiang truk sambil menginjak badan kami. Di Polresta Jayapura, mereka suruh kami turun dan mereka mulai pukul dan kami disuruh duduk dan lepas baju. Tapi yang perempuan tidak disuruh untuk lepas baju. Setiap 5 menit satu kompi bergantian masuk memukul kami dan ini berlangsung selama 2 jam. Saat itu mereka menggunakan balok kayu sisa bangunan ukuran 5x5, rotan panjang, batu belah, sepatu lars, dan popor senjata. Kami dipisah-pisahkan, yang mahasiswa sendiri, pelajar sendiri, dan perempuan sendiri. Kemudian kami disuruh duduk dengan posisi kaki dan tangan ke depan. Mereka mulai pukul bagian tangan dengan balok-balok kayu. Setelah itu kami semua disuruh masuk ke dalam kantor polisi dengan jalan
berjongkok. Sambil kami tetap dipukul. Kemudian ada seorang polisi yang pakai baju biasa masuk membawa sekop dan mulai pukul kami semua, rata-rata di bagian kepala. Akibat dari pemukulan itu, saya mendapatkan 7 jahitan di kepala. Ori Doronggi dipukul di bagian belakang kepala sampai terkencing di celana, kemudian meninggal di samping saya. Setelah itu, mereka suruh kami cabut rambut dan suruh gosok ceceran darah kami di lantai, setelah itu rambut itu disuruh dimakan. Akibat pemukulan yang berlangsung dari jam 3 subuh sampai jam 8 pagi, maka kesadaran saya hilang. Di ruangan itu, saya melihat Jhoni kesadaran dirinya sudah hilang. Pada jam 12 siang, polisi masukkan kami ke satu tempat dan saya ada perhatikan ternyata Jhoni tidak ada. Maka saya tanya kepada seorang teman, ‘di mana Jhoni?’, dan teman saya mengatakan, ‘dia sudah meninggal.’”132 Satu tahun berlalu kekerasan di Abepura, meletus peristiwa Wasior.133 Pada 2001, rakyat Kecamatan Wasior menuntut ganti rugi atas hak tanah yang dikuasai oleh
131 Kesaksian Tineke Rumkabu dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”, Jakarta, 25 November 2013.
132 Wawancara dengan AK, 28 Februari 2012, Arsip KKPK/AJAR.
133 “Studi Kasus 101: Penyiksaan, Pembunuhan, dan Penghilangan Paksa di Wasior Papua”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
perusahaan kayu di Wondari, Kecamatan Wasior. Warga Kecamatan Wasior mengklaim pemegang hak ulayat atas tanah di sekeliling desa itu. Konflik antara warga dan pengusaha yang didukung oleh pasukan Brimob tidak dapat dihindarkan. Pada 13 Juni telah terjadi penyerangan terhadap pos Brimob. Dampak dari
penyerangan itu, seorang kepala sekolah bernama Daan Yairus Ramar ditahan di Polres Manokwari bersama adik ipar dan menantunya. Daan mengalami penyiksaan yang serius, dan berakibat kematian terhadap dirinya.
Sementara itu, di Polsek Wasior, 35 orang mengalami penahanan, dikenai wajib lapor, dan tindak kekerasan selama interogasi, seperti dipukul dan disiram dengan solar. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terjadi terhadap penduduk di kampung-kampung dekat Wasior. Aparat juga melakukan penyisiran ke gereja dan menodong warga yang sedang menjalani kebaktian. Selain itu, mereka melakukan pembakaran dan pengrusakan rumah. Dampak dari operasi itu berlangsung pengungsian secara besar-besaran. Peristiwa itu mewariskan trauma bagi para korban. Komnas HAM telah membentuk tim untuk melakukan penyelidikan pro-justisia atas peristiwa ini.
B.3. Penghilangan Paksa
Penghilangan paksa di Papua hampir tidak pernah dilakukan sebagai tindakan tersendiri karena terjadi dalam konteks operasi militer untuk menumpas OPM atau bagian dari reaksi meredam ekspresi politik orang Papua. Sehingga kasus
penghilangan paksa seringkali tersamarkan. Namun demikian, terdapat kasus yang teridentifikasi sebagai penghilangan paksa.