• Tidak ada hasil yang ditemukan

tahanan perempuan

dijebloskan ke

Bukit Duri tanpa

proses pengadilan

hukum.

Pasca-peristiwa 30 September 1965, penjara Bukit Duri di Jakarta telah berubah menjadi tempat penyiksaan yang sangat keji.80 Para korban adalah anggota Gerwani dan tokoh-tokoh PKI yang lari ke Blitar Selatan. Mereka diberi kategori kelas A, artinya tahanan yang dianggap paling berbahaya dan juga disebut sebagai “narapidana G30S”. Selama belasan tahun tahanan perempuan dijebloskan ke Bukit Duri tanpa proses pengadilan hukum. Mereka dijaga ketat oleh Polisi Militer di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) V Jaya. Mereka ditempatkan dalam sebuah ruangan khusus yang awalnya disebut “ruang narapidana G30S”. Tidak berapa lama diganti lagi menjadi “ruangan tahanan G30S”.

Tahanan perempuan yang dibawa ke Bukit Duri datang dari pelbagai tempat. Banyak tahanan yang ditangkap dan disiksa di beberapa penjara dan kamp tahanan sebelum tiba di Bukit Duri. Salah satu tahanan itu adalah Mujiati, yang aktif dalam organisasi pemuda tingkat RT. Ia bersama ayahnya ditangkap karena merupakan anggota Pemuda Rakyat. Mereka dituduh membunuh para perwira di Lubang Buaya.

77 Penjara Bukit Duri dibuka untuk penjara perempuan pada 1 Februari 1955. Untuk hal ini lihat Star Weekly, No. 483-2, April 1955, hlm. 33.

78 Nampaknya keputusan untuk mengizinkan tahanan untuk keluar kamp, karena pihak kamp tahanan

kekurangan makanan bagi tahanan. Untuk itu mereka mengizinkan tahanan untuk mencari makanan pada pagi dan siang hari. Sarbinatun, 2006, “Laki-Laki Dimanfaatkan Tenaganya Perempuan Seluruh-Luruhnya”, dalam (ed) Hersri Setiawan, Kidung Para Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 46-76.

79 Ibid. hlm. 67.

80 “Studi Kasus 24: Penahanan Sewenang-Wenang Tahanan Politik Perempuan di Plantungan, Jawa Tengah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

“…kalo pemuda rakjat pasti tuduhannya tanggal 30 di Lubang Buaya, nyilet-nyilet jenderal, kita disuruh mengaku ... Kalau nggak mengaku ya disiksa, dipukul ... Karena saya tidak mengatakan apa-apa, mulut saya dibekap dan kepala dibenturkan ke tembok. Karena saya tidak mengerti ya saya tidak mengiyakan apa yang dituduhkan kepada Bapak. Kami anak perempuan di Jakarta waktu itu dituduh ikut menari genjer-genjer di Lobang Buaya, padahal saya tidak tahu apa itu genjer-genjer dan di mana letak Lobang Buaya.” 81 Selain itu, penjagaan ketat berlaku pula di penjara Bukit Duri. Para tahanan diharuskan ikut apel dalam satu hari dua kali, pagi dan malam. Para tahanan dikondisikan dalam keadaan darurat dan ketegangan sebagaimana diceritakan juga oleh Mujiati:

“Kalau pada waktu itu situasi ya kita masih mencekam juga ya, karena kita apel itu harus malam, apel itu malam masih dijaga oleh CPM. Jadi setiap mereka aplus kita itu mesti, walaupun kalau waktu kita pagi di lapangan, kalau malam pun kita tetap diapelin gitu. Ditaruh berdiri di kamar dihitung gitu, habis apel itu dari militer sama dari pegawai LP juga apelin.”82

Korban lainnya bernama Sumiarsi. Ia seorang lulusan Fakultas Kedokteran ahli anak. Profesinya sebagai dokter, mendapatkan fitnah dari militer sebagai dokter Lubang Buaya dan dokter Committee Central Partai Komunis Indonesia (CCPKI). Beliau ditangkap akhir tahun 1965 di tempat persembunyian di Bandung. Selama menjadi tahanan, dia dipindah ke beberapa kamp tahanan. Salah satunya di penjara Bukit Duri. Dari Bukit Duri dipindahkan ke Plantungan, hingga bebas tahun 1979. Sri Sulistiyowati juga menjadi penghuni tetap penjara Bukit Duri selama 11 tahun. Sehari sebelum peristiwa, pada 29 September 1965, Sri sedang dalam tugas meliput perjalanan wakil Perdana Menteri Soebandrio di Sumatera Utara. Ketika rombongan pejabat tinggi negara menerima kabar pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira

Angkatan Darat, mereka langsung menuju ibukota. Sri juga bagian dari rombongan itu. Di luar dugaannya, setiba di Jakarta dia langsung disuruh menyelamatkan diri agar tidak ditangkap Angkatan Darat. Dalam situasi genting itu, Sri terpaksa berpisah dari suaminya. Dia menyamar dan berpindah-pindah tempat selama dua tahun. Pada 18 Juli 1968, beliau ditangkap setelah menyusul suaminya ke Blitar Selatan. Usai penangkapan, Sri tidak langsung dijebloskan ke Bukit Duri. Dia sempat ditahan di markas Operasi Trisula di Lodaya. Dari sana dipindahkan ke Penjara Perempuan

81 Kesaksian Mujiati dalam “Dengar Kesaksian KKPK Tema Kekerasan Berbasis Ideologi dan Agama”, Jakarta, 27 November 2013.

82 Menurut Mujiati awal penjara Bukit Duri dipergunakan untuk tahanan tapol peristiwa 30 September terjadi tindakan kekerasan yang luar biasa, dan tidak terlepas dari “bon-bonan”. Untuk hal ini lihat, Loc.cit., “Kesaksian Mujiati”.

Malang. Dari Malang dikirim ke Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) bentukan

Kopkamtib. Di tempat ini, ia mengalami penyiksaan yang dikenal dengan sebutan “cincin setrum”. Menurut Sri, alat itu terbuat dari tembaga berbentuk cincin yang dihubungkan dengan aliran listrik dari generator. Untuk menyiksa tahanan, cincin dipasangkan ke jari tangan, kaki, payudara, atau alat kelamin. Biasa juga

dipasangkan pada beberapa tahanan sekaligus, lalu disetrum bersama-sama. Sri juga bersaksi tentang yang dialami oleh ketua Gerwani Surabaya bernama Puji Astuti. Perempuan ini ditangkap lalu diserahkan kepada 7 hansip untuk diperkosa beramai-ramai. Dia terjangkit penyakit yang diduga kanker hingga meninggal di penjara. Setelah enam bulan di penjara Teperpu, Sri dipindahkan ke Bukit Duri. Pengalaman penyiksaan di penjara Bukit Duri berlaku pula pada Magdalena Kastinah. Kemudian dia dipindahkan ke kamp Plantungan. Kastinah bercerita:

“Pada suatu malam kami dipanggil disuruh berkemas, teman-teman menangis karena merasa pasti akan dibunuh. Sampai di luar saya

diberitahu oleh CPM untuk tenang saja, di sana ada 5 orang laki-laki yang akan dipindah ke Jakarta, ternyata saya dibawa ke Jakarta. Sampai di Jakarta pertama saya masuk Salemba hanya sebentar lalu saya diantar ke Bukit Duri. Saya bertemu saudara-saudara yang lain. Sudah banyak teman di sana, banyak yang disiksa. Kardilah namanya, dinaikkan ke meja lalu ditendang, dinaikkan lagi lalu ditendang lagi sampai gila. Yang namanya Mbak Sri Wulan disiksa bagian kemaluan ditusuk-tusuk dengan botol, saya juga disiksa ditusuk-tusuk dengan kawat kecil bagian dada dekat ketiak sakit sekali. Kita disuruh kerja pekerjaan tangan dan macam-macam dan dikasih makan seperti babi … karena makanan bercampur seng, batu, dll. Wadilah teman saya, dia sakit gila karena disiksa, dia juga dicelupkan ke air kepalanya mungkin maksudnya biar sembuh.

Kami dipindahkan ke Plantungan. Berangkat dari Jakarta jam 10 malam sampai Waleri pagi, terus naik pick-up ke Plantungan. Yang pertama datang dari Surabaya, Jawa Tengah dan Jakarta, Jawa Barat, lalu Jakarta lagi. Di sana diadakan kerajinan tangan, rias manten, masak, potong rambut, dll. Sarbinatun teman saya di sana juga menjadi gila, dia terjun ke dalam sungai Lampir, untung ada petani dan petugas yang lari menolong Sarbinatun, lalu dibawa pulang dimandiin dan dimasukkan sel tapi di dalam sel dia

telanjang-telanjang. Di Plantungan ada 4 orang teman kami yang

meninggal. Dua dimakamkan di Plantungan, yang bernama Ibu Tomo dan Ibu Tiah. Seorang lain, Ibu Hadi dibawa ke Purwokerto. Di Plantungan itu kami dikelilingi sungai, di mana-mana ada penjaga. Kami seperti katak dalam tempurung.”83

Kamp Plantungan. Kamp Plantungan dilihat dari salah satu sisi. Bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal para tahanan sebelumnya merupakan rumah sakit lepra. (Foto: TEMPO/STR/Budi Purwanto)

Para tahanan di Plantungan tidak lagi mendapat siksaan fisik. Para tahanan diberi berbagai kegiatan seperti pertanian dan kerajinan tangan. Akan tetapi bukan berarti ketakutan dan tekanan lain tidak ada. Hal ini diungkapkan oleh Mujiati:

“Di Plantungan ada unit-unit kerja seperti unit kerja pertanian, penjahitan, kerajinan tangan, dan pembatikan. Saya memilih unit pertanian ... Secara fisik di Plantungan tidak disiksa, tapi saya mendapat siksaan mental. Saya tidak tahu penyebabnya, saya dipanggil komandan ke ruangan, dikatakan melanggar peraturan. Saya bilang langgar peraturan yang mana, waktu apel saya ada waktu tugas di dapur. Saya dikurung di kantor dari pagi sampai sore. ... Mau kirim surat diatur komandan hanya boleh 20 kata. Yang mendapat kiriman uang, diganti dengan uang-uangan yang ditulis angka uang.”84

Penahanan dan penyiksaan terhadap perempuan juga terjadi di Sabu-Raijua, NTT. Pulau Sabu terletak di antara Pulau Sumba di sebelah barat dan Pulau Rote di sebelah timur. Di Sabu, organisasi Gerwani menonjol dalam memberikan pendidikan

kepada masyarakat. Guru-guru di Sabu menjadi anggota Gerwani. Pasca-30 September 1965, guru di Sabu menjadi sasaran penangkapan tentara yang datang dari Kupang. Guru-guru yang ditangkap adalah perempuan dan lelaki, banyak dari guru lelaki dieksekusi. Sementara itu, guru perempuan difitnah oleh tentara dan milisi sebagai bagian dari orang-orang yang terlibat organisasi terlarang PKI. Mereka dianggap sebagai pengkhianat oleh keluarga. Bandelina Kola Raga berasal dari Sabu, Kabupaten Sabu-Raijua menuturkan:

“Saya dan suami bekerja sebagai guru di wilayah Sabu. Saya menjadi guru perempuan pertama di SMP Negeri 1 di Sabu tahun 1957, sedangkan suami saya angkatan pertama Sekolah Guru Bawah (SGB) di Kota Sabu. Saya menyukai program PKI dan Gerwani karena program itu banyak menolong masyarakat Sabu. Saya menjadi ketua Gerwani 1964-1965. Saya mengajak para perempuan Sabu untuk juga berjuang memajukan Indonesia.

Saya sedang di Kupang ketika mendengar dari radio bahwa di Jakarta sedang terjadi peristiwa. Saya lalu pulang pada Desember 1965. Saat itu saya sedang hamil tua. Sampai di dermaga Seba, saya lihat sudah ada massa yang menunggu saya dan sedang menghajar seseorang yang saya kenal. Mereka hendak menangkap saya, tapi saya meminta aparat untuk mengizinkan saya berbicara kepada camat. Setelah saya berbicara pada camat, saya diperbolehkan pulang, tapi harus wajib lapor dan segera menyerahkan diri setelah saya melahirkan.

Setelah melahirkan, pada awal bulan Maret 1966, saya dijemput tentara dan dibawa ke tempat tahanan yang ada di kompleks rumah sakit dan penjara Seba. Saya membawa bayi. Di sana, rambut saya dan tahanan lain dipotong tak beraturan untuk mempermalukan kami karena di Seba, perempuan yang rambutnya dipotong tak beraturan adalah pelacur. Kami menjalani kerja paksa tanpa diberi makanan dan dipaksa untuk memberikan jawaban tentang pembunuhan ketujuh Jenderal. Mereka membentak, mengancam, lalu memukul kami dengan ekor ikan pari dan mencap kami penipu karena kami menjawab tidak tahu. Kami akhirnya dibebaskan, tapi diwajibkan untuk lapor diri dan mengikuti pembinaan.

Saya kehilangan pekerjaan dan suami tercinta. Tapi, saya tetap tegar menjalani tugas saya sebagai seorang ibu. Saya meminta bantuan kepada keluarga besar saya, tapi mereka tidak memberikan bantuan karena menganggap saya sebagai sumber malapetaka. Saya mendapatkan stigma buruk di lingkungan saya, bahkan adik saya yang bekerja sebagai PNS di kantor Gubernur juga dicap kotor. Anak-anak saya juga dilecehkan di pergaulan mereka dan kehilangan hak-hak sipil mereka.”85

A.4. Kerja Paksa

Rezim militer Suharto menyelenggarakan kerja paksa terhadap tahanan politik mulai pada pertengahan tahun 1966 hingga jatuhnya rezim Suharto. Penyelenggaraan kerja paksa berlangsung lama karena hal tersebut memberikan keuntungan bagi proyek modernisasi yang dipimpin oleh militer. Di Jawa Tengah, tapol-tapol dipaksa membangun bendungan, jalan raya, saluran air/bak penampungan perusahaan air minum, dan jembatan. Di Sumatera Utara, para tapol menjalankan kerja paksa di perkebunan-perkebunan. Mereka mencabuti pohon-pohon karet tua untuk digantikan dengan tanaman kelapa sawit. Di Sulawesi Tengah, para tapol

membangun infrastruktur Kota Palu. Para tapol di Palu membangun bendungan kali Palu, jalan bandara Mutiara, termasuk perkebunan kopi. Hal yang sama berlaku pula di Sulawesi Selatan, mereka membangun asrama militer, lapangan bola, pasar, saluran irigasi, dan jalan raya. Para tapol bekerja tanpa upah sehingga mereka harus mencari sendiri pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka, atau mencari kerja kepada orang lain di waktu sisa.

Di Solo dan Boyolali, saat kerja paksa dimulai pada paruh pertama 1966,

penghilangan paksa dan pembunuhan massal mereda. Hal ini menjadi pengetahuan bersama di kalangan tapol Boyolali. Sumbino, seorang bekas dalang bercerita:

“Kerja paksa ini kan sejarahnya setelah Bupati Boyolali dipegang oleh Pak Suhardjo. Dari Kopassus RPKAD, padahal dulu paling takut itu. Tapi setelah Pak Suhardjo pegang Bupati kepala daerah, menurut informasi yang saya terima, Pak Suhardjo lari ke Jakarta tanya kepada Pak Harto, ‘Pak orang-orang PKI Boyolali ini mau dibunuh apa mau diapakan?’ ‘La, maksudmu apa?’ ‘Kalau mau dibunuh saya tidak sanggup lagi jadi Bupati. Soalnya Boyolali semua merah pak. Jadi, kalau dibunuh habis. Saya disuruh mbupateni apa? [menjadi Bupati apa?]’ Itu Pak Suhardjo. Kalau boleh kita manfaatkan. Nah itu suruh kerja paksa. Karena itu kebijakan Pak

Suhardjo.”86

Informasi mengenai kerja paksa yang berdampak turunnya “pengebonan”, diperkuat oleh Margiono. Menurut Margiono, infomasi itu beredar setelah penghilangan paksa dari kamp-kamp tahanan dilakukan dalam jumlah besar. Ia menuturkan:

“[Diperlukan] tujuh kilometer. Satu kilometer kan 1.000 meter, maka perlu 1.000 bis. Itu kalau orangnya ada 100 orang lebih malahan. Jadi setengah tahun kelar, saya bilang saya jamin setengah tahun bisa kelar, akhirnya sampai ke Boyolali. Jalan baik itu. Kalau begitu orang ini bisa dipercaya.

Jadi banyak orang tentara-tentara itu menjaga orang-orang yang kerja di situ jangan sampai hilang. Di waktu dulu, keluar mati. Begitu ceritanya.”87

Penyelenggaraan