• Tidak ada hasil yang ditemukan

sisa-sisa masyarakat sipil

yang masih hidup.

Tentara Indonesia melakukan operasi “pagar betis” di Aitana, Viqueque, dengan mengerahkan puluhan ribu masyarakat sipil dan ribuan aparat keamanan menyisir Pulau Timor dari ujung timur ke barat. Pada Juli 1981, operasi yang diberi nama Operasi Kikis ini mencapai wilayah Lacluta, Viqueque, dan menemukan

sekelompok tentara Falintil dan masyarakat di daerah Aitana. Seorang saksi menceritakan:

“Pada pagi hari berikutnya, ABRI mulai beroperasi lagi di sekitar lokasi itu dan membunuh sisa-sisa masyarakat sipil yang masih hidup. Di antara yang dibunuh ada seorang laki-laki berbadan tinggi dan kulit putih yang sudah dikuburkan oleh masyarakat. [ABRI] menyuruh saya dan masyarakat menggali kembali dan [mayat itu] dibawa ke Kotis di sungai Waidada karena mereka pikir orang itu adalah Xanana Gusmão. Ketika kami sampai di markas Kotis itu, kami melihat manusia tidak bernyawa tanpa kepala, baik laki-laki maupun perempuan di lantai [dalam] beberapa baris. Tidak tahu hitung jumlahnya. Ada banyak orang sipil yang masih hidup, dipanggil ke markas Kotis itu. Mereka mengatakan orang-orang itu akan disuruh naik helikopter, tetapi yang terjadi sebaliknya. Mereka ditembak mati dengan metralhador dan tidak satupun yang selamat dari maut. Waktu itu saya berdiri agak jauh dari mereka yang ditembak, tetapi saya melihat dengan mata sendiri. Jumlahnya lebih dari dua puluh…”155

Di Mauxiga, Ainaro, 20 Agustus 1982, Falintil melakukan penyerangan ke beberapa pos militer di kaki gunung Kablaki. Aparat keamanan melakukan balasan dengan menangkap, menyiksa ratusan penduduk di Desa Mauchiga, memperkosa kaum perempuan yang ditahan dalam sebuah gedung sekolah, membakar rumah-rumah mereka, dan memindahkan ratusan orang ke Pulau Atauro, sebuah pulau “penjara” di sebelah utara Dili. Beberapa desa yang berdekatan, Rotuto (Manufahi), dan Dare (Ainaro) mengalami hal yang sama. CAVR mencatat setidaknya 36 nama orang yang dibunuh/dihilangkan pada periode ini. Sebuah jurang di wilayah Builico, dikenal sebagai “Jakarta Dua” – tempat pembuangan orang-orang yang dibunuh. CAVR juga

154 Laporan CAVR, “Pembunuhan di Luar Hukum dan Penghilangan Paksa”, par. 500. 155 Ibid, hlm. 171.

mencatat bahwa pasukan Indonesia menahan kaum perempuan dan melakukan perkosaan.156

Pada tanggal 8 Agustus 1983, pasukan Falintil dan Ratih (Rakyat Terlatih) yang membelot, menyerang pos militer di Kararas, Viqueque. Sebanyak 14 tentara

Indonesia dibunuh. Serangan ini diikuti dengan serangan-serangan lain oleh Falintil terhadap sasaran militer Indonesia di Kabupaten Viqueque. Tanggal 9 September 1983, pasukan Indonesia menyerang dan membakar Desa Kararas, yang memang telah hampir kosong, dan membunuh beberapa 4 – 5 orang tua yang tertinggal. Setelah itu, operasi militer dilancarkan dan terjadi pembantaian di 5 lokasi sekitar wilayah Kararas. Ditemukan 55 orang meninggal di Caraubalau, 16 September 1983; 141 orang di Tahubein, 17 September 1983; 11 orang yang dihilangkan dan 3 dibunuh di sekitar Kararas; dan 29 orang yang dieksekusi di sekitar Viqueque sepanjang 1983-1984.157

Setelah berbagai operasi militer dilakukan, perlawanan di Timor Timur mereda. Pemerintah Indonesia kemudian lebih banyak melakukan operasi teritorial dan mulai melakukan kebijakan untuk membuka Timor Timur kepada pihak luar. Perlawanan di Timor Timur kemudian lebih banyak dilakukan secara klandestin. Pada tahun 1991, terjadi peristiwa yang membuka mata dunia tentang situasi di Timor Timur, yaitu pembantaian di Santa Cruz pada tanggal 12 November 1991.158 Peristiwa ini adalah pembantaian terhadap sejumlah demonstran. Peristiwa itu juga yang mendorong pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Indonesia. Sebelum peristiwa itu terjadi, situasi politik kota Dili memanas dengan pembatalan kunjungan anggota Parlemen Portugal pada 25 Oktober. Beberapa hari kemudian berlangsung penyerangan Gereja Motael yang menewaskan seorang aktivis, Sebastio Gomez. Pada 12 November, digelar acara penaburan bunga, bersamaan dengan kunjungan Peter Kooijmans, Pelapor Khusus PBB.

156 Lihat “Pola 5: Kekerasan terhadap Perempuan” dalam laporan ini 157 Laporan CAVR, Op.cit., “Pembunuhan di Luar Hukum...”, par. 526.

158 “Studi Kasus 67: Pembantaian dalam Demonstrasi di Santa Cruz, Dili, 12 November 1991”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

Pada 12 November itu sekitar 3.500 orang menghadiri misa di Gereja Motael. Setelah itu mereka melakukan prosesi dengan berjalan menuju pemakaman Santa Cruz. Dalam waktu singkat, prosesi itu berubah bentuk menjadi demonstrasi

pro-kemerdekaan dengan membentangkan spanduk-spanduk yang menyatakan aspirasi mereka. Aparat keamanan mengawal ketat perjalanan demonstrasi itu. Kemudian, terjadi bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan yang berakibat luka tusuk pada dua orang tentara dan seorang demonstran. Para demonstran terus berjalan hingga akhirnya tiba di pintu gerbang pagar kuburan Santa Cruz pukul 07.50 pagi dan bertemu dengan demonstran lain yang telah menunggu. Tidak lama mereka menggelar spanduk-spanduk pro-kemerdekaan, tentara melepaskan tembakan yang mengakibatkan para demonstran lari memasuki pemakaman mencari

persembunyian di antara nisan dan rumah pemakaman. Berondong penembakan tentara berlangsung dalam waktu yang panjang. Pasukan dari Batalyon 303 masuk memburu para pemuda-pemudi yang berlarian. Penyelidikan CAVR menyimpulkan bahwa sekitar 200 orang terbunuh pada saat kejadian maupun dalam aksi-aksi penyisiran sesudah peristiwa. Simplicio Celestino de Deus, seorang demonstran yang mengalami penganiayaan berat menceritakan pengalamannya pada CAVR:

“Ketika saya sampai di pekuburan, senjata-senjata tersebut masih ditembakkan dan berlanjut selama sekitar sepuluh menit. Di dalam pekuburan saya mencari sembunyi. Kemudian pihak militer menyerbu masuk, memukuli para korban dengan senapan dan menendang mereka. Banyak orang terbunuh di dalam pekuburan, tapi lebih banyak lagi dibunuh di luar pekuburan ketika mereka sedang melarikan diri atau dibawa dari rumah-rumah mereka atau tempat persembunyian yang lain, lalu dibunuh. Pihak militer menemukan saya, memukul saya, dan melukai telinga saya. Kemudian, seorang polisi datang dan benar-benar memotong telinga saya sampai putus … karena banyaknya darah yang keluar, mereka melempar saya ke dalam truk militer Indonesia yang penuh dengan mayat-mayat. Ketika truk mulai bergerak, saya melihat ternyata salah satu orang dalam truk itu masih hidup. Dia mencoba bangun dan meminta air pada para penjaga. Bukannya memberikan air, prajurit itu memotong lehernya dengan bayonet.”159

Skala besar pembunuhan juga terjadi saat Timor Timur melakukan referendum. Sejak lengsernya Suharto dan diumumkannya rencana pemerintah untuk

mengadakan referendum untuk masalah Timor Timur, kelompok milisi mulai aktif melakukan aksi teror di hampir semua kabupaten. Beberapa bulan sebelum jajak pendapat, pada April 1999 telah terjadi penyerangan terhadap pengungsi di rumah Manuel Carrascaoalo di Dili dan di Gereja Liquica, dan beberapa distrik lain. Setelah

pengumuman jajak pendapat, pelbagai kasus penyerangan dan pembunuhan terjadi di Dili, Maliana, Los Palos, Oecussi, dan kabupaten lainnya. Menurut investigasi Unit Kejahatan Berat PBB yang bekerja di Timor-Leste, sekitar 1.400 – 1.500 orang yang dibunuh pada periode kekerasan sekitar jajak pendapat.160

Referendum Timor-Timur. Antrean penduduk memberikan suaranya pada jajak pendapat di Timor-Timur (Timtim), 1999. (Foto: TEMPO/ Robin Ong)

Sejak April hingga Juli 1999 ketegangan terjadi di Suai, Kabupaten Covalima. Penyerangan oleh milisi yang didukung oleh aparat keamanan mengakibatkan 700 orang mengungsi ke Gereja Suai. Pada 19 Agustus, penyerangan milisi terus meningkat, berakibat meluasnya pengungsian yang telah mencapai 2.500 orang. Beberapa hari kemudian, jumlah pengungsi di Gereja Suai terus meningkat dan mencapai 6.000 orang.161 Sementara itu, Bupati Suai menentang peningkatan pengungsian itu dan dia berkata kepada salah seorang pastor bahwa pengungsi adalah, “sebuah kelompok politik dan harus dibubarkan”. Bahkan ia membuat kebijakan untuk menutup akses air bersih ke Gereja Suai selama beberapa hari. Akan tetapi air tersebut dialirkan kembali setelah mendapat protes keras dari staf

160 Laporan Sekjen PBB pada Dewan Keamanan tahun 2005, berdasarkan penyelidikan PBB. Lihat juga Op.cit., “Pembunuhan dan Penghilangan Paksa”, Chega, Laporan akhir CAVR, par. 757.

161 “Studi Kasus 71: Pembunuhan Pengungsi di Gereja Suai, 6 September 1999”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

United Nations Mission in East Timor (UNAMET) dan kunjungan delegasi Kongres AS.162

Tiga orang pastor menjadi pelindung para pengungsi yang ketakutan. Pastor Hilario Madeira, Pastor Francisco Soares, dan seorang pastor muda dari Jawa, Tarsisius Dewanto, mempertaruhkan nyawa mereka untuk melindungi para pengungsi. Para pastor itu mengkoordinasi bantuan pangan dan obat-obatan untuk para pengungsi, bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk menanggulangi krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung, dan mengatur sanitasi. Mereka juga berusaha keras untuk meminta perlindungan dari pihak berwajib. Pasca-jajak pendapat 4 September, situasi semakin memanas dan arus pengungsi yang mencari perlindungan dalam naungan gereja Suai semakin meningkat. Pastor Dewanto telah meminta Komandan Polres, Letkol Gatot Subyaktoro untuk melindungi para pengungsi dari serangan milisi Laksaur dan Mahidi. Akan tetapi, yang terjadi justru milisi yang didukung aparat keamanan itu menyerbu Gereja Suai menewaskan sejumlah pengungsi, termasuk ketiga pastor itu.

Beberapa bulan kemudian, Tim Lapangan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPPHAM), ketika itu dipimpin oleh Munir S. H., menyelenggarakan penggalian kuburan massal di Desa Alas Selatan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan koordinat lintang selatan: 09.46814 derajat dan bujur timur: 125.08109 derajat. Dalam penggalian kuburan massal itu, KPPHAM yang bekerja sama dengan Tim Forensik Universitas Indonesia, menemukan 3 kuburan dengan jumlah 27 jenazah. Keseluruhan jasad dapat diidentifikasi sebagai 16 laki-laki, 8 perempuan, umur sekitar 5 hingga 40 tahun. Selain itu, ditemukan pula tiga pastor jenazah di Gereja Suai.163 Lebih jauh investigasi KPPHAM mengungkapkan:

“Pada 6 September sekitar pukul 14.30 terjadi penyerangan terhadap warga yang mengungsi di kompleks Gereja Suai oleh milisi Laksuar Merah Putih, Mahidi, aparat TNI, dan Polisi. (Saksi) menyebutkan bahwa penyerangan tersebut dipimpin langsung oleh Bupati dan Koramil Suai yang pada saat itu sama-sama memakai seragam hijau-loreng dan memegang senjata laras panjang. Saksi mendengar Bupati Herman dan Danramil Sugito

mengatakan agar semua pastor, laki-laki, perempuan yang bersikap macam-macam akan dibunuh.

Menurut saksi pada saat itu, terdapat lebih kurang 100 orang pengungsi yang berada di dalam gereja lama, sedangkan di luar tidak terhitung jumlahnya. Saksi melihat Romo Hilario ditembak di bagian dada sebanyak satu kali dan mayatnya diinjak oleh Igidio Manek, salah seorang anggota

162 Laporan CAVR, “Pemindahan Paksa dan Kelaparan”, par. 413. 163 Laporan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Timor Timur, hlm. 27.

Laksaur. Saksi lainnya menyaksikan Pastor Dewanto dibunuh di gereja lama. Kesaksian yang sama juga diungkapkan oleh (saksi lain), yang melihat Pastor Dewanto dibunuh. Pada saat penyerangan, Polisi, Brimob Kontingen Loro Sae, dan tentara berada di luar pagar menembaki pengungsi yang ingin melarikan diri keluar dari kompleks gereja.

Dalam kunjungan KPPHAM ke lokasi kejadian 19 November dan 13 Desember 1999, ditemukan bekas-bekas pembakaran mayat korban pembantaian di sekitar kompleks gereja. Di tempat tersebut ditemukan sisa-sisa tulang belulang dan tengkorak manusia serta pakaian para pengungsi yang hangus terbakar. Di samping itu, hampir seluruh bangunan milik masyarakat dan pemerintah di wilayah Suai habis terbakar, bahkan rata dengan tanah.”164

C.2. Penahanan dan Penyiksaan

Penahanan dan penyiksaan terjadi secara massal di Timor Timur berendengan dengan gelombang operasi militer. Berdasarkan penelitian CAVR, jumlah kasus penahanan dan penyiksaan memuncak periode 1976-1984 ketika operasi militer ditargetkan menaklukkan gerakan perlawanan. Gedung, toko, hotel, gudang, sekolah, bahkan rumah pribadi yang dikuasai militer diubah menjadi tempat

penahanan. Tahanan juga disekap di pelbagai gedung militer dan polisi. Penahanan dan penyiksaan tidak hanya terjadi kepada kombatan, tetapi juga keluarga mereka, perempuan, dan anak-anak. Penahanan dan penyiksaan relatif menurun sejak tahun 1984, suatu periode yang sering disebut sebagai masa normalisasi atau konsolidasi. Namun, CAVR mencatat bahwa pasukan Indonesia masih melakukan penahanan dan penyiksaan pada masa normalisasi itu.

Sang Tai Hoo, sebuah toko berlantai dua di wilayah Colmera, Dili, diambil alih oleh pihak militer dan dijadikan tempat tahanan pada saat invasi.165 Sekitar 20 hingga 200 orang pernah ditahan di bekas toko ini. Toko pakaian dan barang kelontong yang sebelum invasi militer ramai dikunjungi warga berubah menjadi tempat menakutkan. Ruangan di dalam toko ini tidak memiliki ventilasi dan sangat kotor.

Francisco Soares Henrique sebagai seorang korban menceritakan bahwa dia setiap hari senin dibawa ke Sang Tai Hoo untuk diinterogasi. Di sana para tahanan tidak diperlakukan sebagai manusia dan senantiasa dilecehkan.

164 Ibid, hlm. 12.

165 “Studi Kasus 35: Penahanan dan Penyiksaan di Toko Sang Tai Hoo Selama Operasi Militer di Timor Timur”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

Penahanan. Deretan para tawanan anggota Fretilin di Timor-Timur, Oktober 1975 (Foto: TEMPO/Syahrir Wahab).

“Setelah satu bulan di Tropikal, kami dipindahkan ke penjara Balide. Di sana setiap hari Senin kami dikeluarkan dan dibawa ke Sang Tai Hoo untuk diinterogasi. Di Sang Tai Hoo kami diperlakukan tidak manusiawi, yakni dipaksa untuk minum air kencing ABRI, dipukul hingga berdarah.

Kemudian, dipaksa berdansa dengan tahanan wanita yang hanya bercelana dalam dan BH. Saya ditahan selama tiga tahun dan baru dibebaskan tahun 1978.”166

Penyiksaan juga bahkan dilakukan terhadap anak-anak. Mereka umumnya ditahan bersama dengan orang tua mereka dan menjadi sasaran selama ditahan. Salah satu anak yang pernah ditahan dan disiksa, Maria Jose yang berumur 5 tahun. Waktu itu dia ditahan bersama ibunya di penjara Comarca. Dia mengalami penyiksaan

sebagaimana ceritanya:

“Pada tahun 1975, TNI menangkap mama saya. Waktu itu saya masih berumur 5 tahun. Waktu itu kakak saya adalah anggota pasukan Fretelin dan semua keluarga saya masih di hutan. Waktu mama saya ditangkap, dibawa ke Sang Tai Hoo bersama dengan saya untuk investigasi tentang apa

yang dilakukan oleh orang-orang Fretelin. Tetapi mama saya tidak

menjawab karena mama tidak tahu, mama hanya seorang perawat. Di sana mama saya mendapat penyiksaan seperti disetrum dengan listrik, dibakar dengan puntung rokok, dan mengancam dengan pistol. Saat itu saya hanya bisa melihat saja apa yang dialami mama saya karena waktu itu saya masih kecil. Hari berikutnya, TNI menangkap lagi seorang bapak yang tua sekali bersama anaknya, kira-kira umurnya satu atau dua tahun lebih tua dari saya. TNI melakukan interogasi terhadap bapak tua itu, tetapi bapak tua itu tidak menjawab. Namun anaknya yang kecil itu yang menjawab bahwa dia melihat dan tahu orang Fretelin memasang alat-alat perang [mortir]. TNI pun pergi melihat itu tenyata ada. [Sejak itu] mereka percaya bahwa anak kecil tidak akan bohong. Maka dari situ, saya dijadikan sasaran. ... Mulailah saya disiksa seperti dipukul.”167

Penangkapan dan pembunuhan pada invasi militer Indonesia, awalnya menyasar para pimpinan Fretilin dan Falintil. Juga orang dan kelompok yang mendukung Fretilin dengan memasok logistik makanan. Pola penangkapan yang dilakukan adalah ditahan, dibebaskan, tetapi kemudian ditahan kembali dan dilakukan interogasi, dan selanjutnya tidak pernah kembali.

CAVR juga mencatat bahwa perempuan juga mengalami penahanan dan penyiksaan. Setidaknya 30 orang perempuan yang ditahan di Hotel Flamboyan, hampir

sepertiganya mengalami perkosaan168 antara tahun 1975-1986. Pihak ABRI

menggunakan Hotel Flamboyan sebagai pusat penahanan dan penyiksaan sampai tahun 1986, termasuk menggunakan kolam renang di halaman dekat hotel untuk merendam tahanan dan metode-metode penyiksaan dengan air lainnya. Sampai dengan tahun 1999, Hotel Flamboyan digunakan sebagai barak, dan untuk acara-acara khusus yang diselenggarakan oleh tentara Indonesia. Hotel Flamboyan adalah sebuah hotel Pousada Portugis yang diambil alih oleh tentara Indonesia, di kota Baucau, pada saat awal pendudukan Indonesia. Hotel Flamboyan dikenal sebagai tempat penyiksaan yang paling ditakuti, di antara hampir 10 tempat penyiksaan dan penahanan lainnya di kota Baucau. Pada tahun 1975-1976 banyak tahanan di Hotel Flamboyan yang dihilangkan. Hotel Flamboyan juga digunakan sebagai pusat komando untuk operasi pagar betis pada tahun 1981.

CAVR juga mencatat terdapat kasus penahanan dan penyiksaan yang terjadi di Zumalai, distrik Covalima, saat tentara Indonesia melakukan operasi balasan atas serangan Falintil pada akhir tahun 1983.169 Pasukan Indonesia menahan sejumlah orang di Koramil Bobonaro dan Koramil Zamalai. Armando dos Santos, salah

167 Ibid, par. 338.

168 Lihat “Pola 5: Kekerasan terhadap Perempuan” dalam laporan ini. 169 Lihat Laporan CAVR, “Penahanan Sewenang-Wenang...”, hlm. 181.

seorang tahanan, memperkirakan sekitar 100 orang ditahan bersama dia di Koramil Bobonaro. Miguel dos Santos, tahanan lain di Bobonaro, bercerita:

“Yonif 407 mulai interogasi. Mereka tuduh saya begini: ‘Kamu dengan GPK/ Falintil menembak pasukan di Fatuleto/Zumalai.’ Lalu seorang Timor bersama dengan ABRI mulai memukul, menendang, meninju, dan membakar saya, dengan korek dan rokok. Badan saya sakit semua dan muka saya bengkak. Darah mengalir dari hidung, mulut, dan mata saya.”170

“Berhubung