Kemudian, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengeluarkan kebijakan. Petunjuk Pelaksanan Kopkamtib No: PELAK-002/ KOPKAM/10/1968 tanggal 16 Oktober Tentang
Kebijaksanaan Penyelesaian Tahanan/Tawanan G.30.S/ PKI. Pokok kebijakan itu menyatakan bahwa, “[B]agi Tapol yang ada di dalam tahanan dimanfaatkan tenaganya guna tujuan produktif.”88 Kerja paksa lalu menjadi pekerjaan resmi bagi para tapol. Ini
merupakan pola pertama dari kerja paksa, yaitu pemanfaatan tenaga tahanan politik untuk pekerjaan pembangunan.
Kemudian ada pola kedua dari kerja paksa yakni kombinasi antara memanfaatkan tenaga tahanan dengan memperbudak tapol bagi kepentingan para perwira militer. Perbudakan bagi kepentingan militer banyak terjadi di Sulawesi Tengah dan Selatan. Para tapol dibagi dalam beberapa kelompok kecil, antara 2 atau 3 orang. Mereka dipaksa menjadi pembantu rumah tangga para pejabat militer.89 Para perwira militer memandang tapol sebagai pihak yang telah ditaklukkan, maka mereka harus patuh terhadap perintah tentara. Selain itu, kerja paksa merupakan salah satu bentuk pembasmian karena bagian dari penciptaan kondisi kehidupan yang dapat mengakibatkan
kematian. Banyak dari tapol kekurangan makanan yang layak, akses pada pelayanan kesehatan yang buruk dan kewajiban bekerja berat yang dipaksakan. Hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan pada masa Orde Baru tidak lepas dari
mekanisme kekerasan dan paksaan, serta perampokan tenaga kerja, yang dijalankan dan dikontrol melalui kekuasaan teritorial militer, terutama Angkatan Darat.
Sekitar 2.000 orang tahanan dipaksa untuk bekerja sepanjang tahun 1966 hingga 1967 di Solo dan Boyolali.90 Kerja paksa di Solo dimulai sejak pertengahan Maret 1966. Ketika itu banjir bandang melanda Kota Solo. Militer mengerahkan tenaga para tahanan untuk membendung kembali tanggul sungai Bengawan Solo yang jebol. Dari Bengawan Solo, kerja paksa dilanjutkan ke wilayah Boyolali bagian utara. Proyek
87 Wawancara dengan Warjono, 16 September, Boyolali. Arsip ISSI.
88 “Himpunan Undang-Undang, Surat Keputusan Perintah, Instruksi-Instruksi, dan Ketentuan-Ketentuan yang Berhubungan dengan Kopkamtib [Oktober 1965 s. d. Agustus 1972]”, Sekretariat Kopkamtib, hlm. 289. 89 “Studi Kasus 3: Dua Belas Tahun Kerja Paksa di Sembilan Belas Tempat di Palu”, Narasi Kasus Pelanggaran
HAM 1965-2005, Database KKPK.
90 “Studi Kasus 1: Kerja Paksa 2.000 Orang Tapol di Solo dan Boyolali, Jawa Tengah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
kerja paksa pertama adalah membangun Waduk Bade. Pekerjaan itu selesai dalam jangka waktu dua tahun. Setelah itu, kerja paksa para tapol adalah pembangunan perusahaan Air Minum (PDAM) untuk kebutuhan air bersih warga Kota Boyolali. Proyek pekerjaan PDAM selesai, para tahanan digiring untuk mengerjakan empat proyek jembatan yang tersebar di Boyolali. Di antaranya jembatan Bebgak di Kecamatan Sambi, jembatan Kali Apit yang berbatasan dengan Sragen, jembatan Karang Boyo di Kecamatan Wonosegoro, dan jembatan Guwo di Kecamatan Kemusu. Setiap jembatan masing-masing dikerjakan oleh 60 orang tahanan selama sembilan bulan.91 Salah seorang korban kerja paksa menceritakan tentang pekerjaan
pembangunan bak penampungan PDAM Boyolali:
“Setelah ditahan beberapa bulan itu ada pengumuman bikin bak air minum. Yang bisa bikin bis bikin bis [gorong-gorong], yang gak bisa itu gali tempat air minum itu. Menyelesaikan bak air lima bulan. Menggalinya yang lama, batu padas itu kalau nggak dibetel nggak bisa. Ha, saya itu di bak air minum, bagian saya itu hanya gebuk batu. Itu cari batu untuk pasangan itu, entah dari mana saja yang ada batu kita gebuk. Bak air minum ini airnya dari Tampir. Sungai dibendung, sungai itu ke Boyolali tapi disaring. Saringannya itu tujuh tempat, duk pertama, duk kedua, duk ketiga, duk keempat, duk keenam, dan duk ketujuh.”92
Kerja paksa membangun Waduk Bade agar dapat mengairi sebagian besar wilayah Boyolali Timur yang bertanah tegalan. Pada September 1966, 600 tapol dikeluarkan dari kamp Sasono Mulyo, Solo. Pada saat yang sama, 400 tapol asal Wonogiri didatangkan ke lokasi yang sama untuk membantu tapol Solo. Para tapol Solo sebelum tiba di lokasi kerja paksa, sepanjang perjalanan merasa khawatir akan dibawa ke tempat eksekusi. Saat tiba di tempat tujuan, di Desa Bade, kekhawatiran mereka beralasan karena lokasi berada di pegunungan. Salah seorang korban menceritakan perasaan mereka yang khawatir:
“La saya ngomong sama konco-konco, gilo kowe nanti digowo nang Bade dibunuh. ‘Loh medeni?’ ‘Aku dewe yo wedi kok, sedurunge dibedil.’ Aku rasan ngono mas. [La saya ngomong sama teman-teman gila kamu dibawa ke Bade dibunuh. Lo nakutin, saya sendiri takut kok, sebelum ditembak. Saya rasa begitu mas.] Tapi alhamdulillah nggak apa-apa setelah sampai di situ, warga nyambut dengan baik, satu tahun kelar mbendung waduk, yang dari Wonogiri pulang ke Wonogiri, yang dari Solo ya pulang ke Solo.”93
91 Wawancara Suratimontro, 18 September 2011, Boyolali. Arsip ISSI. 92 Ibid.
Kerja Paksa di Palu. Empat orang tahanan politik di Palu yang mengalami kerja paksa untuk membangun berbagai infrastruktur kota. Mereka menyempatkan diri berfoto dengan disertai tulisan pembuatan foto dan sebuah kalimat, “Langit Tak Akan Runtuh”. (Foto: SKP-HAM Palu).
Di Palu, kerja paksa di kebun kopi selama satu tahun. Dimulai pada 9 Oktober 1967 dan berakhir pada 10 Oktober 1968.94 Ratusan tahanan politik dilibatkan dalam pekerjaan tersebut. Para tahanan politik dibagi dalam beberapa kelompok. Satu kelompok mengerjakan 20 km, terdiri dari 30 - 50 orang. Setiap kelompok mendapat penjagaan dari dua orang tentara zeni bangunan Korem 132 Tadulako Palu. Tidak semua pekerja adalah tahanan yang diambil dari penjara. Sebagian besar adalah tahanan wajib lapor. Mereka didatangkan dari Donggala, Palu, Parigi, dan Poso. Pekerjaan pokok di kebun kopi adalah membersihkan jalan dari rumput-rumput liar, kayu-kayu yang tumbang, dan mengangkut runtuhan tanah longsor yang menutupi jalan. Pekerjaan itu hanya dilakukan dengan peralatan seadanya berupa pacul, sekop, dan parang. Tidak ada alat berat yang disiapkan.
Letak jalan trans-Sulawesi antara Palu - Parigi yang melintasi pegunungan
sepanjang 38 km membuat pekerjaan semakin berat. Setiap saat bisa terjadi longsor dan pohon-pohon tumbang. Apalagi jika musim hujan. Kondisi daerah ini masih ditumbuhi hutan lebat. Selain cuaca yang dingin, masih terdapat binatang buas,
94 “Studi Kasus 5: Kerja Paksa Jalan Trans-Sulawesi Palu - Parigi (Kebun Kopi), Sulawesi Tengah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
terutama ular. Situasi alam itu membuat para tahanan semakin tersiksa. Asman Yodjodolo, menceritakan pengalamannya:
“Pada akhir 1967, saya bersama beberapa puluh kawan-kawan dikirim ke pegunungan kebun kopi untuk perbaikan jalan yang rusak. Jalan yang menghubungkan kota Palu dan kota Parigi, jalan tersebut rusak berat. Di sana kami bekerja keras sambil menahan dinginnya udara pegunungan. Pekerjaan itu ialah menggali got/parit, menimbun lubang-lubang di tengah-tengah jalan dengan kerikil yang dipikul dari tempat lain tidak memakai mobil. Membuang tanah longsor hampir setiap hari sebab di sana itu daerah arah utara kota Palu hujannya tinggi dan di bawah pengawasan tentara.“95
Tentara juga mengirim tahanan asal Parigi ke kebun kopi tersebut pada tahun 1968. Selain Asman Yododjolo, tahanan lainnya, Dai Borahima menuturkan:
“Bulan April 1968 kami dipindahkan ke kebun kopi. Kami bekerja
memperbaiki jalan-jalan yang rusak dan memotong kayu-kayu yang sudah menutupi jalan. Setiap kelompok kami dibagi 50 orang yang dipekerjakan dari Karumba sampai kebun kopi. Ada barak yang dibuat untuk kami memasak sendiri. Pada saat kerja di gunung ini, saya tidak bekerja di jalan tapi saya jadi stoker [tukang masak], kami hanya makan seadanya saja, saya memimpin 2 orang yang bekerja di barak yang juga sudah sekalian dengan dapur. Ada dua barak kami pada saat itu; satu di bawahnya Turuka dan satu lagi di atasnya Turuka. Jalan yang dikerjakan 20 kilo. Dari kebun kopi sampai Ketoboli itu dikerjakan oleh rombongan tahanan dari Poso dan Luwuk sebanyak 50 orang. Kami bekerja di gunung selama satu tahun, dengan kondisi dalam keadaan berpuasa pun kami tetap dipekerjakan.”96 Rezim Orde Baru memberangkatkan sekitar 11.000 orang tahanan sejak Agustus 1969 hingga pertengahan tahun 1970an ke Pulau Buru.97 Kebanyakan tahanan berasal dari Jawa Tengah dengan klasifikasi “Golongan B”. Mereka ditempatkan di 23 unit penahanan dalam areal seluas 235.000 hektar atau 25,8% dari luas wilayah Pulau Buru 910 hektar.98 Beberapa tahun kemudian, para istri dan anak-anak tahanan diminta bergabung agar para tapol tidak kembali ke daerah asal masing-masing. Sekitar 600an istri tahanan ‘65 bersama anak-anak mereka mengalami pemindahan paksa ke Pulau Buru, di bawah program transmigrasi.
95 Kesaksian Asman Yodjodolo dalam “Dengar Kesaksian KKPK di Palu”, 27 Desember 2012. 96 Wawancara dengan Dai Borahima, Juli 2010, Arsip KKPK/SKP-HAM Palu.
97 “Studi Kasus 15: Kerja Paksa Tahanan Politik 1965 di Kamp Pengasingan Pulau Buru, Maluku”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
98 Luas Pulau Buru seluruhnya 9.100 kilometer persegi atau 910.000 hektar. Untuk hal ini lihat Razif, 2004, “Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahanan Politik untuk Rezim Soeharto”, dalam (ed) Roosa, John et. al., Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia, hlm. 139-162.
Tahanan Politik di Pulau Buru. Searah jarum jam: Para tahanan politik menanam padi di bawah pengawasan petugas; Para tahanan politik saat sedang dalam pemeriksaan; Para tahanan politik membawa hasil bumi mereka; Para tahanan politik ketika bersiap untuk dipulangkan. (Foto: TEMPO/Amarzan Lubis/Acin Yasin/Salim Said)
Pemerintah berencana menempatkan tahanan secara permanen di Pulau Buru. Kemudian tempat pengasingan itu dijadikan semacam program transmigrasi lokal. Pulau yang resminya bernama Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) tahanan ini menjadi objek kerja paksa yang menguntungkan militer selama bertahun-tahun. Pulau Buru bukan tempat yang sudah siap huni. Pemerintah memaksa tahanan mengolah hutan belukar dan padang rumput menjadi lahan pertanian. Para tahanan harus bekerja dari awal, membangun barak bagi mereka sendiri dan membangun rumah untuk penjaga yang disebut Tonwal (Peleton Pengawas). Pekerjaan berat dilakukan dengan tangan kosong. Alat-alat yang dipersiapkan hanya berupa cangkul tanpa tangkai dan parang yang tumpul.
Aktivitas tahanan dimulai dari apel jam 5 pagi selama satu jam. Apel ini digunakan untuk memastikan tidak ada tahanan melarikan diri. Setelah itu sepanjang hari mereka dipekerjakan dengan pembagian. Tahanan-tahanan muda menebang kayu di hutan dan tahanan tua memasak di dapur umum. Dalam setiap unit ada satu
tahanan yang ditunjuk sebagai koordinator kerja yang bertugas mengatur target produksi dari komandan unit kepada para pimpinan barak. Biasanya dalam satu unit
ada 10 barak dan setiap barak dihuni oleh 50 orang tahanan.99 Kamaludin tahanan dari Tasikmalaya yang diberangkatkan tahun 1970 menceritakan:
“Nah segala sesuatu yang kira-kira bisa dimakan dulu itu, waktu itu kan kalau di kapal makan nasi biasa, kalau datang ke sana bulgur [sejenis gandum], makanan itu dengan gereh [ikan asin], dengan ikan asin peda yang busuk itu. Jadi makan bulgur di sana itu, makan. Nah, di sana, kemudian teman-teman ada tikus, ya diambil dimakan, ada ular, ada telur cicak, makan gitu, jadi apa saja. Ada kura-kura, terus dimakan gitu, untuk menambah umur mungkin, kata orang.”100
Saat jatah makanan menipis dan waktu panen belum tiba, tahanan cenderung dilanda kelaparan. Masa-masa kelaparan itu diingat oleh Sukartono: “Masa konsolidasi katanya itu delapan bulan … tapi ternyata dua bulan itu atau tiga bulan itu ndak keluar bahan makanan itu, wah kita terpaksa mengalami lapar lagi. Lapar lagi. Lapar.”101
Dalam kondisi perut lapar tahanan terus bekerja mati-matian di bawah ancaman siksaan dari Tonwal dengan todongan senjata. Namun, hasil kerja keras mereka harus diserahkan kepada tentara pengawas. Kerakusan tentara dalam memeras hasil keringat tahanan ini diceritakan kembali oleh Makmun, yang sebelum menjadi tahanan adalah anggota Serikat Buruh Pos dan Telekomunikasi di Pati.
“Umumnya komandan-komandan CPM yang datang di sana itu rakus. Kita masih begitu hidupnya itu masih juga apa tegel (tega). Mas ya, tegel, diisep tulang dan dagingnya, serta darahnya di sana itu. Kita dijatah, satu pasang gergaji itu empat lembar. Tapi untuk itu kita bukan untuk kita jual dan untuk kita beli garam sendiri atau gula, bukan, tapi untuk dikintirkan [dihanyutkan] di Wai Apo itu untuk dijual di kaki Air [kampung/dermaga di muara Wai Apo] sana uangnya Komendan yang menerima itu. Jadi umumnya tahun pertama tahun ‘70 sampe ‘78, itu komendan-komendan yang dari pulau Buru itu pulang mesti bisa beli mobil. Karena itu kerakusannya. Dia tidak tanggung-tanggung menjatah satu barak itu 10 orang, bearti 5 pasang gergaji kali 10 barang, bearti 50 pasang. Eh, 5, eh 10 kali 10, 100 orang untuk gergaji saja. Yang hasilnya kita tidak makan … kadang-kadang orang suruh mbabat hutan selebar-lebarnya, tanemi kacang. Cabuti kacang ada 25 hektar. Oh, kalo malam disetelkan tep [tape] sambil mretesi [memereteli dari tangkai] itu kacang. Macam sapi perahan saja, itu dibagori [dikarungi], yo
dikenterkan di Wai Apo, masuk kaki air, jadi uang untuk komendan. Itulah, adi di sana itu masih dikrokoti balunge [digerogoti tulangnya], diisep darah, orang tahanan itu”.102
99 Ibid, hlm. 148. 100 Ibid, hlm. 148-149. 101 Ibid, hlm. 149. 102 Ibid, hlm. 150.
Kesabaran para tahanan sangat diuji dengan tindakan pengawal. Hasil kerja paksa tidak bisa dinikmati dan masih juga dipukuli sebagai hukuman. Djasmono masih mengingat bagaimana kejam dan rakusnya penjaga kamp:
“Pagi hari dikentongi supaya cepat bangun mencabuti rumput dengan tangan telanjang. Di sana ada jenis rumput kerisan, bentuknya segitiga tajam, kena tangan seperti silet. Banyak kawan-kawan yang tangannya sobek ... Kekerasan setiap hari, tapol yang tak tahu petugas lewat dan tidak hormat, maka akan disiksa. Hukuman perorangan dan massal tetap
diterapkan ... Hukuman jalan jongkok keliling lapangan, kalau tidak kuat ditendang, ada yang sampai pingsan. Mencetak sawah sampai tahun 1974. Orang-orang tapol bisa makan produksi sendiri. Pada masa konsolidasi makan hanya 200 gram, setelah bisa menanam sawah bisa menikmati beras sendiri pada tahun 1974, untuk unit 7 bisa punya sawah 100 H. Di sana komandan barak, kalau mau pergi/pindah minta sangu, berupa beras, kayu gergajian.”103