• Tidak ada hasil yang ditemukan

komunis yang dibunuh.”

Di Bali, penangkapan dan pembunuhan mulai dilakukan setelah kedatangan RPKAD pada awal Desember 1965 hingga pertengahan 1966. Operasi penangkapan dilakukan oleh militer maupun kelompok milisi PNI Tameng. Sebagian orang langsung

dihilangkan setelah ditangkap. Operasi pembunuhan di Bali mendapat pembenaran ritual. Pembubaran dan pelarangan organisasi kiri dilakukan atas nama ritual “bersih desa”. Anggota PKI dan ormas kiri

diperintahkan untuk mengambil sumpah di pura, sebelum mereka diambil dan dibunuh. Seringkali sumpah-sumpah di pura untuk memudahkan identifikasi dan pengawasan agar memudahkan penjemputan korban oleh milisi dan militer.46

Pasukan RPKAD masuk ke pedesaan Bali mencari pimpinan organisasi pergerakan kiri. Setiap mereka melakukan pencarian, selalu ada orang yang hilang pada keesokan harinya. Mardi, 80 tahun, bekas pejuang kemerdekaan di Bali bercerita mengenai RPKAD yang masuk ke Denpasar mencari pimpinan pergerakan:

“…Sesudah RPKAD masuk ke Bali itu tanpa, tanpa kita ketahui kemauannya itu. Dia masuk-masuk mencari orang maksudnya, ada berita-berita yang pernah didengar oleh teman-teman bahwa orang itu langsung hilang sesudah dicari, tetapi dia diikuti, disuruh oleh satu lembaga atau satu instansi. Jadi sama saja, sesudah ditemui tanpa proses, hilang.”47

Beragam pembunuhan yang berlangsung di Bali dapat diketahui melalui jasad tubuh yang dikuburkan dalam lubang kuburan massal.48 Seorang saksi di pedesaan Bali bernama Man Angga mendengar dari ayahnya tentang pembunuhan kakeknya yang bernama Made Gari. Kakeknya dijemput dari rumah oleh pasukan yang berpakaian seragam hitam-hitam dan setelah itu tidak pernah kembali. Kabar Made Gari telah dibunuh diperoleh dari tetangga rumah. Mayat kakeknya dikuburkan bersama korban

45 Sir, Dorkas; Erna Hinadang; Ina Tiluata, Op.cit,.hlm. 49-51.

46 Untuk hal ini lihat, “Ngaben Tanpa Tubuh: Tragedi ’65 dan Pariwisata Bali”, dalam Op.cit., 2012, Pulangkan Mereka!, hlm. 207-228.

47 Wawancara dengan Mardi, Denpasar, 17 Agustus 2000. Arsip ISSI.

48 “Studi Kasus 23: Pembunuhan dan Penghilangan Paksa Anggota PKI di Bali”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

pembantaian lainnya dalam lubang besar. Dewasa ini di lokasi kuburan massal itu berdiri patung simpang enam. Selanjutnya Man Angga mengisahkan:

“Seingat saya waktu itu saya SMP kelas satu. Pagi hari ibu saya sakit sesak, saya disuruh membeli obat. Saya berangkat sekitar jam sebelas. Tau-tau di perempatan itu orang-orang sudah datang massa yang berpakaian hitam-hitam. Siangnya ada ribuan massa disebut tameng yaa. Kita orang-orang kampung yang tinggal di desa Baringkit ini semua lari ke pura. Sekitar jam satu, saya dan teman-teman yang lain, orang tua pertama digiring menuju pura. Bapak saya diambil oleh massa ketika itu menurut cerita orang karena saya tidak melihat, saya dikembalikan ke pura. Bapak diseretlah di belakang pura. Lalu dibantailah rame-rame … kita sudah tidak ada pikiran ya. Yang ada itu hanya kesedihan. Ibu saya menangis pingsan. Bukan hanya bapak kami dibunuh, tapi rumah kami dibakar rata. Dihancurkan dibakar rata, ada padi ada sisa-sisa makanan yang lainnya umpama ketela, jagung, kita punya babi segala itu diambil”.49

Di Jawa Tengah, salah satu tempat pembunuhan massal yang diingat oleh korban adalah Jembatan Bacem.50 Jembatan itu terletak di perbatasan Desa Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Surakarta. Di bawah jembatan itu mengalir anak sungai Bengawan Solo. Jembatan aslinya kini tinggal fondasi, akan tetapi di sebelahnya telah dibangun kembali jembatan baru yang lebih kokoh. Bibit, bekas anggota Lekra Solo, yang sering menyaksikan pembantaian di Jembatan Bacem bercerita:

“Hampir setiap malam terdengar bunyi letusan pistol. Dimulai tengah malam hingga subuh hari, biasanya berlangsung selama 3 jam. Peristiwa itu berlangsung kurang lebih 2 tahun, 1966 sampai 1967. Banyaknya jumlah letusan pistol menandakan jumlah orang yang dibunuh. Jika terdengar 5 kali, berarti 5 orang dibunuh, jika puluhan kali, berarti puluhan pula orang-orang komunis yang dibunuh. Suatu ketika, pagi hari saat hendak melewati jembatan [saya] melihat dua orang bertubuh kecil, berambut gondrong, berpakaian loreng dengan tanda ‘siaga’ terlilit di pangkal lengan. Mereka mamaksa [saya] menghanyutkan mayat-mayat yang tersangkut di

rerumputan liar dan kotoran di tepi sungai. [Saya] terpaksa melaksanakan perintah itu, sebab jika menolak kedua orang bersenjata itu akan

membunuh saya. Hari-hari berikutnya setiap melewati jembatan di pagi hari, [saya] dan juga warga sekitar jembatan kerapkali harus

menghanyutkan mayat-mayat ke tengah sungai.”51

49 Wawancara dengan Man Angga, Arsip KKPK/Lembaga Kreativitas Kemanusiaan (LKK).

50 “Studi Kasus 13: Pembantaian Massal di Jembatan Bacem, Sukoharjo, Jawa Tengah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

51 Cerita Bibit mengenai Jembatan Bacem dikutip dari, “Saksi Pembantaian Jembatan Bacem”, dalam (ed) Hersri Setiawan, 2006, Kidung Untuk Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala, Solo: Parkorba Sala, hlm. 225-235.

Jembatan Bacem/Circa. Jembatan Bacem sebelum mengalami pemugaran. Jembatan ini menjadi situs pembantaian terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya pada tahun 1965-1966. (Foto: ELSAM)

Masih di Jawa Tengah, Boyolali, tepatnya di desa Kedukan di tepi Sungai Braholo. Sungai itu menjadi tempat pembantaian anggota BTI dan PKI Boyolali bagian utara. Menurut penduduk desa Kedukan, setiap sore mulai pukul 4 hingga 7 malam selalu mendengar bunyi tembakan beruntun dari arah Sungai. Sukri, warga Karang Kepoh, menceritakan:

“… itu kan, orang-orang di, namanya digaruklah itu. Diambil, bawa ke situ [Kedukan]. Bar itu diajar [setelah itu dipukul]. Bar diajar, ya dianggap tokoh PKI-tokoh PKI itu tadi. … Ditembak situ, ya. … Kalo musim sore, jam tujuh. Jam tujuh sore. Itu kan nembak ‘rerrrt’ gitu. Kan dengar dari sini, wong [karena] dekat. Itu, sebelah jembatan situ. … Sebelah barat Kedukan itu. Sebelah masjid. Pinggir kali. Itu mungkin sudah hanyut. … Ha, wong [karena] itu dibikinkan lubangan terus diuruk. … Langsung tanah seperti kucing itu. Memang sudah sia-sia kok. Memang sudah sia-sia. Anti bener-bener. … Ha, itu yang membikin [lubang] yo orang-orang situ. Yang mbikin. Diperintah oleh ABRI itu.”52

Sementara itu, di Kota Boyolali terdapat sejumlah kamp penahanan untuk tapol. Salah satu kamp yang terkenal adalah Ta Tjung, sebuah lapangan olahraga tertutup milik Baperki. Tentara menyulap tempat itu menjadi kamp tahanan bagi ratusan orang yang dituduh PKI dan organisasi pergerakan kiri lainnya. Kamp Ta Tjung juga

dikenal sebagai tempat hilangnya para pamong desa Boyolali bagian utara. Samino bercerita tentang “bon-bon”an di kamp Ta Tjung yang mengakibatkan hilangnya Pak Darmo, Lurah Bantengan dari Karanggede:

“… Ha, saya tahu kalo Pak Darmo hilang ya siang itu. … Segalanya dibawa. Pakaian dan lain sebagainya dibawa. Orang yang dipanggil begitu.

Semuanya dibawa. Pak Darmo ini memakai celana putih, hem putih, pecis. Mau berangkat pesan sama saya, ‘Dik, kowe nang kene sik yo, Dik aku tha bali, aku tha urusan. Engko tha rampungke masalah wong aku sing penting aku mung arep, lemahe bapak kae arep tha ngga lapangan.’ [Dik, kamu di sini dulu ya, Dik, aku mau pulang, aku ada masalah. Nanti aku selesaikan masalah karena aku yang penting aku mau, tanahnya bapak itu mau aku buat lapangan]. Bapak saya kan mempunyai tanah itu lho, yang dekat makom [makam]. Dulu akan dibuat lapangan. Akan ditukar sawah. Gak tahunya mati. Gak ada. … Saya ya bicara apa adanya [pada keluarga lurah Darmo Suwito]. ‘Lho tadi malam jam, sekitar jam tujuh tiga puluh menit itu Pak Darmo dengan teman-teman itu dipanggil. Jumlahnya di jalan itu jelas ada truk lima jejer, dimuka pasar.’… Ya truk militer. Ada yang bukan truk militer ya ada. … Tapi yang jelas yang memanggil itu polisi. Yang memanggil orang-orang , anu, anu, anu , A, B, D, E, F itu polisi. Suruh keluar, membawa barang-barang naik truk. Yang, karena saya komandan, saya komandan kamp ya, … kan saya tahu persis. Saya di luar itu. Polisinya namanya pada waktu itu Idris. Pak Idris sama sapa itu? Sing kondang kae [yang terkenal itu]? Pak Idris sudah mati sekarang. … Tapi di sana itu [di luar kamp] militer dengan, Wanra [Perlawanan Rakyat]. Hansip, Wanra … dari

pemuda-pemuda. Kalo setahu saya dulu ya, itu ada yang dari Banser, itu NU. Ada yang dari, Muhammadiyah, ada yang dari PNI, jadi ikut membunuh juga itu.”53

A.2. Penghilangan Paksa

Selama periode 1965-1967, penghilangan paksa telah mengorbankan ratusan ribu orang dengan latar belakang beragam.54 Korban penghilangan paksa dapat

digolongkan dalam enam kelompok. Pertama, para pimpinan, baik pimpinan organisasi massa, partai politik, organisasi perlawanan, maupun kaum intelektual-aktivis di antaranya guru, mahasiswa, dan seniman. Kedua, para simpatisan/ pendukung, atau yang dicurigai sebagai simpatisan. Ketiga, para penyuplai logistik dan perlindungan, termasuk kerabat/keluarga orang yang disasar dan warga etnis Tionghoa. Keempat, propagandis, penghubung/kurir, dan penyimpul massa. Kelima,

53 Operasi “bon-bonan” itu berakhir pada penghilangan paksa/pembunuhan, berhenti dengan dimulainya kerja paksa bagi para tapol, Loc.cit.

perempuan dan anak-anak. Terakhir, saksi tindak kejahatan. Pengelompokan korban ini tentu tidak boleh diperlakukan secara kaku. Banyak guru dan mahasiswa adalah pimpinan ormas/parpol. Demikian pula, dalam kelompok korban dapat ditemukan perempuan dan warga etnis Tionghoa.55

Penghilangan paksa dan pembunuhan dalam periode 1965-1967 sulit untuk dipisahkan dalam praktiknya. Banyak korban yang dibunuh diambil secara

sewenang-wenang dan dibawa ke tempat-tempat penahanan tidak resmi. Sebagian besar dari mereka kemudian dibunuh dan dikubur atau dibuang jenazahnya di tempat terpencil yang tidak diketahui, seperti di sungai dan jurang pegunungan. Sampai sekarang banyak keluarga korban yang tidak mengetahui ke mana keluarga mereka dibawa dan di mana mereka dibunuh.

Sampai