• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi Tanpa Kesadaran Hukum = Anarki

Dalam dokumen Just_Duit_-_Johanes_Lim_-_bhs_indonesia (Halaman 121-134)

K

arena penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (human right) berjalan seiring, sebenarnya, Indonesia masih belum wak-tunya menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, karena tiga hal:

1. Pertama, banyak orang yang belum paham tentang makna dan implementasi demokrasi, dan bahkan terkesan salah paham terhadap artinya. Mereka pikir, arti demokrasi adalah bebas melakukan apa saja—baik berbicara maupun beraksi—sekalipun melanggar kebebasan orang lain, baik moril maupun materiil 2. Kedua, Indonesia belum mempunyai perangkat dan penegakan

hukum yang memadai untuk melaksanakan demokrasi, termasuk di dalamnya melindungi siapa saja yang haknya dilanggar, dan menghukum siapa saja yang melanggar, tanpa pandang bulu. Biasanya hukum Indonesia masih bersifat pilih kasih dan pilih bulu. Kalau yang melanggar adalah orang atau kelompok kuat, mayoritas, atau berkuasa, maka hukum berdalih untuk tidak meng-hukumnya; apalagi jika yang dilanggar adalah orang atau kelompok lemah, minoritas, atau yang bisa dijadikan "kambing hitam", maka hukum "tutup mata" seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun; andaikan kasusnya telah menjadi sedemikian mencolok dan

men-jadi sorotan publik—khususnya masyarakat internasional—maka dicarilah cara agar terkesan ada tindakan hukum, sekalipun prosesnya mengambang sampai kemudian terlupakan.

3. Indonesia adalah negara agamis. Sekalipun bukan negara agama, namun dalam praktek, isu agama sangat kental dalam kehidupan sehari-hari, yang mempengaruhi perilaku politik maupun eko-nomi. Sayangnya, filosofi fundamental dari azas demokrasi dan agama sangat bertentangan. Demokrasi mempropagandakan ke-bebasan berpikir, berpendapat dan independensi individu, tanpa sanksi atau kutukan apa pun terhadap individu yang berani tampil beda, termasuk memilih untuk tidak beragama atau tidak ber-tuhan, selama tidak mengganggu orang lain. Dengan kata lain, individu berkuasa atas filosofi, atau rakyat berkuasa atas negara. Sedangkan agama lebih menekankan ketaatan dan keterikatan kepada norma kepercayaan yang dianut dan kepada pemimpin spiritualnya, serta terkesan memberangus kemerdekaan individu ke dalam kebijakan dan kepercayaan kolektif, dengan ancaman dan kutukan bagi pengikut yang membangkang, atau menyim-pangkan dogma dan doktrin, apalagi murtad. Dengan kata lain, individu dikuasai oleh filosofi, dan pemimpin adalah penguasa umat. Menurut pengamatan saya, demokrasi dan agama seperti air dengan minyak, ti-dak akan bisa menyatu, kecuali dilakukan modifikasi, seperti yang akan saya sarankan di bawah ini.

Karena masyarakat kita—termasuk beberapa tokoh masyarakat yang menjadi public figure—belum paham dan belum terbiasa ber-demokrasi, itulah sebabnya perilakunya nampak seperti aji mum-pungan, seperti misalnya mengutarakan pernyataan yang bersifat menghasut (provokatif) dalam pertemuan massa ataupun wawancara pers, atau melecehkan pemimpin bangsa dengan menjulukinya se-bagai badut. Kalau jaman presiden Soeharto dulu, jangankan meng-hina dan memfitnah presiden di tanah air, berani mengatakan "dik-tator" saja di luar negeri, orang itu bisa masuk penjara, karena dinilai kurang ajar dan membahayakan! Namun di zaman yang katanya

re-formasi atau demokrasi ini, tindakan seperti itu nampaknya halal saja.

Harus diingat bahwa pernyataan saya di atas amat situasional, ter-ikat oleh kondisi konkret masyarakat kita. Artinya, pandangan ini akan saya revisi bila kondisi masyarakat kita berubah. Dan menurut saya, sebelum proses demokrasi digulirkan terus, perangkat hukum dan law enforcement harus diberdayakan terlebih dahulu, kemudian masyarakat dididik tentang apa dan bagaimana seharusnya berde-mokrasi itu. Apa yang boleh dan patut, serta apa yang tidak boleh dan melanggar hukum. Beritahu juga apa sanksinya jika ada orang yang karena kebebasannya telah melanggar kebebasan orang lain, yakni: dituntut secara hukum, dengan konsekuensi membayar denda atau masuk bui!

Saya beri contoh kasus nyata tentang apa yang saya maksud: Pada hari Rabu, 2 Februari 2000 di TV3 New Zealand ditayangkan acara "Airport" yang menggambarkan aktivitas faktual badara Heathrow London. Dalam suatu antrean di check-in counter, ada seorang pria Iran yang karena kesal atau sedang bad-moodberkata, "Shit" kepada pengantre di belakangnya seorang wanita kulit putih. Wanita itu berkata kepada pria Iran itu, "You insulted me!" dan kemudian pergi mencari polisi bandara serta menceritakan kejadian tersebut. Segera setelah itu polisi bandara itu menghampiri pria Iran yang tetap sedang mengantre dan berkata, "Saya mendapat laporan bahwa anda telah menghina wanita ini, boleh lihat paspor anda?" Terlihat di layar televisi bahwa pria itu sangat kesal dan menendang-nendang kopernya sambil mengeluarkan perkataan dengan bahasa yang tidak dimengerti. Polisi itu berkata kepada pria Iran itu, "Jagalah perilaku anda. Jangan sampai saya pun menuntut anda telah menghina saya!" Akhirnya pria Iran dan wanita yang menggugatnya berurusan dengan hukum. Jika kasus itu diteruskan ke pengadilan, pria Iran itu bisa dikenakan denda atau hukuman penjara maksimal dua tahun, hanya karena telah berkata, "Shid"

Itulah salah satu contoh implementasi kehidupan dalam negara dan masyarakat yang demokratis.

Jadi, jika ada orang atau sekelompok orang yang mengorganisir pertemuan massa, apakah untuk memprotes kebijakan ataupun pe-ristiwa tertentu, itu sah-sah saja, selama esensi aksi itu mempunyai landasan hukum yang benar dan kuat, serta dilaksanakan secara tertib dan tidak mengganggu orang lain. Namun jika orasi ataupun protes tersebut tidak berdasar, hal itu bisa dikategorikan sebagai tin-dakan memfitnah atau menghasut, sehingga pelakunya dapat dituntut secara hukum. Bahkan jika ternyata aksi demonstrasi massa tersebut menimbulkan ekses negatif, misalnya perkelahian massal, tindak kri-minal seperti pembakaran dan atau penjarahan harta milik orang lain, maka bukan hanya pelakunya yang akan diseret ke pengadilan, melainkan juga organisernya akan dituntut pertanggungjawabannya dengan biaya ganti rugi dan atau masuk penjara!

Dengan cara ini, setiap orang yang hendak mengerahkan massa untuk menyampaikan aspirasinya akan berpikir tiga kali sebelum bertindak, sebab dia/mereka harus memperhitungkan risikonya, dan tentunya tidak lagi bisa mengkambinghitamkan provokator atau pi-hak ketiga, dan sebagainya, untuk berdalih dan melepas tanggung ja-wab.

Nah, agar tidak ada seorang pun yang salah kaprah terhadap arti demokrasi, maka ada baiknya jika saya sampaikan esensinya secara mudah.

Menurut kamus, demokrasi artinya, "pemerintahan oleh rakyat, di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat atau perwakilan yang dipilih dengan sistem bebas. " Kalau menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan "of the people, by the people, and for the people."

Demokrasi adalah juga kebebasan yang diinstitusionalisasikan, yang bercirikan, pemerintahan yang konstitusional, hak asasi manusia, dan persamaan di hadapan hukum.

Dalam masyarakat yang demokratis, peranan mayoritas harus di-sertai garansi atas hak asasi individual, serta perlindungan hak mi-noritas—entah etnis, agama, atau politik. Hak kaum minoritas tidak tergantung pada itikad baik mayoritas, serta tidak bisa dieliminasi oleh voting mayoritas. Hak minoritas diproteksi karena hukum

de-mokratik dan institusi memang melindungi hak-hak semua warga negara.

Freedom of speech and expression adalah seperti aliran darah bagi demokrasi. Untuk berdebat dan memilih, untuk berserikat dan memprotes, untuk menjamin keadilan bagi semua, harus dapat mengalir lancar tanpa hambatan apa pun. Jadi penekanannya ialah kebebasan dan hak untuk berkumpul, memprotes dan menuntut perubahan, yang semuanya dilakukan secara damai. Dan pemerintahan demokratis tidak boleh melarang hal itu; maksimum hanya mengatur agar hal itu terjadi secara tertib dan damai, agar tidak mengganggu kepentingan orang lain.

Freedom of religion, artinya, tidak ada seorang pun yang boleh di-haruskan untuk mengakui agama atau kepercayaan apa pun jika tidak sesuai keinginannya. Dan tidak ada seorang pun yang boleh di-hukum dengan cara apa pun oleh sebab pilihannya atas sesuatu agama, atau jika ia memilih untuk tidak beragama. Negara yang de-mokratis menyadari bahwa hal kepercayaan atau agama adalah ma-salah pribadi individual. Jadi negara atau siapa pun juga tidak boleh menyuruh seseorang untuk percaya kepada sesuatu agama, atau un-tuk berdoa, jika hal itu bukan merupakan keinginannya pribadi; ter-masuk di dalamnya, anak-anak pun tidak boleh dipaksa untuk ber-sekolah di suatu ber-sekolah agama tertentu.

The right to equality before the law, atau equal protection of the law juga merupakan fundamental dalam negara yang adil dan demokratis. Apakah si kaya atau si miskin, etnis mayoritas atau agama minoritas, sekutu politik atau oposan, semuanya mendapat hak proteksi yang sama di hadapan hukum. Tidak ada seorang pun yang superior ter-hadap hukum. Warga negara yang demokratis tunduk kepada hu-kum, karena mereka menyadari bahwa bagaimanapun juga secara ti-dak langsung merekalah yang membuat hukum.

Sesungguhnya, jika menilik makna dan praktek demokrasi, yang kita perlukan sebenarnya adalah "Demokrasi Terpimpin", atau "Demokrasi Pancasila", dan bukan demokrasi ala Amerika. Maaf, konsep-konsep itu terkesan sumbang karena praktek yang sebenarnya jauh dari esensi cita-cita, tetapi sebenarnya konsep itu memiliki

muatan yang memang bagus dan perlu. Perlu diingat bahwa In-donesia bukanlah Amerika. Dari banyak aspek kita nyaris berbeda total dengan mereka. Indonesia baru merdeka setengah abad lebih sedikit, sedangkan Amerika sudah berdiri lebih dari dua abad. Dulu pun Amerika tidak demokratis, bahkan sangat diskriminatif rasialis. Lagipula, apa bagusnya demokrasi jika akhirnya menjurus kepada kebebasan amoralis? Lihatlah negara-negara Barat yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, bagaimana kehidupan masyarakatnya? Dingin, individualistik, free-sex, perpecahan keluarga, drugs, dan "nyaris tidak bertuhan"! Apakah kita mau seperti mereka?

Dengan Demokrasi Pancasila artinya, kita bebas untuk menjadi apa saja, dan atau melakukan apa saja, selama di dalam konteks ber-kepribadian pancasilais. Sebagai contoh, siapa pun bebas untuk mempercayai apa saja, selama di dalam konteks ketuhanan; jadi tidak boleh menjadi atheis, atau amoralis. Di banyak negara Barat yang ka-tanya demokratis, orang boleh percaya Tuhan boleh tidak, bahkan boleh percaya dan menyembah setan. Orang boleh free-sex dengan la-wan jenis maupun sesama jenis, dan bahkan perkawinan sesama jenis dilegalkan.

Jika anda berpikir bahwa Demokrasi Pancasila adalah seperti yang diterapkan oleh Orde Baru, itu keliru besar. Orba memang meng-kampanyekan Demokrasi dan Pancasila, namun hanya sebatas slogan dan penataran, dan sama sekali tidak sampai tindakan praktis, apa-lagi teladan dari "atas".

Sedangkan yang saya maksud dengan Demokrasi Pancasila adalah memang benar-benar negara dan masyarakat yang berlandaskan sis-tem demokrasi—yakni yang menghargai hak dan kebebasan individu serta supremasi hukum—namun dalam konteks Pancasila. Artinya, demokrasi itu harus mengacu kepada lima sila, yakni:

1. Harus "Berketuhanan yang Maha Esa"; tidak boleh atheis, apalagi penyembah setan; sebab jika Tuhan tidak diindahkan, dari mana lagi moral bisa dipertahankan? Akibatnya akan gamblang, spiritualisme dan hedonisme pasti akan merajalela, dan itu akan merusak budaya kita sebagai orang Indonesia dan orang Timur.

Harap diingat, beberapa pemikir dan pencetus demokrasi dan

human right itu adalah secular humanist, existentialist, yang tidak

percaya agama dan tidak perduli Tuhan.

2. Harus "Berperikemanusiaan yang adil dan beradab"; jadi tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang seperti hukum rimba, siapa kuat dia menang. Jika ada yang bersalah, proses hukumlah yang akan memutuskan status dan hukumannya. Perlu kita renungkan dan ambil hikmahnya, bahwa sejak tragedi medio Mei 1998, bangsa kita yang terkenal ramah, sopan dan toleran, telah men-dapat cercaan—baik dari dalam negeri maupun luar negeri—se-bagai bangsa yang biadab, yang masyarakatnya seolah-olah "ber-darah dingin", yang mampu menjarah dan membakar harta orang lain, bahkan sesamanya, sambil tertawa riang, yang mampu meng-aniaya; bahkan memperkosa massal orang yang tidak relevan ber-salah, dengan suka cita (semua kebiadaban itu terdokumentasi dan ditayangkan di media cetak maupun elektronik internasional). Itu bukanlah kemanusiaan yang adil apalagi beradab!

3. Harus "Persatuan Indonesia"; kita perlu mewaspadai siapa pun juga—baik pihak-pihak dari luar negeri maupun tokoh-tokoh masyarakat kita—yang berniat untuk menghancurkan bangsa kita dengan alasan apa pun, termasuk demokrasi atau reformasi atau federalisme. Jangan terjebak dengan isu demokrasi sehingga kita meniru Uni Soviet, dari negara adidaya menjadi negara miskin babak belur terpecah belah. Demokrasi memperbolehkan warga menuntut hak atau memprotes apa saja, selama dalam konteks persatuan Indonesia, sehingga ide untuk meminta opsi merdeka dari negara kesatuan RI harus dilarang. Jika membandel, harus ditindak tegas dan diperlakukan sebagai pemberontak! Dalam hal ini, jangan takut terhadap pihak mana pun, sebab jika ada negara asing—Amerika sekalipun—yang mengecam tindakan represif me-nentang pemberontak, telah mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, dan mereka salah. Apalagi jika yang memprotes adalah oknum DPR/MPR kita sendiri, maka orang yang memprotes itu bisa disebut pengkhianat bangsa, dan bukan warga negara

Indo-nesia yang baik. Jadi demi nama rakyat IndoIndo-nesia, orang itu harus diberhentikan sebagai wakil rakyat.

4. Harus "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"; sebagai mana halnya dalam negara demokratis, wakil rakyat dipilih oleh rakyat. Jadi tidak ada yang boleh menjadi wakil rakyat tanpa dipilih oleh rakyat (diangkat misalnya); dan sesuai namanya, wakil rakyat, anggota DPR/MPR harus berperilaku sebagaimana rakyat yang diwakilinya—jadi jangan tunduknya kepada pimpinan partai atau atasan—agar ji-ka masyaraji-kat mempunyai aspirasi ataupun keluhan dapat di-sampaikan kepada wakilnya di DPR. Sebab jika DPR mandul, akan tinibul "Parlemen Jalanan", yang seharusnya membuat DPR/ MPR malu, karena telah terjadi distorsi antara rakyat dan "wa-kilnya". Penting diingat bahwa DPR/MPR harus memimpin dengan hikmat kebijaksanaan. Jadi bukan "asbun" (asal bunyi) atau "asal" (asal vokal) atau "asin" (asal interupsi), yang meng-indikasikan kurang hikmat. Pada jaman orba wakil rakyatnya ter-lalu sunyi karena hanya bisa mengangguk-angguk tanda setuju dan mengantuk, namun pada jaman reformasi terlalu nyaring se-perti ayam jago, dan mudah tersinggung. Seharusnya sebelum berbunyi, dipikirkan dulu benar tidaknya, relevan tidaknya, dan untung ruginya, serta hikmat bijaksana atau tidaknya. Berhikmat juga berarti tidak usil, tidak diskriminatif, tidak berlagak terhormat, dan tentunya tidak arogan; yang paling penting, sebagai wakil rakyat, janganlah mempunyai kebencian atau sentimen terhadap rakyatnya sendiri, misalnya kelompok minoritas tertentu yang berbeda suku, agama, ras, atau golongan politiknya. Berhikmat juga berarti bisa berbeda dalam persamaan, dan bersama dalam perbedaan, karena, manusia dan kehidupan bermasyarakat itu bukan produk seragam kodian hasil konveksi.

5. Harus "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Adil artinya tidak berat sebelah, seperti neraca adalah seimbang. Jadi peme-rintah harus memperhatikan dan membantu bukan hanya orang besar namun juga orang kecil, bukan hanya orang kota, namun juga orang desa, bukan hanya pria namun juga wanita, bukan

hanya orang tua namun juga orang muda, bukan hanya sekutu politik namun juga oposan, bukan hanya yang seagama namun juga yang beragama lain, bukan hanya yang sesuku namun juga dari suku lain. Demikian juga sebaliknya, jika ada yang bersalah dan perlu dihukum, tidak ada lagi diskriminasi atau pilih kasih. Kaya atau miskin, kawan atau lawan, jika bersalah harus dihukum, dan jika benar harus dibela. Tidak ada lagi yang bisa membeli ke-adilan dengan uang atau tekanan kekuasaan. Itulah artinya ber-keadilan sosial, dan itulah salah satu praktek demokrasi; dan kita, Indonesia, masih sangat jauuuuuuuhh sekali dari keadilan sosial semacam itu (kecuali jalan Keadilan, memang dekat dengan jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Jakarta Kota), karena kita masih "memandang muka penguasa" dan "memandang uang".

Saya curiga bahwa peranan Amerika terhadap demokratisasi global sangat kuat. Dengan berbagai macam cara—halus atau kasar, misalnya dengan propaganda, memanfaatkan PBB dan atau dikaitkan dengan dana pinjaman dan/atau hibah—Amerika menginginkan de-mokrasi menjadi sistem yang dianut oleh negara-negara yang bisa di-pengaruhinya. Padahal, jika tidak hati-hati (tergesa-gesa tanpa mem-persiapkan infrastrukturnya) mengubah ideologi lama (otoriter atau komunisme misalnya) menjadi demokratis, bisa berbahaya. Rakyat yang sudah lama hidup dalam kekangan dan tekanan bisa meledak liar dan brutal jika dibiarkan bebas tanpa kendali, dan akhirnya bisa menghancurkan negara bersangkutan.

Uni Soviet adalah contoh yang paling dramatis. Indonesia juga mempunyai contoh yang tidak kalah seramnya. Coba simak, sejak isu demokrasi (yang diistilahkan reformasi total) digulirkan, negara kita tidak berhenti-hentinya dilanda dengan keresahan sosial dan krisis (ekonomi, sosial, politik) yang berkepanjangan. Demonstrasi, orasi yang semarak dengan kata-kata hujatan dan hasutan hampir se-tiap hari terjadi. Orang dengan mudahnya membentuk kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi (informal, politik ataupun LSM) dengan nama yang seram dengan atribut berbau SARA, yang kapan saja bisa "ditunggangi" kelompoknya untuk unjuk rasa atau

memprotes siapa saja yang tidak disukainya, atau yang dipesan oleh orang tertentu untuk melakukan demo. Bahkan pertemuan massa merupakan event yang rawan tindak anarki.

Jika suatu negara terus-menerus diteror dengan berbagai aksi unjuk rasa dan pernyataan-pernyataan politik yang mengiriskan hati, bagaimana ekonomi bisa cepat pulih? Bagaimana orang mau datang ke Indonesia dan berinvestasi? Bagaimana masyarakat bisa hidup tenang, damai dan beraktivitas? Jika semua orang mengurung diri di rumah—dan dananya diparkir di luar negeri—karena takut isu kerusuhan dan/atau penjarahan, bagaimana bisnis bisa berjalan baik? Jika tidak ada bisnis, ekonomi akan macet, karyawan di-PHK, pengangguran meningkat, tindak kriminal meningkat, rasa aman hilang. Ujungnya adalah kehancuran negara.

Para pemimpin negara Cina mahfum betul akan risiko itu, sehingga sekalipun ditekan oleh Amerika agar lebih demokratis dan lebih meningkatkan HAM, Cina bersikeras untuk menjalankan negaranya dengan caranya sendiri. Cina bisa dan berani bertindak seperti itu, karena Cina bangsa yang besar dengan ekonomi dan militer yang kuat. Amerika atau negara mana pun juga akan berpikir tigapuluh kali untuk "mengusik naga tidur". Indonesia pun sebenarnya bisa bertindak tegas dan mandiri terhadap tekanan negara asing, dengan syarat... jangan mengemis utang! Jadilah negara yang berkarakter, kuat, dan punya keunggulan kompetitif global. Dengan modal kekayaan alam dan populasi penduduk keempat terbesar di dunia, kepemimpinan yang benefisial, serta dukungan seluruh rakyat Indonesia, kita bisa menjadi negara hebat!!

Di bawah ini saya sampaikan kutipan artikel yang banyak diberitakan media massa pada tanggal 31 Januari 2000:

Cina: AS Jangan Coba-Coba Dukung Resolusi And Cina

BEIJING — Cina memperingatkan Amerika Serikat agar negara adi-daya ini tidak coba-coba mendukung resolusi bak asasi manusia (ELAM) di Komisi HAM PBB di Jenewa.

Menurut wakil Menlu Wang Guangya, dialog bilateral HAM akan merig-alami kemunduran serius jika AS mendukung resolusi HAM yang me-ngecam pelaksanaan HAM di Cina. Resolusi ini rencananya bakal di-ajukan ke Komisi HAM PBB Maret 2000.

"Sebuab dialog mengenai HAM antara Cina dan AS tidak akan mungkin jika tidak ada langkab konkret yang diambil oleb AS untuk menekan efek yang merugikan atas resolusi anti-Cina tersebut," tutur Wang dikutip barian resmi Cina, Cbina Daily.

Menurut Wang, rencana AS untuk "mengecam" HAM Cina tidak ber-dasarkan kebenaran. Pasalnya, kata Wang, "Cina kini berada pada situasi HAM yang terbaik dalani sejarab."

"Warga Cina telab memiliki kebidupan bak sosial, ekonomi, dan budaya yang lebib baik," ujarnya. Wang menuding "pasukan anti-Cina" di AS menggunakan HAM sebagai alasan untuk merusak stabilitas politik dan pembangunan Cina.

"Konrrontasi tidak akan menyelesaikan masalab apa pun," ujar Wang sambil melanjutkan, "Sebarusnya tak satu pun coba-coba menjadi guru bagi yang lainnya.

"Perbedaan antara negara maju dan negara berkembang mengenai HAM sebarusnya tidak menjadi pengbalang bagi perkembangan bubungan me-reka, tidak juga menjadi alat untuk mencampuri urusan dalam negeri pi-bak lain," tegasnya.

Wang kemudian meriunjuk pada contob kasus di AS, babwa Kongres AS masib belum meratirikasi Perjanjian Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kongres AS babkan memerlukan waktu bertabun-tabun sebelum meratirikasi Perjanjian Hak Sipil dan Politik. Wang me-nuding AS menetapkan standar ganda — menggunakan pasukan militer untuk sekte pemujaan Brancb Davidian namun mengkritik aksi Cina terbadap Falun Gong.

Pekan lalu, jurubicara AS James Rubin menyatakan HAM Cina

Dalam dokumen Just_Duit_-_Johanes_Lim_-_bhs_indonesia (Halaman 121-134)