• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diksi Sosial

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 33-35)

BAB III TOKOH PENELITI SOSIOLOGI SASTRA

A. Wordsworth

3. Diksi Sosial

Wordsworth (Abrams, 1953) juga penggagas diksi-diksi sosial dalam karya sastra. Sastra menampilkan daya pikat diksi sosial yang luar biasa. Diksi-diksi puisi

misalnya, tergolong khas menyuarakan fenomena sosial. Diksi sebuah puisi juga melukiskan kondisi sosial. Diksi-diksi sosial sebenarnya banyak mewarnai sejumlah puisi. Penyair yang handal, akan selektif memilih diksi-diksi sosial. Diksi-diksi yang keruh, kotor, kumus, lebam, busuk, dan seterusnya melukiskan lingkungan sosial yang tidak nyaman. Berbeda dengan diksi nglilir, bangkit, damai, dan nyaman, adalah lukisan suasana sosial yang enak. Dalam setiap teori bahwa puisi adalah ungkapan rasa, pertanyaan tentang diksi cenderung menjadi primer. Diksi menjadi wahana imajinasi sosial yang luar biasa. Untuk perasaan penyair yang paling mudah dipahami meluap, tidak menjadi plot atau menjadi karakter, tetapi dalam kata-kata, dan itu menjadi tugas utama dari kritikus untuk merumuskan standar yang bahasa puisi harus diatur dan dinilai.

Bahasa puisi adalah khas. Diksi sosial sebuah puisi, kadang menyuarakan nada jengel, berontak, menyerang, dan menentang. Diksi puisi merupakan seleksi kata, yang benar-benar tajam. Bahasa puisi menyamarkan keadaan sosial. Wordsworth mengabdikan sebagian besar pada pendahuluan yang khusus gelap dan samar-samar dibuktikan oleh perselisihan tak berujung tentang makna dari hari ke hari tidak ppernah tuntas. Sebagian besar kesulitan timbul dari formulasi berulang-ulang dari norma puitis sebagai pilihan bahasa nyata laki-laki, atau bahasa yang benar-benar diucapkan oleh orang-orang. Bahasa penyair wanita tentu beda dengan bahasa laki-laki. Pilihan kata yang memuat gender, sering membawa pesan sosiologis tersendiri. Konteks total jelas bahwa (meskipun beberapa bimbang karena ambiguitas kata nyata) perlu penafsiran sosiologi kritis. Masalah utama Wordsworth adalah bukan dengan kata-kata tunggal atau urutan gramatikal wacana prosa, tetapi dengan figura keberangkatan wacana literal dan utama. Penyair membahasakan lingkungan sosial penuh sihir kata. Kata sering disihir menjadi ungkapan yang penuh muatan makna. Puisi lahir dengan diksi kias, bukan lugas, sehingga ada penyimpangan. Penyimpangan makna sering menarik perhatian para peneliti.

Wordsworth menunjukkan bahwa penyimpangan tersebut dibenarkan dalam ayat hanya bila mereka memiliki penyebab psikologis yang sama yang mereka miliki dalam pidato polos setiap hari. Mereka yang telah berpikir untuk memalukan argumen Wordsworth dengan menunjukkan bahwa dalam puisi menggunakan kosakata yang lebih besar dan sintaksis berbeda dari petani, dan sebagian besar telah kehilangan intinya. Dalam teori Wordsworth relasi antara bahasa pidato seorang gembala yang gramatikal, tetapi tujuan genetik kesetaraan tenut berbeda dengan puisi. Orang berpidao sering berpuisi. Kedua bentuk wacana adalah contoh bahasa yang benar-benar diucapkan oleh laki-laki di bawah tekanan asli perasaan. Sekali lagi argumen Wordsworth adalah diklarifikasi jika kita melihatnya dalam perspektif kritik-abad kedelapan belas.

Pertama, dalam penggunaannya, istilah nyata sebagai norma bahasa puitis adalah sebagian besar dipertukarkan dengan istilah bahasa alam yang sesungguhnya merupakan salah satu frasa. Bahasa alam bukanlah bahasa penyair sebagai suatu kelas, tetapi bahasa umat manusia. Hal ini tidak berwarna, seperti Wordsworth mengatakan, oleh diksi khas bagi seorang penyair individu atau milik hanya untuk penyair pada umumnya.

Kedua, hal ini ditunjukkan dalam bahasa yang diucapkan oleh para penyair paling awal, yang` menulis secara alami, dan sebagai laki-laki dan dalam prosa, contoh yang terbaik saat ini adalah ekspresi sederhana. Ekspresi sederhana sering hampa makna, tetapi tetap dapat ditafsirkan. Permainan bunyi dalam puisi tradisional, justru menyebabkan puisi itu tahan jaman.

Ketiga, diksi dianggap mewakili genetik sastra, yaitu bahasa alami yang spontan menjadi kata-kata, dan karena itu bertentangan dengan adaptasi sengaja berarti untuk mengakhiri, dan kepatuhan terhadap konvensi khusus puitis, yang mencirikan seni.

Puisi yang berkualitas, menurut Wordsworth puisi adalah karya yang memberi kesenangan, yang melibatkan pilihan kata untuk menghapus apa yang akan menyakitkan atau menjijikkan dalam gairah. Diksi termaksud meningkatkan sifat kata-kata dan merupakan emanasi dari realitas dan kebenaran. Singkatnya, dalam menetapkan standar diksi puitis, Wordsworth mengadopsi dan menguraikan antitesis lama antara alam dan seni. Meskipun esai Wordsworth berkelanjutan tetap wajar dalam prosa dan hal itu belum mendapat perhatian yang memadai dari pelajar yang mendalami teori sastra. Semua kecerdasan tersebut adalah kecerdasan palsu, dan semua seni berfungsi untuk memutarbalikkan apa yang dia sebut puisi asli.

Wordsworth juga menolak konsep terkait bahasa sebagai keindahan pemikiran. Dia cenderung membenarkan kiasan umum. Karakteristik dari penyair abad kedelapan belas menandai bahwa diksi ini adalah sebuah artifisial. Puisi lebih menekankan kesejukan yang berlawanan dari alam secara historis. Setidaknya dalam pengertian pragmatik bahwa teori itu adalah hipotesis kerja, sehingga membantu membentuk prosedur. Puisi yang baik hanya diproduksi oleh seorang penyair yang telah berpikir panjang dan mendalam. Dengan cara ini, ia memiliki estetika halus ke dalam konsepsi dari sebuah spontanitas. Ini adalah kekuatan teori ekspresif. Wordsworth berpendapat bahwa alam dalam puisi harus menjadi sebuah berpakaian.

Penyair yang romantis harus melebihi kritikus neo-klasik. Wordsworth berada di satu jalur pemikiran dengan Boileau, Paus, dan Johnson bahwa penggantian puisi sebagai luapan perasaan, namun untuk puisi sebagai imitasi kesenangan diberlakukan perubahan dalam penerapan. Puisi sebagai kesenangan, tentu jeli terhadap kebutuhan sosial pembacanya. Karena seorang penyair adalah orang berbicara dengan sudut pandang laki-laki, untuk mengungkapkan perasaan spontan, kadang-kadang yang disorot adalah dunia sosial wanita. Kebobrokan sosial wanita, seperti kehidupan seks komersial, sering menjadi perhatian penyair. Dari sini lahirlah balada-balada, yang menganyam kehidupan wanita di dunia sosial gelap.

Menurut Wordsworth mata penyair disimpan pada subjeknya, begitu rapi dan tersembunyi. Mata penyair merupakan mata imajinatif, karenanya mampu menembus apa saja. Penyair adalah orang yang kaya diksi sosial. Apa saja dapat diekspresikan lewat kata. Kata-kata baru sebagai ciptaan sosial,dengan sendirinya akan membangun suasana. Kata-kata tersebut memiliki ruh sosial.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 33-35)