• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Ideolo gi dan Tendensius

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 149-151)

BAB XII RAGAM PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA

A. Sastra Ideolo gi dan Tendensius

Sastra ideologi adalah bagian dari kajian sosiologi sastra yang melacak sebuah paham, yang terpantul dalam sastra. Ideologi adalah bagian dari gagasan (mental) seseorang yang dapat mendorong sebuah cipta sastra. Ideologi yang akan melahirkan karya-karya transcendental, material, sosial, dan sebagainya. Bahkan kalau direnungkan, sastra ideologi jelas besar pengaruhnya terhadap pembaca. Ideologi dapat menggiring perhatian pembaca, agar mengikuti gerak sastra.

Sastra ideologis biasanya bersifat tendensius. Sastra semacam ini memliki kecenderungan untuk propaganda sesuatu. Tugas peneliti adalah menangkap tendensi-tendensi di balik realitas itu. Kajian sosiologi sastra seharusnya mampu menangkap ide-ide besar dalam sastra. Ide-ide sosial pun tidak kalah menarik, sehingga perlu diungkap secara jernih. Ide-ide cemerlang yang sengaja atau tak sengaja dilesapkan dalam sastra, perlu ditemukan. Hal inisekaligus menandai bahwa kajian sosiologi sastra memang cukup luas. Ketika sosiologi sastra bersentuhan dengan masalah ide, filosofi, dan sejumlah keinginan sosial, akan memunculkan ideologi tertentu. Ideologi kolektif sering mempengaruhi hadirnya karya sastra khas. Dalam kaitan ini, Faruk (1999:61- 65) menyatakan teori sosiologi sastra mengakui kompleksitas hubungan antara sastra sebagai superstruktur dengan struktur kelas ekonomi sebagai infrastrukturnya. Di dalam teori itu hubungan antara sastra dengan masyarakat dipahami tidak secara langsung, melainkan melalui berbagai mediasi. Di antara mediasi yang paling abstrak tidak lain masalah ideologi. Karya sastra memiliki tendesi ideologi, yang mampu menggiring pembaca untuk melakukan sesuatu.

Meskipun demikian, pengakuan atas kompleksitas hubungan tersebut tidak dengan sendirinya meniadakan sastra sebagai variabel tergantung, gejala kedua yang eksistensinya ditentukan oleh masyarakat. Sastra tetap diperlakukan sebagai lembaga sosial yang tidak mempunyai otonomi dan mempunyai kemungkinan untuk mengandung sifat formatif terhadap masyarakat. Di tingkat lembaga sosial itu, sastra juga meluncurkan ideologi kritis. Misalnya, sastra yang diboncengi ideologi marxis, ideologi priyayi, ideologi buruh, dan seterusnya akan menciptakan karya sastra yang tendensius. Sastra seakan hendak menenamkan ideologi yang dibangun bertahun-tahun

oleh sastrawan. Lewat estetika, ideologi dibangun untuk meluruskan hal-hal bengkok di masyarakat.

Teori sosiologi sastra yang memuat lembaga sosial, tidak akan lepas dari sebuah ideologi dan budaya. Sastra adalah dunia ide yang memiliki ideologi khusus. Ideologi akan tergambar lewat budaya sebuah masyarakat. Teori-teori sosiologi barat, yang merujuk ke arah demikian, biasanya dipelopori oleh gerakan marxis. Teori sosiologi marxis, tidak akan lepas dari pembagian kelas, sosial, ekonomi, dan dunia kapitalis. Sebagaimana halnya Marx sendiri, tetapi berbeda dari kaum marxis ortodoks, Gramsci (Faruk, 1999) menganggap dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya sebagal refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan material itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Bagi Gramsci (Faruk, 1999), hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi.

Sebagai contoh dari kenyataan di atas, Gramsci (Faruk, 1999) menunjuk kepada kasus revolusi Perancis. Menurutnya, revolusi fisik dalam kasus tersebut tidak akan terjadi kalau sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis yang merupakan kebangkitan dan penyebaran filsafat Pencerahan. Pencerahan, bagi Gramsci, merupakan revolusi yang luar biasa dalam dirinya sendiri. Filsafat tersebut memberikan pada seluruh Eropa suatu semangat borjuis internasional dalam bentuk satu kesadaran yang terpadu, suatu kesadaran yang sensitif terhadap seluruh nasib masyarakat umum. Karena itu, "bayonet tentara-tentara Napoleon menemukan jalannya telah dilicinkan oleh tentara buku-buku dan pamflet-pamflet yang tidak terlihat dan sudah memenuhi Paris dari pertengahan abad XVIII".

Saya memandang gagasan Gramsci itu juga terjadi di Indonesia. Di Jawa misalnya, di era revolusi dan feudal, banyak ide-ide perubahan fisik terjadi karena pengaruh sastra. Kaum feudal yang begitu gencar membangun revolusi fisik Jawa, telah dipengaruhi oleh ideologi sastra-sastra priyayi. Kultur priyayi semakin merajalela, hingga kekuasaan kaum laki-laki mendominasi perempuan. Hadirnya Serat Wulang Putri, Serat Candrarini, Serat Wulang Putra dan sebagainya jelas lahir dari ideologi priyayi, yang menyebabkan segala perubahan kultur dan fisik di hamparan Jawa. Oleh karena itu, persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya pun berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, irradiasi, penyebaran, dan persuasi. Kemampuan gagasan/opini menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni.

Sastra ideologi dan tendensius memang dekat dengan hegemoni. Karya tersebut akan mempengaruhi hegemoni suatu kelompok sosial. Setiap kelompok sering menghegemoni kelompok lain. Apalagi kalau kelompok itu memiliki tendensi tertentu, karya yang dilahirkan jelas untuk mempengaruhi orang lain. Karya sastra hegemonik dengan sendirinya menyebarkan ideologi tendensius. Karya-karya babad, biasanya memuat ideologi penguasa, agar rakyat tunduk dan

patuh. Sastra berbentuk babad juga termasuk karya yang banyak memegang teguh aspek mitos. Mitos tidak lain sebuah ideologi dan tendensius untuk mempengaruhi pihak lain.

Banyak sastra ideologi dan tendensius yang digunakan untuk mempengaruhi pembaca. Sastra anak pun, tidak sedikit yang memiliki ideologi dan tendensi khusus. Lelagon anak Sluku-sluku Bathok misalnya, juga memuat ideologi dan tendensi Islam Kejawen. Sastra anak berjudul Kancil Nyolong Timun, tentu dapat dilacak ideologi kritis dan tendensi kecerdasannya. Jika demikian, sastra memang memiliki ideologi tertentu yang tidak lepas dari dunia di sekitarnya. Dunia sosial budaya jelas pemasok penting dalam kibaran sastra. Tendensi-tendensi apa saja, sering diselipkan dalam sastra, hingga tampak indah dan bermakna. Tendensi sastra selalu dibungkus rapat dengan selubung estetika dan artistika.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 149-151)