• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teater Mengubah Kehidupan Sosial

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 137-139)

BAB XI PENELITIAN SOSIOLOGI TEATER

A. Teater Mengubah Kehidupan Sosial

Teater adalah ekspresi dunia sekitar kita. Teater jelas sastra pertunjukan. Tidak akan mempeproleh kejelasan makna, apabila kajian sosiologis teaterhanya mencermati teks. Lewat teater, orang dapat memainkan kisah apa saja. Dunia teater pada masa lalu senantiasa jaya, karena memang telah memiliki andil dan merubah kehidupan. Kelompok teater Laskar, Gandrik, Sega Gurih, dan teater tradisional. Teater dapat berkembang, karena ada medianya. Banyak arena teater, yang secara sosial menggambarkan dunia sosial.

Schucking (1966:1-5) berpendapat bahwa sastra di masa lalu harus dihormati, dan karya seniman itu tidak lagi diarahkan oleh sebuah kelompok sosial kecil dan eksklusif. Masa lampau, sastra digerakkan oleh kelompok sosial yang lebih besar untuk membangun suasana dan memberikan nafas hidupnya. Sastrawan pada masa itu juga sering tergantung pada manajer teater yang gerak-geriknya. Namun dalam karya teater yang memenangkan tepuk tangan di mata penonton adalah justru orang yang melalui kedekatan dengan kehidupan dan psikologi realistik. Ketika teater itu banyak melukiskan realitas sosial, semakin menarik dan mendapat sambutan istimewa.

Jadi belenggu tradisi sastra bisa terjadi lepas dari kekayaan bakat yang bervariasi. Banyak perkembangan sastra yang tergantung pada komposisi publik, begitu pula dalam kehidupan teater, kelompok sosial penonton memiliki andil yang luar biasa. Kondisi teater di Inggris, yang selalu liberal jelas berbeda dengan Perancis, dan apalagi dengan Indonesia. Namun dari tiga wilayah yang berbeda itu, dapat saya duga kalau efek pandangan sosial selalu memainkan peranan berharga. Teater senantiasa dipicu oleh aktivitas sosial penonton. Karena itu dalam kajian sosiologi teater, menurut Schucking (1966:9-14) perlu memperhatikan pandangan sosial penonton, sutradara, dramawan, dan seluruh aktor yang terlibat. Bakat teater memang tidak boleh dilupakan, namun hal itu sering dipengaruhi pula oleh interaksi sosial. Interaksi sosial ini akan menggugah para dermawan yang mau mau mengayomi teater, seperti halnya ketika mementaskan karya-karya Shakespeare dan Albert Camus.

Para dermawan jelas memungkinkan teater memperoleh hidup yang aman. Tidak semua orang kaya mau mendanai pentas-pentas teater. Kepedulian sosial konglomerat saya kira perlu diperhatikan dalam kajian sosiologi teater. Oleh sebab itu, seringkali konsepsi kekayaan intelektual kalah dengan sang penguasa, terutama para konglomerat. Penulis naskah teater yang menerima banyak finansial dibanding para aktor juga sering menjadi kecemburuan sosial. Hal ini nampak pada nasib

Thomas Kyd, penulis tragedi Spanyol, hampir pasti lebih mulia dibanding pada pemain. Berbeda di era sekarang, seringkali aktor (pemain) justru lebih terkenal, banyak finansial dibanding sang penulis naskah. Apalagi dengan banyaknya bajakan-bajakan naskah, seperti naskah ketoprak di era seni aristokrat, penulis sering terabaikan. Realitas semacam ini perlu diperhatikan oleh peneliti sosiolog teater.

Pada tahap perkembangan teater populer di Indonesia, seperti hadirnya ketoprak plesetan, ketoprak humor, jelas memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan sastra nanti. Banyak teater modern yang memenangkan tepuk tangan orang banyak oleh ketegangan ekstrim dramatis. Mereka tepuk tangan karena ada hal-hal lucu yang memukau dari sebuah pertunjukkan, tanpa disertai motivasi psikologis yang mendalam. Tapi ini bukan tujuan dari seni klasik yang menemukan pendukungnya di kalangan berduit dan aristokrat dan akademis.Bagaimanapun suasanya, teater modern tetap berkembang, dengan manajemen kacangan. Artinya, mermeka bekerja dengan manajer bantingan (tanpa bayaran), kecuali kepuasan batin dan kenikmatan sosial.

Menurut Garnier, gerakan teater harus menempatkan dirinya untuk menerjemahkan tragedi klasik membosankan sekalipun. Kebosanan penonton biasanya dipicu ketidakmapanan penopang dana teater itu. Yang dipentingkan dalam teater adalah kemampuan pekerja seni memiliki perhatian selaras dengan rasa budaya pelanggannya. Kasus ini tidak lebih luar biasa, sebab pengalaman saya menggelar teater (drama) di kampus, kalau harus dari orang yang berbakat luar biasa, jelas kurang sukses. Dari para pelanggan, penonton, memang ada yang penuh idealisme, dan sering ditinggalkan kelompok sosialnya. Padahal dunia kita masih rendah menghargai kerja teater. Dunia aristokrat (priyayi) pun belum tersentuh untuk ikut mengayomi, dengan cara menyokong aktivitas teater.

Pengaruh kekuatan sosial dan kelompok aristokrat terhadap sastra, jelas tidak boleh dilupakan dalam kajian sosiologi teater. Publik sering mengembangkan skala yang lebih luas dan memiliki tuntutan tertentu pada aktivitas teater. Umumnya, ada yang menonton teater karena terpaksa, bukan sebuah kebutuhan. Tampaknya, pengayom teater, terutama penerbit juga tergantung pada langganan. Istilah pelanggan ini di jagad teater Indonesia, masih terbatas pada koneksi sosial saja. Teater panggung, tentu berbeda dengan teater di layar kaca (televisi). Group ketoprak Siswo Budaya dari Tulungagung, ketika saya bertemu manajernya di hotel Utami Surabaya, katanya sekarang juga mulai kerepotan menghadapi pelanggan.

Penerbit dan pengusaha teater jelas memiliki hubungan dengan penulis naskah dan pelanggan individu. Mereka itu tepat disebut semacam patronase kolektif, yang menghidupi teater secara keseluruhan. Hidup mati suatu kelompok teater, selain pelanggan juga pelindung yang seharusnya bertanggung jawab. Apalagi sekarang sudah ada gejala sosial yang mulai mendesak dunia teater. Teater seperti ketoprak, ludruk, wayang, dianggap hanya sebagai klangenan (entertainment) semata. Wajah teater juga sering dianggap sebagai dunia yang aneh-aneh. Akibatnya, suasana pertunjukkan menjadi kurang sukses secara finansial.

Jagad teater, merupakan bentuk sastra yang dipentaskan. Tiap pentas akan menghadirkan berbagai elemen masyarakat. Setiap strata sosial, dapat digali dan dipentaskan. Saya setiap enam bulan sekali, selalu mementaskan teater Jawa, Yang pentas para mahasiswa, dengan berbagai lakon, mulai teater tradisional sampai modern. Teater tradisional, tanggal 6, 11, dan 12 Juni 2011 telah menampilkan berbagai lakon seperti (1) Kembang Pudhak Kencana, (2) Simbok, (3) Minak Jingga

Lena, dan sebagainya yang dapat memukau penonton. Teater tradisional memang sering mudah ditebak lika-likunya. Berbeda dengan teater modern, banyak permainan baru yang serba sulit diterka.

Dunia teater jelas gambaran kehidupaan sosial. Teater mengangkat kehidupan sosial untuk menyedot perhatian penonton. Oleh sebab itu, kajian sosiologi teater perlu memperhatikan dunia sosial yang mengitari pertunjukan. Teater adalah wajah kehidupan yang diimajinansikan dengan berbagai perangkat seni. Teater adalah karya sastra yang telah dibumbui seni bermacam-macam.

Tentu saja, bidang garap teater tradisional dan teater modern dapat berbeda- beda. Insrumen pembangun seni teater pun ikut bermain dalam meningkatkan hiburan. Apalagi teater yang sengaja dijual, masuk dengan karcis, tentu memiliki aspek sosiologis yang unik. Kajian sosiologi teater tentu perlu merambah aspek penonton, naskah, pemain, dan daya dukung lain. Bahkan secara sosiologis, teater akan melibatkan unsur produksi yang patut dipertimbangkan.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 137-139)