• Tidak ada hasil yang ditemukan

Robert Escarpit: Fragmentasi Sosial

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 42-45)

BAB III TOKOH PENELITI SOSIOLOGI SASTRA

E. Robert Escarpit: Fragmentasi Sosial

Sastra memang sebuah fragmentasi sosial. Sastra tidak mungkin mengekspresikan seluruh kehidupan. Hanya bagian fragmen penting saja yang digarap oleh sastrawan. Gagasan semacam ini, dipelopori oleh Robert Escarpit. Dia pemerhati sosiologi sastra ulung. Nama Robert Escarpit tergolong tokoh senior dalam bidang sosiologi sastra. Tokoh besar ini lebih menawarkan ide-ide kajian sosiologi tentang proses komunikasi sastra. Sastra lahir sebagai komunikasi sosial. Sastra adalah hasil potongan-potongan sosial. Tidak harus seluruh hal masuk dalam sastra. Seleksi bahan sosial satsra itu yang menyebabkan sastra lebih sebagai pilihan hidup,

Escarpit (2005) semula menulis teori sosiologi sastra dalam bahasa Perancis. Dia banyak menawarkan pendekatan sosiologi sastra, khususnya terkait dengan reproduksi sastra. Pendekatan kedua dalam bidang sosiologi sastra jauh dari penekanan pada karya sastra itu sendiri ke sisi produksi, dan terutama untuk situasi sosial penulis. Produksi sastra terkait dengan situasi sosial penulis. Penulis tidak mungkin lari dari realitas sosial.

Sebuah otoritas terkemuka di bidang ini, sosiolog Perancis Roberts Escarpit, telah cenderung memusatkan diri khusus pada aspek ini. Patronase dan biaya produksi mengganti teks sastra sebagai pusat diskusi. Jadi penulis yang berhubungan dengan pelindung, sering kali salah sasaran dan buruk, yang

ditelusuri secara detail,yang mendapat perlindungan dari masyarakat abad pertengahan yaitu abad kedelapan belas. Kalau saya perhatikan di jagad sastra Jawa, masalah patron sastra era masa lalu adalah raja. Sekarang,raja sudah tidak ada, maka patron sastra lebih ke arah redaksi majalah dan buku.

Dengan meningkatnya penerbitan secara mudah dalam sistem patronase memberikan kesempatan pada otokrasi penerbit dan penjual buku, pertumbuhan terlalu pesat, dari kelas menengah khususnya di abad kedelapan belas akhir, cukup membantu untuk menggeser posisi penulis dari salah satu ketergantungan terhadap salah satu profesi. Demokratisasi ini merupakan kebudayaan yang bertahap, sebagai sosiolog Karl Mannheim Jerman menyebutnya, sangat penting bagi munculnya novel. Novel adalah genre sastra kelas menengah, dan lebih ke arah munculnya sensibilitas modern atau psikologi modern. Kemenangan budaya kelas menengah dapat dilihat sebagai pertanda budaya massa dan virtual komersialisasi sastra.

Posisi penulis dalam masyarakat sangat penting sebagai gambaran pada situasi sosial sebelumnya, dan jelas akan mempengaruhi potensi kreatif dalam berbagai cara. antara latar belakang historis dan perkembangan sastra merupakan wilayah kunci dalam sosiologi sastra. Ini melibatkan masalah utama, yaitu hubungan yang tepat antara teks dan latar belakang - bagaimana produksi sastra dan konsumsi mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra tertentu? Perlu dicatat, bahwa meskipun pendekatan ini sangat penting untuk pemahaman sastra, sebagai dukungan penting bagi analisis tekstual, perawatan kelas harus dilaksanakan dalam rangka untuk menghindari bentuk-bentuk yang sangat mentah sehingga tidak terpengaruh oleh apa yang melekat di dalamnya. Karya sastra tidak harus menjadi epiphenomenon hanya di sekitar lingkungannya. Sastra dapat melejit dan meluas ke jagad mana saja.

Tema yang terus-menerus dari pendekatan sosiologis tertentu adalah penekanan pada peningkatan keterasingan penulis dari masyarakat dan dampak akibatnya pada gaya sastra dan konten. Fragmentasi sosial ini telah sering dilacak dengan penurunan patronase di akhir abad kedelapan belas dan munculnya penulis sebagai anggota intelektual yang mengambang bebas. Dalam masyarakat pra-industri, harmoni relatif ada antara penulis dan pembacanya. Peridean Athena, Aeschylus, Sophodes, dan Euripides kurang lebih terintegrasi ke dalam masyarakat dan tidak dianggap sebagai anggota kelas terpisah. Di Jawa, R. Ng. Ranggawarsita, R.Ng. Sindusastra, dan sebagainya juga hidup di lingkungan integrative (kraton). Mereka hidup sebagai pengarang dan dihidupi oleh penguasa.

Menurut Augustan Roma, sisi lain pemuliaan rezim oleh Horace dan Virgil dapat dilihat sebagai akibat langsung dari sistem patronase. Patronase sastra di era modern ini telah dikuasai oleh kapitalis (penerbit). Penerbit buku sastra pun sering tergilas oleh bidang lain. Banyak yang menganggap sastra itu belum begitu mendesak. Dengan penurunan Roma dan Athena patronase menjadi dukungan utama penulis misalnya, dalam Renaisans Italia dan dalam abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas di Francis patronase pengadilan kemudian sering diikuti oleh orang kaya, para penulis golongan bawah berlomba satu sama lain untuk makanan dan uang.

Peminat sastra dan penonton terbatas pada awal revolusi industri dan komersial masyarakat menurut tanggapan penulis. Ada keselarasan nilai antara penulis dan khalayak yang saling pengertian. Tetapi dengan munculnya kelas menengah khusus masyarakat, pinjaman perpustakaan, dan penerbitan murah, penulis terpaksa semakin bergantung pada sistem royalti untuk hidup mereka:

sastra, sebagaimana telah diamati, berubah menjadi perdagangan. Untuk penulis kreatif asli abad kesembilan belas dan awal akhir abad kedua puluh menyelesaikan keterasingan dari masyarakat dan memperkuat identifikasi dengan sebagian besar kelompok intelektual.

Titik-titik yang membagi periode yang masih memungkinkan bagi penulis untuk mengidentifikasi dengan kelas menengah dan mengekspresikan nilai- nilainya melalui sastra, sosial dan rasional, saat keraguan dan ketidakpastian yang menekankan pada psikologis dan subyektivis negara, telah sering dikutip pada tahun revolusi, 1848, saat Eropa mengalami berbagai macam konflik. Setelah itu, di sebagian besar negara Eropa Barat kelas menengah telah mencapai kekuasaan politik baik atau sedang dalam proses. Penulis kreatif, dengan fungsi kritisnya sekarang berubah dari yang biasanya.

Pikiran Escarpit memang cukup menggoda bagi studi sosiologi sastra terkait dengan sastra sebagai produk masyarakat. Sastra menjanjikan sesuatu bagi pengembangan masyarakat. Karya sastra yang best seller, tentu memiliki nilai khusus bagi masyarakat. Fakta sosial yang dikemukakan Escarpit (Anwar, 2010:239) memang tidak lepas dari pandangan Goldmann tentang strukturalisme genetic. Titik tumpu Goldman adalah pada karakter kolektif sastra sebagai proyeksi pandangan mental.Pengaruh Roland Barthes dan Jean-Paul Sartre yang menegaskan masalah (1) sejarah dan kehidupan sosial sering ada dalam eksistensi sastra ada dan (2) eksistensi sastra ada pada proses komunikasi dan keterbacaan secara sosial.

Sastra sering menerima pengaruh sejarah, sosial, dan ekonomi. Produk sastra ada kalanya dikendalikan oleh kapitalis. Sastra memuat dua fakta, yaitu (1) fakta sastra, yaitu eksistensi sastra dan (2) fakta sosial, yang mempengaruhi produksi sastra. Fakta sastra terkait dengan: (a) buku sastra, (b) sastra sebagai bahan bacaan, (c) sastra sebagai sastra. Ketiga hal itu ada keterkaitan fundamental, yang sering dikendalikan oleh pelaku ekonomi yaitu kapitalis. Sastra sebagai bacaan, tergantung tingkat keterbacaan sastra.

Karya sastra sebagai produksi sering menarik pikiran kritikus. Dari sisi sosiologi produksi sastra, ada beberapa taraf kualitas sastra, yaitu (1) sastra kategori rendah (infra-literature), (2) sastra marginal (marginale literature), (3) sastra pusat (central of literature), (4) sastra tinggi (high literature). Kategori demikian tentu tidak selamanya didukung banyak pihak. Riak-riak gelombang sastra selalu cair, tidak pernah pasti. Sastra sebagai komsumsi masyarakat selalu tidak lepas dari penilaian. Penikmat sastra bebas mengevaluasi sastra, menurut selera dan kapasitas masing-masing.

Kalau saya perhatikan, di nusantara ini, sastra lokal dan sastra pedalaman biasanya banyak tersisih. Sastra yang bernuansa keras, pemberontak, sering dimarginalkan. Sastra Marxis di dunia Barat biasanya semakin terkenal, dalam perjuangan kelas. Sebaliknya, sastra bernuansa kiri di nusantara semakin tidak mendapat tempat. Karya-karya sastra yang termarginalkan tidak berarti jauh dari fragmentasi sosial. Karya-karya tersebut boleh jadi justru emnyuarakan fragmentasi sosial yang luar biasa,

Atas dasar itu, memang peneliti sosiologi sastra perlu memasuki wilayah- wilayah unik aktivitas sosial sastra. Ada sebagian aktivitas sastra yang hanya atas dasar kemauan, dengan biaya kompromi, bantingan, dan seadanya tetapi tetap jalan terus. Kondisi sosial ekonomi sastrawan yang marginal dan berasal dari kelas bawah, seringkali justru lebih bertahan hidup. Dalam kondisi demikian, peneliti

akan mempertimbangkan seluruh aspek sosial yang mempengaruhi roda pergerakan sastra.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 42-45)