• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran Ruang Sosial dan Geografi

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 78-80)

BAB VI DIALEKTIKA PENELITIAN SOSIAL SASTRA

A. Kesadaran Ruang Sosial dan Geografi

Kesadaran sastrawan terhadap ruang dan geografi tidak perlu diragukan. Ruang akan menjilma ke dalam makna. Geografi sosial, akan menjadi latar sastra. Ruang dan geografi saling terkait, membentuk makna sastra. Sastra yang membicarakan manusia, tentu tidak lepas dari ruang dan geografi. Ketika suasana ruang gempa dan geografi tidak mendukung, manusia akan kawatir. Pada saat itu lahirlah karya-karya sastra yang mencekam.

Dalam pandangan Goldmann (1973:311) sastra, seni, filsafat, biasanya menampilkan hal-hal praktis dengan perantara bahasa khusus. Polesan bahasa dapat mengarahkan pembaca, bahwa karya sastra tertentu melukiskan pandangan dunia (world visions). Pandangan dunia tiap bangsa berbeda-beda. Tiap sejarah sosial juga memiliki pandangan dunia yang berlainan. Ruang-ruang dan wilayah geografi sering membentuk pandangan dunia. Sastrawan biasanya memandang dunia sekitarnya atas dasar ruang dan geografi, yang dikaitkan dengan hal-hal transendental.

Seperti banyak bidang sosiologi sastra memiliki perbedaan dengan sejarah. Namun, keduanya sebenarnya saling membutuhkan. Ini adalah mode untuk memperlakukan setiap disiplin sejarah, terutama jika untuk mencapai kembali dan melampaui abad kesembilan belas, sebagai latihan akademis agak tidak relevan dan tidak menguntungkan. Sosiologi sastra dan sejarah selalu sadar ruang dan geografi memiliki arti penting. Terlalu sering sejarah ide-ide cenderung untuk menyesuaikan diri dengan gagasan ini, bahwa tidak lebih menarik, bahkan mungkin merangsang, namun sebuah kemewahan yang ilmiah. Hal ini, tentu saja, studi tentang masa lalu sebagai teori sosiologi sastra, seperti sebuah spekulasi. Ilmu sosial tidak mungkin hanya dipahami dalam hal apa yang dilakukan hari ini, melainkan perlu menengok ruang dan geografi masa silam.

Setiap teori sastra dan masyarakat dapat ditunjukkan memiliki garis keturunan yang terus mempunyai pengaruh jelas pada pekerjaan ini. Kami akan menyatakan bahwa sejarah sosiologi sastra, pada waktu yang berbeda dan dalam penulis yang berbeda, justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan utama dari subjek, dan ada berbagai tanggapan yang dapat dilihat sebagai ideologi sebagai ketidakdewasaan ilmiah. Penguasaan teori sosial sastra yang lemah, akan mempengaruhi kedewasaan ilmiah.

Segers (2000:68-70) menyatakan bahwa ada dua kategori sosiologi sastra, yaitu (1) sosiologi sastra empirik dan (2) sosiologi sastra teks (diwakili paham marxosiologi sastra empirik, terkait dengan pengaruh sastra pada kehidupan sosial. Sosiologi ini sebagai studi mulai produksi sastra, distribusi, dan resepsi selalu ditelusur secara empirik. Adapun sosiologi teks, lebih terkait dengan teks sastra sebagai wkail dari sikap sosial, ada faktor historis, dan ekonomi. Teori

sosiologi sastra keduanya, jelas terkait dengan ruang-ruang kehidupan sosial dan geografinya. Ruang dan geografi sosial akan membangun pemaknaan baik sosiologi teks maupun sosiologi empirik.

Ruang dan geografi amat jelas lagi kalau menengok hubungan antara sastra dan masyarakat yang dikemukakan oleh filsuf dan kritikus Prancis, Hippolyte Taine (1828:93). Dia bukan yang pertama, tentu saja, untuk memahami implikasi sosial dari seni imajinatif. Dia sangat jelas memperhatikan ruang dan kondisi geografis, biarpun tidak secara tegas menyebut kedua istilah itu. Melalui konsepsi Plato, dia mencoba meramu konsepsi ruang dan geografi dalam sastra. Sastra tidak mungkin lepas dari realitas ruang dan geografi. Konsepsi Plato mengenai imitasi menyiratkan pandangan sastra sebagai refleksi masyarakat. Tapi sebelum Taine analisis sosial sastra berada di ranah sosiologis yang masih tipis dalam hal menangkap isi, serta kurang ilmiah. Memang, sampai awal abad ketujuh belas, sastra sudah jarang memikirkan hal material. Lambat laun teori sosial sastra semakin proporsional.

Pandangan bahwa sastra itu secara sosial dikondisikan oleh sebuah kebijaksanaan konvensional di abad ketujuh belas dan kedelapan belas tersirat baik melalui rantai sebab-akibat sejarah dan sosial serta mengembangkan kesadaran kritis. Perdebatan abad ketujuh belas di Inggris dan Perancis atas jasa masing-masing dari dahulu sampai modern, muncul dua pertanyaan (1) apakah sastra kontemporer Eropa tidak berbeda dengan yang dari Yunani dan Roma dan (2) apakah sastra berfungsi untuk menggambarkan perspektif kritis dan komparatif meningkat. Dari dua pandangan ini dapat dipetik pengertian bahwa penelitian yang memanfaatkan teori sosial sastra, perlu memperhatikan aspek kesejarahan dan bandingan antar aspek sosial.

Penemuan perdebatan, bahwa puisi epik memiliki jenis tertentu dari masyarakat, berdampak sopan, telah dipoles hingga bergeser ke lingkungan sebagai agen penting. Lingkungan sosial, tidak lain sebuah ruang dan geografi yang saling berpengaruh terhadap sastra. Abad ketujuh belas penulis lingkungan dipahami sebagai kompleks faktor fisik tertentu, khususnya faktor (1) iklim dan (2) geografi. Kondisi ini ditambah agak ambigu yaitu pengertian karakter nasional dan kebebasan. Korelasi yang rapuh ini akan menerima perkembangan yang relatif kecil selama abad berikutnya. Penulis sebagian besar menjadi pengisi situasi negara yang masuk akal. Faktor terbesar dalam penulisan sastra adalah iklim, yang pada gilirannya menghasilkan lembaga-lembaga sosial dan politik. Faktor iklim yang baik dapat mendukung atau menghambat sastra. Lembaga-lembaga yang mengejawantahkan damai atau perang dan kebebasan memiliki pengaruh terhadap citra sastra.

Ruang dan geografi terkait dengan iklim suatu wilayah. Iklim akan membentuk ekosistem sastra. Jika iklim kondusif, sastra akan hidup dengan nyaman dan damai. Sebaliknya, ketika iklim semakin tidak bersahabat, sastra akan goyah. Pada tingkat semacam itu, ruang-ruang publik dan geografi tertentu akan menjadi hunian sastra. Sastra dapat muncul di mana saja, asalkan ruang kondusif dan geografinya tidak berbahaya. Sastrawan yang berada pada ruang dan geografi pedesaan, seperti Tiwiek SA, Tamsir AS, Esmiet, akan berbeda dengan sastrawan yang hidup di perkotaan. Ay Suharyono, termasuk sastrawan Jawa yang hidup di tengah perkotaan. Putu Wijaya, juga sastrawan yang bergelimang di metropolitan. Suasana ruang dan geografi akan memoles pikiran dan perasaan sastrawan. Sastrawan yang setiap saat hidup di daerah kumuh, akan membangun ruang dan

geografi estetis tersendiri. Sastrawan yang sering menghirup ruang penjara, tentu memiliki kekhasan berekspresi.

Sastrawan akan terpengaruh keadaan ekosistem dan geografi yang kurang kondusif. Evi Idawati, Hamdy Salat, Umi Kulsum, Jayadi K Kastari, dan lain-lain ketika menulis sastra di era gempa bumi Yogyakarta (2006), jelas memiliki kepedulian sosial tinggi. Mereka terperanjat melihat iklim dan geografi yang menyediakan ruang-ruang menyedihkan. Belum lagi aktivitas sastrawan dan seniman Yogya yang lain, seperti Butet Kertarajasa, Jabrohim, Suminto A Sayuti, Landung R Simatupang, dan sebagainya ketika Yogya diterpa amukeluruh aktivitas seni dan sastra terbawa arus ruang dan geografi yang amat mencekam, dan seakan telah akan dating hahri kiamat.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 78-80)