• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosiopsikologi Sastra

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 96-98)

BAB VI DIALEKTIKA PENELITIAN SOSIAL SASTRA

C. Sosiopsikologi Sastra

Sosiopsikologis adalah ruang lingkup penelitian sosial sastra. Sosiopsikologi berusaha menggabungkan aspek psikologi dan sosiologi. Kolaborasi kedua ruang lingkup akan membantu pemahaman sastra sebagai ekspresi individu,sekaligus ungkapan aktivitas sosial. Perspektif psikologis terhadap sastra jarang dilakukan dibanding konsep-konsep sosiologis. Sosiologi sastra sebenarnya tidak selalu alergi dengan aspek-aspek psikologis. Oleh karena, sastra itu selain sebagai gambaran kehidupan sosial, jelas sebagai pancaran kejiwaan. Maka penelitian sosiologis pun tampak menjadi lebih peduli terhadap kreativitas psikologis tertentu. Swingewood (1971) juga mengisyaratkan hadirnya penelitian sosiopsikologi sastra, biarpun hal itu tersamar. Menurut hemat saya, sosiopsikologi akan lebih mewadahi muatan sastra secara komprehensif.

Paling tidak, biarpun karya sastra itu membawa misi sosial, tetap merupakan cermin kejiwaan sastrawan. Hal ini sering direduksi bahwa dalam teks sastra dipandang sebagai refleksi dari sejarah psikologis penulis, yaitu sebagai fenomena individu yang aneh. Ini bukan untuk menyangkal peristiwa-peristiwa tertentu dalam sosialisasi penulis, seperti pengalaman Dicken, bahwa manusia akan mengekspresikan diri dalam karya seorang penulis, melalui pilihan karakternya, plot, penggunaan simbol-simbol, metafora, dll, tapi ini bukan untuk menggantikan rasa dan pemahaman sastra dalam hal struktur sosial,saran,kemudian,nilai-nilai. Unsur batin karya sastra jelas merupakan cetusan psikis sastrawan. Sungguh luar biasa sastrawan memoles karyanya dengan endapan pengalaman batin. Bahkan ada kalanya sastrawan itu tergolong “orang gila”, yang tanpa sadar menelorkan ide-ide cemerlang. Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra sebab objeknya sama, yaitu manifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat, sebagai transindividual, objek psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi psike.

Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran personal. Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi sosiologi sastra apabila memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek-aspek kemanusiaan secara keseluruhan. Aspek-aspek psikologis tersebut dapat dimanfaatkan baik terhadap aspek intrinsik, seperti dalam analisis perwatakan, maupun ekstrinsik, seperti dalam menganalisis pengarang, kecenderungan masyarakat pembaca.

Teori-teori psikologi yang bermanfaat dalam memahami karya sastra, teori Freud, misalnya, dikaitkan dengan karya seni sebagai manifestasi introver dan neurosis, sebagai akibat manusia yang tidak bisa menerima kenyataan sehari-hari. Anggapan karya seni sebagai pelarian, tokoh-tokoh sebagai hero, raja, dewa, dan tokoh-tokoh supernatural pada umumnya, dianggap memiliki implikasi yang kuat dengan ketaksadaran psikologis. Aspek kejiwaan itu, tentu saja harus dikaitkan dengan kehidupan sosial. Dalam konteks realitas sosial, senantiasa berpegang pada aspek simbol-simbol. Simbol-simbol kejiwaan, juga merupakan gambaran luas realitas sosial.

Menurut proposisi Freud (Todorov, 1984: 30-31), psike manusia bertumpu atas dasar biologis, mendahului dan bersifat eksternal terhadap bahasa. Sebagai energi libido, yaitu: anal (melalui anus), oral (melalui mulut), dan genital (melalui alat kelamin), energi Freud sesungguhnya lebih dekat dengan material insting. Aspek- aspek psikologis, khususnya sebagai motivator proses kreatif, pada umur,nya dikaitkan dengan struktur personalitas superego. Menurut Freud, kreasi seni merupakan alternatif, sebagai sublimasi dan kompensasi kehidupan sehari-hari yang tak terpenuhi. Karya seni adalah rekaman keistimewaan (idiosyncrasies) personal, bukan kesadaran kolektif.

Teori-teori psikologi Jungian sesungguhnya memiliki relevansi yang lebih kuat terhadap proses kreatif seni. Apabila Freud memberikan intensitas terhadap peranan libido seksualis, Jung lebih memperhatikan ketaksadaran sebagai energi, ketaksadaran sebagai gudang memori, yang dengan sendirinya sangat diperlukan dalam proses kreatif. Prinsip-prinsip psikologi dimanfaatkan dalam analisis karya sastra melalui tiga cara, yaitu: (a) melalui pengarang, (b) melalui semestaan tokoh-- tokoh, dan (c) melalui citra arketipe. Cara yang pertama disebut kritik ekspresif sebab melukiskan eksistensi subjek kreator sebagai subjek individual, khususnya kaitan antara sikap pengarang dengan karya yang dihasilkannya. Cara yang kedua disebut sebagai kritik objektif, dengan memusaikan perhatian pada psikologi tokoh- tokoh, khususnya manifestasi karakterisasi sebagai representasi karakterologi. Cara yang ketiga disebut kritik arketipe sebab analisis dipusatkan pada genesis psikologis, khususnya mengenai eksistensi ketaksadaran kolektif.

Citra arketipe, sebagai proyeksi ketaksadaran kolektif Jungian, membantu menjelaskan ciri-ciri karya dalam kaitannya dengan masa lampau, seperti: jawanisasi novelnovel Umar Kayam dan Ahmad Tohari, prosa liris Linus Surjadi A.G., ciri-ciri arkhais kumpulan cerpen Danarto dan kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bahri, aspek-aspek sejarah novel-novel Mangunwijaya. Karya besar dikomposisikan atas dasar pengalaman manusia secara keseluruhan, melalui ketaksadaran kolektif, bukan faktor personal. Sebagai mitos (Frye, 1973: 95-128), citra arketipe mengevokasi gudang memori masa lampau sekaligus mengantisipasi stagnasi proses kreatif, kemudian menampilkannya dalam struktur karya, bahkan sebagai pandangan dunia.

Proyeksi ketaksadaran Jungian dengan demikian menduduki posisi yang sangat penting dalam proses kreativitas seni. Mitos primordial dan arketipal, baik sebagai representasi mimpi dan fantasi, kreasi dan imajinasi, maupun sebagai cerita rakyat dan fiksi modern, secara keseluruhan dieksploitasikan melalui dan dienergisasikan oleh ketaksadaran kolektif tersebut. Sebagai deposit ratusan, bahkan ribuan tahun, dengan akar pengalaman-pengalaman besar dalam kehidupan kolektivitas, arketipe bukan semata-mata memiliki energi dalam bentuk ekspresi, melainkan juga energi operasi. Dalam karya seni, khususnya dalam proses produksi karya sastra, gejala yang kedua dianggap sangat menentukan.

Pembicaraan mengenai psikologi sastra dalam hubungan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam analisis karya sastra, di satu pihak, baik sosiologi sastra maupun psikologi sastra merupakan disiplin yang relatif baru, yang dengan sendirinya sama-sama berada dalam taraf menemukan cara-cara yang tepat untuk menemukan mekanisme antarhubungannya. Di pihak yang lain, seperti telah disinggung di atas, keduanya memiliki kompetensi yang sejajar dalam mengeksploitasi aspek-aspek kemanusiaan dalam karya.

Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan sosiologi sastra jauh lebih pesat, lebih beragam, dengan konsekuensi logis lebih banyak

mendapatkan perhatian di kalangan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Perbedaan ini juga ditunjukkan melalui banyaknya buku-buku referensi sosiologi sastra apabila dibandingkan dengan psikologi sastra. Dalam mengevokasi sisten, simbol, psikologi sastra pada umumnya menampilkan kualitas psike secara individual, identifikasi fakta-fakta yang tidak mungkin dilakukan dalam paradigma sosiologi sastra. Fakta-fakta psikologi seolaholah tak terpisahkan dengan pribadi, sedangkan faktafakta sosial, sebagaimana dijelaskan melalui proposisi Durkheimian, berada di luar kesadaran individu, sebagai data yang nyata, sehingga lebih mudah untuk berkembang. Menurut pemahaman sosiologi sastra, individu mesti diidentifikasi dalam kerangka supraindividual.

Dalam penelitian tradisional, baik sosiologi sastra maupun psikologi sastra termasuk aspek-aspek ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1962: 73-135). Aspek-aspek ekstrinsik adalah keseluruhan aspek karya yang berada di luar aspek intrinsik, termasuk biografi pengarang. Di antara aspekaspek ekstrinsik yang lain, aspek sosiologis termasuk salah satu aspek yang terpenting. Latar belakang sosiobudaya, misalnya, dianggap sebagai indikator utama lahirnya karya, sekaligus mengkondisikan keseluruhan aspek yang terkandung di dalamnya.

Menurut Wellek dan Warren (ibid.), baik psikologi sastra maupun sosiologi sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam analisis, yaitu: (a) analisis pengarang sebagai pencipta, (b) analisis karya sastra itu sendiri, dan (c) analisis pembaca. Analisis psikologis cenderung memandang subjek kreator sebagai individu yang berbeda, memiliki keistimewaan, keunikan, dan kejeniusan. Sebaliknya, menurut paradigma sosiologi sastra pengarang merupakan manusia biasa. Kemampuannya terletak dalam mengkompilasikan dan menyeleksi fakta sosial, proses kreatif memiliki kesejajaran dengan interaksi sosial yang lain. Karena itu, kreativitas seni dianggap sebagai proses yang wajar, bahkan alamiah.

Pemahaman terhadap sosiologi dan psikologi sastra, sebagai polarisasi dua disiplin yang berbeda dalam menganalisis objek yang sama, yaitu karya sastra, diharapkan dapat memperjelas paradigma kedua disiplin, khususnya sosiologi sastra. Secara definitif intensitas sosiologi sastra adalah karya sebagai manifestasi interaksi sosial, sedangkan intensitas psikologi sastra adalah karya sebagai mani- festasi struktur psikologis. Karena itu, Hauser (1985: 119), pada dasarnya menolak relevansi psikologi dalam studi sosiologi sastra, dengan mengatakan bahwa aspek- aspek psikologi bermanfaat dalam sosiologi sastra apabila memiliki kualitas historis dan berhubungan dengan kemanusiaan secara keseluruhan. Dengan kalimat lain, aspek-aspek psikologi yang bermanfaat dalam analisis sosiologi sastra adalah aspek-aspek psikologi sosial.

Penelitian sosiologi sastra tidak keliru memanfaatkan aspek psikologi sastrawan, teks, dan pembaca. Aspek sosial memang tidak pernah berdiri sendiri, melainkan terpengaruh jiwa seseorang. Hanya saja, dalam penelitian sosiopsikologis ini, tumpuan utama tetap sastra sebagai pantulan kehidupan sosial. Sastra tetap menjadi dokumen sosial, yang dibantu letupan-letupan jiwa. Mempelajari perubahan watak tokoh jelas membutuhkan ilmu jiwa watak. Namun perubahan watak juga dapat didorong oleh lingkungan sosial. Oleh sebab itu sosiopsikologis memang lebih tepat untuk menyelami keindahan karya sastra.

Dalam dokumen Bahan Kuliah Sosiologi Sastra 0 (Halaman 96-98)